Selamat Tinggal Pesantren, Selamat Tinggal Indonesia

BOGOR, INDONESIA 2013.

I

" Dennis, sudah mantap niatmu untuk segera pergi meninggalkan ibu Nak?" Ustadzah Maryati, perempuan usia setengah baya itu tidak dapat menahan haru, berdiri mematung di pintu kamar. Dennis yang sedang berkemas dibantu oleh 2 orang teman santri hanya bisa terpana dibuatnya. Nanar pemuda berpostur jangkung, berkulit putih, berambut pirang dan bermata biru mengenakan kopiah putih dan baju gamis muslim itu menatap wanita paruh baya yang telah dianggapnya sebagai Ibu.

" Andaikata aku boleh memilih, aku ingin tetap ada disini, disisimu Bunda!" Dennis tercekat.

" Tak bisa kah kau menunda kepulanganmu Nak? Barang sehari saja? Rasanya Ibu belum siap melepas kepergianmu."

" Ibu, Ayah Ramlan, Kak Rahmat, Ismail, teman - teman santri, para Ustadz dan Ustadzah. Hanya kalian keluarga yang saya miliki, tapi hati saya mengatakan saya memang harus pulang, bukan hanya sekedar selembar surat visa yang saya miliki. Juga bukan karena izin tinggal saya di negeri ini sudah habis. Bukan karena kedua alasan itu, Bunda."

" Justru kau memutuskan untuk pergi disaat Ibu telah lupa, bahwa sesungguhnya kau bukan anak kandung Ibu, Nak!"

" Kepergian saya bukan berarti perpisahan kita, sampai kapanpun Ibu tetaplah Ibu saya, dan saya tetap anak Ibu meskipun saya tidak terlahir dari rahim Ibu, kita sudah ditakdirkan untuk bertemu, saling mengenal dan saling mengasihi. Ibu, Ibulah yang telah mengajarkan kepada saya, siapa Tuhan yang sesungguhnya? Kau ajari aku Al Qur'an, sehingga aku tak ragu tentang kebenaran agama yang ku anut sekarang. Semudah itukah aku melupakanmu Ibu? Insya Allah tidak!"

Percakapan antara Dennis dan Ustadzah Maryati membuat kedua teman Dennis, salah seorangnya adalah Ismail pemuda berkaki pincang yang sedang ikut membantu berkemas, hanya bisa menekan haru. Sungguh luar biasa rasa kasih sayang Ibu Maryati kepada Dennis, begitu juga sebaliknya walau diantara mereka berdua sama sekali tak ada hubungan darah.

" Ibu tidak tahu, apakah Ibu siap harus terpisah jauh darimu Nak?"

" Ibu harus yakin, saya pergi karena Allah, kepulangan saya ke tanah leluhur mudah-mudahan tidak sia-sia. Saya mohon do'a dari Ibu, mudah-mudahan saya mampu bertahan dengan cita-cita berjihad di tanah leluhur, mengenalkan indahnya Islam." Dennis bersimpuh dihadapan Ibu Maryati. Sambil berlinang air mata, Ibu Maryati membelai rambut pirang Dennis.

" Jika apa yang kamu lakukan kamu anggap sebagai keputusan yang terbaik, pulanglah Nak, tunaikan kewajibanmu, Ibu ikhlas melepas kepergianmu. Do'a Ibu akan selalu menyertaimu dimanapun kamu berada. Peganglah petuah Ibu, selama niat kita benar, Insya Allah, Allah akan selalu menyertai kita."

Ibu Maryati tidak dapat menahan air matanya lagi. Aduhai, bagaimana tidak, anak yang sejak umur 10 tahun berada dalam asuhannya, kini harus kembali pulang ke tanah asalnya. Negeri Eropa nun jauh diseberang sana. Rasanya seperti baru kemarin dia mengasuh dan membina Dennis, mengajarkan sholat, mengenalkan huruf - huruf Al Qur'an. Ah, betapa cepatnya waktu berlalu, kini Dennis telah tumbuh menjadi seorang pemuda, dan telah bisa mengambil keputusan yang menurutnya keputusan terbaik. Ustadzah tidak akan pernah tahu, dapatkah taqdir Allah akan bisa mempertemukan mereka kembali? Sambil berlinang air mata, Dennis lembut mencium jemari perempuan yang selama ini mengasuhnya, perempuan yang telah memberinya cinta kasih seorang Ibu.

Pondok Pesantren Al Fallah Bogor. Di antara hamparan sawah yang membentang luas, disitulah Dennis berdiri mengedarkan pandangan matanya yang tak terhijab. Alunan kecapi suling mengalun merdu dari smartphone pemuda bule tinggi besar itu, seakan ikut menghantarkan lamunan. Aduhai, 12 tahun lamanya sudah dia mengisi hari - harinya ditempat ini. Betapa besar jasa tanah, air dan udara bumi ini yang telah menghantarkannya menjadi pemuda dewasa. Desa kecil yang terletak di kaki Gunung Gede Pangrango ini telah menjadi saksi kisah hidup anak muda yang bernama Dennis Thompson Mc Arthur ini. Dennis tidak tahu, adakah setiap sudut desa ini yang pernah dia lewatkan? Bermain - main di pematang sawah, berenang di sungai, keluar masuk hutan di bibir gunung, menggembala ternak di tengah padang rumput, ah sungguh kenangan hidup yang takkan pernah dia lupakan selama hayat di kandung badan.

