Chapter 7 : Hiro Yunanda

"HAHH!! INI SEMUA SALAHMU, OREN! ANDAI SAJA AKU TIDAK MENURUTI KATA-KATAMU, AKU PASTI TIDAK AKAN DITANGKAP OLEH IBLIS ITU! ARRGHH!!!!!" Gadis bersurai coklat itu berteriak-teriak tak jelas di dalam sel penjara bawah tanah. Ia menggedor-gedorkan pintu sel saking kesalnya mau itu pada temannya ataupun Iblis Archer yang menangkapnya.

Dia duduk di ujung tembok itu. Dindingnya sangat-sangat kotor dan lantainya pun berasal dari tanah. Itu membuat Tari sempat jijik karena penjara yang kotor ini tapi yaa... dia seharusnya memaklumi itu karena ini bukanlah dunianya yang sudah maju. Gadis itu mencebik kesal sambil bersedekap dan duduk bersila.

"Tapi... Archer Demon itu kuat juga ya..." mengingat kembali pertarungannya dengan Archer Demon itu membuatnya kembali sebal. Tari menggeleng-gelengkan kepalanya dan menepuk pipinya cukup keras hingga tanda merah itu muncul di pipinya layaknya habis ditampar. "Tidak, Tari! Kenapa kau jadi seperti ini?!! Hahahaha... Lihat saja kau Terraria! Aku pasti akan menyusulmu! Aku pasti akan membunuhmu dan kau harus bersujud dihadapan Mentari Anastasia yang paling cantik dan pintar memanah ini! Bisa-bisanya ya kau meledekku yang Pahlawan Cahaya ini! Hmph!"

"Pahlawan Cahaya? Nona... anda Pahlawan Cahaya?!" Dari balik sel penjara di seberangnya, muncul seorang Dwarf tua dengan pakaiannya yang lusuh. Dwarf itu menatap Tari dengan mata berbinar.

"Hm?" Tari memiringkan kepalanya. Gadis itu menelisik pria tua yang sangat-sangat jauh lebih pendek darinya. "Iya sih. Ada apa?"

Tangisan itu pecah begitu saja. Dwarf tua itu benar-benar menangis layaknya anak kecil! Itu membuat Tari terkejut dan kebingungan sendiri. Apakah tadi... dia salah bicara?

"Syukurlah! Syukurlah! Ternyata... surat itu benar-benar tersampaikan pada... Kota pusat!" dia masih menangis. Dwarf itu benar-benar terlihat sangat lega melihat Pahlawan Cahaya dihadapannya. "Anda... datang kesini untuk menyucikan kembali Desa kami, bukan?"

"Kurang lebih... Yap! Seperti itu!" Gadis itu menjentikkan jarinya dan tersenyum lebar. Ia tak mengerti apa arti dari kata 'menyucikan' itu tapi... sepertinya ini bersangkutan dengan misinya. Tak ingin terlihat bodoh, Tari mengiyakan saja!

"Lalu... kenapa anda ada di penjara bawah tanah ini?"

"I-itu...!" sial! Skakmat sudahlah, Tari! Kau tidak akan bisa mengelak! Menggeleng-gelengkan kepalanya lagi untuk ke sekian kalinya —gadis itu berusaha mengenyahkan pikirannya barusan. "Hahaha!!! Aku hanya memberi peluang kepada Iblis itu untuk menang, habisnya aku yang 'Pahlawan Cahaya' ini bosan menang terus-menerus! Tapi aku bisa keluar dari sini kapanpun aku mau!" Tari mengibaskan rambutnya ke belakang.

"He-hebat! Pahlawan Cahaya memang hebat!" Dwarf itu yang begitu polos memercayai saja ucapan Tari. "Saya merasa bisa memercayai anda sepenuhnya!"

"Hm! Hm! Tenang saja, kau akan selalu aman jika berada disisiku!"

"Terima kasih! Terima kasih banyak, Nona! Lalu... bagaimana cara kita keluar dari sini?"

