Pesawat Garuda Indonesia Airways boeing 777 jurusan Jakarta – London. Didalam perut burung besi itu Dennis sekarang berada, duduk termenung, mengumbar lamunan. Rahasia kehidupan manusia begitu banyak diliputi misteri. Bagaimanan tidak? Dennis Thompshon Mc Arthur, seorang anak yang lahir di Inggris, harus terdampar di negeri Indonesia selama 12 tahun? Bagi Dennis kecil, tak pernah sedikitpun membayangkan akan mengalami hal seperti itu. Saat masih tinggal di Inggris, dia hampir tidak pernah mengenal dengan negara yang berada di garis lintang khatulistiwa ini. Nama Indonesia baginya hanya sebuah negara asing yang antah berantah.
Tapi perputaran nasibnya telah memaksa dia harus berada di negara itu selama 12 tahun. Jauh benar perjalanan hidupnya, jika diukur lewat darat dan laut bisa memakan waktu berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan waktu tempuh perjalanan. Kadang Dennis sendiri tidak mengerti, dia pergi terlalu jauh dari rumah. Dennis hanya bocah kecil yang baru berumur 10 tahun saat pertama kali datang ke Indonesia, seseorang telah membawanya tiba di Pondok Pesantren Al Fallah Bogor. Sendiri di rantau orang, dalam keadaan sebagai seorang bocah kecil yang sebatangkara, di dera rasa ketakutan yang luar biasa, membuatnya menangis meronta-ronta waktu itu. Hanya satu kata yang terucap dari mulut kecilnya.
"I'am Going Home please, I'am going home2.!" Menangis diantara rasa takut ditengah-tengah orang asing yang berpakaian aneh. Pencitraan buruk dinegaranya tentang Islam, membuatnya semakin merasa ketakutan. Dennis kecil teringat pada keterangan seorang guru waktu dia masih sekolah SD di Inggris. Ketika dia dan teman-teman sekelasnya berada disebuah taman sedang belajar di alam bebas ditemani seorang guru wanita, Dennis lupa, berapa umurnya saat itu? 6 tahun? 7 tahun kah? Ketika mereka sedang bermain secara berkelompok, tiba-tiba melintas dua orang perempuan memakai baju serba tertutup.
"Misis, who are they? How strange clothes?"3.
"They are Muslim, they were a heinous terrorist. They hid the weapons under their shirts"4. Begitu keterangan gurunya.
Dan waktu itu dia berada ditengah-tengah kumpulan orang-orang yang berpakaian seperti teroris konon menurut keterangan guru SDnya adalah " teroris yang sangat keji". Dia takut sesuatu yang buruk akan terjadi, mungkin saja orang – orang ini akan menyakitinya, atau yang lebih ditakutkan lagi, mereka akan membunuhnya. Bayangan – bayangan menakutkan bersiliweran memenuhi otaknya. Ketika dia sedang meronta - ronta ketakutan dipegangi oleh beberapa santri putra dan sedang berusaha di bujuk oleh orang yang sengaja membawanya ke tempat yang menakutkan ini, salah seorang dari perempuan yang berbaju serba tertutup itu datang menghampiri sambil tersenyum.
"Do not cry my child, do not be afraid, you will be here, with us, the people who love you."5. Dennis yang sedang menangis dan meronta seketika terdiam, bagaimana perempuan berbaju aneh dan mengenakan penutup kepala itu bisa bicara dengan bahasanya, bahkan dengan kata-kata yang lembut?
"Cmon't my dear, please!" Perempuan itu mengulurkan tangan sambil berjongkok seperti hendak memeluk Dennis, tapi Dennis malah merungkut ketakutan, berlindung di belakang tubuh orang yang mengantarkannya. Namun melihat senyum perempuan itu yang merekah di bibir, ramah dan berseri, perlahan tapi pasti keraguan dalam hati Dennis sirna, dia melepaskan diri dari cengkraman tangan para santri, lalu menatap orang yang mengantarnya sambil tengadah. Si pengantar tersenyum sambil menganggukkan kepala, perlahan - lahan dia mulai berjalan mendekati perempuan itu, ketika Dennis tepat berada dihadapannya, perempuan itu serta merta meraih Dennis ke dalam dekapan tubuhnya. Entah mengapa, Dennis merasa tentram berada dalam pelukan seorang perempuan asing yang baru dikenalnya. Inikah pelukan seorang Ibu yang selama ini dirindukannya? Mata Dennis terpejam, seakan enggan melepaskan tubuhnya dari Ibu muda itu.
Itulah awal perkenalannya dengan Ustadzah Maryati yang kelak akan dipanggilnya dengan panggilan Ibu atau Bunda. Sungguh tiada disangka, lambat laun pada akhirnya Dennis kecil menyadari jika dia berada di tengah – tengah orang – orang soleh - solehah yang damai. Yang lebih menyenangkan dan membuatnya merasa lebih tentram, hampir semua orang yang berada di Pondok ini, baik itu Ustadz, Ustadzah, dan para santri mampu bicara dengan bahasa Dennis. Sehingga Dennis tidak merasa kesepian dan sendiri lagi. Ayah Ramlan dan Ibu Maryati menjadi Madrasah pribadi yang pertama untuk Dennis. Sebab beliau berdua yang telah membawa Dennis mengenal Al Qur'an lebih jauh, mengajarkan apa itu Islam? Belajar dirumah dan belajar di kelas pondok membuat Dennis kecil perlahan tapi pasti mulai mengenal Dinnul Islam.
Islam itu Teroris? Dennis tidak pernah menangkap kesan itu dari orang-orang yang berada disekitar pondok. Penduduk desa disini sangat damai, Dennis betah bergaul dengan mereka. Bahkan dia tak segan bermain-main dengan anak-anak kampung yang sebaya. Main gundu/kelereng, bermain layang-layang, dan aneka permainan lain yang sekiranya dekat dengan kehidupan khas anak kampung. Karena pergaulannya dengan orang-orang kampung, Dennis mulai mengerti dan memahami tiga bahasa sekaligus, Bahasa Indonesia, Bahasa. Arab yang dipelajarinya di Pondok Pesantren dan Bahasa Sunda, sebagai bahasa daerah sebagian orang-orang pondok dan warga sekitar pondok.
