Aku tak pernah membayangkan jika aku benar-benar memulai misi pertama ini. Huft! Aku yakin, pasti hari ini akan ada pertumpahan darah apalagi ini dimulai oleh pihakku sendiri. Jika ada pilihan, mungkin sekarang aku akan kembali ke duniaku. Tapi sepertinya memang sudah tak ada jalan untuk kembali lagi. Aku tak bisa menarik perkataanku lagi, kan?
Ah... aku hanya berharap semoga diantara kami berlima tidak ada yang mati! Entah kenapa aku selalu memikirkan tentang ini. Bagaimana jika ada salah satu diantara kami yang mati?
Tapi, sekarang bukan saatnya untuk membahas hal semacam ini.
"Apa masih jauh?" tanya Tari, dituju pada Kei karena dia yang memegang peta sebagai petunjuk arah menuju Desa para Dwarf.
"Sebentar lagi," jawab Kei singkat.
"Hahh... Istirahat sebentar ya? Kita sudah berjalan 3 jam, nih!" protes gadis itu.
"Iya-iya, sejak tadi kau tidak memberi kami napas sedikit pun, Kei!" ucap Oren sok dramatis. Ia dan Tari tumbang ke tanah karena kelelahan. Aku hanya bisa tertawa melihat tingkah mereka berdua.
"Baru juga jalan 3 jam dan kalian sudah kelelahan?! Dasar anak manja!" umpat Hiro.
"Terserah mau bilang apa, pokoknya kita mau istirahat dulu!" kompak Oren dan Tari.
"Kalau begitu kita duluan. Jangan nyasar ya!" Kei melanjutkan perjalanannya seolah tak peduli bagaimana nasib Oren dan Tari disini. Hiro sepertinya sepemikiran dengan Kei, ia melanjutkan perjalanannya mengikuti Kei.
"Eh?!" Sekarang aku yang bingung. Apa aku harus mengikuti Kei dan Hiro atau istirahat disini bersama Oren dan Tari? Tapi jika aku disini, bukankah akan melambatkan jalannya misi? Setelah menimang-nimang lagi, sebaiknya aku pergi duluan bersama Kei dan Hiro.
"Aku duluan ya!" pamitku sambil berlari kecil. Aku sedikit berat hati meninggalkan Oren dan Tari disini, tapi aku yakin mereka tak akan apa-apa. Habis mereka sudah besar dan bukan anak kecil lagi, kan?
"Eh? Aku kira Rose akan bersama kita disini..." murung Tari.
"Sudahlah, kita kan masih bisa menghubungi mereka lewat gelang ini. Ini aku juga membawa bekal makanan untuk kita!"
"Wah!!!"
💠💠💠💠
"Hiro!" teriakku ketika melihat Hiro tengah berdiri tepat di depan gerbang Desa Dwarf. Hiro memberi kode padaku untuk mengecilkan suaraku. Aku paham maksudnya, kemudian aku menganggukkan kepalaku saja sebagai jawaban.
Aku berjalan menghampirinya dan menatap sekeliling. Ngomong-ngomong, aku tak melihat Kei disini. "Dimana Kei?"
"Dia sedang mengecek daerah di dalam Desa ini menggunakan mode penyamaran. Sepertinya kondisi disini lebih parah dibandingkan dengan yang Ratu Elina perkirakan," jawab Hiro.
"Maksudmu apa? Aku tak begitu mengerti," bingungku ketika mendengar bahwa kondisi di Desa Dwarf lebih parah dibandingkan perkiraan Ratu Elina.
"Kemarilah!" Hiro melambaikan tangannya padaku kemudian ia mengintip ke salah satu lubang gerbang. "Lihat!"
Aku mengikuti arahannya, ikut mengintip apa yang terjadi di dalam Desa. Aku terkejut saat melihat apa yang terjadi di dalam sana. Aku melihat jika Desa itu tidak hanya dihuni oleh Dwarf, namun sekarang Desa Dwarf juga dihuni oleh Iblis.