"Eh?!"

Mati kau, Tari! Rasanya gadis itu ingin menarik kembali perkataannya! Bagaimana bisa ia termakan oleh ucapannya sendiri?! Sial!

"Sebentar, namamu siapa?" gadis itu mencoba mengalihkan topik pembicaraan.

"Oh, maaf! Saya lupa memperkenalkan diri saya." Dwarf itu menunduk hormat, "Nama saya Kajin, Kepala Desa Dwarf ini."

"Be-begitu, jadi anda Kepala Desa. Maaf atas kelancangan saya!" gadis itu ikut-ikutan membungkuk hormat, merasa sedikit canggung sepertinya.

"E-EHH?!! ANDA TIDAK PERLU MENUNDUK HORMAT SEPERTI ITU, NONA! ANDA TIDAK LANCANG SEDIKITPUN KOK, NONA! ANDA SEORANG PAHLAWAN CAHAYA TIDAK SEHARUSNYA MENUNDUK DI DEPAN DWARF SEPERTI SAYA!" Kajin tampak sangat-sangat merasa— yaa aneh saja kan seorang Pahlawan Cahaya menunduk dihadapannya? Bukankah derajat Pahlawan Cahaya seharusnya lebih tinggi darinya?

"O-oh... Baiklah," Tari tampak menggaruk tengkuk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal. Iya hanya merasa agak— kenapa hari ini dia melakukan banyak kesalahan?

Tring...

Tring...

Telinga gadis itu bergerak-gerak. Ia merasa mendengar sesuatu. Tari mengerutkan kening, bersamaan dengan tatapannya yang tajam. Ia mulai serius!

"Nona Pahlawan Cahaya, ada apa?" Kajin yang menyadari perubahan raut wajah Tari kebingungan sendiri.

"Penjaganya datang," ucap Tari, kemudian kembali menatap Sang Kepala Desa lantas tersenyum. "Tuan Kajin, tolong bantu aku untuk keluar dari sini ya!"

✴✴✴✴

Kami memutuskan untuk mengikuti mereka. Tidak ada pilihan lain. Yahh... jika Tari tidak tertangkap, ini pasti tidak akan terjadi. Dasar beban!

Mendecak pelan, aku hanya bisa pasrah ketika mereka memborgol tanganku dan menggiringku untuk masuk ke dalam desa. Benar-benar menyebalkan!

Dan disini kami sekarang. Di tengah-tengah Desa dengan dikelilingi oleh Iblis dan sebagian Dwarf yang menjadi budak mereka.

"Manusia?"

"Jadi Pahlawan Cahaya itu Manusia?"

"Bukan Peri?"

"Dasar ras rendahan!"

"Enyahlah kalian!"

Mereka mengumpati kami, mengejek kami sambil memandang kami dengan remeh. Menatap kami dengan sorot yang penuh kebencian. Melempari kami dengan batu-batu kecil.

Aku tidak terpancing oleh mereka, tapi sepertinya... dua orang itu terpancing emosinya.

"RENDAHAN?!! KALIAN BILANG KAMI RENDAHAN?!! DASAR MAKHLUK HINA!"

Yahh... Rasanya aku benar-benar ingin menyumpal mulut si gendut itu dengan pedangku, tapi sayang tanganku sedang diborgol.

Iblis-iblis itu terlihat sangat marah setelah dikatai seperti itu oleh Oren. Mereka semakin berteriak kencang dan hendak melakukan hal yang nekat.

"CEPAT HUKUM MATI MEREKA!!!!"

"AKU SUDAH MUAK MELIHAT MEREKA DISINI!!!!"

"BUNUH!!!"

"BUNUH!!!"

"BUNUH!!!"

"Hei, hei! Kau ini benar-benar mencari masalah saja," tajam Kei pada Oren.

"APA?!! AKU HANYA MENGATAKAN HAL YANG MEMANG KENYATAAN!"