Timbul rasa bersyukur di dalam hati bisa menikmati tumbuh dan besar di negara Indonesia, betapa besar jasa tanah, air dan udara negara ini yang telah memberinya kesempatan tumbuh dengan baik, mengenal kasih sayang orang tua, saudara dan bertemu dengan cahaya Islam, mendapat jawaban yang pasti kalau Islam ternyata ajaran agama yang membawa kedamaian, cinta kasih sayang, Rahmatanlill'alamin. Bertolak belakang dengan pemikiran orang-orang barat. Pikiran Dennis melayang kepada ketika pertama kali dia belajar sholat, mengaji, puasa, berzakat dan bersedekah. Tanpa terasa bulir air mata mengalir dipipinya, mengenangkan sikap sabar dan welas asih yang ditunjukkan orang tua angkatnya dalam mendidik dan membina dia, tidak sedikit juga rasa terima kasih Dennis kepada para Ustadz & Ustadzah para pengajar selama di Pondok, betapa besar jasa mereka dalam mendidik dia Ahlaq, Tauhid dan fiqih. Sehingga perlahan tapi pasti dia mulai bisa membedakan mana yang salah dan mana yang benar.
Namun, lambat laun, seiring berjalannya waktu, semakin dia besar, semakin dia merasa ada perbedaan antara dirinya dengan kedua orang tua angkat, saudara angkat, para santri dan teman-teman sepermainannya. Dimulai dari bentuk fisik, dia lebih tinggi dari anak-anak seumurannya. Kulitnya putih, tidak seperti kebanyakan anak-anak disini yang kuning langsat atau sawo matang, mata dia biru, sementara teman-temannya rata-rata hitam, rambut dia juga pirang, tidak hitam seperti kebanyakan orang - orang disini. Walaupun sudah lama tinggal di Indonesia, lidahnya masih kesulitan untuk melapalkan huruf R dengan jelas. Perbedaan ini lah yang membuat semakin Dennis menyadari kalau dia memang berbeda dari semua orang yang ada dalam lingkungan kehidupannya sekarang. Semakin dia besar, semakin dia mulai menemukan jawaban, darah yang mengalir di dalam tubuhnya bukan darah Indonesia, melainkan darah seorang pemuda Eropa. Walau sedikitpun dia tak pernah menyangkal betapa besar jasa tanah, air dan udara Indonesia yang mengalir dalam tubuhnya, yang telah ikut mengantarkan dia bisa tumbuh dengan sehat jasmani dan rohani, bahkan dibumi Indonesia juga dia bisa mengenal Tuhan yang sejati dan ajaran agama yang tak terbantahkan kebenarannya, Islam. Tapi hatinya berkata lain, dia tidak boleh mengkhianati dirinya sendiri. Orang Inggris tetaplah orang Inggris, tidak bisa berubah menjadi orang Indonesia walau dia telah lama tinggal di negeri Zamrud Khatulistiwa yang beriklim tropis ini, begitulah mungkin taqdir yang harus dijalaninya.
Ketika kesadaran itu mulai tumbuh dalam dirinya dikala remaja, Dennis mulai mencari informasi tentang negara leluhurnya melalui peringkat media yang ada. Dia sangat bersyukur, Pondok pesantren Al Fallah begitu membuka diri dengan media informasi, sehingga dengan mudah dia bisa mencari apa yang diinginkannya. Kegemarannya berselancar di dunia maya, akhirnya mempertemukan dia dengan komunitas masyarakat muslim di Inggris, salah seorang diantaranya mengaku bernama Abdullah, seorang Ustadz berkebangsaan Eropa yang mengaku memiliki sedikit keturunan Yahudi. Melalui akun facebook, email, Instagram dan whatssup orang yang bernama Abdulah itu, sedikit banyak Dennis mengetahui tentang dinamika da'wah Islam dinegara leluhurnya. Betapa sedih hati Dennis mendengar khabar beratnya tantangan da'wah yang dihadapi para aktifis Islam disana akibat ulah para Islamiphobia yang sudah terlanjur menganggap Islam adalah agama teroris. Kalau ada peristiwa yang berkenaan dengan pengeboman, selalu dikaitkan dengan Islam. Mengapa harus seperti itu? Bukankah di Inggris juga ada organisasi teroris yang selalu berbuat kekerasan, yakni organisasi IRA yang digerakan oleh orang-orang Irlandia Utara yang sudah lama ingin melepaskan diri dari Inggris raya? Sering terjadi penangkapan yang tak jelas apa motifnya pada orang-orang yang bergerak dalam aktifis Da'wah Islam. Subhannallah!!!
Dalam suatu pesan singkatnya, Abdullah pernah berpesan pada Dennis, dan pernyataan Abdullah itulah yang telah berhasil memaksa Dennis untuk segera pulang ke Inggris :
"The dynamics of Da'wah land of England many challenges. We are here require the participation of young people that have the potential in it. Go home Dennis, we need the presence of young Dai like you., Muslims miss your presence here."6.
" Lalu apa yang harus kulakukan di Inggris nanti? Aku baru belajar Islam selama 12 tahun, masih banyak hal tentang Islam yang belum sempat aku pelajari, Allah yang Maha Rohman, jika ini yang harus hamba jalani, berilah hamba kekuatan, ditengah beratnya medan da'wah yang akan kuhadapi nanti, Istiqomahkanlah diriku ya Allah semoga senantiasa ada dijalanmu." Dennis membathin dengan sorot mata berkaca-kaca.
" Dennis, Denniiissss!!!" Tiba-tiba Dennis sudah berada disebuah padang pasir yang luas. Suara angin gurun yang menderu-deru seperti memanggil namanya.
" Denniiissss!!!" Suara itu semakin terdengar jelas. Dennis berdiri kebingungan ditengah badai gurun pasir. Jantung Dennis hampir copot saat melihat dari arah depan sesosok tubuh remaja berumur tanggung, nampak berusaha berjalan terseok-seok menghampirinya. Pakaian anak remaja itu sebenarnya putih, namun nampak terlihat kotor oleh paparan debu padang pasir. Dennis berusaha mendekati anak muda itu, tetapi segaris cahaya bayangan siluet seakan hendak memisahkan Dennis dengan anak remaja itu, Dennis menutup pandangan matanya, tidak kuat dengan terangnya cahaya siluet.
" Dennis?" Bayangan anak remaja berusia tanggung itu tersenyum lembut. Dennis berusaha sekuat tenaga mengenali raut muka remaja yang berada dihadapannya.
