Setelah mengantar suaminya Acha memilih bersih-bersih rumah lantaran ia akan ke kampus lebih siang dari biasanya. Ia sudah janjian konsul dengan dosennya di sebuah kafe yang tidak jauh dari kantor suaminya. Ia setuju bertemu disana agar lebih dekat mengantar makanan untuk suaminya.
"Assalamualaikum pak, maaf saya terlambat". Ucap Acha melihat dosennya sudah datang duluan, ia menjadi tidak enak hati.
"Nggak apa apa Cha, saya baru selesai berbicara dengan klien saya". Ucap Rian mengibaskan tangannya.
"Duduk, Cha!". Ucap Rian melihat Acha masih saja berdiri di hadapannya. Matanya ia belum bisa alihkan pada rantang makanan yang Acha bawa. Ia tahu rantang makanan itu untuk suami Acha.
Ada perasaan iri masuk kedalam relung hati Rian, betapa tidak melihat orang yang dikasihnya begitu telaten memberi perhatian diatas kesibukannya sebagai mahasiswa tingkat akhir. Padahal bisa saja suami Acha membeli makan diluar, agar Acha tidak perlu repot membawa makanan untuknya. Ia tahu itu merupakan inisiatif dari Acha. Sungguh wanita yang sholehah. Memikirkan itu hatinya kembali sesak, ia belum sepenuhnya menghilangkan perasaannya walaupun sekeras apa pun ia mencoba, berapa kali ia mengatakan pada dirinya bahwa perempuan yang ada dihadapannya bukanlah perempuan single yang belum ada pemiliknya.
"Pak". Ucap Acha menyadarkan Rian dari lamunannya.
"Eh, iya, Cha". Ucap Rian tersadar dari lamunannya. Ia sedikit malu didapati mahasiswanya sedang melamun. Menetralkan jantungnya, Rian memasang wajah serius.
Setelah menerima hasil revision Acha, tanpa mengucapkan kata apa pun, Rian membaca skripsi itu dengan serius. Memperhatikan satu persatu kata yang tersemat dalam tulisannya.
Sesekali kening Rian mengkerut, kadang disertai anggukan kecil membuat Acha harap cemas memperhatikan dosennya itu.
Rian menghela napas meghadap ke mahasiswa bimbingannya". Skripsimu sudah bagus dari sebelumnya, hanya perlu beberapa perbaikan ditempat yang sudah saya beri tanda, setelah itu kamu bisa mengajukan untuk ujian.
"Terima kasih, pak". Ucap Acha tulus. Ia merapikan berkasnya dan memasukannya ke dalam tas ransel yang dibawa.
"Kalau begitu saya permisi dulu, Assalamualaikum" Ucap Acha hendak bergi meninggalkan Rian.
"Tunggu, Cha". Ucap Rian sambil memegang tangan Acha yang hendak pergi. Acha melirik kea rah tangannya yang dipegang Rian, dari sorot mata Acha memberi isyarat untuk dilepaskan. Sayangnya Rian tidak peka akan hal itu.
Sementara disisi lain, ada sepasang mata yang menatap mereka dengan perasaan penuh amarah.
"Mohon maaf, pak bisa lepaskan tangan saya". Ucap Acha halus.
"Oh, maaf". Ucap Rian reflek menjauhkan tangannya dari Acha.
Acha terdiam menunggu kalimat selanjutnya dari Rian. Melihat Acha yang diam ia kemudian mengutarakan keinginannya itu. "Cha, temanin saya makan ya, saya belum sarapan dari tadi, setelah klien saya pergi, kamu datang hingga akhirnya saya tidak sempat memesan makanan". Curhat Rian panjang lebar.
Tidak enak hati, ia menjadi penyebab Rian belum sarapan, Acha merasa bersalah, meskipun itu bukan kesalahan Acha sepenuhnya.
Acha mengangguk mengiyakan. Ia kembali duduk pada posisi sebelunya.
Tidak ingin berlama Rian memanggil seorang pramusaji untuk mendekat kearahnya, memesan beberapa makanan dan minuman, tidak lupa dengan Macha Latte minuman kesukaan Acha. Dari mana ia tahu itu, ia sering melihat Acha membeli minuman itu dikantin fakultas.