Melihat Iblis yang menindas Dwarf, sepertinya sekarang para Iblis yang berkuasa di kawasan ini. Tak hanya menindas seperti itu, bahkan ada juga para Iblis yang sampai membunuh kaum Dwarf yang tidak menuruti perintahnya.
"AHHHH—!!!!" pekikku tertahan karena Hiro langsung membekap mulutku dengan tangannya. Aku berteriak karena baru saja melihat salah satu Dwarf itu dipenggal kepalanya. Itu... mengingatkanku pada Papa, sampai-sampai aku menangis.
"Siapa disana?!"
"Pasukan Iblis cepat cek gerbang utara!"
"Baik!"
Gawat! Gara-gara teriakanku tadi, mereka jadi tahu posisi kami!
"Kita pergi dulu!" Hiro menarik tanganku ke arah hutan untuk menghindari kejaran pasukan Iblis itu. Huwaa.. mimpi apa aku semalam?! Sampai-sampai bisa dikejar oleh makhluk menyeramkan seperti mereka!
💠💠💠💠
"Hahh..."
"Hahh... Hosh... Hosh..."
"Maaf ya, gara-gara aku kita ketahuan..." ucapku dengan napas terputus-putus.
"Kau harus terbiasa dengan darah, Rose..."
"Akan aku usahakan..."
"Sekarang..." Hiro menarik pedang panjang satu tangannya. Aku mengerutkan alisku, kebingungan apa yang akan ia lakukan. "Bersiaplah untuk pertempuran pertama kita!"
Sontak, kedua mataku membulat sepurna saking terkejutnya. "Per-pertempuran?!"
"Ya, mereka sudah mendekat."
"Kalau begitu kita lari saja! Tak ada gunanya jika kita bertarung! Kau ingin mati, Hiro?!!" bentakku keras, sambil berlinang air mata. Aku... Aku hanya takut dengan kematian. Tapi, aku paling takut jika kehilangan seseorang lagi. Karena itu... aku tak mau kehilangan Hiro! Aku tak mau jika teman-temanku mati!
"A-aku... tak mau kehilangan kalian! Karena itu... ayo kita lari, Hiro!" Aku menarik lengan kiri Hiro, berharap pria itu mau diajak pergi, namun tak berhasil sama sekali.
Hiro tersenyum tipis padaku, sangat tipis bahkan kalian tak akan menyadarinya jika ia sedang tersenyum. "Kita tunjukkan kemampuan kita ya!"
Aku menggeleng-gelengkan kepalaku pelan. Tidak, aku... tidak sekuat kalian.
"Aku menemukan 2 Pahlawan Cahaya di hutan gerbang utara. Kumpulkan pasukan Iblis yang lain kemari! Aku akan mencoba mengulur waktu bersama kelompok kecilku."
Aku menoleh ke belakang. Seketika aku melotot kaget melihat pasukan Iblis dengan kelompok kecilnya yang beranggotakan 8 Iblis. Mereka... benar-benar menakutkan!
Hiro melangkahkan kakinya, ia berdiri dihadapanku sekarang. "Rose, tetaplah dibelakangku dan bantu aku dengan sihirmu!"
Sebenarnya aku ingin segera lari dari sini. Tapi itu tak mungkin kulakukan karena kita sudah terjebak di hutan! Aku harap Tari, Oren dan Kei datang kesini! Aku menekan tombol di gelangku, mengirim pesan pada mereka bertiga. Tak lama, Tari membalas pesanku :
'Maaf, aku dan Oren juga sedang melawan kelompok kecil Iblis ini di hutan gerbang selatan. Rose dan Hiro bertahanlah! Akan ku usahakan untuk segera datang kesana!'
Rasanya hari ini aku benar-benar ingin menyerah... Apa aku akan mati disini? Ataukah aku akan kehilangan seseorang yang berharga bagiku lagi? Lalu, dimana Kei? Apa dia baik-baik saja? Atau jangan-jangan dia tertangkap?!