" Jimmy?" Setelah Dennis dapat mengenali anak muda itu.
" Yes, I'am Jimmy, your Brother."
" Jimmy, my Brother?"
" Please, go home Dennis!"
" Where are you Jimmy?"
" In we countri. Please, comeback to me, my litle brother!" Jimmy malah membalikkan badannya.
" Jim, wait. Jimmy!" Dennis berusaha mengejar, tetapi angin badai gurun menghalangi niat Dennis untuk bisa mengejar Jimmy.
" Jimmy!!!" Tapi bayangan Jimmy seketika menghilang oleh badai gurun yang bergulung-gulung.
" Jimmy!!! Astagfirullohhal Adzim!" Dennis mengusap mukanya, rupanya dia masih berada didalam pesawat.
" Astagfirullohhal Adzim, aku bermimpi! Jimmy!!!" Tiba-tiba keharuan menyelinap didalam hatinya.
" Sir, apparently you slept all the way in, this plane had landed 5 minutes ago, welcome to England!"7. Sapa seorang pramugari lembut.
" Oh I slept apparently, thanks!"8. Dennis membereskan barang bawaannya dibantu pramugari yang cantik itu.
Bandara International United Kingdom Hedrow, memang dikenal sebagai Bandara paling sibuk di negara Monarki ini. Aktifitasnya sangat tinggi dan padat oleh jadwal penerbangan, baik domestik maupun internasional. Hilir mudik para penumpang dan calon penumpang seakan tiada henti. Nampaknya udara musim dingin yang menggigit tidak dihiraukan oleh masyarakat Inggris yang hendak bepergian dengan berbagai macam urusan dan kepentingan ke berbagai arah tujuan kota-kota di Inggris, bahkan keluar negeri.
Dennis berada diantara lalu lalang dan hilir mudik orang-orang yang sibuk dengan urusan masing-masing itu. Berjuta perasaan dan harapan kini berkecamuk didalam hatinya. Ya Allah, 12 tahun yang lalu ketika dia pergi meninggalkan negeri ini dirinya hanya bocah laki-laki berumur 10 tahun dalam keadaan sebatangkara, dan kini ketika dia kembali, sosoknya sudah berubah menjadi seorang pemuda, meninggalkan keluarga yang dicintainya nun jauh di sana, di Indonesia, dan telah memeluk keyakinan agama yang baru.
" Aku telah tiba dengan selamat ditanah airku, mungkin berkat do'amu, Bu!" Dennis mencium photo Ibu Maryati yang sedari tadi dipegangnya. Lalu figura Photo perempuan yang sangat dihormatinya itu di peluk erat – erat sambil memejamkan mata, sebelum akhirnya dia kembali berjalan, dan photo itu masih erat didekapnya oleh tangan kiri. Sementara tangan kanannya mendorong troli yang mengangkut barang – barang yang dibawanya dari Indonesia. Sambil berjalan, dia mengawasi dengan seksama, setiap sudut Bandara international ini. Mungkin bandara ini telah dilengkapi oleh sarana pemanas ruangan, namun tetap saja aroma udara musim dingin terasa. Untunglah Mr. Abdullah telah lebih dulu memberitahukan, kalau Dennis memutuskan pulang bulan ini, maka kedatangannya akan disambut oleh cuaca puncak musim dingin di Inggris. Dan Dennis pun telah berusaha mempersiapkan diri untuk itu dengan tetap tidak melepaskan mantel tebal sejak turun dari pesawat tadi. Mungkin karena terlalu asyik
berjalan sambil menengok kiri dan kanan dan juga setengah melamun, tiba-tiba saja. "Bruukkk!" Tanpa sengaja troli yang didorong Dennis menabrak seseorang yang berjalan di depannya.
" Upss! I'am sorry!" Dennis mengangkat tangannya.
" Astagfirullohhal Adzim"Hey man, be careful when walking!"9.
" Are you muslim?" Dennis kaget mendengar perkataan yang terlontar dari mulut pemuda bule.
" Yes..!" Jawab anak muda itu.
" Assalamu'alaikum!" Dennis menggenggam erat jemari anak muda itu.
" Waalaikumsalam. Are You Muslim too?" Anak muda itu balik bertanya.
" Robert why are you silent even there? Come on, then we could miss the plane!"10. Teriak seorang perempuan sambil melambaikan tangan. Dennis semakin kaget, perempuan yang memanggil pemuda bule itu ternyata mengenakan hijab. Semakin dia kagum dibuatnya.
" Excuse me again rush, his my sister. See you letter!"11. Anak muda itu berlalu dari hadapan Dennis yang berdiri terpana.
" Mereka muslim? Subhannallah, tidak disangka bertemu saudara seiman diantara orang banyak ini." Dennis bergumam sambil kembali melanjutkan perjalanannya menuju ruang pemeriksaan pasport di ruang kedatangan penumpang. Sambil mengantri, Dennis berusaha mencari orang-orang yang sekiranya akan menjemput dia, mungkin saja Mr. Abdullah yang berniat menjemputnya. Tapi orang yang dicarinya tidak ada dideretan orang penjemput yang membentangkan karton bertuliskan nama-nama mereka yang akan dijemput.
" Ah mungkin mereka menunggu di tempat lain!" Dennis membathin. Maka tidak ada pilihan lain bagi Dennis selain sabar mengikuti antrean dengan tertib. Ketika sudah hampir pasportnya mau diperiksa, tiba-tiba saja empat orang petugas keamanan Bandara yang berbadan tinggi besar, datang menghampirinya.
" Hey you!" Salah seorang diantaranya membentak sambil mengarahkan telunjuk tepat ke muka Dennis.
" Me?" Dennis kaget bercampur kebingungan.
" Yes, you! Get out of line, come into our room!"12
" What is the problem?" Dennis tidak mengerti.13
" Do not ask many questions, come with us!"14 Kata salah seorang diantara mereka sambil menarik tangan Dennis dengan paksa keluar dari barisan.
" Hey, hey. Wait! What is this? I do not understand!"15.
