Chapter 8 : Annasti Mentari

Awan-awan di langit menggelap. Di saat yang bersamaan, anak-anak panah itu berjatuhan dari langit, yang kemudian langsung menusuk ke tanah. Iblis-Iblis itu langsung habis dalam sekejap mata.

Aku yang melihat semua Iblis itu mati dalam sekejap di tanganku, bersorak senang. Ternyata sekuat itu ya skill ini!

Tapi... entah kenapa, tubuhku langsung lemas. Seolah-olah energiku diserap habis hanya untuk menggunakan satu skill itu.

"Nona Pahlawan Cahaya, anda tidak apa-apa?" panik Kajin saat menyadari perubahan wajahku yang sedikit pucat.

Aku menggeleng pelan menjawab pertanyaannya, "Tidak apa-apa."

Aku menelisik menatap ke arah bawah. Kulihat ada Rose dan Hiro disana, kemudian Kei di dekat hutan, dan Oren yang tengah berdiri di sebelah Iblis lainnya.

"HEI, TEMAN-TEMAN!!!!" teriakku kencang, sambil melambai-lambaikan tanganku ke arah mereka. Mereka segera berbalik, menatap ke arahku yang tengah berdiri di menara bersama dengan Kajin dan beberapa Dwarf yang baru saja kami bebaskan.

"Tari, syukurlah!" Rose bernapas legah.

"Kalian tunggu saja disini, sisanya serahkan pada kami!" ucapku pada Kajin dan yang lainnya.

"Baik, Nona!" ucap mereka serempak.

Aku tersenyum dan mengangguk, kemudian melompat dari atas menara itu. Tenang saja, aku sudah terlatih, kok! Aku yakin aku akan mendarat dengan baik!

Setelah sampai di bawah, aku segera berlari kecil ke arah teman-temanku. "Kalian baik-baik saja?" tanyaku.

"Apa kau tidak lihat?!" tanya Hiro agak sensi.

Aku terkekeh kecil. Aku tahu kondisi mereka cukup berantakan karena kelelahan. Tadi aku hanya basa-basi saja... Hahaha.

"Bagaimana? Bagaimana dengan seranganku tadi? Hebat, kan?!" tanyaku dengan antusias.

Ketiga laki-laki itu malah menatapku jengkel. "BEBAN!" umpat mereka secara bersamaan.

Aku melotot kaget mendengar itu. Tentu saja aku tidak suka dikatai beban! "Apa-apaan?! Aku tidak beban!"

"Beban! Karena kau tertangkap, kita jadi kerepotan seperti ini!" komentar Oren.

Anak ini benar-benar! Aku sudah kesal setengah mati, apalagi saat melihat wajah Oren, emosiku langsung meledak-ledak. "KAU PIKIR INI SALAH SIAPA?!! INI SALAHMU! KARENA KAU MENYURUHKU BERBURU, KARENA ITU AKU DITANGKAP OLEH TERRARIA!"

"APA?!! KAU MEMUTAR BALIKKAN FAKTA! JELAS-JELAS ITU SALAHMU SENDIRI! AKU TIDAK PERNAH MENYURUHMU BERBURU! BUKANKAH KAU SENDIRI YANG MENAWARKAN DIRI?!!" Balas si gendut itu yang ikut-ikutan emosi.

Hei, bukankah disini seharusnya dia yang disalahkan?! Kenapa jadi aku?!

Aku yang tak terima disalahkan, balas berteriak padanya, "TIDAK POKOKNYA INI SALAHMU! BUKAN AKU!"

"SALAHMU, TARI!"

"KA—"

"Eh? Oren, dimana Leo?" suara Rose menghentikkan perdebatanku dengan Oren.

Aku mengerutkan kening, merasa asing mendengar nama Leo. "Leo? Siapa Leo?"

"Itu... Iblis yang tadi melawan Oren. Dia kapten disini."

Aku manggut-manggut saja mendengar penjelasan singkat Rose. Kapten ya? Jadi disini ada Iblis yang bertugas menjadi Kaptennya?

