" Dennis, Ayah cuma nitip pesan. Sesampainya kau di Inggris nanti, berhati-hatilah. Inggris bukan Indonesia, jelas memiliki banyak perbedaan. Dari segi budaya, agama, iklim, cuaca, dan kultur masyarakatnya, itulah medan jihad yang akan kau hadapi kelak Nak. Jagalah Iman Islammu, jagalah Aqidahmu, Istiqomahlah dengan niatmu. Tapi satu hal yang pasti Nak, dimanapun kita berpijak, semuanya tetap bumi milik Allah. Yakinlah pada dirimu sendiri tentang apa yang akan engkau lakukan, selama niat kita dan jalan kita benar, jangan takut. Insya Allah kita akan senantiasa ada dalam lindungan Allah Swt." Ustadz Ramlan beberapa saat sebelum pesawat yang akan membawa Dennis lepas landas.
" Terima kasih Ayah, Insyaa Allah saya akan selalu mengingat nasehatmu!" Bibir Dennis bergetar sambil menggenggam jemari lelaki tua yang selama ini mengasuh dan mendidiknya, hangat dia memeluk tubuh Kyai paruh baya yang sudah dianggapnya sebagai Ayah.
" Den, sekali lagi aku tegaskan kepadamu, seperti yang Ayah bilang, Inggris bukan Indonesia. Tapi kamu harus yakin, kamu tidak sendiri, do'a kami akan selalu menyertaimu!" Rahmat menghampiri. Serta merta Dennis melepaskan pelukan dari Pak Ustadz, berganti memeluk Rahmat.
" Iya Kang Rahmat. Saya nitip Ayah dan ibu, jaga mereka ya Kang selama aku pergi. Insyaa Allah kalau ada umur, kita akan bertemu kembali." Dennis terbata.
" Khabari kami jika sudah sampai, biar kami tidak khawatir, terutama Ibu!" Kata Rahmat lagi.
" Insyaa Allah Kang, begitu tiba nanti, saya akan langsung memberi khabar." Dennis tersenyum sambil melepaskan diri dari pelukan Rahmat.
" Bu....Aku pamit! Ikhlaskan kepulanganku ya. Hantar dengan do'a. Mudah-mudahan selamat sampai tujuan. Sudahlah Bu, jangan menangis." Dennis menggenggam jemari tangan Ibu Maryati dengan tangan kirinya, sementara tangan kanannya mengusap air mata yang menggenang di pipi Ibu Maryati. Sebenarnya Dennis pun ingin menangis, sedih rasanya harus berpisah dengan perempuan yang telah memberinya cinta kasih seorang Ibu ini. Tapi dia berusaha bertahan agar air matanya tidak luruh, karena tidak mau menambah beban kesedihan Ibu yang akan segera ditinggalkannya pergi.
" Denniss!!!!" Hanya itu yang terucap dari bibir Ibu Maryati sambil terisak.
Sekelebat bayangan menghampiri dibenak Ibu Maryati, ketika pertama kali Dennis datang ke pesantren, dialah yang pertama kali memeluk hangat tubuh kecil Dennis yang merindukan sosok kasih sayang seorang Ibu. Tapi kini dia sudah dewasa, dan sudah berhak mengambil keputusan sendiri dalam hidupnya. Ibu Maryati cuma bisa berharap, keputusan yang akan diambil oleh Dennis adalah keputusan yang terbaik, yang berguna bagi kehidupannya, berguna pula untuk kepentingan yang lebih besar.
" Bu yakinlah! Kepergianku bukan berarti perpisahan kita. Sampai kapanpun, Ibu tetap akan menjadi Ibu saya, dan saya tetap akan menjadi anak Ibu. Kasih sayangmu takkan pernah tergantikan oleh apapun didunia ini Bunda, kaulah Ibuku yang sejati!" Akhirnya air mata Dennis tertumpah juga.
" Pergilah Nak. Ibu Ikhlas dengan kepergianmu. Do'a Ibu selalu selalu menyertaimu!" Ibu Maryati berurai air mata membelai rambut pirang Dennis. Dennis mencium lembut tangan Ibu Maryati.
