"Mas…". Panggil Acha yang sadari tadi belum bisa memejamkan matanya.
Merasa dirinya dipanggil Rendra membalikan tubuhnya menghadap istrinya. "Iya, Cha?". Ternyata Rendra belum tidur juga.
"Boleh Acha bertanya?". Katanya dengan hati-hati.
"Silakan, selagi mas mampu menjawabnya". Ucapnya dengan tenang.
"Acha ingin mas menjawabnya dengan jujur tanpa ada yang ditutupi". Lanjutnya mengubah posisi tidurnya menjadi duduk menyenderkan punggungnya disenderan tempat tidur.
"Hmm..". Guman Rendra ikut mengubah posisinya.
"Apa mas ikhlas menerima perjodohan ini?".
Mendengar pertanyaan Acha membuat Rendra mengubah posisinya menghadap penuh ke istri. Ditatapnya manik hitam yang meneduhkan, mencari maksud dari pertayaan yang diajukan Acha.
"Tentu saja, Cha".
"Mengapa?".
"Karena mas menikahimu untuk menyempurnakan separuh agama mas. Luruskan niatmu Cha, jangan niatkan pernikahan ini sebagai bentuk baktimu kepada kedua orang tuamu. Tapi niatkan untuk mendapatkan Ridho-Nya". Ucap Rendra mengusap lembut tangan Acha.
Acha terkejut dengan perlakuan kecil Rendra, walau hanya sebatas mengusap tangannya, itu terasa aneh bagi Acha. Ia tidak biasa diperlakukan seperti itu, ini pertama kali ada yang menyentuh tangannya, mengusap dengan lembut. Meskipun dalam kesehariannya saat dikampus terlibat dalam kegiatan kemanusian, ia tak pernah memberikan siapa pun dengan sengaja menyentuh tangannya, seringkali ia berusaha menjaga tangannya agar tak disentuh oleh bukan muhrimnya.
"Kenapa wajahmu memerah". Goda Rendra.
Dengan segera Acha menarik tangannya. Memegang dua pipinya yang terasa menghangat. Pastilah wajahnya tengah memerah seperti tomat. Ia menutup wajahnya saking malunya.
"Kenapa harus ditutup. Aku menyukai wajahmu ketika sedang malu, seperti humaira". Rendra kembali menggoda Acha.
"Mas…, bisa berhenti menggodaku?". Ucap Acha yang masih setia menutup wajahnya.
"Sepertinya tidak bisa, itu akan menjadi hobiku setiap harinya". Ditariknya tangan Acha dari wajahnya. Ia senang sekali melihat wajah itu bersemu merah karena dirinya. Sebegitu cepatkah wanita dihadapannya ini tersipu. Sungguh lucu sekali, membuatnya gemas sendiri.
"Hey…, buka matamu, tak apa". Ucap Rendra masih dengan sisa senyuman. Sungguh bahagia yang sederhana ia rasakan. Bagaimana bisa hanya dengan melihat wajah perempuan dihadapannya bisa membuat ia begitu bahagia.
Secara perlahan Acha membuka matanya. Dilihatnya Rendra yang masih menghadap padanya dengan senyuman menawan. "Terlihat tanpan". Batin Acha, kembali membuat wajahnya bersemu. Kembali ia menutup wajahnya, ia yakin Rendra akan semakin menjadi mengodanya.
"Hey…, kenapa ditutup lagi. Buka dong". Goda Rendra lagi.
Acha menggelengkan kepalanya malu.
Rendra tak tahan dengan tingkah lucu perempuan dihadapannya itu. Sangat menggemaskan. Didekapnya tubuh Acha dalam pelukannya. Acha sempat memberontak ingin melepaskan diri. Namun kekuatannya tak seberapa dengan milik Rendra. "Biarkan seperti ini sebentar saja".
Acha terdiam. Lama-lama ia juga menikmati pelukan hangat dari suaminya itu. Sampai ia teringat ada yang harus ditanyakan lagi. Dilepasnya pelukan itu sambari menatap wajah Rendra. "Boleh bertanya lagi?".
