PART 1

Sang surya mulai menampakkan diri,

Sinarnya menyebar ke seluruh bumi, termasuk rumahku. Sinar mentari pagi mampu menembus sela sela rumahku yang berlubang karena telah rapuh.

Semilir angin hangat seolah mengajak ku untuk bangun dari mimpi dan mewujudkannya.

Ku buka mataku perlahan, dan ku nikmati hangatnya suasana pagi di desaku ini.

Kutatap hamparan sawah luas di depan rumah yang kecil nan tua ini.

"Dina..." Suara lembut memenuhi seisi rumah, suara yang setiap pagi memanggilku untuk bersiap menimba ilmu, suara yang penuh dengan kasih sayang selalu mengingatkanku akan waktu, suara lembut itu adalah suara ibuku.

Meski keluargaku tidak berkecukupan, namun aku tak pernah sedikit pun kekurangan kasih sayang dari kedua orang tuaku.

Aku anak kedua dari dua bersaudara. Kakakku sudah menikah dan tinggal bersama suaminya.

"Iya buk" Jawabku sedikit dengan suara keras, karena aku tengah berada di luar rumah, menikmati pemandangan sawah yang padinya sudah mulai menguning, dan udaranya yang sangat sejuk.

"Udah siang nak..." Ibu mengingatkan ku untuk segera mandi dan pergi ke sekolah.

"Iya buk" Aku pun segera mandi dan bersiap pergi sekolah.

******

Langkah demi langkah kaki mulai ku tapakkan menuju sekolah. Ditemani hangatnya sinar mentari pagi dan jalanan yang masih sepi.

Sesampainya di sekolah,

"Pagi Dina ku" Sapaan hangat yang hampir setiap hari ku dapat darinya. Dia yang selalu ada untukku, dan selalu menemani hari hari ku. Dia adalah sahabat terbaikku, Putu.

Aku dan Putu sudah seperti pinang di belah dua. Pasalnya sikap dan perilaku kita berdua sama. Meskipun kita berbeda suku dan agama, namun perbedaan itulah yang membuat kita menjadi dekat dan selalu bersama.

"Pagi juga Putu" Sapa ku balik padanya yang juga tidak kalah hangat.

Baru saja kami ingin bebagi cerita, namun bel masuk pun menghentikan niat kami berdua. Kami pun duduk di bangku kita, dan bersiap untuk belajar.

*****

Masuk jam ke 3, aku mulai merasa bosan mendengarkan pelajaran. Namun hati ini terus berkata jika aku tidak boleh bosan dan harus tetap mendengarkan pelajaran agar aku mendapat ilmu yang bermanfaat, yang bisa kujadikan bekal untuk menjadi seorang "Perwira AAU".

Perwira, Perwira, dan Perwira.

Kata itulah yang selalu memenuhi pikiranku.

Apakah nanti aku bisa mengikuti persyaratan dan tes yang begitu ketat?

Akankah aku terpilih menjadi salah satu putri terbaik dari seluruh putra putri yang ada, dari sabang sampai merauke?

Akankah aku bisa menyandang gelar "Letnan dua"?

Akankah aku mampu menerbangkan burung besi yang begitu besar?

Semua pertanyaan itu memenuhi pikiranku. Kadang ingin sekali rasanya menyerah, namun hati ini terus berkata bahwa aku pasti bisa.