Apa aku akan mati disini?
Mati seperti ini?
Apa aku sudah menyerah?
"Hiro!"
Siapa? Suara siapa itu? Gelap. Gelap sekali. Aku tak bisa mendengar apapun dan aku tak merasakan apapun lagi. Apa seperti ini... rasanya kematian?
"Hiro!"
Seolah-olah kesadaranku ditarik kembali. Tubuhku yang hampir terjatuh ke tanah langsung bangkit berdiri dengan tegak. Tanpa menunggu apapun lagi, aku langsung berlari dengan kedua tangan yang memegang gagang pedangku dengan kuat. Ku ayunkan pedang itu untuk membunuh pria tua dengan armor emas dan pedang emas yang tepat berada dihadapanku.
Yahh, mungkin kalian sudah tahu siapa orang itu. Si Tua Bangka. Althares.
"Lho? Masih hidup? Yah... itu karena kau dibantu temanmu. Tapi tidak apa-apa. Pertarungan ini semakin menarik!"
Hahh... Itu benar-benar menyebalkan! Sangat-sangat menyebalkan! Dia benar-benar meremehkan ku! Tapi, itu memang benar, sih. Aku hampir saja mati tadi. Tapi untung saja ada dia.
Rose.
Dia menyembuhkanku dengan sihir putihnya. Sepertinya setelah ini aku harus berterima kasih padanya.
PRANGG!!!
PRANGG!!!
PRANGG!!!
Pedangku dengan pedang Althares saling berbenturan berkali-kali hingga menimbulkan suara. Entah sudah berapa kali aku mengayunkan pedang ini tapi si Tua Bangka itu menahannya dengan mudah. Sialan!
"Tidak ada yang berubah dari gaya bertarungmu ya. Masih saja lemah dan lambat. Jika seperti ini terus kau benar-benar akan mati di tangan ku!" angkuhnya. "Tapi tidak apa-apa. Jika aku berhasil membunuh mu dan temanmu, sepertinya aku akan naik pangkat. Oh bahkan... dipromosikan menjadi Pilar Kegelapan!"
Si Tua Bangka itu tertawa terbahak-bahak. Tawanya yang menyebalkan. Membuatku selalu naik darah saja.
Aku terkejut. Mataku melotot kaget. Aku sadar, ekspresi ku berubah karena ini. Tapi aku benar-benar seterkejut itu. Aku terkejut karena si Tua Bangka itu tiba-tiba mengganti arah gerakannya dengan cepat. Tiba-tiba saja ia memutar tubuhnya dan hendak menebas leher ku dengan gerakan menyilang.
"Golden Demon Sword Skill : Cross Slash!"
SRAAT!
TRANGG!!!
"White Magic Skill : Shield!"
Oh... Untung saja Rose yang berdiri jauh di belakangku melindungi ku dari serangan tiba-tiba itu. Gadis itu membuat perisai putih untuk melindungi ku. Aku benar-benar beruntung. Tapi aku tak bisa terus seperti ini. Aku terus-terusan lengah dan terus mengandalkan Rose. Hahh... Aku payah ya?
'Hiro, kau jangan hanya mengandalkan kemampuan berpedangmu. Tapi gunakan juga sihirmu. Aku sudah mengajarkan mu beberapa teknik sihir putih yang cocok untukmu, kan?'
Suara Ratu Elina terus terngiang-ngiang di kepalaku. Membuat kepalaku bertambah sakit saja. Aku bingung. Apa aku benar-benar harus menggunakan sihir? Tapi... aku ini benci sihir!
Ah tapi, ini berbeda dengan dunia manusia. Semua yang ada disini memang tidak masuk akal. Bahkan, sihir pun benar-benar ada.
'Suatu saat nanti kamu pasti membutuhkannya.'
Berisik! Berisik! Berisik!
Benar-benar berisik! Mengganggu pikiranku saja!
PRANGG!
Kedua pedang kami berbenturan kemudian saling menekankan senjata masing-masing.
"Hei, nak! Kau tahu, perbedaan gaya tarungmu denganku? Selain pengalaman, dan usia..."
Hahh... yang benar saja? Dia benar-benar ingin mengajakku berbicara di tengah-tengah pertarungan seperti ini? Sialan! Ini membuatku tidak fokus! Aku benar-benar tidak suka berbicara saat tengah bertarung.
TRANGG!!!
DUKK!!
DUKK!!
DUKK!!