"Teman-teman...!" dan satu orang lagi itu adalah Rose. Gadis itu gemetaran dan menangis pelan. Ia terlihat sangat ketakutan. Entah sepertinya... tidak ada yang bisa diandalkan disini selain aku. Aku merotasikan bola mataku malas.

"Ada ribut-ribut apa disini?"

Atensiku beralih. Menatap seorang Iblis yang tampak sangat gagah dengan perisai dan pedang dipunggungnya. Ia muncul bersamaan dengan seorang Archer Demon dibelakangnya. Sepertinya... pria itu yang memimpin wilayah ini.

"Oh, Leo. Lihat, aku sudah menangkap mereka semua. Hebat sekali kan aku ini?" Black Magic itu tertawa puas. Merasa bangga mungkin? Yap! Aku benar-benar ingin menyumpal mulutnya dengan pedangku.

Pria itu hanya melirik sekilas ke arah Black Magic itu, kemudian mengangguk pelan dan beralih menatap kami. Jika dilihat-lihat, mungkin dia seorang tanker sekaligus pemimpin wilayah ini.

"Hei! Aku dengar kau yang membunuh Althares?" Archer Demon itu tiba-tiba bertanya padaku dengan tatapannya yang tampak antusias. Aku mengernyit, kemudian menjauhkan sedikit tubuhku ketika gadis itu mendekat.

"Hm... Sayang sekali ya..." kemudian melipat tangannya di dada. "Dia memang tidak berguna, huhh!!"

"Leo, selanjutnya apa yang akan kita lakukan pada mereka?" tatapan ku beralih lagi pada Black Magic itu.

"Tentu saja membunuh mereka, kan? Aku juga sudah menangkap temannya yang satu lagi!"

"Tidak."

"Heee??"

"Kita tunggu perintah selanjutnya dari Yang Mulia. Untuk sementara bawa mereka ke penjara bawah tanah."

Black Magic serta Archer Demon itu melotot kaget, tampak jelas sekali bahwa mereka tidak terima.

"Yang benar saja, Leo! Kau akan membiarkan mereka hidup setelah aku bersusah payah menangkap mereka?!" Iblis itu berusaha memberontak perintah dari Iblis yang dipanggilnya 'Leo'.

"Aku tidak membiarkan mereka hidup. Jelas mereka akan mati, tapi tidak sekarang," jawabnya dengan tenang.

"Aku tidak suka dengan pola pikir mu sejak awal! Seharusnya Yang Mulia menyuruh aku saja yang menjadi komandannya, bukan kau! Kau itu terlalu pengecut!" ledek gadis Iblis itu.

"Terraria, terserah kau mau suka atau tidak, tapi Yang Mulia sendiri yang memerintah ku. Apa kau tidak suka? Apa kau menolak perintahnya untuk menjadi bawahanku?"

"Tentu saja aku tidak suka! Padahal aku ini setingkat denganmu, huhh!!"

"Kenapa kau tidak menolak saja dari awal?"

"I-itukan —ARRGHH!!! SUDAHLAH! KAU MENYEBALKAN!" Gadis itu mengacak rambutnya frustasi karena kalah debat dengan Leo. Sedangkan Leo hanya merespon dengan memutar bola matanya malas.

"Cepat bawa mereka ke penjara bawah tanah," titah Leo pada kedua pasukan yang berada di belakangnya.

"Baik, Komandan!"

Tepat sebelum mereka berhasil menyentuh kami —aku, Rose, Kei dan Oren— aku melirik ke arah Rose, memberikan kode —begitupun dengan Oren dan Kei. Gadis itu yang tampak canggung dan ketakutan hanya bisa menurut. Dia meneguk ludahnya susah payah kemudian mengangguk.

"White Magic Skill: Release!"

🔆🔆🔆🔆

"Eh?!! Apa yang kau lakukan?!! Kau melepas borgolnya?!! Kau ingin memberontak?!!" Penjaga itu menatap horor ke arah gadis yang tengah duduk di lantai dengan wajah polosnya.