"Ah! Terraria! Kalian melihat Terraria?" tanyaku ketika tiba-tiba teringat dengan Archer Demon itu.

"Maksudmu dia?" Kei menunjuk seorang gadis yang tengah terikat dengan benangnya. Aku segera mengangguk cepat kemudian mendekatinya.

"Apa kau yang menangkapnya Kei? Hebat!"

"Tentu, bagaimana bisa kau kalah dengannya?"

"I-itu..." aku menggaruk tengkukku yang tak gatal. Aku terkekeh pelan, terlalu bingung ingin menjawab apa. Soal pertarungan waktu itu ya? Hahh... Itu membuatku ingin tertawa saja!

"Aku lengah, hehe..." jawabku tak sepenuhnya berbohong.

"Lain kali berhati-hatilah! Jika kau tak tertangkap, ini pasti tidak akan terjadi," pesan ketua kami itu.

"Baik!"

"Rose, kenapa tadi kau tahu jika Tari ada disini?" tanya Hiro yang mungkin... sedikit penasaran.

"Itu—!"

"Diam! Aku tidak bertanya padamu."

Aku yang ingin menjawab pertanyaan hiro, segera disela oleh anak laki-laki itu. Aku mencebik kesal sambil melipat tanganku di dada, kemudian bergumam pelan, "Bukannya sama aja kalau aku yang jawab?!"

"Anu itu... Tari memberi pesan lewat gelang ini," Rose menunjukkan gelangnya. "Mungkin kalian yang tidak sempat membuka pesan dari Tari."

"Hm! Hm!" Aku mengangguk kukuh, membenarkan ucapan Rose. Mereka pun ikut mengangguk ketika selesai memeriksa gelang mereka.

"MMH! EMMMHH!!!"

Kami menoleh bersamaan ke arah sumber suara. Terraria —Archer Demon itu seperti ingin mengatakan sesuatu.

Detik berikutnya, Kei melepaskan benang yang membekap mulut Iblis itu. "Bicaralah," ucapnya.

"Dasar kalian, bocah-bocah tengik!" kata umpatan itulah yang pertama kali dikeluarkan Terraria, yang langsung menyulut emosi kami. "Lihat saja serangan balasan dari Yang Mulia Raja Ezriel nanti!"

"Serangan balasan?"

"Benar! Para Pilar sudah menuju kesini! Besok, kalian pasti akan mati ditangannya, ahahaha!!!!" teriaknya hingga suaranya menggema.

"Para Pilar?" gumamku pelan. Apakah para Pilar Kegelapan yang diceritakan Ratu Elina akan datang kesini? Bukankah itu gawat?!

"Kei, bolehkah kita akhiri disini saja?" Oren tersenyum sambil mengangkat palu, menunjukkan bahwa dia ingin mengakhiri hidup Terraria sekarang juga. "Telingaku sudah panas, nih!"

"Tidak, kita masih membutuhkannya," tolak Kei cepat.

"Benar, kita membutuhkan banyak informasi mengenai musuh dari dia," tambah Hiro.

"I-iya, sih," akhirnya anak laki-laki itu hanya bisa mengalah.

"Sekarang, jawab aku. Dimana temanmu itu?" tanya Kei pada Terraria.

"Maksudmu Leo?" Iblis itu malah bertanya balik!

"Ya."

"Dasar si pengecut itu! Bisa-bisanya dia meninggalkanku! Sudah kubilang, dia memang tidak pantas menjadi seorang Kapten!" dan gadis itu malah mengomel.

"Hei-hei! Cepat jawab pertanyaan Kei! Kami tidak ingin mendengar omelanmu itu!"

"Entahlah! Mana aku tahu, dasar bocah! Mungkin dia sudah kembali menghadap Yang Mulia!" jawab Terraria sambil emosi.

"Sialan! Aku malah melepaskannya!" Oren berteriak frustasi.

"Ck! Kita lengah sedetik saja..." Hiro berdecak kesal.

