Pertemuan kita lima tahun yang lalu masih jelas diingatanku. Saat pertama kali aku memasuki ruangan kelas di lantai 5 gedung kampusku.Aku langsung dipaku pada seorang gadis yang sedang melamun melihat keluar jendela. Terlihat rambut panjang hitamnya yang tergerai dan bergerak lembut dibelai angin yang memasuki ruang kelas. Kaget dan segaligus kagum, karena menemui satu perempuan di kelas yang biasanya hanya didominasi oleh para pria.
Aku masuk jurusan ini sebenarnya ada alasannya, salah satu alasannya tidak ingin ketemu makhluk yang bernama perempuan. Entah sejak kapan, aku mulai mengidap penyakit kelainan jika bertemu dengan perempuan. Bahkan waktu SMP kelas VII aku sampai pingsan.Saat itu aku mendengar sayup sayup suara perempuan berteriak memanggil namaku.
Dan itu tidak terjadi satu atau dua kali. Setiap berada di samping perempuan adrenalin ku langsung naik lalu aku pingsan. Aku sudah lupa kejadian jelasnya, yang pasti aku tidak sanggup melihat perempuan. Lebih tepatnya semenjak aku melihat bundaku meninggal gantung diri, karena tidak tahan melihat perubahan sikap ayah.
Bi Inah yang mengetahui kondisiku ini menyarankan pada Ayah untuk aku sekolah di rumah saja (home schooling). Hanya saja sampai sekarang Bi Inah tidak pernah bilang pada Ayah tentang penyakitku. Bi Inah yakin penyakit yang aku alami lambat laun pasti akan sembuh. Tapi nyatanya sampai saat aku hampir tamat perguruan tinggi penyakit itu belum juga sembuh.
Sudah lima tahun lamanya aku belajar di rumah. Perempuan yang ku kenal hanyalah Bi Inah seorang.Bi Inah dan suaminya Mang Hasan tidak dikaruniai anak, sehingga mereka sangat senang saat bunda mengajak bi Inah untuk tinggal di rumah. Waktu itu usiaku baru dua tahun, saat Bi Inah datang ke rumah.Aku sangat dekat dengan Bi Inah dan mang hasan daripada dengan orangtuaku. Bunda memang pulang setiap hari, tetapi pergi pagi dan pulang malam. Jarang sekali aku berinteraksi dengan mama.
Perempuan adalah makhluk yang sangat aneh bagi diriku. Aku juga baru sadar saat aku sudah sekolah di rumah.
"Den… den Bagus bangun" suara lembut perempuan yang sangat akrab denganku mengusik tidur malam ku yang indah.
"ya bi, bentar lagi" kataku seraya menarik kembali selimut menutupi kepalaku.
"Udah jam tujuh den, nanti gurunya keburu datang" kata bi inah lagi.
Bi inah terus berusaha membangunkanku. Dan akhirnya akupun terbangun dengan rasa malas menyelimutiku. Aku melangkahkan kaki dengan lemas ke kamar mandi yang berada di kamarku. Rutinitasku di kamar mandi pasti dari kaki dulu yang aku basahi. Sambil mengingat kembali pelajaran apa yang akan dipelajari hari ini.
"Hari ini belajar sama om om killer atau sama mamy cantik ya??" kataku sambil terus mengusap badanku yang sudah dipenuhi air sabun.
Semenjak SMA Bi Inah mulai membolehkan guru perempuan mengajar diriku.Kata dokter sekalian untuk terapi. Kondisi ku seperti ini karena aku rindu bunda. Tetapi di lain sisi aku juga masih suka terbayang bunda yang meninggal di depan mataku.
"Aku kangen bunda" pikiranku entah melayang kemana.
Dulu walaupun jarang ketemu bunda, tapi aku masih bisa merasakan kehangatan bunda dan wanginya saat tiduran dipangkuannya.
"Den…. Den…. Ayo cepatan mandinya. Kita sarapan den" ketukan pintu mbok inah membangunkan ku dari lamunan tentang mama.