TAPP!
Hiro menepuk bahuku, menyadarkanku dari lamunanku. Aku mendongak, menatap parasnya yang tampan. "Tak perlu takut!" ucapnya, berusaha menyemangatiku walaupun tak berhasil.
"Aku takut..." cicitku.
BLARR!!
"Sudah bicaranya?!"
Aku tak tahu apa yang terjadi namun sepertinya gadis Iblis yang berlari di atas pohon itu baru saja menyerang kami dengan sihir bola apinya. Tapi serangan itu berhasil ditahan oleh Hiro. Meski Hiro dapat menahan serangan tersebut, kulit-kulitnya tetap terbakar dan melepuh, serta darah terus bercucuran. Aku segera memulihkan luka-lukanya hingga ia sembuh total.
"Terima kasih, Rose."
Aku mengangguk dan tersenyum tipis. "Majulah, Hiro! Aku akan mendukungmu dari belakang!"
Mendengar ucapanku, Hiro menganggukkan kepalanya. "Serahkan padaku!"
Tak ada pilihan untuk kabur sekarang, kan? Yang perlu aku lakukan hanyalah mendukung temanku. Aku yakin, Hiro bisa melakukannya!
🔑🔑🔑🔑
Kei berjalan di atas dinding-dinding sebagai pembatas daerah Desa Dwarf. Dari sini, ia bisa melihat seluruh area Desa Dwarf ini.
"Hahh... Keamanan disini tidak terlalu ketat rupanya..." gumamnya.
Kei baru saja mengelilingi seluruh area di Desa ini dan ternyata para Iblis tidak memperketat keamanan disini, bahkan mereka tak peduli dengan Desa Dwarf yang hancur ini. Yang mereka inginkan hanyalah kesenangan dan kepuasan semata.
Menggunakan mode penyamaran adalah salah satu sihir putih terkuat yang dimiliki Kei. Dengan sihir ini, ia dapat menyusup kapanpun dan dimanapun tanpa terdeteksi oleh siapapun ataupun sebuah sistem. Namun sayangnya, sihir ini tak bertahan lama. Hanya bertahan selama 5 menit.
"Siapa disana?!"
"Pasukan Iblis cepat periksa gerbang bagian utara!"
"Baik!"
Kei melotot kaget. Ia tahu jika Hiro ada di gerbang utara dan sedang menunggunya. "Apa... Hiro ketahuan?!"
Kei segera lari terburu-buru menuju gerbang utara dengan kecepatan bak kilat. Sebagai seorang Assasin, Kei juga memiliki kecepatan di atas rata-rata. Tanpa ia sadari, mode penyamarannya sudah habis.
"Penyusup!"
"Penyusup sedang berlari di dinding pertahanan!"
"Sial!" umpat Kei. Walaupun ia berlari sangat cepat, namun para Iblis itu masih bisa melihat pergerakannya.
🔆🔆🔆🔆
"Masakanmu memang lezat, Oren! Tapi... tak masalahkah jika kita menghabiskan semua bekalnya?" Tari bertanya sedikit hati-hati. Dia merasa sedikit tak enak karena telah menghabiskan seluruh bekal makanan mereka yang seharusnya cukup selama 3 hari.
Oren tertawa mendengar itu. Ia sendiri juga ikut menghabiskan bekalnya itu. Aneh... perutnya ini memang tak bisa dijaga. "Tidak masalah, yang tahu aku membawa bekal kan hanya kau, Tari."
"Ah, iya sih..."
"Nah, kalau begitu... ayo lanjutkan perjalanan kita!" Oren bangkit berdiri kemudian mengulurkan tangannya pada Tari.
"Baiklah!" Tari menerima uluran tangan Oren dan beranjak bangkit. Ia mulai merasa bersemangat membayangkan pertempuran-pertempuran yang akan datang nantinya.
