IWY-4

Author POV

"Na?." Panggil Revan.

"Kenapa?." Jawab Sabina.

"Aelah cuek banget sih lo." Ucap Revan.

"Iya Revano yang ganteng tapi gak ganteng-ganteng banget." Dengan senyum manis dengan sedikit kesan terpaksa Sabina mengucapkan kalimat itu.

"Kok tumben ngomong panjang lo na?" Tanya Revan sambil menaik turunkan alisnya.

"Dasar sinting! Mau lo apaan sih!." Sinis Sabina sedikit berteriak.

"Hehe ya maap." Ucap Revan sambil cengengesan.

"Kita mau kemana sih?!." Ketus Sabina.

"Ada deh. Tidur aja dulu, masih lama nyampeknya." Ucap Revan sambil memandangi jalanan dari balik kaca mobilnya.

"Hm."

Satu jam perjalanan berlalu, kini mereka sampai di tempat tujuan mereka.

Pantai.

"Eunghh." Lenguh Sabina saat merasa ada yang menepuk pipinya pelan.

"Udah sampe, ayo." Sabina diam lalu beranjak mengikuti Revan. Revan yang melihat itu langsung mensejajarkan langkahnya dengan Sabina lalu mengenggam tanganya.

"Ngapain jalan di belakang gue? Lo bukan bodyguard gue." Ucap Revan.

"Iya iya." Sahut Sabina

Hanya ada canggung diantara mereka berdua. Saling diam. Hingga mereka sampai. Sabina sangat terpukau dengan pemangangan yang dilihatnya. Dia tak berhenti berdecak kagum saat ini.

"Woahh bagus banget van." Ucap Sabina dengan mata yang berbinar.

"Lo suka?." Tanya Revan.

"Suka banget." Jawab Sabina dengan mata yang masih berbinar.

Setelah perbincangan singkat itu, mereka diam dan menikmati angin malam. Sabina sudah mulai mengantuk, dengan kepala yang sudah menyandar dibahu Revan sejak tadi. Sabina perlahan menutup matanya. Revan yang merasa Sabina sudah tertidur pun binggung dengan keadaan.

"Aelah pakek acara tidur, gimana cara balikin dia pulang sih?" Monolog Revan.

"Yaudah gue bawa keapartemen aja." Ucap Revan pada dirinya sendiri.

Malam semakin larut. Kini mereka tertidur dengan Revan yang memeluk Sabina yang tertidur dengan damai. Sabina pun merasakan kenyamanan dan makin terlelap dalam tidurnya.

***

05.03, Apart Revan.

Author POV.

"Hoammm." Sabina menguap ketika ada cahaya masuk melalui sela-sela gorden.

'Loh kok gue ada disini, ni juga apaan kenapa ada tangan orang meluk gue dari belakang.' Ucap batin Sabina.

"Huaaaa Revan lo apain gue, hus hus sana huaaaa." Teriak Sabina melengking hingga Revan terkejut.

Duk

"Awsss.." Revan meringis ketika dia terjatuh dari atas ranjang.

"Aelah na santai dong sakit nih bokong montok gue." Desis Revan.

"Lo ngapain pakek peluk-peluk gue, hua gue bukan cewek murahan." Ucap Sabina yang mulai mengeluarkan isakan tangis.

"Lah na jangan nangis dong, gue ga gelakuin apa-apa kok suer deh." Ucap Revan sambil mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya menunjukan peace. 

"Gue takut lo ngira gue murahan karna mau tidur sama lo." Ucap Sabina.

"Yaudah yuk pulang." Ucap Revan menenangkan.

Setelah percakapan singkat tersebut, Revan mengantarkan Sabina pulang kerumahnya.

***

07.15, Mansion Edward.

Di kediaman keluarga Edward, Sabina hanya bisa diam dan memikirkan bagaimana nasibnya setelah ini. Ia kadang iri dengan Mey, kenapa bisa dia mendapatkan kasih sayang seperti ini. Bahkan Sabina juga ingin merasakan senangnya jika dilimpahi kasih sayang.

Ceklek

"Darimana saja kamu!? Pergi malam pulang pagi, mau jadi jalang kamu hah?!" Bentak Edward.

"Bukan urusan anda, saya lebih bisa mengurus diri saya sendiri." Ucap Sabina dengan raut wajah yang datar.

"Bicara yang sopan Sabina! Kamu sedang berbicara dengan papamu!" Bentak Edward yang mulai marah.

"I don't care." Ucap Sabina sambil memainkan kuku-kuku dijari lentiknya.

Plak

Plak

Mata Sabina membulat sempurna ketika merasakan Papanya menampar pipi kanan serta kirinya. Rasanya panas sekali, tapi lebih sakit dihati. Sabina juga tak sengaja melihat kearah Mey yang menerbitkan seringaiannya.

"Cukup Sabina, selama ini papa sabar dengan sikapmu. Dimana etikamu ketika berbicara dengan yang lebih tua? Apakah kamu memang tidak punya sopan santun? Bicaralah! Kenapa kamu selalu menghindar ketika kami menanyakan kamu kemana, apakah salah jika kami hanya ingin tau?" Tanya Edward pada Sabina yang masih memegangi pipinya yang terlihat memerag.

"Just enough pa. Cukup! Papa dan mama sudah kehilangan hak untuk menanyakan setiap hal yang Sabina lakukan diluar sana. Memangnya apa peduli kalian? Yang kalian tau Sabina hanya akan mencelakakan Mey bukan? Dia hanya anak angkat, kenapa kalian begitu membelanya? Sebenarnya siapa disini yang anak pungut HAH?!" Jelas Sabina panjang lebar dengan emosi yang sudah sampai kepala. Rasanya ingin meledak.