" You can give information in our office later. C'mont!"16. Salah seorang diantara mereka mendorong tubuh Dennis. Dua orang lagi langsung menelikung tangan Dennis kebelakang, PRAAAKKKK!!! Figura Photo Ibu Maryati yang sedari tadi dipegangnya, jatuh sampai kacanya hancur berkeping – keping dilantai. Dennis berusaha berontak untuk melawan, bermaksud mengambil lembaran fhoto Ibunya, namun dalam keadaan tangan terborgol seperti itu, dia tidak berdaya melawan, apalagi ketika sebuah hantaman keras menyambar uluhatinya, Dennis hanya sanggup melenguh, dia diseret dengan paksa menuju ke sebuah ruangan. Troli yang berisi barang bawaannya pun ikut dibawa mereka. Apa yang terjadi pada diri Dennis, kontan menjadi pusat perhatian orang-orang di Bandara. Dua orang anak muda yang mungkin ditugaskan untuk menjemput Dennis, ikut menyaksikan peristiwa itu, melihat Dennis dibawa petugas keamanan, salah seorang dari mereka mengambil selembar photo Ibu Maryati, mereka berdua berdiskusi sejenak, sebelum akhirnya beranjak pergi tergesa – gesa segera meninggalkan area pemeriksaan pasport di bandara itu.
Dennis dibawa masuk kedalam sebuah ruangan yang hanya diterangi oleh lampu berkekuatan 5 Watt. Tanpa ampun, tubuhnya dengan tangan terborgol ke belakang, dilempar begitu saja ke lantai marmer. Dennis jatuh terjerembab ke lantai marmer yang licin, lalu tanpa belas kasihan, setengah dipelintir, Borgol yang mengikat tangannya dilepas.
"Aahhhggg!" Dennis berteriak kesakitan. Tidak cukup sampai disitu, dia dipaksa membuka seluruh pakaiannya sampai nyaris telanjang, hanya menyisakan celana dalam, kedua tangan dipelintir lagi kebelakang, dan lehernya di gapit oleh tongkat pemukul karet. Mulut Dennis dibuka paksa, giginya dikorek – korek dengan kasar, Dennis hanya bisa pasrah diperlakukan seperti itu. Koper dan barang bawaannya dibuka, diacak-acak tidak karuan, setelah puas mengobrak-abrik, tubuh Dennis kembali dilemparkan ke tembok, sebelum akhirnya keempat orang petugas keamanan yang beringas itu pergi meninggalkan ruangan, Dennis dibiarkan terkunci di dalam seorang diri dalam keadaan setengah telanjang, karena seluruh pakaiannya di bawa oleh mereka.
Setelah orang-orang yang menganiayanya pergi, Dennis melenguh merasakan sakit di sekujur tubuhnya. Akan tetapi, sakit disekujur tubuhnya tidak seberapa dibanding rasa sakit didalam hatinya. Dia sebenarnya punya salah apa sampai dianiaya seperti itu, dan dipermalukan didepan orang banyak? Dennis hanya bisa melenguh resah. Ketika sedang mengingat – ingat kesalahan apa yang telah dilakukannya? Tanpa sadar, tangan kanannya ke angkat. Ditangan kanannya tergenggam sebuah tasbih berwarna hitam, tasbih itu adalah pemberian dari Ayah Ramlan, beberapa saat sebelum dia masuk pesawat. Pesan Ustadz Ramlan, dimanapun kita berada, kita harus senantiasa mengingat Allah. Ingatan Dennis pun menghujam tajam atas apa yang telah dilakukannya tadi pada saat ikut antrian di bagian penerimaan paspor kedatangan penumpang dari luar negeri. Dia berdzikir dengan kalimat Subhannallah, Allahu Akbar, Laillahailallah, dengan menggunakan tasbih pemberian ayah ini.
" Rupanya benda ini yang telah membuat mereka panik, Astagfirulloh!" Dennis menggenggam erat Tasbih berwarna hitam itu dengan sorot mata berkaca-kaca.
" Inggris bukan Indonesia Den, siapkan dirimu untuk menghadapi medan jihad disana!" Dennis teringat nasehat dari Kang Rahmat, kakak angkatnya. Yah, Kang Rahmat benar, Inggris bukan Indonesia. Rupa-rupanya Islamiphobia begitu mengakar kuat dalam diri bangsa Eropa. Apa yang salah dengan dirinya? Tidakkah mereka lihat, rambutnya sama pirang dengan mereka, tubuhnya sama tinggi dengan mereka, kulitnya sama putih dengan mereka, hidungnya sama mancung dengan mereka? Sebegitu sempitnya kah pemahaman mereka tentang Islam? Pokoknya Islam, siapapun mereka, harus dicurigai. Tak pandang peduli orang Arab, orang China, kulit hitam, kulit berwarna, bahkan seorang kulit putih seperti dirinya sekalipun. Hanya karena dia Islam dan sedang berDzikir mengingat Allah, Dzikirnya telah menggemparkan orang – orang sebandara Hedrow, Masya Allah!
" Ya Allah, beri hamba kekuatan!" Rintih Dennis sambil menangkup muka. Tiba – tiba pintu ruangan tempatnya disekap kembali terbuka lebar, empat orang petugas Bandara yang beringas itu masuk lagi ke dalam ruangan.
" Kamu bersih, kamu boleh pergi sekarang!" Kata salah seorang dari mereka dengan ekpresi dingin tanpa rasa bersalah sambil melemparkan pakaian Dennis. Bersusah payah Dennis mengenakan pakaian dan membereskan barang – barang bawaannya. Dengan langkah terhuyung – huyung, dia berjalan meninggalkan ruangan yang menakutkan itu.
" Bu, aku harus mengalami ini ditanah leluhurku sendiri, aku muslim, bukan teroris!" Dennis sambil mengusap mukanya.
" Dimana photo itu? Oh ya Allah, aku tidak punya photo Ibu lagi, hanya itu satu – satunya!" Dennis berusaha mencari – cari selembar Photo Ibu Maryati diantara langkah – langkah kaki orang yang berlalu lalang. Akhirnya, dengan setengah putus asa, Dennis hanya mampu terduduk disebuah bangku sambil menangkup muka. Dia masih shock dengan peristiwa yang baru saja dialaminya, dan sekarang dia harus kehilangan selembar photo perempuan yang sangat dikaguminya dimuka bumi ini.
" Masya Allah, cobaan apalagi ini?" Dennis pun hanya bisa melenguh panjang ketika mengetahui Smartphone nya telah rusak saat dia bermaksud menghubungi seseorang.
" Assalamu'alaikum. Are You Mr. Dennis Thompson Mc Arthur, From Indonesia?" Sebuah suara lembut menyapanya. Dennis yang sedang menangkupkan muka karena sedang resah, perlahan – lahan mengangkat mukanya. Seorang pemuda berkulit putih bersih, nampak berdiri dihadapannya sambil tersenyum lembut.
