Hujan lebat diiringi gumuruh serta kilatan petir mewarnai malam kota Jakarta. Tahun sudah memasuki bulan penghujan, bulan Februari. Disebuah rumah di depan pintu masuk, seorang perempuan menunggu kedatangan seseorang dengan raut wajah cemas bercampur khawatir.
Disisi lain seseorang itu masih berkutik dengan pekerjaan yang tidak kian habis. Dilihatnya jam tangan yang bertengger dilengan kirinya telah menunjukakan pukul sembilan malam. Tidak ingin membuat khawatir orang rumah lelaki itu beranjak membereskan berkas-berkas milah mana yang akan ia bawa pulang.
"Ayo pak, kita pulang". Ajak lelaki itu pada sopir pribadinya. Bapak itu mengangguk mengikuti tuannya.
Dibukanya payung yang sadari tadi dibawanya. Lalu, memayungkan tubuh tuannya.
Keheningan menyelimuti kedua insane yang berada di dalam mobil, sampai suara decitan ban dan aspal yang saling bergesekan membuka pembicaraan mereka.
"Ada apa, pak?". Tanya Rendra saat pak Udin tiba-tiba ngerem.
"Anuk tuan, kayaknya nabrak orang". Jawab pak Udin gugup.
Tanpa mempedulikan hujan lagi, mereka keluar memastikan bahwa mereka telah menabrak seseorang. Dihadapannya seorang wanita sedang memeluk tubuhnya sambil menangis.
"Permisi mbak, mbak baik-baik saja?". Tanya pak Udin. Ia yakin ia belum menabrak wanita itu.
Wanita itu hanya menangis membuat kedua orang pria itu kebingungan. "Pak bawa ke mobil saja". Usul Rendra.
Sesapai di dalam mobil, wanita itu berteriak kea rah Rendra. "Kenapa kalian tidak membunuhku?". Ucap wanita itu.
"Maksud, mbak apa ya?". Tanya Rendra heran dengan perkataan wanita itu.
"Kalian harusnya membunuhku, menabrakku. Sudah tidak ada gunanya aku hidup, aku lebih baik mati saja". Ucap wanita itu lagi.
"Kalau mau mati, nggak usah dijalan mbak, nyusahin pengendara lain. Kalau boleh saran, gantung diri aja di pohon tauge". Ucap pak Udin kesal. Menurutnya wanita dihadapannya ini hanya berdrama mencari lelaki kaya seperti di film-film yang pernah ditontonnya.
"Pak Udin, jaga bicara bapak". Peringat Rendra.
"Kita ke rumah skait terdekat pak". Perintah Rendra saat wanita itu pingsan, wajahnya sedikit pucat dengan bibir mulai membiru kedinginan.
Pak Udin kesal dengan tindakan yang diambil Rendra menurutnya wanita itu hanya pura-pura pingsan untuk mendapatkan simpati dari tuannya.
Rendra menunggu dengan cemas di lorong rumah sakit, sementara pak Udin masih bersikap santai, ia kukuh dengan pendapatnya sendiri bahwa perempuan itu hanya akan memanfaatkan majikannya.
Pintu salah satu ruangan terbuka menampilkan sosok seorang dokter menggunakan snelli bersama seorang perawat. Dokter itu menggantungkan tensimeter pada lehernya. Sementara perawat itu membawa lembaran kertas berupa riwayat pasien.
"Siapa diantara kalian yang merupakan suami pasien?". Tanya dokter itu ramah.
"Kami-". Ucapan pak Udin terpotong oleh ucapan Rendra.
"Saya". Ucap Rendra tanpa berpikir panjang.
Astaga, ingin sekali pak Udin menyumpah serapah majikannya yang terlalu gegah mengambil tindakan tanpa mempertimbangkan bagaimana kedepannya. Ia takut, jika keputusan yang diambil Rendra akan berdampak pada Acha. Baginya Acha sudah ia anggap anak sendiri, ia tidak ingin melihat anaknya terluka meskipun mereka sama-sama majikannya.
"Tolong perhatikan dengan baik istri bapak, jangan sampai dia berpikir terlalu berat yang berdampak pada kehamilan anak bapak. Kalian sudah bisa menjenguknya". Ucap dokter itu memberi saran.