"Ya Robbal Alamin, indahnya alam ciptaanMu. Dapatkah hamba suatu saat nanti bisa kembali menjejakkan kaki disini? Hanya Engkau yang Maha Tahu tentang Taqdir jalan hidup hamba. Hamba hanya mohon kepadaMu, berilah hamba kekuatan untuk mengambil jalan ini." Dennis membathin sambil menarik nafas. Selintas keraguan sebenarnya pernah terlintas dihati Dennis ketika dia harus berani mengambil keputusan untuk segera pulang ke negaranya. Bumi Eropa, tanah leluhurnya yang sudah lama dia tinggalkan terkenal sebagai pusat peradaban abad modern. Kecanggihan teknologi, kekuatan ekonomi dan persenjataan telah lama mengangkangi bumi Eropa. Akan tetapi disatu sisi, secara ahlaq dan moral negara leluhurnya telah hancur. Dimana perzinahan dan kemaksiatan lain dengan bangga telah diklaim oleh mereka sebagai lambang kemajuan, agama sudah dianggap tidak penting lagi, moral sudah dianggap hanya slogan omong kosong belaka. Kegamangan sempat menyergap jiwa Dennis, dapatkah dia mempertahankan Aqidah Iman dan Islamnya ditengah gempuran masyarakat Eropa yang rata - rata hedonis, matrelialistis bahkan cenderung Atheis? Apalagi dengan pengaruh dari para Islamiphobia yang sengaja menggembor-gemborkan anti Islam didukung oleh antek - antek Zionis. Seperti baru saja ada peristiwa bom yang terjadi di kota Menchester, dimana peristiwa bom yang ditenggarai sebagai bom bunuh diri, telah banyak menelan korban jiwa, belum ada bukti apa – apa, otomatis tuduhan miring pun langsung tertuju ke arah kaum muslimin, mereka anggap sebagai perlakuan teroris yang ditunggangi ISIS. Dari sejarah, Dennis juga pernah membaca dan mempelajari tentang sidang kaum Zionis Yahudi International tahun 1889 di Swiss, bahwa salah satu dari agenda sidang itu membuahkan kesepakatan, benua Eropa telah menjadi tujuan mereka untuk dibuat rusuh, di acak – acak dengan agenda tunggal untuk menghancurkan Islam. Dan sepertinya, untuk yang satu ini kaum zionis mulai menjalankan rencananya. Mengapa Inggris yang dipilih untuk dikacaukan? Perkembangan agama Islam cukup pesat di negara itu, sampai berhasil menjadi agama mayoritas nomor dua setelah Kristen. Tentu saja semakin menambah gerah kaum zionis yang memang berusaha menghalangi tumbuh kembangnya Islam di bumi Eropa. Subhannallah, jantung Dennis sering berdegup kencang mengingat medan jihad yang kelak akan dihadapinya.

Namun, seorang Ustadz yang menjadi teman chatingnya di Media Sosial yang selama ini setia bersilaturakhmi dengannya tak pernah berhenti untuk menyemangati Dennis dengan mengabarkan semangat jihad para penda'wah Islam di benua biru. Dennis juga sering membaca dan melihat dari media sosial tentang sepak terjang perjuangan para mujahid ilmu menebarkan pesona indahnya Islam di Inggris, yang konon katanya di negeri leluhurnya itu agama Islam berkembang pesat. Banyak gereja dijual karena kehilangan jemaah, dibeli oleh komunitas muslim untuk dijadikan mesjid, Subhannallah setelah dijadikan mesjid malah dipadati jemaah yang mengerjakan sholat dan melakukan aktifitas keagamaan. George Bernard Show, seorang ilmuwan abad pertengahan Inggris, pernah mengatakan bahwa Islam akan berkembang pesat di Inggris. Dan sepertinya pernyataan ilmuwan itu perlahan tapi pasti mulai terwujud. Yah, hanya dari Media Sosial Dennis bisa mendapatkan banyak Informasi tentang negaranya, tentang perkembangan Islam di benua Eropa. Berhubung media Televisi di Indonesia hanya beberapa gelintir yang peduli pada Syiar Islam, hanya menayangkan sinetron dan infotainment yang tidak bermutu. Media Televisi memang ada di Pesantren, tapi oleh para pengurus lebih banyak dibiarkan mati, kecuali pada saat acara berita dan ceramah dari Ustadz/Ustadzah ternama di negeri ini. Hari - hari Dennis dan teman-teman di Pesantren banyak di isi dengan kegiatan belajar, belajar dan belajar. Khusus bagi Dennis, sesekali Chating untuk mencari Info tentang negaranya.