Setelah pramusaji itu pergi Rian mencoba membuka pembicaraan memecahkan keheningan diantara mereka. "Cha, habis ini apa kamu akan lanjut S2?". Tanya Rian.
"Belum tahu pak, tapi keinginan saya untuk S2, ada pak". Jujur Acha.
"Kamu sudah pikirkan mau kemana?". Tanyanya lagi.
"Sudah pak". Jawab Acha mantap.
"Kemana?".
"Saya ingin ke Belanda, Inggris atau nggak ke Jepang".
"Alasan kamu milih negara-negara itu?". Tanya Rian semakin penasaran. Ia selalu penasaran dengan isi kepala orang yang ada dihadapannya ini.
"Saya ingin ke Belanda karena selain kita masih menggunakan kitab undang-undang hasil konkordasi dari mereka, saya ingin mengkaji apa yang melatarbelakangi kejahatan di Belanda semakin berkurang malah hampir tidak ada isi penjara disana".
"Kalau Inggris". Tanya Rian tidak sabaran, ia terlalu semangat mendengar alasan Acha sampai ia tidak sadar ia telah menambah volume suara. Hal itu tidak luput dari perhatian Acha.
"Inggris, karena saya ingin melihat secara langsung sistem hukum disana".
"Hanya itu?". Tanya Rian.
Acha mengangguk mengiyakan." Ke Jepang, selain merupakan mimpi saya dari dulu, saya ingin melihat rendahnya kejahatan disana karena kebudayaan atau ada unsur lain". Jelas Acha.
"Kenapa Jepang menjadi impianmu?". Tanya Rian, ia penasaran kenapa Acha lebih tertarik dengan Negara matahari terbit itu.
"Saya suka Jepang, karena Anime, kebudayaan dan bunga sakuranya". Ia memberi jeda dalam kelimatnya."Saya menyukai animasi Jepang dari sejak kecil, saya suka menontonnya, menurut saya setiap cerita yang mereka buat, tidak mudah ditebak oleh penonton, saya suka itu. Kebudayaan, saya suka karena ditengah perkembangan teknologi dan modernisasi yang merambat keseluruh dunia Jepang masih tetap menjaga kebudayaan mereka. Bungan sakura, saya suka melihatnya saat bermekaran dan tertiap angin. Ingin sekali rasanya berdiri dibawah pohon sakura sambil menikmati sejuknya angin yang menggoyangkan batang tubuh bunga sakura sampai mahkotanya jatuh tertiup angin". Cerita Acha panjang lebar. Terlihat jelas harapan dan keinginannya dari balik senyum dan binar mata hitam itu.
"Andaikan ya, Cha suamimu tidak mengizinkan kamu untuk lanjut S2 kenegara yang ingin kamu tuju apakah kamu akan tetap kesana atau menuruti kemauan suamimu?". Tanya Rian walaupun ia sudah tahu apa jawaban dari perempuan itu.
"Saya akan mengikuti apa kata suami saya, karena surge saya sudah berpindah kepadanya". Jawab Acha tegas.
Rian semakin kagum dengan Acha yang lebih memilih mengubur mimpinya disaat orang lain memilih mengejar mimpi dan karir mereka. Perempuan kecil ini memilih meredam mimpi demi sebuah kebaktian walaupun ia tahu bagaimana tekad yang dimilikinya.
"Mohon maaf pak, saya harus pergi". Ucap Acha melihat jam yang terpampang dilengan kirinya.
Acha lagsung masuk ke dalam ruang kerja suaminya setelah diberi tahu oleh sekretaris pribadi Rendra untuk menunggu di dalam.
"Mau apa kamu kesini?". Bentak Rendra membuat Acha yang baru menundukkan bokongnya terkejut.
"Assalamualaikum, mas". Ucap Acha tidak suka. Suaminya melupakan adab bagaimana seorang muslim.
"Waalaikumussalam, kamu ngapain kesini?". Ucap Rendra sarkas.
"Bawain mas makan siang". Jawab Acha polos. Ia belum tahu penyebab kemarahan suaminya adalah ia. Ia mengira bahwa Rendra sedang kesal dengan masalah kantornya.