Rendra kembali tersenyum dengan ucapan Acha. Hanya dengan kata sederhana saja sudah membuatnya tersenyum. Akankahkah kehidupan kedepannya akan dihiasi senyuman tiap harinya. Allahu'alam. "Silakan wahai humairaku".
"Sebelum aku bertanya, bolehkah aku jujur padamu".
"Hey…, sayang. Siapa yang melarangmu untuk berkata jujur. Apakah aku pernah melarangmu?". Menangkup kedua pipi Acha dan itu sukses membuatnya kembali bersemu merah.
Sambil melepas kedua tangan Rendra yang bertengger di pipinya, ia menggelengkan kepala. "Sebelum kita menikah". Ucapnya, lalu terdiam beberapa saat untuk menghirup udara sebanyak-banyaknya.
Rendra menunggu kelanjutan ucapan istrinya, tanpa mau memotongnya.
"Sebelum kita menikah, aku telah terpikat dengan seorang laki-laki lantaran senyumnya yang meneduhkan. Maafkan aku".
"Apakah kamu mencintainya". Terlihat dengan jelas perubahan eskpresi diwajah Rendra. Ada perasaan kecewa dari raut wajah itu, ternyata istrinya menyukai laki-laki lain. Ia mengira bahwa istrinya akan menyukai dirinya. Tapi itu salah besar. Salahkah dia jika ia berharap Acha akan menyukai dirinya. Salahkah ia mempertahankan pernikahan yang baru seumur jagung ini. atau memilih mengalah demi wanita yang dicintainya.
"Aku mencintainya sejak pertama kali melihatnya". Ucap Acha dengan mantap.
"Hmm..". Terdengar suara napas berat dari mulut Rendra. "Apakah kamu ingin hidup bersama laki-laki itu?". Tanyanya dengan berat hati.
"Semoga kamu mau memilihku". Batin Rendra.
Acha terdiam beberapa saat memperhatikan wajah orang yang ada dihadapannya.
"Katakan jika kamu ingin bersama ku, Cha"
"Iya, aku ingin bersamanya, sampai ia sendiri memita aku untuk pergi".
Seketika itu tubuh Rendra langsung lemas tak bergairah untuk hidup. Semenyedihkan inikah pernikahannya. Baru saja ia merasakan kebahagian dan kini harus berakhir begitu saja.
Acha tersenyum melihat ekspresi Rendra. " Apa kamu tak ingin bertanya siapa lelaki itu?".
"Tidak perlu itu akan membuat hatiku semakin sakit". Jujur rendra.
Acha masih tersenyum dengan peneturan Rendra. Sebegitu lemahnya kah lelaki dihadapannya ketika dipermasalahkan dengan namanya cinta. "Kamu tahu?". Tanya Acha namun tak ada jawaban dari seberang sana.
Acha terdiam menunggu reaksi dari Rendra. Namun tak ada pergerakan dari Rendra.
"Dia adalah laki-laki yang dijodohkan denganku, seorang lelaki dengan senyum teduh yang mampu menumbuhkan bunga dalam hatiku. Aku mencintainya sejak pertama kali melihat wajahnya tersenyum dan kini ia berdiri dihadapanku dengan wajah muram. Maafkan aku mas belum bisa menjaga cintaku diatas pernikahan kita".
Rendra mendongakan wajahnya, memeluk istrinya. Bagaimana ia bisa berfikir suuzon dengan istrinya sendiri. Yang membuatnya ia bahagia adalah dia lelaki itu, lelaki yang membuat seorang Kaysha Aziza jatuh cinta untuk pertama kali dan bodohnya lelaki itu sedang tidak percaya diri.
"Maaf". Cicit Rendra.
Giliran Acha yang dibuat heran oleh penuturan Rendra.
"Maaf". Ulangnya.
"Untuk apa?". Tanya Acha lembut.
"Maaf aku yang tidak seperti dirimu. Aku mempunyai masa lalu". Kembali Rendra terdiam untuk beberapa saat.
"Aku mempunyai wanita yang aku cintainya. Kami pernah berjanji untuk hidup bersama. Namun ia lebih mementingkan pendidikannya membuat kami berpisah. Ia menolak lamaranku dan mengatakan akan menerima setelah ia menyelesaikan S2 nya dan mendapatkan pekerjaan yang ia impikan".