"Tidak, hanya saja borgolnya terlalu besar. Itu longgar di tanganku yang kecil ini." Tari menunjukkan pergelangan tangannya yang mulus itu tepat di depan wajah sang penjaga, yang kemudian direspon dengan tatapan jijik olehnya. "Apa-apaan tatapanmu itu?!! Kau tidak suka?!! Jelas-jelas tanganku ini cantik! Dasar Iblis buta!"

"Hei! Hei, Penjaga! Namamu siapa?" Tari seggera berganti ekspresinya cepat-cepat. Ia menatap penjaga itu dengan tatapan menggodanya.

"Itu tidak penting."

"Ayolah, katakan! Aku penasaran!"

"Diamlah! Kau berisik! Dasar manusia!"

"Kau... jahat sekali," ia berpura-pura memasang wajah sedih disaat tangannya bergerak ke belakang punggungnya dan merogoh kantong kecil di belakang pinggangnya.

"Tanganku ini sudah gatal untuk membunuh mu! Dasar sampah! Sebaiknya kau menghi—"

SRAAATT!!!

CRASSH!!!

POOFT!!!!

Tari melemparkan kantong kecil itu tepat ke arah mulut sang Penjaga. Hingga akhirnya asap hijau keluar dari kantong tersebut dan kemudian Iblis Penjaga itu terjatuh ke lantai.

"Mulutmu itu memang pantas untuk dibungkam!" Tari tersenyum puas melihat Penjaga itu tak sadarkan diri. Ia beranjak berdiri.

"Nona Pahlawan Cahaya, anda hebat sekali!!!!" ucap Kajin dengan antusias.

"Hm! Sudah pasti!" Gadis cantik itu mengibaskan rambutnya ke belakang. "Tuan Kajin, kau sudah mendapatkan kuncinya kan?"

"Em!" Kepala Desa Dwarf itu mengangguk.

"Cepat buka! Kita harus menyelamatkan yang lain!"

"Baik, Nona!" dengan terburu-buru, Kajin membuka pintu sel nya sendiri dengan kunci yang baru saja ia ambil diam-diam dari Penjaga tadi. Kemudian setelah keluar, ia membuka pintu sel Tari.

"Terima kasih, Tuan Kajin."

"Anda tidak perlu berterima kasih pada saya, Nona Pahlawan Cahaya."

Tari hanya dapat tersenyum kecil.

"Ngomong-ngomong, apa yang anda lemparkan tadi? Tadi itu sihir?" bingung Dwarf tua tersebut.

"Tidak, aku mendapatkannya saat perjalanan menuju kesini. Aku tidak tahu apa nama tanaman itu tapi setelah ku coba ternyata asap yang dikeluarkan tanaman itu dapat membuat seseorang jatuh pingsan untuk beberapa saat."

"Begitu ya."

"Ayo kita bebaskan Dwarf lain yang dikurung!"

"Em! Sepertinya mereka dikurung di penjara sebelah."

✴✴✴✴

"Apa ini?!!"

"Energi sihir apa ini?!!"

"Sial! Apa mereka berusaha kabur dari kami?!!"

"Kami tidak kabur, bodoh!" Aku menyerang dibalik cahaya putih yang baru saja dikeluarkan Rose. Aku menyerang semua Iblis di hadapanku secara membabi buta.

Tadi Rose melepaskan energi sihirnya, dengan begitu cahaya menyilaukan menghalangi pandangan para Iblis itu dan borgol yang menyegel tangan kami pun terlepas.

Aku, Kei dan Oren bertugas menyerang, sedangkan Rose membantu kami sebisanya di belakang.

"Sword Style: 8 consecutive hits!"

"Assasin Skill: Tie Thread!"

"White Hammer Skill: Earth's Punishment!"