Kami berdua melompat mundur agak jauh —memberi jarak.
"Itu karena..."
PRANGG!!
Dia menggantungkan kalimatnya sejenak sambil berlari maju padaku, begitupun denganku. Kemudian pedang kami saling berbenturan lagi. Tak berhenti sampai disitu, ia lanjut menyerangku dengan berbagai tebasan-tebasan berkali-kali yang kadang-kadang selalu berganti arah.
"...Kau tak memiliki sihir!"
SRAAT!!!!
DUUUNGG!!!
KRAKK!!!!
KRAKK!!!
Napasku tercekat. Tadi itu, hampir saja aku terkena serangan hebatnya. Tapi untung saja aku bisa menghindarinya. Tadi si Tua Bangka itu tiba-tiba saja mengayunkan pedang emasnya dari atas yang kemudian menghantam tanah dengan keras hingga membuat tanah itu retak. Nyaris sekali. Jika tidak cepat menghindar, aku pasti sudah mati terbelah dua tadi.
"Wah... refleks mu lumayan!" entah itu pujian atau apa, tapi aku benci seringaiannya itu.
"Kau salah. Karena aku..." Aku menggantungkan kalimatku sejenak kemudian menyiapkan kuda-kuda dan memegang erat pedang panjangku dengan tangan kananku. "...memiliki sihir!"
Aku berlari dengan cepat kearahnya sambil mengayunkan pedangku kemudian mulai merapal sebuah mantra, "White Sword Skill : Dragon Swing!"
Saat itu kurasakan ada energi yang mengalir dari dalam tubuhku. Kemudian tersalur ke arah pedangku. Kulirik pedang panjangku yang kini terdapat seekor Naga putih disana. Aku sedikit terkejut melihatnya. Apa ini hanya imajinasiku saja atau... ini yang namanya sihir?
Ah, lupakan. Sebaiknya jangan memikirkan itu untuk sekarang. Aku harus menghadapi musuh kuat dihadapanku ini.
Ku ayunkan pedang ku itu, hendak menebas bagian lehernya. Yahh... Aku memang berencana membunuhnya dengan memenggal kepalanya, sih.
SRAAT!!!
TRANGG!!!!
Aku terkejut ketika serangan ku dihentikan oleh pedang emasnya. Aku menggertakkan gigiku geram. Aku... semakin ingin membunuhnya!
Aku berteriak, bersamaan dengan dorongan pedangku yang semakin kuat. Semangatku berkobar ketika nafsu membunuhku bangkit kembali. Kulihat si Tua Bangka itu berdesis kesal. Oh lihatlah, pedang dan armor emasnya sudah mulai retak. Ah, apa sekuat ini yang namanya sihir? Aku... sedikit tidak percaya.
KRAKK!!
CRAASH!!!!
Pedang dan armor emasnya... hancur?
Si Tua Bangka itu tampak terkejut.
Aku mengambil kesempatan emas ini. Dengan ayunan yang keras dan cepat...
SRAAT!!!!
SREEKKK!!!!
ZRASSH!!!
...kepalanya terpenggal.
"Hahh... Hahh... Hahh..."
Pertarungan tadi itu... membuatku lelah sekali. Tapi kali ini, duel ku yang kedua kalinya, aku yang menang. Aku menancapkan pedangku di tanah sebagai tumpuan. Entah kenapa setelah melepas sihirku, aku menghabiskan banyak sekali staminaku. Itu membuatku lelah.
"Hiro!"
Aku menoleh ke belakang. Kulihat gadis berambut hitam sebahu itu berlari kecil mendekati ku. Tampak jelas raut wajah cemas dan ketakutannya.
"Hiro, kamu tidak apa-apa? Tadi aku takut sekali..." Rose segera mengelap air mata yang baru saja mau menetes dari matanya. "Aku takut... kamu mati..." Kemudian tangisnya pecah, membuatku sedikit tidak tega.
"Aku tidak apa-apa. Terima kasih sudah menolongku." Aku tersenyum tipis, sangat tipis bahkan mungkin orang lain tak kan menyadari jika aku sedang tersenyum.
"Maaf... Aku tidak bisa membantu banyak... Aku hanya bisa menonton..." ucapnya dengan suara paraunya.
"Tidak apa-apa, kau sudah banyak membantu."
"Tapi—"
"Sudah jangan menangis," aku menyela kemudian beranjak bangkit dan mengelus surai hitamnya dengan lembut. Kulihat wajahnya tiba-tiba memerah. "Kau kenapa? Kok wajahmu merah gitu? Sedang sakit?"