"Kenapa mas tidak menunggunya?". Tanya Acha penasaran.
"Sampai kapan aku harus menunggu, Cha?".
Melihat Acha terdiam, Rendra melanjutkan ucapannya."Apakah sampai ia berhasil dengan gelar dan pekerjaan yang selama ini dia dambakan?. Hati manusia itu selalu berubah-ubah. Tak tetap, Cha. Lantas berapa lama lagi aku harus menunggu?, waktu terus berjalan dan usiaku pun seiring waktu terus bertambah. Aku tak bisa menunggu untuk terlalu lama dengan ketidak pastian yang ia ciptakan".
"Bagaimana jika suatu saat nanti ia datang?". Tanya Acha.
"Entahlah Cha, mas nggak tahu. Yang terpenting mas janji akan selau mencintaimu".
Acha terdiam. Bukan jawaban itu yang dia mau, yang ia mau apa yang akan dia lakukan ketika perempuan itu datang apakah akan mempertahankan ikatan yang sudah mereka ciptakan ataukah memberikan perempuan itu masuk ke kehidupan mereka. Acha tak pernah menyukai orang yang berjanji yang tidak tahu dimasa depan ada apa.
"Ayo kita tidur, kamu pasti sangat lelah. Istirahatlah". Dimatikannya lampu tidur dan menaikan kembali selimutnya.
***
Setelah mengantar sanak saudaranya dan mertuanya. Mereka mengemasi barang-baranng memasukannya ke dalam koper.
Setelah itu Rendra menarik koper dan menggengam tangan Acha dengan tangan sebelah kanan. Setiap kali Rendra menggenggam tangannya, ia selalu terkejut. Namun lama kelamaan ada rasa hangat menjalar ketubuhnya.
"Kita langsung pulang ke rumah ya". Ucap Rendra setelah mereka berada dalam BMW hitam miliknya.
"Rumah yang akan kita tinggali". Sambungnya lagi.
Acha hanya mengangguk.
"Tapi kita ke mini market dulu ya, soalnya nggak ada bahan makanan yang bisa dimasak". Lanjut Rendra yang dibalas anggukan oleh Acha.
Setelah membeli keperluan dapur dan beberapa barang lainnya mereka langsung menuju rumah baru yang dibeli Rendra. Saat sedang memasak tubuh Acha tiba-tiba menegang ketika sebuah tangan kekar memeluknya dari belakang.
"Masak apa sayang?". Tanya Rendra menaruh dagunya di bahu Acha.
"Mas, Acha lagi masak, jangan ngeracokin dong". Pinta Acha yang wajahnya sudah memerah atas panggilan sayang Rendra.
"Mas bantu ya". Melepas pelukannya dan mengambil pisau mulai memotong wortel yang ada disampingnya.
"Nggak usah mas, mas duduk aja disana, atau nonton tv". Ucap Acha yang masih malu atas perlakuan Rendra.
Tiba-tiba Rendra meringis kesakitan sontan membuat Acha mengalihkan pandangannya dari ayam yang sedang di gorengnya.
"Tuh kan mas, udah Acha bilang, ngeyel sih, kan jadinya kayak gini". Omel Acha membuat Rendra mau tak mau tersenyum dengan raut khawatir Acha yang terlihat lucu dimatanya.
Dengan telaten Acha membersihkan darah yang keluar dari telunjuk tangan kiri Rendra menggunakan air mengalir dari washtafel sampai darah itu benar-benar berhenti keluar. Setelah itu ia mengambil kotak P3K yang selalu tersimpan di dalam tasnya.
"Cha". Panggil Rendra saat Acha tengah fokus mengobati Rendra.
"Hmm".
"Ada bau gosong, nyium nggak?".
"Astaga mas, Acha lupa kompornya belum dimatiin". Dengan segera Acha berlari menuju dapur mengecek masakannya yang sudah pasti gosong tak tertolong.
"Maaf, Mas, delivery aja ya masakannya gosong. Kalau mau masak lagi pasti lama, ntar mas keburu laper". Ucapnya kembali menemui Rendra dengan wajah menunduk.