"M-maaf, tapi menurutku, dibandingkan kita membicarakan keberadaan Leo sekarang, bukankah lebih baik kita membahas tentang Pilar Kegelapan?" sahut Rose.

Aku segera mengangkat tanganku, "Aku setuju dengan Rose!"

"Iya, kau benar," timpal Kei. "Kapan mereka datang?" tanyanya pada Terraria.

"Bukankah tadi aku sudah mengatakannya?! Mungkin besok. Aku yakin, sekarang mereka sudah menyadari keberadaan kalian, bocah Pahlawan Cahaya!" jawabnya sambil memaki.

"Berapa orang yang datang?" tanya Kei lagi.

"Kau benar-benar ingin tahu?"

Kami serempak mengangguk dengan kompak, mengiyakan ucapannya.

"Ada syaratnya," Archer Demon yang masih diikat dengan benang Kei itu tersenyum menyeringai.

"Apa?" tanya Kei yang masih tenang.

"Lepaskan aku, setelah itu aku akan jawab!"

"Tidak bisa!" jawab kami kompak dan cepat.

Uwaaaahh sepertinya kami semakin kompak saja!

Sebisa mungkin aku menahan tawaku yang hampir lepas. Ini sedikit lucu. Tak biasanya kami sekompak ini. Padahal kami baru saja saling kenal.

"Baiklah, kalau begitu aku tidak akan jawab! Aku akan menunggu saja sampai para Pilar datang dan menghabisi kalian semua!" Terraria membuang pandangan, tak ingin berkontak mata dengan kami.

Kei tampak mengangguk-anggukan kepalanya. "Tentu, berarti selama itu pun kami akan terus menyiksamu hingga kau mau buka suara."

Mendengar itu pun, dengan senang hati, aku mengangkat kedua jempol ku pada Kei. Aku senang sekali mendengar ancaman Kei barusan untuk Terraria. Bagus sekali, Kei!

Sama sepertiku, Oren dan Hiro pun mengangkat kedua jempolnya juga, terkecuali Rose yang hanya bisa tersenyum tipis.

"B-BAIKLAH! BAIKLAH! AKU AKAN MEMBERIKAN SEMUA INFORMASI YANG AKU TAHU PADA KALIAN, TAPI TOLONG JANGAN MENYIKSAKU!" teriaknya yang terlihat mulai ketakutan.

"Tentu, sekarang cepat beritahu kami," ucap Kei.

"Ada sekit— !" Terraria yang baru saja ingin menjawab pertanyaan kami tiba-tiba saja kepalanya tertarik ke atas hingga akhirnya ia mendongak ke arah langit, sambil berteriak kesakitan.

Aku mengerutkan kening, merasa aneh dengan tingkahnya yang tiba-tiba.

"Ada apa kau ini?! Lihat ke arah kami dan jawablah!" —Hiro.

"Kei, apa yang kau lakukan?! Jangan menyiksa dia kan baru saja mulai menjawab!"

"Tidak, Tari. Aku tidak melakukan apapun."

"Y-yang Mulia...!" Archer Demon itu bergumam sendiri dengan suaranya yang serak seolah-olah ada seseorang yang sedang mencekik lehernya.

"Kau ini sejak tadi bicara apa, sih?!!" karena emosinya sejak tadi sudah di ubun-ubun, Oren hendak melempar palunya ke arah Terraria, namun seseorang langsung menahannya.

Tentu saja bukan aku. Aku tidak berniat menahannya membunuh Terraria, walau sebenarnya aku sendiri ingin tanganku sendiri lah yang membunuhnya.

"Oren, tenanglah! Tolong, bersabarlah! A-apa kau tidak mengerti situasinya sekarang?!" Rose berusaha menahannya, walau sebenarnya aku yakin tubuhnya itu tak sanggup menahan Oren.

"Apa?!! Kau sudah lihat sendiri kan kalau dia tidak bisa diajak bekerja sama?!! Dia hanya berpura-pura bodoh dan kesakitan agar kita mengasihani dia!"

"Oren, kamu... sebenarnya bukan tipe orang yang pemarah, kan?" ucap Rose sambil memberanikan dirinya.