Saat memasuki ruangan tempat wanita itu dirawat, wanita itu sudah sadar dan memecahkan pas bunga yang diletakkan di nangkas, samping tempat tidurnya. Wanita itu mengambil salah satu pecahan kaca, berniat mengakhiri hidupnya.
"Jangan gegabah, tindakanmu hanya akan mempersulit orang lain". Ucap Rendra ia tidak habis pikir dengan jalan pemikiran perempuan dihadapannya. Sebegitu ribetkah pemikiran wanita.
"Kenapa bapak membiarkan saya hidup?, tidak ada gunanya saya hidup, saya tidak punya siapa-siapa di dunia ini, suami saya selingkuh dan meninggalkan saya". Keluh wanita itu.
"Istigfar mbak, mbak masih punya Allah, kalau mbak lupa". Gereget pak Udin, mulutnya gatal untuk berbicara.
Mendapat sorotan tajam dari majikannya pak Udin tidak takut sama sekali, ia tidak takut akan dipecat, itu semua ia lakukan demi Acha.
Dalam hati sebenarnya Rendra membenarkan ucapan pak Udin. Tapi melihat kondisi perempuan dihadapannya membuat ia kasihan.
Tidak mempedulikan ucapan pak Udin, perempuan it uterus menyakiti dirinya.
"Apa dengan mengakhiri hidup dengan bunuh diri, kamu bakalan terlepas dari masalah. Masalah terbesarmu saat akan diminta pertanggungjawaban oleh Allah". Ucap pak Udin. "Kamu jangan pernah merasa hanya kamu yang punya masalah, setiap manusia mempunyai masalahnya sendiri". Tambah pak Udin. Pak Udin kemudian mengutip ayat dalam al-quran, surat al-Ankabut ayat 2 dan tiga.
"apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "kami telah berima", sedang mereka tidak diuji lagi?. Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta".
"Kita di dunia ini hanya utuk singgah mempersiapkan bekal kita untuk akhirat. Ujian yang kita terima di dunia ini, hanya untuk menguji kita apakah kita masih pantas untuk tinggal di surganya Allah atau kita sudah lupa dengan tujuan hidup kita. Terbuai dengan dunia yang fana ini. satu lagi Allah tidak pernah membebankan masalah kepada umatnya melainkan kesanggupan umatnya itu sendiri". Jelas pak Udin membuat yang ada disana terdiam.
"Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku". (Qs. Adz-Dzariyat: [51]:56)
"Ingat ayat ini, karena ini tujuan kita hidup beribadah kepada Allah". Ucap pak Udin menutup ceramahnya.
"Aku sudah tidak sanggup menerima cobaan yang Allah berikan kepadaku". Ucap perempuan itu kepada pak Udin.
"Benarkah?, begitu lemahnya dirimu wahai perempuan. Lantas apa yang kamu inginkan sekarang?". Ucap pak Udin tajam.
Rendra hanya diam menyaksikan pembicaraan dua insan yang ada di hadapannya tidak berniat mengintrupsi.
Perempuan itu terdiam membisu, ia tidak tahu apa yang ia inginkan sekarang. Ia merasa dengan mengakhiri hidupnya semua akan selesai.
"Berpikirlah baik-baik wahai perempuan, semua yang kamu lakukan ada kuesekuensinya". Ucap pak Udin mulai melunak.
"Lantas apa yang harus saya lakukan?. Terlalu berat bagi saya untuk memulai dari awal, saya tidak punya siapa-siapa yang akan mendukung saya". Ucap perempuan itu akhirnya.
"Kamu masih ragu akan Tuhanmu". Ucap pak Udin sinis. Ia mengira perempuan itu akan berubah setelah mendapat wejangan darinya. Akan tetapi sama saja, wanita itu tidak berubah sama sekali.
"Saya akan membantumu". Putus Rendra mendengar perdebatan antara sopir dan perempuan itu, menurutnya perdebatan ini tidak aka nada akhirnya.
"Dengan apa kamu membantu saya?". Tanya perempuan itu, ada sinar harapan tersorot dalam matanya. Hal itu tidak luput dari pengawasan pak Udin. Ia merasa jijik dengan perempuan penjilat.