Diraihnya dagu Acha agar ia bisa melihat wajah istrinya yang tengah menunduk merasa bersalah. "Nggak papa sayang, kita delivery aja, lagian kamu juga pasti capek kalau masak lagi". Perlakuan tersebut sontan kembali membuat wajah Acha bersemu merah. Melihat itu, Rendra menjadi gemas ingin sekali ia kembali menggoda istrinya. Namun diurungkan karena perutnya berbunyi.
Acha terkikik mendengar bunyi aneh di perut suaminya. "Kayaknya mas, laper banget ya?". Tanya Acha yang sudah tahu jawabannya.
"Udah berani ya?". Mulai menggelitik tubuh Acha.
"Mas, geli. Cukup, cukup". Pinta Acha yang tentunya tak diindahkan Rendra. Alhasil mereka main kejar-kejaran di dalam rumah sampai suara bel menginstrupsi kegiatan mereka.
"Siapa?". Tanya Rendra melihat kearah Acha. Setahunya rumah yang mereka tinggali belum banyak yang tahu kecuali kedua orang tuanya.
"Kayaknya makanannya sudah dating mas". Tebak Acha.
"Siapa yang mesan?". Tanya Rendra mengekori Acha yang brejalan kearah pintu.
"Aku mas, pas di dapur tadi".
Rendra tersenyum, ternyata istrinya memiliki pemikiran jauh dalam bertindak. Ia saja sudah lupa kalau ingin memesan grabfood.
Setelah kepergian abang gofood, Acha menyiapkan makan siang untuk mereka. Dengan telaten ia menuangkan nasi dan lauk pauk yang telah dibelinya. Rendra tersenyum dan berterima kasih. Setelah membaca basmallah, mereka pun mulai menyantap makanan.
Usai makan Acha membereskan piring kotor. Saat Rendra hendak membantunya Acha menahan tangan Rendra. "Mas, duduk aja ya". Digenggamnya tangan yang menahannya lalu menggelengkan kepala." Kita cuci sama-sama ya". Ucap Rendra yang dibalas anggukan oleh Acha.
Setelah membereskan ruang makan Rendra menarik tangan Acha menuju ruang televisi. Rendra menepuk bagian yang kosong disebelahya, meminta Acha untuk duduk disampingnya. Saat Acha sudah duduk, Rendra merangkul pinggang Acha agar semakin dekat dengan dirinya. Hal itu kembali membuat Acha terkejut, setelah rileks Acha menaruh kepalanya dibahu Rendra mencari posisi yang nyaman untuk menonton. Tinggi badan Acha yang hanya sebahu dari Rendra mempermudah ia menemukan posisi yang nyaman.
Merasa bosan dengan tayangan ditelevisi membuat Acha merubah posisinya. Ia tertidur dipaha Rendra. Tak tega melihat itu, Rendra membopong tubuh Acha menuju kamar. Dibaringkannya tubuh Acha dan ikut berbaring disebelahnya.
****
Pagi harinya Acha sudah sibuk di dapur, sementara suaminya sedang menonton berita di tv. Setelah selesai memasak, Acha segera membersihkan diri, pagi ini ia akan konsul masalah skripsinya. Maklumlah mahasiswa tingkat akhir.
"Mas, untuk makan siangnya nanti Acha antar ke kantor ya?". Ucapnya sambil merapikan dasi Rendra.
"Nggak usah ca, mas bisa makan di kantin kantor. Kamu istirahat aja di rumah". Tolak Rendra. Bukan tidak mau Acha mengantarkan makanan ke kantornya. Akan tetapi ia tidak mau merepotkan istrinya terlebih istrinya sekarang sedang sibuk dengan tugas akhirnya.
"Nggak apa apa mas, itu sudah menjadi tugasnya Acha". Kekehnya.
"Terserah Acha sudah, mas sudah menasehati. Mas hanya ingin kamu fokus sama tugas akhir".
"Biarkan Acha mencari pahala lewat berbakti pada mas". Ucap Acha keras kepala.
"Baiklah. Tapi kamu nggak boleh naik taksi ya, biar pak Udin yang antar jemput kamu".