Aku mulai menyerang mereka dengan 8 serangan berturut-turut kemudian lanjut memenggal kepala mereka satu per satu. Sedangkan Kei menyerang mereka dengan sihir benang pengikatnya yang langsung membunuh Iblis-Iblis itu dalam sekejap. Oren menggunakan palu raksasanya dan memukul tanah dengan keras —membuat tanah disekitar kami retak dan menumbangkan Iblis-Iblis yang berjumlah ribuan itu dalam waktu singkat.

"HWAHAHAHA!!!! SAMPAH!!! ENYAHLAH KALIAN!!!" teriakan Oren masih dengan memukul-mukul tanah.

Terdengar teriakan menyakitkan dari para Iblis yang kami bunuh. Mau itu saat aku menebas dan memenggal kepala mereka, ataupun benang-benang Kei yang memotong tubuh mereka dalam sekejap mata, ataupun palu besar Oren yang meremukkan tubuh mereka hingga bersatu dengan tanah. Kami yang berjumlah tiga orang ini mampu untuk membunuh ribuan Iblis di sekitar kami.

"Black Magic Skill: Lightning Rain Strikes!"

Aku terkejut melihat awan-awan di langit berubah hitam. Bersamaan dengan itu, petir-petir mulai menyambar. Aku yang masih terkejut tak bisa menghindar dari serangan itu. Tapi tiba-tiba saja tubuhku —juga Oren dan Kei— diselimuti orang sebuah penghalang sihir berwarna putih.

"White Magic Skill: Shield!"

Kami semua berbalik —menatap ke arah Rose yang baru saja merapal mantra perlindungan untuk kami.

"Terima kasih, Rose!" ucap kami bersamaan.

Gadis itu yang tampak gugup hanya dapat mengangguk kecil saja sebagai respon.

Aku berbalik lagi, menatap Black Magic yang baru saja menyerang kami.

"Lawan kalian adalah kami!" ucapnya dengan percaya diri sekali.

Aku memutar bola mata malas, kemudian tanpa basa-basi, ku daratkan 1 tebasan yang dalam di punggungnya dengan cepat, hingga membuat luka itu membekas dengan huruf X besar. Black Magic itu terkejut kemudian berteriak kesakitan dan tubuhnya perlahan-lahan terjatuh ke tanah.

"Siapa namamu? Aku akan mengingatnya karena kau akan mati. Akan ku buat nisan yang bagus untukmu."

Aku tersenyum, dengan kedua mataku pun yang ikut tersenyum. Senyum palsu. Aku tidak bermaksud baik, kok. Habisnya... dia kan Iblis. Aku datang kesini untuk balas dendam. Hanya itu saja.

"Abyss... Namaku Abyss..." Black Magic bernama Abyss itu berlutut di atas tanah. Berusaha untuk bangkit namun terurung ketika rasa sakit itu terasa semakin menjadi-jadi. "Dasar bedebah... Jangan berharap... kau bisa membunuhku!"

Entah kenapa, tiba-tiba saja batu-batu di sekitar kami melayang ke atas. Dan saat itu aku baru tersadar bahwa sekarang... Abyss tengah berdiri di atas langit tanpa sehelai benang pun. Dia... benar-benar melayang.

Apa ini kekuatan Penyihir? Seharusnya Rose juga bisa kan melakukan ini? Hahaha... sudah jangan ditanya...

Aku yang masih terpana pun tak bisa mengalihkan pandanganku darinya. Begitupun dengan semua orang. Tatapan mereka beralih menatap kekuatan Abyss. Sama halnya dengan Oren dan Kei yang tadinya tengah bertarung melawan Leo, kini mereka teralihkan melihat Abyss.

"Haduh... dia serius sekali, sepertinya ada seseorang yang membuatnya marah..."

Walau Leo menggumam, aku tentu masih dapat mendengar suaranya walaupun sedikit. Kemudian kulihat dia melirikku sambil menyeringai.

Apa-apaan?!!

"Black Magic Skill: Meteor Rain!"