Dukungan semangat dari komunitas muslim di Inggris itu membuat Dennis akhirnya berani mengambil keputusan untuk segera pulang ke negara leluhur.

" Ya Allah, baru 12 tahun aku jadi Muslim, mudah - mudahan Ilmu yang kudapat dari Pondok Pesantren ini bisa kugunakan untuk kebajikan. Sungguh berat jalan yang akan ku tempuh ini ya Robb! Dan hal paling berat yang kurasakan, aku harus terpisah dari Ibu yang selama ini menjaga, merawat, mengasuh dan menyayangiku, dari Ayah yang telah banyak membimbingku, dari seorang kakak yang selalu melindungiku. Dari mereka yang telah mengajariku, dari sahabat - sahabatku!" Dennis berlinang air mata. Dia berjalan menelusuri pematang sawah, kemudian menapaki pematang yang menurun terjal menuju sungai yang berada di bawah areal persawahan, ketika langkah kakinya sampai ditepi sungai, dia sengaja turun. Mencuci tangan, kaki dan membasuh muka dengan kedua telapak tangannya. Seolah ingin merasakan untuk yang terakhir kali sejuknya air sungai bening dan bersih yang selama ini telah menemaninya. Memori masa kecilnya terpatri indah disungai berair jernih ini. Berenang, mencari ikan, menggembala kerbau sambil mandi, ah masa yang terlalu indah untuk dikenang dan takkan pernah bisa kembali.

" Ustadz, mobil Travel yang akan mengantarmu ke bandara sudah menjemput!" Teriak seorang santri yang berdiri diatas membuyarkan lamunan.

" Astagfirullohaladzim!" Dennis mengusap muka, tersadar dari lamunan.

" Ya. Aku segera kesana!" Jawab Dennis setengah berteriak.

Sedikitpun Dennis tidak menduga, keberangkatannya dari Pondok Pesantren Al Fallah akan dihantar oleh upacara walaupun sederhana oleh para Ustadz/Ustadzah dan santri. Gema do'a, Shalawat & Dzikir begitu menggetarkan Qalbu. Allahu Akbar, dada Dennis berguncang hebat. Kepergiannya diiringi oleh Do'a ratusan Santri beserta para Ustadz dan Ustadzah. Seolah – olah dia akan pergi ke medan perang, menempuh medan jihad.

" Subhannallah. Mudah-mudahan iringan dan dorongan do'a ini akan memacu semangatku untuk berbuat yang terbaik bagi agamaku ya Allah!" Dennis membathin dengan mata berkaca-kaca. Jabat erat dan peluk cium dari para santri putra dan para Ustadz, serta iringan do'a para santri putri dan para Ustadzah membuat Dennis semakin dirasuki keharuan yang makin mendalam. Subhannallah, tiada rasa paling indah selain rasa persaudaraan sebagai sesama muslim. Dennis tidak tahu, dapatkah dirinya akan bisa menikmati suasana penuh persaudaraan seperti yang dirasanya pada saat ini? Hanya Allah yang Maha Tahu, kemana arah jalan kehidupannya akan berlanjut?

Lambaian tangan sahabat - sahabatnya ikut mengantar Dennis ketika mobil Van Travel yang akan membawanya ke Bandara Internasional Soekarno – Hatta, Cengkareng mulai melaju meninggalkan kawasan Pondok Pesantren Al Fallah, Bogor.

"Kok diganti bajunya Den?" Tanya Rahmat, kakak angkat Dennis sambil tersenyum melihat Dennis membuka baju gamis muslim yang tadi dikenakannya saat pergi meninggalkan pesantren. Ternyata Dennis merangkap baju muslim yang dikenakannya dengan jas. Padahal tanpa Dennis menjelaskan pun, Rahmat sudah mengerti, mengapa adik angkatnya melakukan itu?

" Untuk sementara baju gamis muslimku harus masuk koper. Apa jadinya kalau aku turun di bandara Hedrow1, memakai baju muslim? Bisa bikin gempar warga Inggris." Canda Dennis. Semua yang ada di dalam mobil Travel itu tertawa renyah.

" Islam tak perlu diperlihatkan oleh pakaian, tapi perlihatkan Indahnya Islam dengan Ahlaq kita."Seloroh seorang Ustadz.

" Dan pendapat seperti itu tidak berlaku untuk kaum Muslimah, dimanapun kaum muslimah berada, hijab tetap wajib hukumnya. Ada keringanan itu hanya berlaku buat kaum pria."

" Nah pendapat seperti ini yang sering disalah artikan kaum peminis dari barat, padahal Allah menerapkan aturan seperti itu semata-mata untuk melindungi kaum muslimah itu sendiri."

Dennis hanya tersenyum arif mendengar obrolan teman-temannya. Didalam Mobil Van yang akan mengantar Dennis ke Bandara Internasional Soekarno – Hatta Jakarta, bukan hanya ada keluarga Ustadz Ramlan saja, tapi ikut juga dua orang Ustadz dan dua orang Santri, teman dekat Dennis.

***