"Iya mbok, dikit lagi" sahutku.
Beginilah rutinitas setiap hari, sekolah di rumah.Makan sendiri, bahkan main juga sendiri. Benar-benar hampa hidup tanpa teman. Tapi sudah mulai membiasakan diri, apalagi setelah menemukan hobi baru yang cukup menyita banyak waktuku. Dan mempunyai rumah yang lengkap segala fasilitas hiburan tidak membuatku merasa sedih, hanya sedikit sepi.
"Ting…. Tang… Tung… " bunyi bel rumahku. Itu artinya guruku sudah datang. Sambil sedikit bermalas – malasan duduk di depan TV, aku melirik sedikit untuk melihat siapa guru yang datang hari ini. Aku melihat sekilas kaki putih yang jenjang dengan rok berwarna hijau berbentuk A yang menutupi lutut serta dipadankan dengan blus berwarna krem. Sungguh gaya berpakaian seperti gaya bunda memadukan warna. Aku sangat suka dengan guru ku yang satu ini.
Dengan sedikit berpura-pura tidak melihat kehadirannya, aku masih asyik melihat TV yang sebenarnya tidak sedang ku simak acaranya. Aku ingin sekali mendengar suara Bu Ani memanggil namaku, seolah bunda sedang memanggil. Aku benar-benar sedang kangen sama bunda.
"Selamat pagi bagus" sapa manis bu Ani dengan senyum yang merekah dari bibirnya.
"Pagi bu" jawabku sambil membalas dengan senyum yang agak kecut, karena menahan rasa senang bertemu kembali dengan bu Ani.
"Ayo kita mulai belajar ya yuk" kata bu ani Akupun bangun dari tempat ku dan pergi ke samping bu ani. Kami selalu belajar di tempat ini. Meja pendek yang agak besar dengan beralaskan permadani yang lembut yang selalu dijaga kebersihannya dari debu oleh bi inah.
"Silahkan minumannya bu" kata bi inah yang sudah tiba di depan kami dengan membawa teko berisikan teh melati, dua buah cangkir dan beberapa cemilan.
"Terimakasih, bi" jawab bu ani. Bahkan gaya bicara Bu Ani lagi-lagi mengingatkan pada bunda. "bunda kenapa cepatnya kau tinggalkan aku" suara hatiku menjerit sedih. Tanpa terasa air mata mulai jatuh di pipi ku. Padahal sudah daritadi aku berusaha untuk menahan diri, tapi ternyata tetap tidak bisa. Air mata ini terus mengalir dengan deras, walau suara tangis sedikit ku tahan.
Bi Inah sudah pergi dari hadapan kami, sehingga dia tidak sempat melihat air mataku. Sedangkan Bu ani yang sedang sibuk menata buku untuk memulai belajar tiba-tiba terkejut melihat air mata yang terus mengalir.
"Bagus, kamu kenapa nak?"Tanya Bu Ani panik.
"Kamu sakit?"Tanyanya lagi, karena aku tidak kunjung menjawab pertanyaan Bu Ani.
"bunda….." teriakku semakin membuat aku menangis lebih kencang lagi. Ku rasakan tangan lembut Bu ani membelai pipi ku mencoba menghapus air mataku. Dan tanpa sadarpun aku meletakkan kepalaku di paha Bu Ani seperti yang sering aku lakukan bersama bunda dulu. Bu Ani pun membelai lembut kepalaku. Saat itu aku sudah duduk di kelas XI tapi kenapa aku merasa kelakuanku masih seperti anak TK yang merindukan bermanja-manja di pangkuan bunda.
Isak tangisku mulai mereda karena belaian lembut Bu Ani. Namun tiba-tiba aku merasa seluruh badanku panas, kepala ku berat.Kehangatan kasih sayang Bu Ani tadi tiba-tiba terasa menjadi panas di tubuhku. Bukan panas kenapa, tapi panas yang ditimbulkan oleh tubuhku. Bahkan aku tidak kuat untuk bangun dari posisiku tersandar di kaki Bu Ani.