Acha mengangguk paham.
"Ayo kita sarapan". Ajak Rendra.
Mereka sarapan dalam keadaan hening hanya ada suara dentingan sendok yang beradu dengan piring. Usai sarapan dan membersihkan peralatan makan mereka langsung berangkat.
"Nanti kalau pulang minta pak Udin yang jemput ya?". Ucap Rendra sesampai di gerbang kampus Acha.
"Iya, mas". Jawab Acha lalu mencium pungung tangan suaminya.
Saat akan membuka pintu mobil, Rendra memanggilnya. "Iya, mas?". Tanya Acha bingung.
"Ada yang kelupaan". Senyum Rendra.
"Apa, mas?". Tanyanya lagi. Seingatnya ia tidak meninggalkan apa pun di rumah. "Mas, lupa bawa sesuatu?". Tanyanya memastikan.
"Kamu yang lupa". Jawab Rendra.
"Acha nggak lupa apa-apa mas. Handphone, map, berkas, dompet bawa". Ucap Acha mengabsen satu persatu barang yang ada dalam tasnya.
"Sini". Ucap Rendra meminta Acha untuk mendekat. Acha mengikuti perkataan suaminya. Setelah mendekat Rendra mendaratkan kecupan pada kepala Acha sontan hal itu membuat wajah Acha memanas, sudah dipastikan bagaimana rupa wajah Acha sekarang. Sungguh ia malu, walaupun Rendra itu adalah suaminya.
Acha memegang kedua pipinya. Ia masih mematung ditempatnya. Rendra semakin dibuat gemas. Dicubitnya hidung bagir Acha. "Sudah sana, nanti dosennya marah nungguin kamu". Usir Rendra.
Setelah kembali tersadar, Acha buru-buru membuka pintu mobil dan berlari menuju gerbang. Bagaimana ia bisa semalu itu, padahal Rendra selalu mengecup kepalanya setiap kali akan berangkat ke kantor.
"Assalamualaikum, Cha" Sapa Attaya yang melihat Acha duduk di depan ruang dosen.
"Waalaikumussalam, At". Balas Acha.
"Pak, Rahman sudah datang, Cha?". Tanya Atthaya.
"Sudah. Barusan beliau datang". Jawab Acha.
"Kalau begitu aku duluan ya, Cha". Ucap Atthaya kemudian masuk kedalam menemui dosen pembimbingnya.
Tak lama kemudian seorang dosen muda datang menjijig tas laptop tidak lupa dipunggungnya sebuah ransel yang penuh dengan skripsi mahasiswa bimbingannya. "Masuk, Cha". Melihat siswa bimbingannya yang duduk di depan ruang dosen.
Setelah memberikan arahan dan beberapa masukan pada Acha dosen muda itu bertanya untuk menuntaskan rasa penasarannya sadari tadi. "Boleh bapak nanya, Acha?". Tanya Rian dosen pembimbing Acha.
"Silakan pak, semoga saya bisa menjawab pertanyaan bapak"
"Apakah kamu sudah menikah?". Tanyanya penasaran.
"Alasan bapak menanyakan hal seperti itu apa ya pak?". Tanya Acha. Menurutnya pak Rian tidak pantas menanyakan hal pribadinya.
"Karena baru kali ini saya melihat cincin dijari manis kamu?". Jujur Rian.
"Iya pak, saya sudah menikah. Itu juga alasan saya beberapa minggu kemarin saya tidak ada di kampus. Jika hanya itu yang bapak tanyakan, saya permisi dulu pak". Ucap Acha tidak nyaman dan langsung keluar dari ruangan Rian.
"Aku telat, mungin kamu bukan takdirku". Batin Rian melihat kepergian Acha hingga hilang dibalik pintu.
Setelah menghubungi pak Udin, Acha berdiam diri di pos satpam sambil membaca novel yang belum ia selesaikan.
Melihat tuannya yang sedang fokus membaca novel, pak Udin membunyikan klakson menandakan kedatangan dirinya. Namun sayangnya Acha tidak menghiraukannya lebih tepatnya tidak mendengar panggilan pak Udin. Pak udin keluar dari dalam mobil menemui majikannya.