"Ti-tidak!" Rose langsung menggeleng cepat dan menutupi kedua wajahnya dengan kedua telapak tangannya. "Ayo kita cari tempat istirahat saja."
Aku mengangguk setuju kemudian menyarungkan pedang panjang ku kembali.
Aku menoleh karena teringat sesuatu. Kulihat, mayat Altha— em, maksudku si Tua Bangka itu perlahan-lahan berubah menjadi butiran cahaya yang kemudian menghilang begitu saja menyisakan armor dan pedang emasnya. Pedang emas yang masih tampak familiar di mata ku.
"Apa seperti itu... cara mati disini?"
🔑🔑🔑🔑
"Hahh... Hahh... Hahh..." Napas pria itu tersenggal-senggal. Ia berselonjor di atas dahan pohon dan menyender di batang pohon yang besar itu. Ia melirik ke bawah, melihat segerombolan Iblis yang masih mencari-cari keberadaannya yang kemudian berpencar satu per satu.
"Sulit sekali mengelabui Iblis-Iblis itu..." gumam Kei pelan.
Ia melirik gelang nya. Dilihatnya ada banyak notifikasi pesan disitu.
'Tari! Tari! Kau dimana?!!' —Oren.
'Aku sudah lapar nih!' —Oren.
'Ada yang bertemu Tari tidak?' —Oren.
'Tidak, aku sedang bersama Hiro. Sejak tadi juga aku tak melihat Kei. Oren, kau bertemu Kei, tidak?' —Rose.
'Tidak. Sejak tadi aku menunggu Tari di hutan. Katanya dia ingin berburu untuk mencari makanan tapi sampai sekarang dia belum kembali.' —Oren.
'Kenapa kau tidak ikut?' —Rose.
'Aku lelah karena baru saja bertempur tadi, hehe...' —Oren.
'Kenapa tidak mencarinya saja?' —Rose.
'😦' —Oren.
'Aku sedang capek! Capek! Habis bertempur!' —Oren.
'Kami juga capek! Jangan mengeluh!' —Hiro.
'Tidak bisa, staminaku sudah habis.' —Oren.
'Alasan!' —Hiro.
'Sebaiknya kita berkumpul saja, jangan berpisah-pisah. Banyak Iblis yang sedang mengincar kita.' —Kei.
'Oh, Kei? Kau dimana? Tidak apa-apa, kan?' —Rose.
'Yahh... Tidak terlalu baik sepertinya. Nanti saja aku ceritakan. Kita bertemu di tempat Oren saja bagaimana?' —Kei.
'Iya benar! Aku tunggu kalian disini!' —Oren.
'Baiklah, aku dan Hiro akan segera kesana.' —Rose.
Kei menghela napas kemudian menggeleng-gelengkan kepalanya pelan. Ia beranjak bangkit berdiri, memandangi Iblis-Iblis dibawahnya. Sampai akhirnya ia merasa sudah sangat aman, Kei baru melanjutkan perjalanannya menuju tempat Oren berada —yaitu di hutan gerbang selatan— dengan langkah kakinya yang terus melompati dari dahan pohon yang satu ke pohon yang lainnya. Sudah mirip Ninja saja.
🔆🔆🔆🔆
Gadis itu —Tari— sedang berjalan dengan santai di tengah-tengah hutan. Matanya menelisik seluruh area hutan —mencari beberapa hewan yang layak untuk dimakan.
"Hm... Kalau Kelinci...?" Langkah kakinya terhenti, kemudian ia menggeleng-gelengkan kepalanya cepat, "Tidak, ah! Kasihan! Kelinci kan lucu!" Karena tak tega gadis itu pun tak jadi berburu kelinci. Kemudian berpikir lagi hendak berburu apa.
Dia diam sambil menutup kedua matanya. Kepalanya terus berpikir, apa yang akan dia buru? Terbesit beberapa hewan di kepala Tari, seperti sapi, domba atau kambing, rusa, kepiting, ikan—
"Ah iya! Ikan saja!" raut wajah Tari langsung berubah cerah kemudian ia tertawa kecil, kenapa sejak tadi dia tak terpikir memancing ikan saja?