"Kau ini ngomong ap—"

HMPHH!

"Ini makan ini dan duduklah."

Tiba-tiba saja Rose mengambil sebuah permen di kantongnya kemudian memasukkannya langsung ke dalam mulut Oren. Oren yang tampak terkejut, memelototkan matanya. Walaupun tidak suka, akhirnya anak itu mengunyah permennya dan duduk di tanah tak beralaskan lantai itu.

"Eh? Kau dapat permen itu darimana, Rose?" tanyaku antusias. "Aku mau satu, boleh? Hehe..."

"Boleh, kok. Aku sengaja membawa permen dari rumah saat pergi ke toko bunga, dan ternyata makanan yang kita bawa dari dunia kita bisa terbawa kesini juga," jelas Rose sambil memberikan permen itu padaku.

"Terima kasih! Jadi, intinya barang yang kita bawa sebelumnya dari dunia kita bisa terbawa ke dunia ini?" ulangku sambil mengunyah permen yang baru saja diberikan oleh Rose.

"Em! Sepertinya sih begitu," Ia mengangguk-anggukan kepalanya.

"Anu, Rose..."

Rose segera menoleh ketika ada seseorang yang baru saja menyahutinya. Karena penasaran, aku pun ikut menoleh.

"Boleh aku minta permen itu lagi, tidak...?" tanya Oren dengan wajah yang segan.

"Hee??? Memangnya yang tadi sudah habis???" kaget ku.

"Kalian ini membicarakan apa, sih?! Lihat situasinya dong!" —Hiro.

Gadis bersurai hitam itu tersenyum mengangguk, "Boleh kok, ambil saj—"

"AAAAAAAKKHHH!!!!!"

Aku yang terkejut, segera teralihkan kembali, begitupun dengan yang lain. Kulihat, itu Terraria yang baru saja berteriak.

"Y-YANG... MULIA...!! TO-TOLONG... J-JANGAN!!! S-SAYA... JANJI... T-TIDAK AKA— AAAAAAAKHH!!!!!!"

Aku melotot kaget melihat apa yang ada dihapanku. Tanpa sebab, leher Terraria berdarah dan darahnya bercucuran.

"A-apa yang... sedang terjadi...?" ucapku ketakutan. Tubuhku bergetar sendiri tanpa diperintah. Untuk kedua kalinya, aku merasa ketakutan hebat seperti ini.

"Teman-teman...!!" Rose mundur dua langkah ke belakang.

"T-TOLONG...!! TO-TOLONG... JANGAN... LAKUKAN ITU... Y-YANG MULIA!!! S-SAYA... SETIA... PADA... A-AND—"

KRAKK!!!!

CRASSSHHH!!!!!

"SEMUANYA, MUNDUR!!!!"

SRATT!

BAMM!!

DUAARRR!!!!

🔆🔆🔆🔆

Terraria meledakkan dirinya sendiri. Aku dan teman-temanku tidak sempat untuk menghindar. Namun untungnya, perisai Oren melindungi kami. Ledakan itu tak terlalu besar sehingga para Dwarf yang berada di menara tidak terkena ledakan tersebut.

"Ck! Sekarang kita kehilangan satu kesempatan kita lagi!" decak Hiro kesal.

"Hoekk!! Hoekk!!!"

"Rose, kau tidak apa-apa?!" —Oren.

Rose menggeleng pelan menjawab pertanyaan Oren. "Tidak apa-apa, aku... hanya belum terbiasa saja melihat darah."

"Oh..."

"Ini... dia tidak meledakkan dirinya sendiri," ujar Kei yang sedang mengamati darah Terraria yang berceceran disana-sini. "Ada yang aneh dengan darahnya..."

Aku berjongkok, kemudian mengambil kepala Terraria yang masih utuh. Ini aneh. Jelas-jelas Terraria sudah mati karena ledakan bunuh diri tadi. Tapi, hanya kepalanya yang tersisa, sedangkan badannya sudah hancur lebur tak bersisa.