" Waalaikumsalam. Yes I'am. Who are you?"
" My Name Is Muhammad, Muhammad Krajizek, From Humanity relief school. Saya ditugaskan oleh Ustadz Abdullah untuk menjemput anda, oh iya, apa anda mencari benda ini?" Pemuda bernama Muhammad itu memperlihatkan selembar photo Ibu Maryati yang memang sedang dicari oleh Dennis.
" Hey, bagaimana photo ini bisa ada ditangan Anda?" Dennis keheranan sambil mengambil photo itu dari tangan Muhammad.
" Maaf, tadi saya melihat photo ini terjatuh dari tangan anda, sebelum petugas kebersihan membuangnya ke tempat sampah, saya berinisiatif untuk segera mengambil photo ini, karena saya yakin, photo ini pasti sangat berharga, dan anda akan mencarinya."
" Is My Mother!" Dennis heran, tidak ada raut muka terkejut dari Muhammad mendengar penjelasannya. Semestinya anak muda itu merasa kaget, bagaimana Dennis yang pemuda Eropa bisa memiliki seorang Ibu dari Asia? Muhammad malah tersenyum, bukannya keheranan.
" Mr. Dennis, seandainya kami tidak terlambat menjemput, anda tidak akan sampai mengalami seperti tadi. Maafkan kami, kami terlambat karena kendaraan kami terhambat salju yang menimbun jalan, jalan raya menjadi macet. Kami hanya bisa melihat kejadian itu, maka kami berinisiatif segera menghubungi asosiasi muslim, meminta membebaskan anda, bahwa anda tidak bersalah, anda bukan seorang teroris, tapi anda adalah orang yang kami undang untuk pulang ke tanah air. Kami juga menyesal sekali, anda harus mengalami ini. Akhirnya berkat keterangan yang kami berikan, kami bisa membebaskan anda!"
" Apakah sejauh itu mereka mencurigai orang – orang Islam?" Dennis tajam, sambil merasakan sakit disekujur tubuhnya.
" Begitulah medan Da'wah ditanah Eropa, Mr. Dennis! Mari kita segera pergi ke tempat parkir!"
" Tunggu! Mana Mr. Abdullah? Beliau sudah berjanji akan menjemputku!"
" Mr. Abdullah tidak bisa datang menjemput anda, beliau ada sedikit musibah, putra bungsunya, Kariem, di rawat di Rumah sakit sejak semalam, maka dia memutuskan mengutus kami untuk menjemput anda di Bandara."
" Kami?"
" Ya, kami. Saya tidak datang sendiri, ada Iqbal dan Taufiq yang menemani saya. Tadinya saya hanya datang berdua dengan Taufiq, tapi melihat anda digelandang seperti tadi, kami langsung menghubungi call center Asosiasi muslim Inggris guna memohon pertolongan sekiranya anda bisa dibebaskan, maka tak lama berselang datang rekan kami dari Asosiasi muslim, dua orang Ustadz dan Iqbal, kawan kami yang kebetulan aktif dipergerakan Asosiasi, akhirnya negosiasi kami membuahkan hasil, anda dibebaskan, kami memperkuat bukti bahwa anda bukan teroris. Mari My Brother, mereka menunggu anda di baseman parkir Bandara!" Ajak Muhammad.
Walaupun nampaknya pemuda yang mengaku bernama Muhammad ini adalah orang baik, tapi Dennis tidak boleh percaya begitu saja. Ini Inggris, walaupun dia lahir di negeri ini, saat ini posisinya adalah pendatang di negeri sendiri, dia tidak boleh percaya begitu saja pada orang yang baru dikenalnya.
" Al Right My Brother, sepertinya anda kurang percaya pada saya, ada baiknya anda telepon langsung Mr. Abdullah, biar anda yakin!" Muhammad seperti bisa membaca pikiran Dennis. Lalu pemuda berkulit putih bersih itu duduk di sebelah Dennis. Dennis sendiri seperti baru menyadari kekeliruannya.
" Tadinya saya bermaksud menghubungi Mr. Abdulah, ternyata Smartphone saya rusak parah." Tanya Dennis.
" No Problem, pakai saja Smartphone punya saya!" Muhammad menyodorkan Smartphone miliknya sambil tersenyum. Tapi Dennis tetap masih belum yakin dengan anak muda bule yang kini duduk bersebelahan dengannya.
" Sudah berapa lama anda berhubungan dengan Ustdaz Abdullah? Pastinya anda hapal dengan nomor kontak beliau bukan?" Tanya Muhammad, sekilas Dennis ragu, tapi demi melihat kesungguhan anak muda itu, terpaksa Dennis menyambar smartphone dari tangan Muhammad.
" Thank's!" Dennis menerima Smartphone dari tangan Muhammad. Tanpa ragu dia memencet digit nomor yang selama ini cukup dikenalnya, belum selesai dia memijit, nama Syech Abdullah tertera dikontak Smartphone milik Muhammad, sesaat Dennis tertegun sebelum akhirnya dia menghubungi nomor tersebut. Pastinya orang yang ditelepon menyangka Muhammad yang menelepon, karena terdengar Dennis menyela,
" No. Its Me, Dennis!" Tak lama berselang, Dennis sudah terhubung bicara dengan seseorang ditelepon. Muhammad hanya diam menunggu.
" Mr. Abdullah ternyata sudah dari tadi mencoba menghubungi ke Hp saya, beliau tidak tahu Hp saya dirampas sampai rusak!" Terang Dennis sambil menyerahkan Hp ke tangan Muhammad.
" Jadi bagaimana, anda sekarang percaya pada kami?"
" Insyaa Allah Muhammad!" Muhammad tersenyum sambil membantu Dennis membereskan barang – barangnya.
" Aaaaghhhh!" Dennis berteriak kesakitan ketika mencoba untuk berdiri. Muhammad kaget.
" Oh sepertinya anda terluka, tunggulah disini, saya akan panggil teman saya!" Pesan Muhammad sambil bergegas pergi. Dennis pun hanya mampu terduduk sambil menahan rasa sakit. Tak lama berselang, anak muda bernama Muhammad itu datang lagi menghampiri bersama tiga orang anak muda, barangkali teman - temannya.