Bu Ani yang daritadi membelai kepalaku tersadar bahwa suhu tubuhku berubah menjadi panas. Dan bahkan panas tubuhku sampai dirasakan Bu Ani di pahanya, padahal kain rok Bu Ani sangatlah tebal.
"Bi... Bi Inah, tolong" Teriak Bu Ani panik karena melihat bola mataku sudah memutih. Aku sudah tidak bisa merasakan apa-apa saat itu. Dan aku teringat saat pingsan di sekolah, hanya bisa mendengar suara orang berteriak panik tanpa bisa menggerakan badanku.
Bi Inah dan mang Hasan langsung datang setelah mendengar teriakan Bu ani. Dan mang Hasan segera membopong dan berlari aku ke arah mobil, mobil pun segera melaju ke Rumah Sakit terdekat dari rumah. Aku masih setengah sadar saat sampai di rumah sakit. Tapi setelah dokter memasukan jarum infus ke tanganku, aku mulai tidak mendengar apa apa lagi.
Jam menunjukan pukul dua siang sekarang. Mbok Inah masih terduduk lemas di samping ranjangku. Dan pasti mbok Inah sudah menghubungi Ayah, dan seperti biasa Ayah tidak akan bisa segera pulang ke Jakarta. Entah di mana keberadaan Ayah tepatnya saat ini, setiap minggu pasti lokasi Ayah berubah-rubah terus. Seminggu di Londan, seminggu di Singapura, seminggu di Jepang dan entah di mana lagi bahkan aku tidak hafal jadwal Ayah yang sangat padat.
Sedikit demi sedikit aku mulai tersadar, membuka mataku berlahan dan melihat langit langit rumah sakit serta mulai mencium aroma bau rumah sakit.
"Den… Den Bagus sudah sadar?"Tanya bi Inah saat tahu aku sudah membuka mataku.
Aku hanya menjawab dengan anggukan lemas.
"Ini masih di rumah sakit ya, bi?" tanyaku sambil memegang kepalaku karena masih merasakan sedikit pusing.
"Iya den, den istirahat aja. Nanti bibi panggilin dokter" katanya
"Ga usah bi, bagus sudah ga papa kok bi" kataku sambil berusaha bangun dari tidur, walaupun masih terasa sangat berat.
"Tidur aja den, jangan memaksakan diri dulu" paksa bibi sambil menahan selimutku agar aku tidak bangun dari posisi tidur.
"Udah ga papa kok bi" kataku lagi karena aku tidak mau membuat Bi Inah khawatir. Aku memang nakal dan jail sama Bi Inah, tapi hanya sebatas ingin manja dengannya. Tapi aku paling tidak suka membuat Bi Inah khawatir, karena tinggal dia satu-satunya ibu yang aku punya saat ini.
"Bi kata dokter aku sakit apa?" Tanyaku pada Bi Inah yang sedang mengupas buah apel.
"penyakit lama den Bagus kambuh lagi, sepertinya den bagus masih belum bisa diajar sama Bu Ani" kata bibi
Setelah ku pikir-pikir, memang aneh. ini sebenarnya sudah pertemuan yang ke empat aku belajar dengan Bu Ani, tetapi kenapa sekarang aku mulai kambuh lagi ya. padahal aku sudah mulai senang akhirnya tubuhku sudah dapat menerima makhluk yang namanya perempuan. tetapi ternyata belum bisa. sepertinya aku memang harus mengontrol emosiku.
"Bu Ani dimana bi?" tanyaku penasaran karena aku tidak melihat sosoknya di ruangan ini.
"Tadi setelah mengantar den bagus ke rumah sakit, Bu Ani menangis dan terus terus minta maaf. Katanya dia ga tau kenapa aden bisa begini" Kata bi Inah menjelaskan kondisi bu Ani.