Aku mengamatinya. Mengamati kepala Iblis dengan darah yang masih bercucur itu dengan seksama. Menelisiknya jauh di dalam pikiranku. Hingga akhirnya aku kembali mengingatnya.

"Aku tahu..." gumamku yang membuat atensi mereka beralih padaku. "Aku tahu kenapa... Kenapa aku sangat ingin membunuhnya!"

BRUKKK!!!!

"ROSE!!"

🔆🔆🔆🔆

"Ngh..."

"Rose! Kau sudah siuman???"

Aku yang baru saja membuka pintu kamar, dikejutkan dengan Rose yang sudah siuman. Aku berlari kecil mendekatinya, dan duduk di sisi ranjang.

"Tari...?"

"Sejak kapan kau siumannya?"

"Baru saja."

"Aku kaget lho karena kamu tiba-tiba pingsan! Bikin jantungan aja!" celotehku. "Kalau gak bangun-bangun lagi gimana???!"

Rose hanya menanggapi dengan kekehan kecil, "Maaf."

"Kenapa tadi kamu bisa tiba-tiba pingsan? Kamu kelelahan, Rose? Atau karena kamu lihat banyak darah?" tanyaku beruntun.

"Mungkin kelelahan...?" jawabnya sedikit ragu. "Karena sepertinya aku terlalu banyak menghabiskan mana, apalagi saat melepaskan energi sihir itu, dan juga saat buat dinding untuk melindungi Hiro. Soalnya Ratu Elina pernah bilang kalau aku harus bisa mengendalikan dan menghemat mana seminim mungkin."

Mendengar penjelasan Rose, aku mengangguk-anggukan kepala pelan.

"Ini... kita dimana? Kita masih di Desa Dwarf? Oren, Hiro dan Kei, mereka baik-baik saja, kan?" tanya Rose khawatir.

"Em! Mereka baik-baik saja, kok! Luka mereka sudah dirawat dibantu warga Desa. Tenang saja Rose, kita masih di Desa Dwarf. Kei bilang, misi kita sudah selesai, jadi kita bisa kembali ke Istana besok! Dan, sekarang kita sedang di rumah Tuan Kajin. Saat kau pingsan, dia dengan senang hati memperbolehkan kamu beristirahat di kamar Putrinya," jawabku panjang-lebar.

"Jadi kita bisa pulang besok dengan selamat ya..." Rose tersenyum lega.

Aku balas tersenyum padanya. Dia pasti merasa sangat senang sekarang!

Aku beranjak bangkit ketika mengingat janjiku dengan Tuan Kajin. "Kau bisa berdiri kan, Rose?"

Anak perempuan bersurai hitam itu mengangguk dan beranjak bangkit sendiri.

"Nah ayo kita nikmati kemenangan kita yang pertama ini!"

🔆🔆🔆🔆

Tuan Kajin mengadakan pesta kecil di Desanya untuk merayakan kebebasan mereka dan sebagai rasa terima kasih mereka pada kami.

"Pahlawan Cahaya, terima kasih banyak atas bantuannya!"

"Terima kasih! Terima kasih banyak, Tuan, Nona!"

"Terima kasih sudah menolong kami dan membebaskan kami, Pahlawan Cahaya."

Beberapa warga itu terus mengucapkan terima kasihnya pada kami semua yang kemudian hanya bisa kami jawab dengan senyum dan anggukan. Terlihat jelas sekali rasa syukur dan lega mereka. Aku senang melihatnya! Aku senang bisa membantu mereka!

Kini, aku sedang duduk satu meja dengan Rose, Kei, Hiro dan Oren. Kami mulai membicarakan rencana besok sambil menikmati hidangan pesta yang merupakan hasil buruan warga.

"Jadi, kita akan benar-benar pulang besok?" tanya Rose antusias.

"Iya, kita pulang ke Istana. Setelah itu, kita akan menunggu perintah selanjutnya dari Ratu Elina," jawab Kei.

Rose tampak sedikit kecewa. "Tidak bisa langsung kembali ke dunia manusia ya?"