Tari, "Sepertinya mereka akan kesepian jika tak ada kita. Iya, kan?"
Oren, " Ya, kau benar. Jika tak ada kita mungkin suasana disana akan begitu sepi dan dingin. Dan yang tersiksa pasti Rose."
"Tidak, tidak. Menurutku Rose terbiasa dengan suasana seperti itu. Pribadinya yang pendiam menunjukkan bahwa dia sudah biasa dengan suasana yang sepi. Aku rasa seperti itulah sikapnya."
Oren tertawa kecil mendengar argumen dari Tari. "Tidak, kau salah Tari. Rose hanya perlu cahaya untuk menuntunnya menyalakan kembali api kehidupannya. Dan kitalah yang akan menjadi cahaya untuknya!"
"Oh, kau pintar bicara ya!" Tari tertawa kecil memukul-mukul kepala Oren pelan. Tubuh oren yang sebenarnya lebih pendek darinya, membuatnya mudah menyerang Oren.
Ah... Tari memang setuju dengan ucapan Oren tadi. Mungkin semua yang dikatakan Oren memang benar. Rose hanya membutuhkan seorang penuntun yang memberikan api kehidupan untuknya. Dengan kata lain, Rose membutuhkan teman untuk membuat hidupnya berwarna. Tidak beda juga dengan mereka semua. Mereka semua saling membutuhkan, dan takdir mempertemukan mereka berlima.
Sambil berbincang-bincang ringan, mereka melanjutkan perjalanannya, menyusul Kei, Hiro dan Rose. Tari dan Oren baru saja melangkah sejauh 100 meter dari tempat istirahat mereka tadi. Merasa ada yang tak beres, mereka berdua menghentikan langkah mereka.
"Kamu merasakannya juga, Oren?" tanya Tari yang mulai waspada.
"Tidak, aku tidak memiliki indra yang tajam sepertimu atau Kei. Tapi aku tahu ada seseorang yang mengikuti kita."
Memang Oren tak memiliki penglihatan ataupun pendengaran yang tajam seperti Tari maupun Kei karena posisinya dalam bertarung sebagai Tanker. Namun feeling-nya seolah mengatakan ada yang tak beres disini dan sesuatu yang buruk akan terjadi. Tapi Oren berusaha tak negative thingking, namun ia tak sengaja melihat sebuah bola cahaya dari arah pohon. Saat itu ia benar-benar sadar bahwa sejak tadi ada seseorang mengikuti mereka.
"20 orang. Kita cukup menghabisinya dengan cepat, kan?" Tari menyeringai, entah kenapa nafsu membunuhnya mendadak muncul.
Oren tersenyum tipis. Ia sedikit tak menyangka karena Tari bisa menebak jika jumlah musuh yang mengikuti mereka sebanyak 20 anggota. "Tidak perlu terburu-buru, Tari."
"Baik-baiklah."
Oren dan Tari berdiri saling membelakangi, bersiap dalam formasi menyerang. Dalam pertempuran pertama ini, mereka berdua sebagai rekan akan saling bergantian menyerang musuh dan saling melindungi. Oren segera mengeluarkan sebuah palu besar, sedangkan Tari mengeluarkan busur dan anak panahnya. Mereka berdua benar-benar sudah siap dalam bertempur!
"Kami juga menemukan 2 pahlawan cahaya yang lainnya. Tim kami cukup untuk menghabisi mereka." Seorang Iblis yang merupakan pemimpin dari kelompok itu keluar dari semak-semak, kemudian anggotanya segera menyusul keluar dari semak-semak dan pepohonan. Mereka semua segera mengerumuni Tari dan Oren dari segala arah dengan jumlah mereka yang sebanyak 20 anggota. Perhitungan Tari memang tidak salah.
Tari melihat ada notifikasi di gelangnya kemudian ia menghela napas berat.
Sadar akan itu, Oren mengernyit kebingungan. "Ada apa?"