" Mr. Dennis, Is My Friends!" Kata Muhammad ketika tampak dimatanya raut muka Dennis yang keheranan, ketiga anak muda itu mengangguk ramah pada Dennis.
" Assalamu'alaikum!" Salam ketiganya serempak sambil tersenyum ramah.
" Waalaikumsalam!" Dennis sambil menyeringai kesakitan. Tanpa ragu-ragu, dua orang dari anak muda itu langsung membantu Dennis untuk berdiri dan memapahnya, sementara Muhammad dan seorang anak muda yang lainnya sigap membereskan dan membawa barang – barang Dennis. Tiba – tiba terdengar pengumuman dari bagian informasi, beberapa penerbangan akan ditunda selama beberapa jam, berhubung kota London akan dihampiri badai salju.
" Ayo, kita harus bersegera, akan ada badai salju!" Ajak Muhammad.
" Badai salju, wow sudah lama aku tak merasakannya!" Seloroh Dennis sambil menahan langkah, sementara tangannya erat memegang bahu yang memapahnya.
" Maka dari itu kita harus bersegera, Mr. Dennis!".Sela salah seorang diantaranya. Dennis pun kembali berjalan sambil dipapah oleh teman – teman Muhammad.
Muhammad benar, dia tidak datang sendiri ke Bandara, melainkan bersamanya ada empat orang, dua orang diantaranya adalah para Ustadz dari Asosiasi Muslim Inggris yang telah ikut negosiasi dengan petugas Bandara dalam rangka membebaskan Dennis dari tuduhan teroris, sedang yang dua orang lagi adalah Taufiq dan Iqbal, teman satu sekolah Muhammad, mereka berdua ini yang tadi memapah Dennis. Sayang sekali kedua Ustadz tidak bisa ikut mengantar Dennis ketempat tujuan, berhubung ada agenda pengajian yang tidak bisa ditinggal. Mereka menyarankan agar Dennis dibawa dulu ke Rumah sakit sebelum ke tujuan. Tentu saja Dennis sangat mengucapkan terima kasih atas bantuan mereka berdua, karena berkat beliau berdua, dirinya terbebas dari tuduhan teroris, dan bisa keluar dengan selamat dari bandara, Insyaa Allah mereka berjanji di lain waktu dan kesempatan akan bersilaturakhmi kembali. Sebelum berpisah, para Ustadz itu masih sempat memberikan wejangan pada Dennis, agar jangan karena peristiwa tadi, semangat jihad Dennis jadi menurun, tetaplah berda'wah, ajak orang Inggris untuk menghapuskan stygma negatif tentang Islam, telah menjadi tugas bersama untuk mengenalkan indahnya Islam pada masyarakat yang terlanjur bangga dengan budaya hedonis dan matrelialistis yang sudah mendarah daging ini. Mereka berjanji, Dennis tidak akan dibiarkan berjuang seorang diri, Inshaa Allah mereka akan saling menjaga dan saling membantu. Mendapat spirit berda'wah dari kedua Ustadz ini, semangat berda'wah Dennis yang tadi agak terpuruk, menjadi tersulut kembali. Peluk dan cium pun mengiringi perpisahan mereka. Tinggallah kini Dennis, Muhammad, Iqbal dan Taufik yang akan melanjutkan perjalanan menuju sekolah mereka, dengan terlebih dahulu singgah ke Rumah sakit yang tidak jauh dari bandara Hedrow, bagaimanapun Dennis harus menerima penanganan medis terlebih dahulu, karena takut ada luka yang serius akibat peristiwa salah paham tadi.
Hanya memakan waktu kurang lebih 15 menit sejak keluar Bandara Hedrow, mobil yang dikemudikan oleh Iqbal, salah seorang teman Muhammad, memasuki pelataran parkir sebuah Rumah Sakit. Dennis sama sekali tidak pernah menduga, kedatangannya ke tanah leluhur justru diawali harus masuk Rumah Sakit. Para medis Rumah sakit cekatan sekali membawa Dennis ke ruang pemeriksaan. Alhamdulillah, menurut pemeriksaan Dokter yang menangani, tidak ada luka serius yang perlu dikhawatirkan, hanya menderita sedikit gumpalan darah, akan segera sembuh kalau teratur minum obat yang diberikan, dan tidak perlu mendapat perawatan selanjutnya. Teman – teman Muhammad tidak ada yang berinisiatif menjelaskan pada Dokter, apa yang telah dialami oleh Dennis? Karena akan bersikap sensitif kalau dijelaskan. Mereka hanya bercerita, Dennis mengalami kecelakaan di Rumah. Beruntung Dokter dan para medis tidak berkelanjutan bertanya, sepertinya keterangan yang didapat dari Muhammad dan kawan-kawan telah dianggap cukup memuaskan. Dennis maklum dengan tindakan yang telah diambil oleh orang-orang yang baru dikenalnya, semakin Dennis menyadari, hal – hal yang berbau Islam ternyata sangat sensitif di negeri tanah moyangnya ini.
Setelah beberapa saat meninggalkan Rumah sakit, mereka kembali melanjutkan perjalanan yang sempat tertunda selang beberapa jam. Iqbal yang mengemudikan mobil, Muhammad duduk disebelahnya, sementara Dennis dan Taufiq duduk di belakang. Obrolan mereka berempat, masih berkisar seputar peristiwa yang dialami Dennis tadi di Bandara. Tapi nampaknya Dennis sendiri seperti tidak berkenan menimpali obrolan teman – teman barunya. Perhatian Dennis lebih banyak terpusat ke arah jalanan yang dilalui mobil ini. Melihat Dennis seperti itu, teman – teman barunya seperti memahami kalau Dennis tidak mau mengingat peristiwa itu lagi.
" Mr. Dennis, anda berasal darimana?" Tanya Taufiq, berusaha mengalihkan pembicaraan.
" Dari Inggris!" Dennis singkat.
" Begitu banyak kota dan desa di Inggris ini. Seperti London City, EdinBurgh, Manchester, Liverpool, Stoke, Birmingham, ..."
" Tidak dari mana – mana!" Dennis memotong perkataan Taufiq.
" Sudahlah Taufiq. Mr. Dennis jangan terlalu banyak ditanya dulu, dia masih shock dengan kejadian tadi, atau mungkin masih ada yang terasa sakit dibadannya, barangkali beliau lagi tidak mau banyak bicara!" Tegur Muhammad, akhirnya Taufiq pun diam, membenarkan pendapat Muhammad.