"Entahlah. Misi pertama kita memang beres, tapi pasti masih ada banyak misi lainnya, kan?"

"Em, kau benar, sih," Rose mengangguk setuju. "Perjalanan kita masih panjang, ya...?"

"Lalu, rencana 'menyucikan' itu berhasil, kan?" tanyaku.

"Sepertinya iya, mungkin yang dimaksud 'menyucikan' disini adalah membasmi atau mengusir Iblis-Iblis yang tinggal disini. Misi kita memang berhasil, namun populasi Dwarf disini semakin sedikit."

"Iya, kau benar, Kei..." —Rose.

"Begitu ya, sudah kuduga!"

"'Sudah kuduga' apa?" —Hiro.

"Iya aku sudah menduga jika arti 'menyucikan' itu membasmi atau mengusir Iblis-Iblis yang tinggal disini!".

"Benarkah?"

"Iya! Aku gak bohong!" Kok Hiro menyebalkan ya? Jadi kesel, arrgghhh!!!!

"Anu, aku boleh tambah dagingnya?" —Oren.

"T-tentu, Tuan."

"Lalu bagaimana dengan kaburnya Leo?" tanya Rose lagi.

"Leo ya? Entahlah, aku belum memikirkan itu," anak laki-laki berkaca mata itu mengaduk-aduk gelas minumannya. "Menurutku, sudah terlambat jika ingin menghentikan Leo. Letaknya sekarang saja kita tidak tahu. Bagiku, mencari Leo sekarang itu adalah hal yang percuma. Tapi, yang harus kita pikirkan sekarang adalah kedatangan Para Pilar besok!"

Aku meneguk ludah ku susah payah. Mendengar nama 'Para Pilar' saja sudah membuatku merinding!

Tapi, entah kenapa disisi lain...

"Hee..."

...rasa membunuh kami meningkat.

"...menarik."

"Tuan dan Nona Pahlawan Cahaya, mohon maaf atas kelancangan saya ini."

Tiba-tiba saja Kajin datang ke meja kami dan menundukkan kepalanya. Sepertinya dia ingin mengajak kita bicara.

"Ah, Tuan Kajin. Ada apa?"

"Sebelumnya saya mohon maaf sebesar-besarnya karena permintaan egois yang akan saya sampaikan ini!" Dwarf tua itu semakin dalam menundukkan kepalanya.

"Tidak apa-apa, katakan saja Tuan Kajin," ujar Kei.

Ingat kan dia ketua di kelompok ini? Dia berhak memutuskan apapun.

"Tolong, selamatkan Putri saya!"

🔆🔆🔆🔆

"Bagaimana, Clarissa?"

"Emm... Sebentar lagi," jawab gadis kecil itu.

"Ah, kau lambat sekali, bocah!"

DUAKK!!!

"Sudah kubilang, jangan sentuh dia!" tajam Sang Phoenix, Caliose.

"Tidak, kok. Tadi aku hanya ingin menepuk nyamuk yang tidak sengaja lewat," kilah Lee.

"Clarissa, jika kau keberatan dengan tugas ini, serigala-serigala kami bisa mencarinya sendiri," ujar Vixti yang sudah sedikit kesal karena menunggu gadis kecil itu melacak terlalu lama.

Kala itu, mereka —Para Pilar— tengah berada ditengah-tengah hutan perbatasan. Willson —Sang tangan kanan Raja itu menyuruh Clarissa untuk melacak keberadaan Para Pahlawan Cahaya itu. Namun sampai sekarang, gadis kecil itu belum berhasil menemukan letak keberadaan mereka.

"Ck, payah!" umpat Zian.

"Ketemu!" sahut gadis itu yang seketika mengalihkan atensi semua orang disana.

"Dimana?" tanya Willson.

"Desa Dwarf."

"Eh? Bukankah... itu tempat asalnya Uvult? Benar kan, Uvult?" tanya Galileo.

"Hehe..." yang ditanya malah tertawa kecil sendiri, "...ini akan menjadi pertarungan yang menarik."