" Dens, kau harus segera berangkat!" Rahmat mengingatkan ketika terdengar pengumuman dari bagian Informasi bahwa pesawat Garuda Indonesia tujuan London akan segera berangkat. Dennis pun segera berkemas, tapi dia balik kembali ketika teringat ada seseorang yang belum ditemuinya. Seorang pemuda berbadan kurus, berkulit sawo matang, mengenakan peci hitam, nampak menangis sesenggukan disudut ruang tunggu.
" Hay Bro, kenapa menangis? Udah gak usah sedih. Nanti aku malah ikutan nangis!" Dennis memeluk anak muda itu.
" Kalau Sinyo pergi, siapa yang akan menemani aku ngurus ternak ayam, kambing, sapi terus gembala kerbau, nyabit rumput, cari ranting pohon dikebun untuk kayu bakar, ngasih makan ikan, nebar benih ikan dikolam? Sedih rasanya, aku gak punya saudara sebaik kamu Nyo, hanya kamu yang bisa mengerti aku." Ismail, nama anak muda itu sambil sesenggukan. Ada ikatan bathin tersendiri antara Ismail dan Dennis. Ismail umurnya 2 tahun lebih muda dari Dennis. Dia anak yatim piatu. Asli anak desa dimana Pondok pesantren Al Fallah berada. Ismail pemuda yang hidup sebatangkara di dunia ini. Ayah, Ibu dan sanak keluarganya meninggal karena bencana tanah longsor yang pernah menimpa kampung ketika Mail masih kecil. Hanya Mail satu-satunya yang selamat dari seluruh keluarga satu nasabnya ketika bencana datang menimpa. Walau selamat, ada luka di bagian kaki. Luka itu permanen, tidak bisa tersembuhkan yang membuat Mail harus cacat seumur hidupnya, Mail harus jadi pincang seumur hidup. Berhubung tak ada lagi sanak keluarga, Ustadz Ramlan kemudian memutuskan untuk merawat dan mengasuhnya di Pondok Pesantren. Bersama-sama dengan Rahmat dan Dennis, maka jadilah Ustadz Ramlan dan Ustadzah Maryati memiliki 3 anak laki - laki. Mail terlebih dahulu menjadi anak mereka beberapa saat sebelum kedatangan Dennis. Mail sebenarnya tumbuh menjadi Santri yang cerdas. Namun cacat pisik yang dideritanya membuat Mail minder. Mail lebih suka bergaul dengan hewan ternak daripada dengan sesama Santri. Padahal Santri-santri Al Falah tak pernah ada yang mengejeknya, apalagi memandang sebelah mata pada Mail. Cuma Mail sendiri yang malu dengan keadaannya.
Tapi para santri dan Ustadz di Pondok tak pernah menyurutkan semangat Mail untuk belajar. Di tengah keterbatasan fisiknya, Mail pemuda cekatan dalam bekerja. Oleh karena itu Mail diberi kepercayaan penuh oleh pihak pesantren untuk mengurus ternak milik pondok, bersama beberapa temannya, salah seorangnya adalah saudara angkatnya, Dennis. Diantara teman sesama santri yang diberi kepercayaan ngurus ternak, Mail sangat dekat dengan Dennis. Rasanya tak ada waktu yang terlewatkan untuk kebersamaan Dennis dan Mail. Dimana ada Dennis, di situ Mail berada. Menyabit rumput untuk makanan ternak, memberi makan ayam dan ikan, menggembala sapi, menggembala kerbau sambil mandi disungai, ahhh semuanya terlalu indah untuk dikenang. Sinyo, adalah panggilan akrab Mail untuk Dennis. Hanya Mail orang spesial yang menyebutnya dengan panggilan seperti itu, para Santri yang lain, tidak ada memanggil Dennis seperti itu. Ketika Dennis bertanya, mengapa Mail memanggilnya dengan nama Sinyo? Mail bilang karena Dennis bule, kayak Sinyo dari negeri Belanda yang pernah lama menjajah Indonesia. Walau Dennis sudah menjelaskan bahwa dia orang Inggris, bukan orang Belanda, walaupun dari pelajaran sejarah yang pernah dipelajarinya saat masih duduk di bangku pesantren, baik Inggris maupun Belanda sama-sama Negara penjajah, dan Dennis meyakinkan, dirinya memang berkulit putih, tapi dia adalah orang kulit putih yang bukan bagian dari kaum penjajah. Mail keukeuh berpendapat, mau orang Belanda, mau orang Inggris, sama saja bulenya. Akhirnya Dennis tak pernah mempersoalkannya lagi, terserah bagaimana Mail saja, toh Mail adalah saudara angkat terbaik setelah Kang Rahmat, kakak angkat mereka. Rahmat, Dennis dan Ismail tumbuh bersama-sama seperti kakak beradik dalam asuhan satu orang tua yang sama, Ustadz Ramlan dan Ustadzah Maryati.