"Assalamualaikum non, ayo pulang". Sapa pak Udin sambil memegang pundak majikannya.
"Astagfirullah pak. Ngagetin Acha aja". Ucap Acha sambil mengelus dadanya.
"Assalamualaikum non". Ucap pak Udin mengulang salamnya yang tidak dijawab Acha.
"Waalaikumussalam, pak". Jawab Acha.
"Non, kalau baca novel serius benar sampai sekeliling nggak diperhatiin". Keluh pak Udin sambil mengendarai mobil.
"Maaf pak, lagi seru". Cengir Acha.
"Non, suka banget ya baca buku?". Basa basi pak Udin walaupun ia tahu sendiri jawabannya.
"Acha hanya tersenyum sebagai jawaban, itu dapat dilihat dari cermin dalam mobil.
"Pak tungguin Acha ya, jangan kemana-mana. Acha mau masak sebentar aru anterin mas Rendra makan siang ke kantor". Pesan Acha sambil berlari kecil kedalam rumah.
"Baik, non". Patuh Pak Udin.
Satu jam berkutik di dapur, makan siang untuk suaminya sudah jadi. Acha langsung keluar menemui pak Udin yang setia menunggunya.
"Pak, ini buat bapak. Sekarang anterin Acha ke kantor mas Rendra ya". Pinta Acha yang dianggukan pak Udin.
"Permisi mbak, mas Rendranya ada?". Tanya Acha kepada sekretaris Rendra.
"Apakah mbak sudah membuat janji dengan pak Rendra". Tanya Amira sekretaris Rendra.
"Sudah, mbak". Jawab Acha ramah.
Amira kemudian mengantar Acha keruangan Rendra.
"Assalamaualaikum, mas". Sambil mengetok pintu ruangan Rendra.
"Waalaikumussalam, masuk!".
Rendra tersenyum melihat kedatangan Acha membawa rantang berisi makan siang untuknya.
"Mas piknik yuk". Menghampiri Rendra yang duduk di kursi kebesarannya.
"Kapan?". Tanya Rendra mendengar ucapan Acha yang tiba-tiba minta untuk piknik.
"Sekarang". Ucap Acha dengan senyum tulusnya.
"Mas, cuma punya waktu sampai jam dua, sayang". Ucap Rendra lembut, ia takut membuat hati istrinya kecewa.
Acha masih mempertahankan senyum tulisnya. "Masih bisa kok, mas. Kita pikniknya di rofthop kantor mas". Acha menjelaskan.
Acha memang berbeda dengan wanita lain, ia memiliki pemikiran unik yang membuat suasa hati Rendra selalu bahagia. Untuk hanya sekedar makan saja, Acha dengan pimikiran uniknya mengajak ia makan di suasana dan tempat yang tidak pernah ia pikirkan sama sekali, walaupun itu dirumah. Kadang Acha mengajaknya makan malam di taman belakang rumah, di rumah pohon yang mereka bangun dan sekarang Acha mengajaknya di roofthop kantornya.
Rendra terkagum dengan apa yang ada dihadapannya, sejak kapan atap kantornya di desain seperti ini. taman mini yang menyejukkan, mirip seperti taman di rumahnya, bedanya terletak pada terop sebagai tempat berteduh dan Pohon-pohon kecil yang menyejukan mata.
"Sejak kapan?". Tanya Rendra melihat pekerjaan istrinya yang luar biasa unik.
"Dua minggu yang lalu". Jawab Acha tersenyum bahagia melihat reaksi Rendra.
"Terima kasih ini akan menjadi tempat terfavoritku". Ucap Rendra bersyukur. Ia sungguh bahagia diberikan istri secerdas dan seunik Keysha Aziza.
"Karena kita piknik, kita cuma memerlukan tikar ini". Entah sejak kapan Acha membawa tikar. Rendra tidak terlalu memperhatikan, ia terlalu terpesona dengan apa yang ada dihadapannya.
Acha membuka isi rantangnya, menatanya dan mengajak Rendra untuk segera memakan makanan yang telah ia siapkan.