Masalahnya jika sapi, domba ataupun kambing, Tari tidak dapat menemukan hewan-hewan itu disini sejak tadi. Sedangkan rusa... Tari tak pernah makan daging rusa dan rasanya menurutnya agak... yahh seperti itulah. Cukup aneh memang. Dan jika kepiting, Tari tidak tahu cara menangkap kepiting dan gadis itu takut dicapit. Jadi yaaa... opsi yang paling tepat menurutnya adalah, Ikan!
"Tapi... bagaimana cara memancing Ikan ya? Disini kan tidak ada alat pancingannya. Harusnya aku mengajak Rose atau Hiro yang kesini..." tatapan gadis itu berubah lesu lagi. "Setidaknya jika ada Rose disini aku bisa memintanya untuk membuatkan alat pancingannya atau menyuruhnya menangkap ikan menggunakan sihirnya. Dan jika Hiro, mungkin dia bisa menangkap Ikan dengan pedangnya."
"Hahh..." Ia menghela napas panjang kemudian mengusap wajahnya frustasi. "Tapi... apa mungkin aku bisa memancing ikan menggunakan panahku? Ah, mungkin saja bisa! Tak ada salahnya mencoba!"
"Tapi... sungai disini dimana?" lanjutnya. Hahh... kepala gadis itu terasa mau pecah rasanya. Memikirkan ini dan itu, membuat kepalanya semakin sakit!
"UWAAHHHH!!!! SEHARUSNYA OREN YANG BERBURU SAJA!!!! KENAPA AKU DENGAN BODOHNYA MENURUT SAJA??!!!! KENAPA AKU MAU MENCARI MAKANAN UNTUKNYA??!!!! OREN SIALAN!!!! SESUDAH INI AKU PASTI AKAN MEMBUNUHNYA!!!!" teriak Tari yang kesal setengah mati. Gadis itu tak sadar jika yang salah disini bukanlah Oren, namun dirinya sendiri. Dirinya yang bodoh atau... dirinya yang terlalu baik.
"Suaramu sangat berisik. Menganggu para penghuni hutan. Apa aku harus membunuh mu agar mulutmu bungkam?"
Tari berjengit kecil. Begitu terkejut mendengar suara yang tiba-tiba itu. Ia merinding sendiri. Gadis itu berbalik ke belakang. Betapa terkejutnya melihat gadis Iblis dengan busur panah yang besar dipunggungnya. Tari melotot kaget. Itu... Archer Demon!
"Saya senang sekali bisa bertemu anda, Pahlawan Cahaya! Saya benar-benar merasa terhormat!" Gadis Archer Demon itu membungkuk —memberikan hormat.
"Ah..." Tari tersenyum tipis, kemudian ikut berbungkuk juga. "Saya juga senang bisa bertemu anda, Archer Demon!"
"Perkenalkan nama saya Terraria, Archer Demon Terraria tingkat 1!"
SRUKK!!!
Bersamaan dengan kalimat Terraria, gadis Archer Demon itu menarik busurnya kemudian meluncurkan anak panahnya.
SRAAT!!!!
Tari sedikit kebingungan apa yang dimaksud tingkatan itu. Tari belum pernah mendengar itu.
✴✴✴✴
"Rose! Rose!" teriak Oren heboh melihat kedatangan Rose bersamaku. Ia melambai-lambaikan tangannya. Sepertinya dia hanya... menyambut Rose saja.
"WHOAA KAU TIDAK APA-APA KAN, ROSE?!! AKU KHAWATIR SETENGAH MATI! APA HIRO INI BENAR-BENAR MENJAGAMU?!! SEHARUSNYA KAU TADI BERSAMAKU DAN TARI SAJA!" omel Oren.
Aku menutup kedua telingaku mendengar teriakan hebohnya. Oh, aku sedang menahan kesal setengah mati!
Oren membalik-balikkan tubuh Rose, menelisik tubuh gadis itu seperti ketakutan jika ada luka sekecil apapun. Sedangkan Rose, gadis itu hanya diam dan tampak canggung.
"Tidak, tidak ada apa-apa, kok. Sejak tadi aku bersama Hiro."
Oh, kenapa kau berbohong Rose? Padahal tadi kami jelas-jelas sempat berpisah dan entah mengapa Rose tiba-tiba saja datang dan menolongku yang hampir mati.
"AKU SANGAT-SANGAT KHAWATIR PADAMU, ROSE!"
"Sepertinya kau harus mengkhawatirkan Tari, bukan aku."
"I-iya, sih..."