"Aku nggak sudi makan masakan kamu". Bentak Rendra sambil merampas rantang yang ada ditangan Acha dan membuangnya sembarangan hingga isi rantang berhamburan keluar.
"Mas, kenapa sih?, datang-datang marah, sampai salam saja dilupa". Ucap Acha halus.
"Kamu yang kenapa?, bisa-bisanya kamu pergi keluar dengan lelaki lain sementara suamimu sedag kerja dikantor". Ucap Rendra mengutarakan kemarahannya.
Acha terdiam, suaminya sedang salah paham. Dengan penuh kesabaran Acha mencoba menjelaskan fakta sebenarnya kepada suaminya itu. Rasa marah dan cemburu yang mendominasi ditambah keegoisannya sebagai laki-laki membuat Rendra menyangkal penjelasan perempuan yang masih mempertahankan ketenangan diri.
"Jika memang itu dosenmu, kenapa kamu nggak konsul di kampus saja dan kenapa kamu harus menemaninya makan?". Tanya Rendra masih dengan keegoisannya.
Dengan sabar Acha mencoba menjelaskan kembali. "Mas, dosen Acha itu habis ketemu sama kliennya disana dan ia minta Acha kesana agar ia tidak bolak balik ke kampus. Acha yang nemenin pak Rian makan itu, karena kesalahan Acha yang terlalu cepat datang hingga beliau belum sempat sarapan".
Ada rasa bersalah pada diri Rendra yang sudah menuduh istrinya yang tidak-tidak namun keegoisannya membuat ia enggan meminta maaf. "Keluar, saya tidak ingin melihat kamu". Bentak Rendra.
Walaupun terkejut dengan ucapan Rendra Acha berusaha bersikap tenang. Menurutnya api tidak boleh dilawan dengan api, biarlah ia mengalah dan menjadi air untuk suaminya.menanggalkan rasa sakit dihati.
Acha berjalan kearah suaminya, menubruk badan ke suaminya. Memeluknya erat menyalurkan ketenangan yang dimilikinya. "Diamlah mas, sampai perasaan mas membaik". Ucap Acha ketika Rendra hendak memberontak melepas pelukannya.
Rendra terdiam, ada rasa tenang saat berada dalam pelukan istrinya. Amarahnya berangsung angsung hilang, ia membalas pelukan istrinya membuat hati Acha menjadi lega.
"Mas, ingat ketika Rasulullah marah kepada Aisyah lantaran kecemburuan Aisyah terhadap Khadijah". Ucap Acha menyadari Rendra sudah tenang.
Rendra hanya terdiam mengingat kembali kisah Rasulullah bersama Aisyah istri tercintanya. Saat ini posisinya terbalik dalam kisah sejarah itu. Posisinya seperti Aisyah, ia malu pada dirinya, saat istrinya mencontohi sikap Rasulullah malah ia lantaran cemburu bersikap layaknya setan. Menyakiti istrinya sendiri. Ia yakin, perempuan dalam pelukannya sedang menahan rasa sakit atas bentakan yang dilancarkannya tadi, meskipun perempuan itu tidak menunjukannya pada Rendra, ia tahu bahwa hati perempuan itu lembut dan rapuh.
"Maaf dan terima kasih". Ucap Rendra semakin mengeratkan pelukannya. Acha hanya mengangguk mengiyakan.
"Kamu pasti belum makan kan". Ucap Rendra mengendorkan pelukannya. Acha mengangguk sebagai jawaban.
"Ayo kita makan diluar". Ucap Rendra. Ia harus bisa bersikap lembut kepada istrinya. Ia adalah pemimpin dalam rumah tangganya, ia harus bisa bersikap layaknya seorang pemimpin yang diajarkan oleh Rasulullah.
Mereka kemudian keluar, tapi sebelumnya ia meminta kepada cleaning service untuk membersihkan ruangan akibat ulahnya tadi.
Rendra memilih makan disalah satu restaurant Jepang yang merupakan kesukaan istrinya itu. Rendra menyamakan pesanan dengan istrinya, ia tidak terlalu paham dengan makanan Jepang. Ia hanya mengikuti apa yang dimakan oleh Acha. Walaupun ia tidak terlalu suka dengan makanan dari negeri tirai bambu itu, terutama minuman Matcha yang sering dibeli istrinya.