Bersamaan dengan Abyss yang merapal mantra, batu-batu kecil yang melayang itu terbakar oleh api kemudian menghujani kami dari berbagai arah.

"Ugh..." aku berusaha menghindar dari banyaknya serangan hujan meteornya. Namun tetap saja, dia mampu membuatku terluka. Sama halnya dengan Kei dan Oren, ditambah Leo yang mencoba menyerang mereka berdua.

Aku menggertakkan gigiku kesal. Kepalaku terasa mau pecah saat memikirkan cara untuk mendekati Abyss.

"White Magic Skill: Healing!"

Aku sedikit terkejut ketika luka-luka di tubuhku mendadak hilang secara perlahan-lahan. Aku tersenyum puas saat menyadari Rose yang menyembuhkan luka-lukaku.

"Teman-teman! Terus saja menyerang! Aku... akan membantu kalian dari sini. Karena itulah...!"

Tanpa berbalik pun aku tahu, dia sangat-sangat malu, tanpa sebab.

"Karena itu... Majulah kalian!"

"White Sword Skill..."

Aku mulai menyiapkan kuda-kuda, bersiap untuk menyerang Abyss dengan merapal mantra.

"...Dragon Swing!"

Aku berlari secepat mungkin untuk mendekatinya. Tentu saja sambil menangkis banyaknya serangan Hujan meteornya.

"Dengan kemampuanmu yang sebatas itu, kau tidak akan mampu menyerang ku," ucapnya dengan menghujani ku terus-menerus dengan meteornya. Aku sanggup menangkis serangan itu dengan skill Dragon Swing ku namun tetap saja ada beberapa serangannya yang melukaiku.

"White Magic Skill: Healing!" dan beberapa kali pun Rose menyembuhkan ku lagi dan lagi.

"White Sword Skill: Dragon Roar!" ku luncurkan serangan terakhirku. Skill yang baru ku gunakan ini, pasti tak kan pernah ia duga. Sihir Naga dipedangku melesat dengan cepat ke arahnya dan memangsanya hidup-hidup hingga Abyss tumbang ke tanah.

"Hahh... Hahh..." Aku yang sudah kelelahan, berlutut di atas tanah dan memegang pedangku erat-erat sebagai tumpuan. Menggeleng-gelengkan kepalaku, berusaha agar tak kehilangan kesadaran di saat Iblis-Iblis yang lain mulai mendekat dan menyerang ku.

Aku menoleh, melihat Kei dan Oren yang masih asik bertarung dengan Leo. Sepertinya keadaannya tidak memungkinkan untuk meminta bantuan mereka. Tapi... tubuhku tidak mau bergerak sedikitpun.

Ayolah! Bergera—

"White Magic Skill: Holy Wall!"

Tiba-tiba saja Rose sudah berdiri dihadapanku. Gadis itu berusaha menahan ribuan Iblis dengan tembok yang tak terlihat itu.

"Rose..."

"Aku..." gadis itu berusaha menahan sekuat tenaganya, namun... ia meneteskan air matanya. "Aku juga... harus berjuang kan?" lantas tersenyum ke arahku. "Aku... Aku tidak bisa diam berdiri dibelakang kalian terus-menerus. Aku juga... harus bertarung... bersama kalian semua!"

SREKK!

CRASSHH!!!

"ROSE AWAS!!!" Refleks aku berteriak melihat seekor anak panah melesat dengan cepat ke arah Rose. Tanganku bergerak, seolah-olah ingin menggapai nya walaupun tak sampai. Sial kakiku tak mau bergerak! Ayolah, jika terus begini—!

TAKK!

Bukannya menembus tubuh Rose, tapi anak panah itu terjatuh ke tanah setelah mendekati tubuh gadis itu. Seperti... ada sebuah pelindung dalam dirinya.

"White Magic Skill: Shield!"

"Hee??? Pertahananmu boleh juga."

Aku menoleh, melihat sang pelaku.

Dia adalah Terraria, Archer Demon yang baru saja menyerang Rose.