"Sepertinya keadaannya tak sebaik yang kita pikirkan... Sebaiknya kita melakukannya dengan cepat."
💠💠💠💠
SRAAT!!
Aku tak percaya dengan apa yang terjadi. Hiro baru saja menebas kepala salah satu anggota Iblis yang terakhir. Gerakan Hiro dalam menggunakan pedang sangatlah lihai dan cepat. Bagaikan setiap tebasan pedangnya dapat membelah sebuah batu. Hiro benar-benar berbakat menggunakan pedang!
Peningkatan kemampuannya sangat cepat selama sebulan ini, berbeda jauh denganku. Aku seperti menjadi bebannya saja saat bertarung. Karena saat bertempur, Hiro selalu memperhatikanku. Walau dia menyerang musuh, dia juga memikirkan posisiku. Dia melindungiku dari serangan-serangan tiba-tiba. Aku ini... memang hanya menjadi beban.
Bahkan kedelapan Iblis itu tewas di tangan Hiro. Pedangnya yang tipis namun panjang dan tajam itu berlumuran darah. Sekilas aku melihat seringai Hiro saat dia berhasil membunuh satu Iblis dan seterusnya. Sepertinya dia benar-benar menikmati pertempuran ini!
Apa dia sudah gila?!! Ini bukan permainan! Ini adalah pertempuran hidup dan mati!
Hahh... aku tak habis pikir dengan jalan pikiran Hiro. Aku harap tidak akan ada hal buruk setelah ini terjadi, karena kami melakukan ini dengan balas dendam. Iya, balas dendam. Walau sebenarnya aku tidak terlalu berniat juga karena aku tahu batasanku, tidak seperti, Hiro, Kei, Oren dan Tari.
"Kemarilah! Kemarilah para Iblis sialan! Para Pasukan Kegelapan! Bahkan para Pilar Kegelapan... aku tidak takut sedikitpun pada kalian! Ini... Inilah balas dendamku!" teriak Hiro sambil mengangkat pedangnya. Dia tak hanya menantang Iblis, tapi semua Pasukan Kegelapan termasuk Pilarnya.
Aku tahu dia sedih, dia marah. Tapi Hiro... ini gila! Seharusnya dia tak perlu berteriak seperti itu!
"Hoekk..." Aku merasa sedikit pusing dan mual mencium bau darah yang benar-benar menyengat indra penciumanku. Tapi aku harus bisa menahannya, kan?
"Hiro apa yang kau lakukan! Kau tidak seharusnya menantang mereka, apalagi sampai menantang para Pilar! Kau tidak ingat?! Ratu Elina sudah bilang bahwa kekuatan kita masih jauh dari Pilar! Jangan bertindak bodoh!" Aku kesal. Aku kesal dan sedang ketakutan sekarang. Maaf jika kata-kataku ini menyakitimu, Hiro.
"Siapa yang bodoh disini?"
Entah kenapa tapi rasanya perkataan Hiro berubah menjadi dingin. Kata-kata singkat itu begitu menusukku hingga ke tulang-tulang rasanya. Ah... mataku langsung terasa panas, air mata ini mau mengalir. Apa-apaan kau ini, Rose?! Aku berusaha menahan air mata ini agar tak tumpah.
"Hiro aku tahu kau sedih dan kau marah. Tapi... Tapi jangan melakukan ini semua karena balas dendam."
Hiro sempat diam sejenak sambil menatapku dengan dingin. "Sejak awal bukankah kita melakukan ini karena balas dendam?"
Kata-kata itu seolah menamparku.
"Apa kau lupa itu, Rose? Bukankah kita memang sepakat melakukan ini karena balas dendam?" Hiro menghela napas sejenak. "Kau ini kenapa, Rose? Sejak awal kau terlihat tak meyakinkan."
Kenapa...? Kenapa Hiro seolah menjadi orang berbeda dihadapanku? Ada apa dengannya? Kenapa Hiro mendadak berubah seperti ini?