Setelah tak ada yang berbicara lagi, Dennis mengalihkan pandangan matanya ke arah jalan. Kota London sedang didera puncak musim dingin. Guguran salju yang putih seperti kapas, membuat jalanan kota London tertutup salju. Bahkan saking tebalnya salju, beberapa mobil pengeruk salju nampak giat bekerja mengeruk timbunan salju yang menutupi badan jalan. Pohon – pohon yang hijau warnanya telah berubah menjadi putih, sungai Thames yang membelah jantung kota London, sebagian airnya telah membeku menjadi es, orang – orang nampak asyik bermain ice skeating dibantaran sungai yang telah membatu. Beberapa bocah bermain dihalaman rumah, tanpa peduli udara dingin yang mengigit tulang. Bukan menara Big Band, Istana Bucking home, atau perumahan elite Kensington Palace yang terlewati sepanjang jalan yang menjadi perhatian Dennis, bukan itu. Dennis sama sekali tak mempedulikan bentuk bangunan yang menjadi ciri negara Monarki ini. Yang jadi perhatian Dennis hanyalah sekelompok anak – anak yang sedang asyik bermain di taman, di halaman rumah, di pinggir jalan, atau di sungai beku. Ketika melihat keceriaan anak – anak itu, ingatan Dennis mengembara kepada kenangan masa kecilnya dulu.
Ketika mobil yang dikendarai Iqbal melintas di sekolah paling tenar di Inggris, Etton, nyaris saja dia berteriak agar Iqbal menghentikan kendaraannya. Namun hal itu tidak jadi dilakukannya. Menurut pemikiran Dennis, kalau nanti teman – teman barunya mengetahui dia pernah bersekolah di Etton, mungkin akan geger, identitas dirinya akan diketahui oleh mereka. Sementara ini, biarlah mereka tak perlu tahu kalau sebagian memori masa kecilnya terpatri indah menjadi bagian sekolah elite itu. Ada rasa menyesak di dalam dadanya ketika dia merasa sebagian memori masa kecilnya terkuak kembali.
Keluarganya di Indonesia, tak pernah ada yang mengetahui seutuhnya identitas dia. Yang mereka tahu, Dennis orang Inggris, itu saja. Tak pernah mereka tahu, Dennis Inggrisnya berasal dari mana? Siapa nama orangtuanya? Apa pekerjaan mereka? Karena dari awal Dennis mengatakan kedua orangtuanya sudah meninggal, dan dia tidak punya sanak saudara. Dia terpaksa menutupi identitas dirinya, karena tak mau orang tahu siapa dirinya.
"Ayah, Ibu, maafkan saya. Tapi jika sudah tiba waktunya, kalian pasti tahu siapa aku yang sebenarnya!" Dennis membathin.
Andaikan keluarga Ibu Maryati dan orang – orang di Pondok pesantren Al Fallah mengetahui siapa dia yang sesungguhnya, masih mau kah kiranya orang – orang baik hati itu menerima kehadirannya? Saat itu Dennis memang masih kecil, tapi dia sudah bisa memahami apa yang sekiranya bisa membahayakan dirinya kalau dia sampai membuka rahasia diri. Lama hidup mengembara sebagai anak jalanan, membuat Dennis jauh lebih waspada dari anak kecil seusianya. Biarlah orang - orang di Pesantren hanya tahu kalau dia seorang Dennis Thompson Mc Arthur, anak Inggris yang sebatangkara, tanpa harus mereka tahu siapa sebenarnya kedua orangtuanya? Sebenarnya Dennis terlahir dari keluarga terpandang di Inggris, masih memiliki hubungan kerabat jauh dengan keluarga kerajaan Inggris. Ayahnya bernama Sir Hendrik Thompson Mc Arthur, Ibunya Khaterine Paula Rhamsey, yang lebih dikenal oleh masyarakat Inggris dengan julukan Madam Arthur. Mereka dikenal sebagai pasangan kelas atas, bangsawan, konglomerat yang bergerak dalam bisnis minyak dan properti cukup ternama di Inggris. Memiliki 2 orang anak, James Thompson Mc Arthur dan Dennis Thompson Mc Arthur.
Sayang sekali, kemewahan harta dan kemegahan sebagai keluarga kerajaan Inggris telah merenggut apa yang semestinya menjadi hak Jimmy dan Dennis sebagai anak. Yakni cinta, kasih sayang dan perhatian dari orang tua. Jimmy dan Dennis hanya dibesarkan dengan uang. Ayah dan Bunda terlalu sibuk dengan kerja, kerja dan kerja. Mereka lupa bahwa kedua anak mereka sangat membutuhkan perhatian dan kasih sayang kedua orang tuanya.
Tinggal di rumah mewah, dengan gaya hidup aristokrat masyarakat kelas atas, ternyata tidak pernah bisa memberikan rasa bahagia pada Jimmy dan Dennis. Tapi dalam hal cinta dan kasih sayang, Dennis merasa menjadi anak yang paling beruntung di dunia karena memiliki seorang kakak seperti Jimmy.
Rasa – rasanya tak pernah ada sehari pun yang terlewat tanpa kehadiran James/Jimmy dalam kehidupan masa kecil Dennis. Jimmy kakak yang baik, penuh cinta, kasih sayang dan melindungi. Usia mereka terpaut 5 tahun jaraknya, Jimmy terlahir sebagai anak tertua, dan Dennis sebagai anak kedua. Ketika masih kecil dulu, jika datang musim dingin seperti ini, James dan Dennis selalu menghabiskan waktu bersama – sama. Permainan favorit mereka adalah ice skeating di sungai beku, bagian sisi lain dari sungai Thames yang tak jauh dari rumah mereka. Adakalanya mereka membuat boneka salju dan menghiasnya dengan ranting cemara yang tumbuh didepan rumah, atau bila sedang libur sekolah, James suka mengajaknya belajar bermain ski es di pegunungan, dengan trek yang di siapkan khusus untuk anak – anak.