Aku berdecak kesal. Aku baru ingat bahwa ada dia satu lagi. Aku sampai melupakan keberadaannya.

"Jadi, ternyata kau disini sejak tadi. Aku sudah menunggumu, lho."

Kulihat siluet seseorang di balik Terraria. Gadis Iblis itu tampak terkejut, sedangkan aku biasa saja. Aku sudah sangat familiar dengan suaranya. Ternyata selama ini dia menunggu kedatangan Terraria.

"Sayang sekali ya, lawanmu adalah aku." Kei tersenyum licik.

"Kau...!" kesalnya.

"Diamlah, jika kau bergerak sedikitpun, benang-benang ini akan langsung memotong-motong tubuhmu," ancamnya ketika Terraria berusaha bergerak.

"Ck, bagaimana bisa?! Bukankah kau tadi sedang disana bersama Leo?!" ucap gadis Iblis itu yang merasa tak terima.

"Hm, tidak, sejak awal aku memang mengincarmu."

"Hahh? Kenapa? Apa kau suka padaku?"

"Tidak."

"Terus?"

"Karena kau musuh."

"Ck..." Terraria tampak memutar bola matanya malas. "Bagaimana jika kita berdamai?"

"Tidak mungkin."

"Jadi tidak ada cara berdamai ya?"

Sebentar, rasanya ada yang aneh...

Kulihat tangannya bergerak kemudian.

"Blood Technique..."

Jangan-jangan...!

"...Explosi—"

"Assasin Skill: Spider Webs!"

Aku bernafas lega, melihat Kei yang sudah bergerak lebih dulu. Untung saja masih sempat, jika tidak...

"HEI! APA-APAAN KAU INI! KELUARKAN AKU! KELUARKAN AKU!" teriak Terraria yang kini terkurung di dalam jaring laba-laba milik Kei.

"Apa kau bermaksud mengeluarkan energi sihirmu agar kami semua disini terbunuh oleh ledakan dengan skala besar itu? Apa kau berpikir walau kau terbunuh disini setidaknya kami disini juga harus mati di tanganmu? Seperti itu?" Kei bertanya dari luar benang tersebut.

"IYA! MEMANGNYA KENAPA?!! AKU TIDAK MAU MATI DI TANGAN KALIAN! SETIDAKNYA... SETIDAKNYA KALIAN JUGA HARUS MATI DI TANGANKU!"

"Hahh, pikiranmu ini sempit sekali ya." Kei tampak memijat pelipisnya. Kemudian menoleh ke arahku, "Kalian urus sisanya, biar dia yang menjadi urusanku."

"Mn!" Aku mengangguk, kemudian memegang gagang pedangku kuat-kuat. "Rose menyingkirlah!" Aku berpikir untuk melenyapkan sisa-sisa Iblis disini dengan satu serangan besar dan setelah itu, misi ini akan segera berakhir.

Leo? Jangan ditanya, sepertinya si gendut itu bisa mengatasinya sendiri.

"Tidak... Jangan, Hiro...!" gadis itu masih berusaha menahan tembok itu.

"Tidak apa-apa, sisanya serahkan saja padaku."

Gadis itu menggeleng kukuh, masih berusaha keras menahan tembok itu.

KRAKK!!

KRAKK!

CRASSH!!!

"Hei, Rose! Mundurlah! Temboknya sudah tidak dapat menahan lagi!" teriakku memperingati ketika melihat tembok itu yang mulai retak.

"Sebentar...! Sebentar lagi...!"

Hahh... yang benar saja?!! Sebenarnya gadis ini menunggu apa?!!

Aku berlari mendekatinya berusaha untuk menariknya pergi. Namun, sebelum semua itu terjadi...

"Sedikit lagi...!"

KRAKKK!!!

KRAKKK!!!

CRAASHH!!!!

"ROSE!!!!"

"SEKARANG, TARI!!!!"

"White Arrow Skill: a Rain of Judgment Arrows!"