"Saya akan menikahi kamu". Ucap Rendra setelah beberapa menit terdiam.
"Tuan". Teriak pak Udin, ia sudah tidak peduli lagi dengan statusnya. Menurutnya tindakan yang dilakukan Rendra adalah perbuatan yang salah yang akan menyakiti perasaan Acha. "Tuan sudah punya istri, bagaimana dengan istri tuan, apakah tuan akan menyakiti istri tuan hanya untuk perempuan baru yang ada dihadapan tuan?". Tanya pak Udin dengan napas memburu.
"Jangan beri tahu Acha". Ucap Rendra lemah menyadari kesalahannya. Tapi ia tidak mungkin menarik ucapannya, ego laki-lakinya berteriak, ia bukan orang yang mudah menarik ucapannya.
"Saya bisa saja tidak memberitahu nyonya, tapi ingat sedalam apapun tuan menyimpan bangkai, pasti akan tercium". Ucap pak Udin memperingati.
"Dan kamu wanita dengan menikahi lelaki yang sudah beristri sama saja kamu menyakiti sesama perempuanmu, wanita macam apa yang dengan tega menyakiti kaumnya sendiri". Tunjuk pak Udin marah, walau begitu ia masih menjaga nada bicaranya terhadap dua orang dihadapannya itu.
"Pak Udin duluan pulang, bilang ke Acha kalau saya nginep di kantor". Putus Rendra.
Dengan berat hati pak Udin mengikuti ucapan Rendra, ia memberikan kunci mobil kepada Rendra dan memesan sebuah taksi.
Sesampai di rumah, pak Udin membuka pintu utama, karena biasanya Acha akan menunggu kedatangan suaminya disana. Benar dugaan pak Udin, Acha sudah tertidur memeluk lututnya di belakang pintu. Untung saja ia hanya membuka satu pintu, jika keduanya sudah dipastikan Acha akan tersungkur.
Tidak tega melihat majikannya seperti itu, air mata pak Udin luruh membasahi pipinya. Begitu mulianya perempuan dihadapannya, disaat para perempuan berlomba mempercantik diri dengan kemewahan, perempuan ini malah hidup bersahaja dengan kemewahan yang dimilikinya.
"Nyonya". Ucap pak Udin sambil menepuk pelan bahu Acha.
Mendapat tepukan di bahunya, Acha tersadar. "Astagfirullah, pak". Ucap Acha terbangun dari tidurnya.
"Mas, Rendra mana?". Tanya Acha yang melihat pak Udin hanya seorang diri.
"Tuan, nginap di kantor". Bohonng pak Udin.
Ada raut kecewa melihat orang yang ditunggu memilih menginap di kantor ketimbang pulang. Menyembuyikan raut kecewanya, Acha tersenyum soraya bertanya. "Pak Udin belum makan malam kan?". Tanya Acha dengan sopan.
Pak Udin mengangguk, ia yakin bahwa majikannya belum menyentuh masakannya. Terbukti dari hidangan yang tersedia di atas meja masih utuh.
Acha kembali menghangatkan beberapa makanan yang perlu dihangatkan.
Melihat begitu telatennya Acha di dapur membuat hati pak Udin terenyuh sakit melihat kebaikan majikannya yang berbuah asam.
"Loh, kenapa pak Udin nangis?". Tanya Acha melihat air mata yang mengalir dipelupuk mata orang tua yang sangat berjasa.
"Bapak, hanya kangen sama anak bapak. Usianya tidak beda jauh sama kamu, dia juga masih kuliah sama sepertimu". Bohong pak Udin. Sudah berapa kali hari ini ia membohongi majikannya.
"Gitu toh pak, tak kirain bapak sedih karena apa". Ucap Acha tersenyum ramah. "Kalau bapak rindu sama anak bapak, bapak bisa kok anggap Acha sebagai anak bapak". Tambahnya lagi.
"Terima kasih, nak". Ucap pak Udin terharu.
"Sekarang bapak makan ya, biar tidurnya lelap". Ucap Acha menuangkan nasi dan lauk ke piring kosong dan memberikanya kepada pak Udin.