Mereka menikmati makanan mereka dengan perasaan bahagia.ingin rasanya ia egois untuk meminta Acha membawakan makanan setiap hari, tapi ia sadar, jika Acha masih kuliah dan tidak tentu kapan ia akan pulang, walaupun Acha bisa saja membawakan makanan tiap hari untuknya, tapi ia tidak ingin membuat istrinya itu kelelahan yang harus setiap hari mengantarkan makanan untuknya selesai ia konsul.
"Terima kasih untuk hari ini". Ucap Rendra saat mengantarkan Acha keluar dari kantornya.
"Sama-sama, mas". Lalu masuk ke dalam mobil.
Selesai dari kantor suaminya, Acha langsung mengerjakan revisi memperbaiki sesuai dengan arahan dosen pembimbingnya. Tidak lupa ia mengambil beberapa cemilan dan minuman dingin sebagai teman untuk mengerjakan skripsi.
Lama kelamaan rasa kantuk mulai menghampirinya. Ia melakukan peregangan untuk mengusir rasa kantuknya. Hanya bertahan beberapa menit, Acha sudah tertidur pulas di meja belajarnya.
***
Suara azan Ashar berkumandang membangunkan Acha dari tidurnya. Ia bergegas mandi bersiap-siap melaksanakan ibadah sholat Ashar. Selepas sholat, Acha menuju taman mininya melihat kondisi aneka tanaman yang ia tanam, mencabut rumput liar yang tumbuh dan memangkas tanaman yang perlu dipangkas.
Alam menampakkan warna langit jingga, sang surya bersiap menuju peraduannya. Setelah selesai memetik beberapa tomat dan sayur Acha segera ke dapur membuat masakan untuk makan malam.
Dipotongnya sayuran yang ia petik tadi menjadi bagian lebih kecil. Ia berniat membuat tumis sayur, sambal madu ikan gurami dan bergedel jagung. Memasak merupakan salah satu keahlian Acha selain pemikirannya yang unik. Ia pernah berimpi suatu saat akan membuat restaurant dan toko kue. Walaupun ia tidak terlalu ahli membuat kue, ia ingin punya toko kue tradisional yang menyediakan kue khas Indonesia. Kue yang diperoleh dari buatan ibu-ibu penjual kue di pasar. Ia ingin agar para ibu itu memiliki penghasilan yang tetap dari hasil pemasokan toko kuenya.
Kembali ke dapur, tangannya yang lincah sedang mengulik sambal untuk ikan guraminya sambil menggoreng pergedel jagung. Tiba-tiba sebuah tangan masuk dicelah pinggangnya, sebuah tangan memeluk tubuh Acha dari belakang, membuat perempuan itu menegang seketika.
Setelah kembali menguasai dirinya Acha dengan lembut memita Rendra melepas pelukannya. Sayangnya, Rendra tidak mengindahkan permintaan Acha, ia malah semakin mengeratkan pelukannya ditambah kepalanya disandarkan dibahu Acha.
"Mas, geli". Ucap Acha memberontak.
Rendra hanya berdeham menanggapi ucapan Acha, terlalu nyaman untuk sekedar melepaskan pelukannya. Baginya setiap berdekatan dengan Acha selalu membawa kedamaian baginya.
"Mas, mandi sana bau". Ucap Acha mengusir suaminya.
"Walaupun bau tetap ganteng". Ucap Rendra PD.
Acha memutar bolanya malas dengan tingkat ke-PD-an suaminya itu. Semakin hari suaminya itu semakin manja pada dirinya, kadang itu membuat Acha kewalahan. Seperti saat ini, ia harus menerima diracoki kegiatan memasak.
"Mas, kalau masakan Acha sampai gosong, mas yang gantiin Acha masak selama seminggu". Ancam Acha. Hal itu sukses membuat Rendra mengangkat tangan. Ia paling tidak suka berurusan dengan kegiatan yang berkaitan dengan dapur dan Acha tahu itu.
Acha tersenyum saat Rendra dengan kesal meninggalkannya menuju kamar mereka. "Mandi yang harum". Teriak Acha melihat kepergian Rendra.
Setelah selesai memasak dan menunaikan ibadah. Acha menunggu Rendra pulang dari masjid