"Yakin mas, makanannya disamain?". Ucap Acha yang sadari tadi tidak yakin dengan pilihan suaminya untuk makan di restaurant Jepang. Perihal dulu pernah sekali Acha mengajaknya makan disini, selera makan Rendra langsung hilang, terlebih lagi matcha yang diminumnya ia muntahkan.
"Sesekali kita makan disini nggak masalah kan". Ucap Rendra berusaha menyakinkan istrinya.
Acha mengangguk tidak yakin dengan ucapan suaminya, ia tahu suaminya hanya ingin menyenangkan hatinya saja.
Rendra berusaha memakan makanannya dengan senyaman mungkin, mengelabui istrinya, agar Acha tidak khawatir pada dirinya.
Ingin sekali ia memuntahkan minuman yang ia minum, tapi berusaha ditahannya sampai sebuah tangan menyodorkan botol taperware berisi air mineral.
"Minum mas, aku tahu mas nggak suka matcha". Ucap Acha merasa bersalah.
"Terima kasih". Ucap Rendra lalu meneguk air minum itu hingga setengah.
"Mas, nggak usah antar Acha pulang. Acha pulangnya sama pak Udin aja, biar mas bisa langsung ke kantor". Saran Acha yang diiyakan Rendra.
Sesampainya di rumah Acha segera memasak masakan suaminya. Sebelumnya ia sudah berpesan kepada pak Udin untuk menunggunya. Setelah satu jam lebih berkutik di dapur, Acha memasukan semua makanan yang telah matang ke dalam rantang, lalu memberikannya kepada pak Udin.
Acha masuk kembali ke dapur untuk membersihkan peralatan yang digunakan tadi.
Disebelah sana dengan waktu yang sama, pak Udin sudah mengantarkan makanan pesanan majikannya.
Rendra tersenyum bangga dengan istrinya yang kelewat peka, ia tidak menyangka Acha akan memasak makanan kesukaannya disaat tenaganya telah terkuras menghadapi sikapnya yang penuh emosional. Rendra mengajak pak Udin makan bersamanya, karena makanan yang dibawa cukup untuk dua orang. Disaat hatinya terluka, istrinya itu masih memperhatikan orang lain bukan hanya dirinya saja. Ia tahu, Acha membuat makanan lebih untuk dirinya dan pak Udin. Begitu mulia hati istrinya.
Mereka makan diroftoop kantor diatas kumpulan awan cerah penghias langit.
"Pak Udin, istri saya itu bidadari atau manusia?". Tanya Rendra diselama makan.
"Maksud tuan?". Tanya pak Udin tidak mengerti arah pembicaraan majikannya.
"Iya, saya bingung aja pak, dia itu bidadari atau manusia biasa. Dia selalu peka terhadap lingkungan, malahan kelewat peka. Ia tidak pernah memperlihatkan wajah marah atau kesalnya. Ia selalu tersenyum". Ucap Rendra mengingat sikap istrinya selama ini.
Mengerti arah pembicaraan majikannya pak Udin mengangguk membenarkan. Selama ini, bukan hanya Rendra yang diurus oleh Acha, tapi perhatian untuk orang tua yang sudah berpuluh tahun menjadi sopir pribadi Rendra. "Iya, pak. Setiap nyonya masak, ia juga buatin buat saya". Ucap pak Udin mengingat kebaikan majikannya. "Satu lagi pak, saya tidak pernah melihat nyonya memperlihatkan wajah marah atau kesalnya". Tambah pak Udin.
"Iya, pak". Ucap Rendra membenarkan ucapan pak Udin. Kejadian tadi saja, Acha masih bisa tersenyum disaat ia dibentak, malahan ia menjadi air untuk dirinya.
"Tapi, hati-hati tuan, biasanya orang sabar kayak nyonya itu kalau sudah dibuat kecewa, sulit untuk melupakan". Ucap pak Udin memperingati.
"Iya, pak saya tidak mau kehilangan dia, saya akan berusaha tidak membuatnya kecewa". Ucap Rendra dengan tekad membara.
Pak Udin mengamini dalam hati.