Plak

Plak

"Cukup Sabina. Kenapa kamu selalu menjelek jelekan Mey? Apa salahnya padamu? Dasar kamu ini anak tidak tau diuntung. Lihatlah Mey jelas lebih baik darimu!." Bentak Luna terus membela Mey.

"Lo gausah sok baik didepan mereka Mey. Kalo busuk ya busuk aja! Jijik gue liat muka lo, muak!" Ucap Sabina sambil menunjuk kearah Mey yang sudah mulai menangis.

"Kamu ini kenapa Sabina? Mey itu adikmu, kenapa kamu tidak sopan kepadanya?!" Tanya Edward yang sudah emosi dari tadi.

"Kenapa harus sopan kepada seorang jalang?" Tanya Sabina dengan wajah datarnya.

Plak

Bruk

Bugh

Sret

Duk

Seketika rasanya runtuh dibagian hatinya. Sakit sekali, tubuhnya ambruk. Rasanya lebih sakit karena yang melakukan adalah orang tuanya. Kenapa selalu Mey yang diperhatikan?

"Ini sakit." Batin Sabina merintih kesakitan.

Rasanya Sabina sudah tak kuat untuk berdiri. Rasa sakit hati dan fisiknya sudah semakin sakit.

"Bawa saja dia kegudang belakang pa, beri dia hukuman karena menghina putriku." Ucap Luna dengan penuh penekanan.

"Gausah ma kasian," Lirih Mey yang masih bisa didengar.

Sabina tau itu hanya sebuah topeng agar dia terlihat baik dan sempurna.

"Lihatlah, didikanku memang tak salah. Dia tetap berbaik hati padamu walau kau sudah menghinanya." Ucap Luna.

Sabina masih terdiam karena lidahnya terasa kelu walau hanya untuk mengucapkan sepatah kata.

"Bawa saja dia, kunci gudangnya! Aku sudah muak melihat mukanya!" Perintah Edward pada maid dimansionnya.

"Jangan beri makan dia untuk hari ini dan besok! Makanan Hari ini hanya untuk kami, bukan untuk dia! Dia bukan bagian dari kami!" Tegas Edward.

"Bbaikk t-ttuan." Ucap maid tersebut lalu membawa Sabina kegudang belakang.

"Maaf non, kami tidak ingin dipecat. Kami akan beri nona makan nanti." Ucap maid tersebut.

Sabina hanya merespon dengan senyuman lalu memejamkan matanya. Rasanya sakit sekali, sakitt.

***

19.00, Mansion Farisky.

Author POV.

"Aduh gimana nih, Sabina gue chat gak bales lagi. Gimana nih dia kalo dimarahin. Aduh bego banget sih gue." Gumam Revan sambil mondar mandir dibalkon kamarnya.

Ceklek

Pintu kamar terbuka, tapi ternyata Revan belum menyadari bahwa bundanya berada dibelakangnya sambil menatap heran kearah Revan.

"Aelah pusing banget kepala gue mikirin Sabina Arghhhh." Teriak Revan.

"Van, kamu ini kenapa sih. Tiba tiba teriak, terus siapa Sabina itu? Kenapa sampai pusing? Dia berharga dihidup kamu ya? Aduhh kenalin dong." Tanya Bundanya beruntun.

"Satu-satu bun, Revan lagi pusing nih." Ucap Revan yang kesal dengan pertanyaan beruntun dari mulut bundanya.

"Iyaiya cepet jawab." Ucapnya sedikit memaksa.

"Revan pusing bun. Sabina itu temen baru Revan, sekelas lagi. Ya karena mikirin Sabina lah. Maybe. Iya nanti kalau dia mau." Jawab Revan beruntun juga.

"Yaudah besok ya. Oh iya jangan lupa makan malam, bunda tunggu sama ayah dibawah." Ucap bunda lalu beranjak dari kamar Revan.

Ah rasanya pusing sekali sehari ini. Revan masih memikirkan Sabina. Apakah dia sudah makan? Apakah dia dimarahi? Revan benar benar khawatir kali ini.

"Besok aja deh tanya-nya." Gumam Revan lalu beranjak untuk cuci muka dan segera makan malam bersama keluarganya.

***

06.35, An'S High School

"Pagi mapren." Teriak Revan dari balik pintu.

"Lo laki tapi suka teriak van!" Ketus Rachel.

"Gapapa kali, sekali kali hehe." Ucap Revan sambil cengengesan.

"Sabina mana hel?" Tanya Revan.

"Tumben nanya Sabina van." Ucap Alan.

"Gatau, kayanya gamasuk deh van." Ucap Rachel.

"Aduh bikin gue makin khawatir aja sih." Gumam Sabina yang masih didengar oleh Axel.

"Lo kenapa khawatir gitu?" Tanya Axel.

"Gatau."

***

Mansion Edward.

Sabina Pov.

"Aduhh, gimana nih. Mana gue laper banget lagi! Tega banget sih keluarga gue." Gumam gue sambil meratapi nasip.

Gue cuma mikir gimana caranya keluar dari sini. Tempat gelap. Aduhh gue harus balas dendam. Gue benci sama keluarga ini.

Gue muter-muter digudang ini dan akhirnya nemu celah. Ada jalan selain pintu utama. Gue langsung kabur lewat situ. Gue loncat gerbang dan langsung nelpon suruhan gue buat jemput gue.

"Jemput saya dibelakan mansion keluarga Edward."

"Baik miss."

***