"Nak, Acha tidak makan?". Tanya pak Udin melihat Acha hanya mengambil makanan untuk dirinya.
"Nggak pak, Acha masih kenyang". Kilah Acha, rasa laparnya telah menguap sejak pak Udin megatakan bahwa Rendra menginap di kantor. Padahal ia ingin mengajak Rendra makan di rumah pohon meraka. Rasanya ia sudah lama tidak makan disana. Terakhir mereka makan disana sebelum Acha wisuda.
"Nak, bapak tahu kamu belum makan. Kamu nunggu suami kamu". Tapi bukan berarti kamu harus menyiksa diri dengan menahan lapar. Makanlah sedikit walaupun kamu tidak nafsu makan". Ucap pak Udin membaca kegelisahan dihati Acha.
Tidak ingin berdebat dengan pak Udin, Acha mengambil satu senduk nasi dan memasukan beberapa lauk kedalam piringnya. Memasukan satu sendok nasi kedalam mulutnya. Ia berusaha ceria dihadapan pak Udin, ia tidak mau membuat orang tua dihadapannya itu khawatir.
"Kalau makan dengan lahap seperti itu bapak senang litany". Ucap pak Udin melihat cara makan Acha yang kembali bersemangat.
Acha hanya tersenyum menanggapi ucapan pak Udin. Ia harus bisa tetap semangat apa pun keadaannya jika tidak ingin membuat orang lain khawatir.
Selesai makan, Acha membersihkan piring kotor dan merapikan tempat makan, kemudian beranjak ke kamarnya. Ia masih memikirkan suaminya, apakah suaminya telah makan atau belum disaat hujan tidak ada tanda mau berhenti.
Dinyalakan laptopnya, mengetik naskah cerita yang belum selesai ia tulis. Baru satu lembar ia mengetik, semangatnya kembali runtuh. Ia sedang tidak bersemangat untuk menulis. Ia kemudian memilih menonton anime yang belum ia tonton berharap itu dapat menenangkan hatinya.
Waktu terus berjalan, detik demi detik, menit demi menit. Sekarang menunjukan pukul tiga dini hari, Acha masih terjaga, ia masih menanti kedatangan suaminya, siapa tahu Rendra tiba-tiba ingin pulang.
Dimatikan laptopnya kemudian beranjak ke kamar mandi mengambil air wudhu menunaikan sholat tahajud. Sholat tahajud bagi sebagian ulama berpedapat boleh dilakukan walaupun tidak pernah tidur sedikitpun, atau terjaga sepanjang malam, ada juga ulama berpendapat bahwa sholat tahajud dilaksanakan saat terbangun dari tidur. Menurut Acha pendapat itu tidak ada yang salah, tergantung dari keyakinan kita dan niat kita sesungguhnya.
Usai sholat dan berdoa, Acha membuka mushaf Alqur'annya membaca ayat demi ayat hingga azan subuh berkumandang. Setelah selesai menjawab azan, seperti biasa sebelum sholat subuh Acha menunaikan shalat fajar terlebih dahulu.
Usai ibadah, seperti biasa Acha menuju dapur membuat sarapan untuk dirinya, Rendra dan pak Udin. Semoga saja suaminya pulang pagi ini.
"Assalamualaikum pak Udin, udah ada kabar dari mas Rendra?". Tanya Acha saat pak Udin sedang mencuci mobil.
"Belum ada, nak". Ucap pak Udin prihatin.
"Baiklah pak, minta tolong antar sarapan untuk mas Rendra ke kantor ya. Sepertinya mas Rendra belum sarapan". Ucap Acha. Lalu masuk kedalam rumah.
Acha kembali menemui pak Udin dengan membawa rantang yang berisi nasi dan lauk pauk. "Pak Udin sarapan sama Acha ya, Acha tunggu setelah anterin makanan buat mas Rendra, kita sarapan bareng". Ucap Acha. Ia tidak ingin sarapan sendiri.
Pak Udin mengangguk patuh, ia kemudian menyalakan mesin mobil kemudian berjalan meninggalkan rumah besar itu, memecah jalan raya ikut bergabung dengan pengendara lain.