"Trus, sekarang Bu aninya mana bi" tanyaku lagi penasaran, karena jelas itu bukan salah Bu Ani.
"bibi suruh Bu ani pulang aja den, bibi kasian ngeliat Bu ani yang bengong saja menunggu aden sadar" kata bi Inah lagi sambil menyuapin potongan apel kecil ke mulutku.
"Kasian bu ani, padahal kan dia ga salah apa apa" kataku masih tetap penasaran apa penyebab penyakitku ini. Terlintas rasa ingin tahu, apa yang terjadi pada diriku. Tiba-tiba aku mau mencoba diriku pada bi Inah.
Setelah dipikir-pikir bi Inah sudah sangat lama tidak pernah menyentuhku lagi. Terakhir bi Inah menyentuhku, membelaiku seperti anaknya sendiri saat aku duduk di kelas V SD. Saat itulah aku bilang ke bi Inah untuk tidak memperlakukanku seperti anak TK, karena aku suka malu sendiri karena merasa sudah besar.
Dengan pelan pelan aku ambil tangan bi Inah, dan menciumnya layaknya mencium tangan orangtua saat ingin berpisah. Tentu saja bi Inah terkejut dengan apa yang aku lakukan.
"Ada apa den" Tanya bi Inah, sambil memegang tanganku dengan kedua tangannya yang sudah mulai keriput.
"Gak ada bi, cuma pengen salaman aja sama bi Inah" kataku berdalil mencari alasan yang tepat.
"Den ini, kirain bibi ada apa, bikin bibi kaget aja" kata bi inah sambil membelai lembut rambutku. Kemudian tangan bi inah sudah beralih lagi ke piring apel yang tadi sedang dia pegang.
Aku lalu memperhatikan tubuhku, melihat apakah gejala tadi terjadi lagi saat ini.tapi seperti dugaan ku salah, tidak terjadi apa apa. Apa mungkin pengaruh obat pada infus yang masih terpasang ditanganku. Maka sejak itulah aku tahu apa yang membuat penyakit ku adalah emosi yang berlebih terhadap perempuan dan aku harus sedia obat di sakuku untuk mencegah jika sewaktu waktu kambuh. Tapi obat itu tidak menyembuhkan hanya bersifat sementara saja.
"Ciplak… ciplak… ciplak…" suara langkah lari beberapa orang yang masuk ke dalam air laut menyadarkanku. Dan sedikit cipratan air laut kena ke wajah ku.
"Hei, bro ngapain cuma dipinggir pantai aja… ayo sini masuk ke laut bareng kita-kita" ajak Roy. Dan aku lihat Andre juga ikut masuk ke laut, padahal hari masih sangat pagi. Udaranya pun masih sangat dingin.
"Ga ah, kalian aja… Dingin" Kataku sambil mengusap-usap otot lenganku.
"Kenapa semalam tidak tidur?"Tanya seseorang dengan suara lembutnya yang tiba-tiba muncul dan duduk di sampingku. Suara yang sudah sangat aku hafal.
"Ga kenapa napa, cuma ga ngantuk aja" jawabku.
"Lagi ada masalah?"Tanya dia lagi.
"masalahku kamu manis" jawabku walau hanya di dalam hati. Tapi aku hanya mengekspresikan dengan gelengan dan sebuah senyuman yang aku tahu pasti membuat wajahnya merona.Hampir semua perempuan yang melihat senyumanku pasti langsung tersipu malu atau langsung berbisik bisik dengan sesama temannya.
Sebenarnya saat mukanya merah merona seperti saat ini, ingin rasanya aku mendaratkan tanganku untuk sekedar membelainya. Bahkan kalau bisa bukan hanya tangan yang ingin menyentuh pipinya yang merah dan sangat menggemaskan itu.Tapi apalah dayaku, aku harus bisa mengontrol perasaanku.wahai perempuan pujaan hatiku, kapan aku bisa mengungkapkan dan meluapkan isi hatiku dengan sepenuh hati.