Sebuah Kejujuran (2)

Acha tersenyum saat Rendra dengan kesal meninggalkannya menuju kamar mereka. "Mandi yang harum". Teriak Acha melihat kepergian Rendra.

Setelah selesai memasak dan menunaikan ibadah. Acha menunggu Rendra pulang dari masjid.

"Assalamualaikum". Ucap Rendra namun tidak ada jawaban dari dalam rumah ia hanya menemukan sebuah anak panah dari kertas yang diberi jarak sekitar dua meter. Sambil memungut setiap anah panah, ia berpikir ide apalagi yang dibuat oleh istrinya. Istrinya memang penuh kejutan, ia sendiri tidak pernah bisa membaca apa isi kepala Acha. Semua diluar ekspektasi Rendra.

Potongan anak panah itu membawanya menuju perpustakaan umum yang dibangun dibawah tanah. Gelap, itu yang pertama di lihat Rendra hanya ada sebuah lilin sebagai penerangnya. Rendra berjalan kearah lilin, saat itu juga lampu mulai menyala, walaupun nyalanya tidak terlalu terang. Lebih terkesan romantis.

"Selamat malam suamiku". Sapa Acha dengan balutan gamis berwarna pink soft dengan jilbab terusan yang senada.

"Selamat malam humairaku". Balas Rendra.

Dengan segera, Acha duduk berhadapan dengan Rendra kemudian tangannya denngan lincah mengambil nasi dan lauk pauk untuk suaminya. Kemudian untuk dirinya.

"Terima kasih". Ucap Rendra tulus.

Acha hanya menanggapinya dengan senyum, kemudian melajutkan makanannya. Sambil sesekali Rendra bercerita tentang rutinitas kantor, hal-hal yang membuatnya ingin marah.

Acha memposisikan dirinya sebagai pendengar yang baik, sesekali memberi nasehat dan pendapat ketika diminta suaminya.

Selesai makan, Acha meminggirkan peralatan makan yang mereka gunakan ke pinggir rak buku. Bagaikan ibu dan anak, Rendra terus saja berceloteh tentang apa saja yang ia alami dari pagi hingga ia pulang dari kantor, sesekali ia menarik napas berat ketika ceritanya sampai ketitik permasalahan. Dengan sabar Acha tetap menasehati suaminya.

"Mas, masih lelah?". Tanya Acha.

"Nggak sih, Cha. tapi perasaan, mas masih dongkol aja".

"Sini". Ucap Acha menepuk pahanya, meminta Rendra untuk tiduran diatas pahanya.

Rendra menuruti permintaan istrinya. Saat ia tidur, Rendra dibuat kagum dengan apa yang ada diatasnya. Sadari tadi ia tidak menyadari hal itu, ia terlalu fokus dengan objek yang ada dihadapannya tanpa memperhatikan sekitar.

"MasyaAllah, Cha, kapan kamu buat ini". Sambil menatap langit perpustakaan yang sudah disulap menjadi langit malam penuh bintang. Meskipun bintang yang ada dihadapannya merupakan bintang buatan, tapi hal itu terlihat sangat nyata bagi Rendra.

"Sejak kapan kamu buat semua ini?". Tanya Rendra. Sudah kedua kalinya ia bertanya hal yang sama hari ini.

"Mana bisa aku buat hal sebagus ini mas, aku minta orang yang buatin. Sejak seminggu yang lalu, mereka datang waktu mas pergi ke kantor". Ucap Acha menjelaskan.

"Kamu dapat idenya dari mana sih?". Tanya Rendra penasaran.

"Dari internet. Mulanya Acha mau buat dikamar, tapi takutnya mas bosan litany jadinya aku pilih buat disini, lagian juga mas Cuma beberapa kali kesini, nggak sering jadinya nggak ngebosanin". Jujur Acha.

Rendra memeluk istrinya sayang, ia benar-benar sangat bersyukur kepada Tuhan telah memberikan bidadari yang begitu mengerti dirinya. Obat penghilang lelah dari segala aktivtas dunia. Biarlah Rendra dibilang lebay oleh masyarakat tentang perasaannya saat ini. Ia merasa sebagai orang yang paling beruntung di dunia.