" Nyo, sejak kecil kita tumbuh bersama, seperti kakak beradik, aku sudah lupa sebenarnya kita sama sekali tak punya hubungan darah. Aku dulu masih terlalu kecil, apakah aku merasa sesedih ini ketika Ayah, Bunda dan keluargaku pergi untuk selamanya ditelan bencana? Dibanding saat ini ketika kau memutuskan akan pergi meninggalkanku?" Mail semakin sesenggukan.
" Mail, kamu jangan bersedih, sampai kapanpun, aku tetap saudaramu, aku tetap akan menjadi Sinyo kebanggaanmu. Niat kepergianku In syaa Allah mau berbagi tentang Indahnya Islam pada saudara kita yang belum tahu, kamu harusnya bangga dengan apa yang akan kulakukan Mail. Lebih baik kau do'akan aku, semoga aku tetap Istiqomah dengan jalanku. Kau tidak akan sendiri Mail, ada Ayah, Ibu, Kang Rahmat, para Ustadz, para Ustadzah, teman-teman santri yang akan menemanimu. Sekalipun aku jauh di Negeri Inggris, tapi kita masih bisa berkomunikasi via telepon, atau internet, ada video call kok. Teknologi Dunia sekarang sudah canggih Mail, jarak Inggris dan Indonesia hanya berlangsung dalam hitungan detik. Jika suatu saat nanti aku dititipi rezeki berlebih oleh Allah, aku akan mengajak kamu ke Inggris bersama Ibu, Bapak, Kang Rahmat dan juga Hikam!"
" Kau masih menganggapku saudara?"
" Percayalah padaku, walaupun kita tidak punya hubungan darah, kita tetap saudara, saudara dalam iman dan Islam. Titip si Kembang dan si Kumbang, dua sapi kesayanganku. Rawat mereka baik-baik, semoga mereka bisa melahirkan generasi sapi kelas unggulan, sayangi hewan-hewan ternak kita, Allah sudah menakdirkan jalan jihad kita berbeda, mencintai dan merawat hewan ternak itu adalah bagian jihadmu saudaraku. " Mail tidak dapat berkata-kata lagi selain erat memeluk tubuh Dennis. Perlahan-lahan air mata Dennis kembali tumpah.
" Aku pergi Mail. Selamat tinggal! Assalamu'alaikum semua!" Dennis melepaskan pelukan Mail.
" Waallaikumsalam!" Jawab semua serempak.
" Denniiiiissss!!!" Teriak Ibu Maryati. Dennis membalikan badan. Ibu Maryati nampak tergugu dalam pelukan Rahmat, satu-satunya putra kandung Ibu Maryati.
" Selamat tinggal Ibu. Sampai kapanpun aku menyayangimu!" Dennis melambaikan tangan sambil berurai air mata. Lalu berjalan kembali di gardabrata yang akan langsung menghubungkannya masuk ke kabin pesawat.
" Pergilah Nak. Do'a Ibu menyertaimu!" Bisik Ibu Maryati.