"Kei, kau tidak apa-apa, kan? Apa yang sebenarnya terjadi?" Rose beralih menatap Kei, menatap pria itu yang tak jauh tingginya denganku dengan tatapan khawatirnya. Aku sadar, saat itu Oren menatap tajam ke arah Kei.
Yahh ngomong-ngomong, Kei sejak tadi sudah ada. Dia datang lebih awal sebelum aku dan Rose.
"Tidak apa-apa hanya saja... tadi aku membuat masalah kecil di dinding."
"Bodoh!" umpat Oren —mengatai Kei.
"Siapa yang bodoh disini?! Kau yang bodoh! Kau meninggalkan Tari sendiri! Harusnya kau menemaninya!" ucap Kei yang ikut tersulut emosi.
Hahh... aku malas mendengar perdebatan ini. Aku memilih menjauh dari sana. Duduk di tanah —tepat di belakang pohon beringin ini— kemudian menyender di batang pohon yang kokoh itu. Kupejamkan mataku perlahan, berusaha untuk tertidur namun suara berisik dibelakang sana membuatku susah untuk terpelam.
"Su-sudah! Kalian jangan bertengkar! Kita cari Tari bersama-sama, ya...?"
"Huft! Sudahlah! Bocah gendut ini tak perlu diajak!"
"Heee?!! Apa katamu?!"
"Sudah cukup!"
Ah... telingaku sakit sekali mendengar perdebatan itu. Kepalaku terasa mau pecah. Mereka mengganggu waktu istirahat ku saja.
"Kalian cepatlah pergi! Jangan mengganggu jam istirahat ku! Aku akan menunggu kalian disi—"
BLARRRR!!!!
Perkataan ku terputus ketika dengan tiba-tiba sebuah serangan besar menyerang kami. Dari atas langit yang biru itu, sebuah bola api meluncur dengan cepat. Aku segera menghindar dari sana, entah apa kabar dengan mereka.
BLUSSH!!!
"Uhukk! Uhuuk!!" Aku terbatuk-batuk pelan karena kepulan asap itu. Mengerjapkan mataku berkali-kali kemudian mengedarkan pandanganku menatap ke sekeliling.
"Kalian tidak apa-apa?!" Suara Kei yang tampak khawatir. Kulihat siluetnya yang tak jauh denganku.
Kemudian kepulan asap itu perlahan-lahan menghilang. Aku beranjak bengkit, kemudian mendekat ke arah teman-temanku.
"Kau merasakannya, Hiro?" tanya Kei dengan tatapannya yang penuh arti.
Aku yang mengerti hanya mengangguk. Aku merasa hawa di sekitar kami mendadak berubah semenjak kemunculan bola api itu. Ternyata Kei juga merasakannya.
SRAAT!!!
"Siapa disana?!"
Aku menarik pedangku dengan cepat kemudian berbalik ke belakang sambil mengerahkan pedangku. Begitupun dengan Kei, ia mulai bersiap sambil mengambil 2 pisau dari tas pinggangnya.
"E-eh...?!" Rose yang tampak ketakutan, membuatku menghela napas jengah.
"Hei! Aku juga merasakannya!" mendengar kalimat Oren, aku memutar bola mataku malas. Terlalu malas untuk menanggapi.
Kami berempat berdiri saling membelakangi. Hingga Pasukan-Pasukan Iblis itu keluar dari dalam hutan —menunjukkan diri. Aku menggertakkan gigiku geram melihat segerombolan Iblis itu yang berjumlah ribuan. Jumlahnya tak main-main!
"Hei! White Magic! Kita bertemu lagi!" sapa seorang Iblis yang sepertinya Black Magic. Aku sedikit aneh kenapa Black Magic itu bisa kenal dengan Rose. Oh mungkinkah sebelumnya mereka bertemu? Tapi bagaimana bisa Rose kabur dari Black Magic itu?
"Rose, kau kenal dengan dia?" bisik Oren tepat ditelinga gadis itu.
"Em, aku sempat bertemu tadi."
"Yang benar?!"
"Kalian berisik! Jangan bicara dulu saat seperti ini. Fokus pada musuh dulu, " kemudian Kei mengomeli mereka.
Aku diam saja.
"Lebih baik kalian menyerah. Jika tidak, teman kalian akan kami eksekusi."
Aku terkejut. Namun ekspresi ku biasa-biasa saja. Apa yang dimaksud Black Magic itu? Apa Tari telah ditangkap oleh mereka?
"Tari..."