Saat di sekolah, Jimmy selalu tampil jadi pembela jika ada anak – anak yang jahil pada Dennis, maka dari itu tidak ada seorang anakpun yang berani membully Dennis, karena Jimmy pasti akan tampil didepan untuk membela. Saat menghadapi kesulitan pelajaran di sekolah, dengan sabar Jimmy akan menemani belajar, membimbing dia tanpa pernah marah atau membentak jika Dennis masih kesulitan. Saat ada kegiatan sekolah yang semestinya melibatkan para orang tua, Jimmy lah yang selalu setia mendampinginya. Apalagi kalau sedang berada di rumah, Jimmy begitu telaten merawat dan menjaganya. Walaupun dirumah banyak pelayan, Jimmy sangat tidak mau adiknya diladeni pelayan sepenuhnya, selama dia mampu merawat dan menjaga adik kecilnya, dia akan melakukannya sendiri. Jalan – jalan ke Mall, Piknik, mengisi waktu senggang, Jimmy dan Dennis lebih banyak menghabiskan waktu berdua bersama – sama daripada bersama kedua orang tua mereka. Adapun orang tua mereka sepertinya lebih bangga mengenalkan anak – anak mereka pada relasi bisnis dan kerabat. Dengan bangga mereka akan berkata :
"THIS IS MY CHILD"
Sebuah pengakuan yang kamuflase dan penuh kemunafikan. Mereka memang kerap kali mengajak Jimmy dan Dennis ke acara masyarakat ekonomi kelas atas dan kaum bangsawan, yang sebenarnya paling tidak disukai baik itu oleh Jimmy maupun Dennis. Seperti acara pernikahan, pesta hari Natal, pesta dansa, undangan tradisi minum Teh bersama keluarga kerajaan dan relasi bisnis, berlibur ke luar negeri naik kapal pesiar yang mewah, atau mengikuti olah raga berkuda yang bernama Polo. Tadi juga Dennis sempat melihat lapangan pertandingan Polo yang mewah, dimana saat dia masih kecil dulu sering dibawa oleh Ayah & Bundanya ke tempat itu. Pada saat berwisata dengan kapal pesiar pun kedua orangtua mereka lebih suka berbicara bisnis dengan rekan – rekannya daripada menemani Jimmy dan Dennis menikmati suasana piknik di kapal. Dennis tersenyum tipis, tentu saja orang – orang terdekatnya pada saat ini tidak ada seorangpun yang tahu, jika dirinya pernah berlibur dikapal pesiar termewah didunia pada saat masih kecil dulu. Untuk apa dibanggakan, dan untuk apa orang – orang yang kini berada disekitarnya tahu? Semuanya tak pernah membuat dirinya merasa bangga apalagi bahagia. Orang tuanya tak pernah ada di kala Dennis sedih, mereka tak pernah hadir disaat Dennis membutuhkan perhatian dan kasih sayang. Hanya Jimmy, yah hanya Jimmy seorang yang peduli padanya.
" Jimmy!" Tanpa sadar dia bergemam pelan, gumamannya tidak terdengar oleh Taufiq yang duduk disebelahnya, atau Muhammad yang duduk dibangku depan, kedua anak muda itu malah tertidur pulas, sementara Iqbal sedang berkonsentrasi penuh menyetir kendaraan. Jimmy, mengingat nama saudara kandungnya itu jantung Dennis berdebar kencang.
" Muhammad, Taufiq, bangun! Kita sudah mau sampai!" Iqbal sambil mengguncang tubuh Muhammad dan menoleh pada Taufiq
" Nyenyak sekali tidurku! Hay Brother, maaf aku tertidur, sebentar lagi kita sampai ditujuan!" Muhammad pada Dennis. Dennis hanya mengangguk, sementara Taufiq yang duduk di sebelah Dennis juga ikut bangun.
" Udara dingin membuat jadi ngantuk!" Taufiq sambil menggeliatkan badannya.
Tak lama berselang, Iqbal membelokan mobilnya memasuki sebuah gerbang pintu masuk. Tulisan berkaligrafi indah yang terpahat didinding marmer menyambut kedatangan mereka. Kalimat berbunyi seperti ini :
"ASSALAMU'ALAIKUM WARRAHMATULLAHI WABBARAKATUH. WELCOME TO HUMANITY RELIEF SCHOOL DORMITORIES"
" Asrama sekolah? Semacam pondok pesantren kah kalau di Indonesia?" Dennis membathin. Namun dia tak memiliki waktu untuk memikirkannya. Iqbal memarkirkan mobil di Basemant asrama. Bersama ketiga pemuda yang baru dikenalnya di Bandara tadi, Dennis sibuk membenahi barang yang dibawanya.
" Hey Bung, mengapa anda jalan kesana? Kita bisa pakai lift!" Teriak Taufiq.
" Aku mau lewat depan saja, sekalian mau merasakan aroma salju, sudah lama aku tidak menikmati sensasi salju!" Kata Dennis sambil melambai dan terus melangkah sambil membungkuk dan berjalan tertatih.
" But....!!!" Iqbal tidak menyelesaikan kalimat.
" Tidak apa, aku akan menemani dia. Teman – teman maaf tolong bawa barang – barang dia, simpan dikamarku. Dia rindu dengan panorama hujan salju dinegaranya!" Potong Muhammad. Iqbal dan Taufiq pun tidak mendebat lagi, Muhammad langsung menyusul kemana Dennis melangkah?
Di halaman Asrama putra itu, Dennis membentangkan kedua tangannya. Mantel dan topi hitam yang dikenakannya sudah berubah menjadi putih diterpa salju. Sudah 12 tahun lamanya dia tidak merasakan udara musim dingin seperti ini. Perlahan – lahan Dennis memutar tubuhnya, dan menghirup dalam – dalam aroma udara musim dingin. Sebuah rangkulan menyadarkan lamunannya.
" My Brother, tubuh anda sudah 12 tahun tidak merasakan aroma musim dingin, mungkin tubuh anda akan kaget jika dipaksa beradaptasi secara mendadak, ditambah tubuh anda sedang cedera, anda bisa sakit, cedera anda bisa bertambah parah nanti. Ayo kita masuk. Didalam pasti lebih hangat!" Muhammad menarik tubuh Dennis. Angin berhembus kencang memburu mereka, yah badai salju mungkin akan segera tiba ditempat ini. Dennis berjalan dipapah oleh Muhammad, sambil merapatkan mantelnya.
Iqbal dan Taufiq sudah duduk menunggu di kamar Muhammad ketika Muhammad & Dennis masuk. Asrama putra ini memiliki lantai bertingkat 10, dan kamar Muhammad berada dilantai 6. Ruangannya cukup nyaman, ada dua kamar, ruang tamu, ruang makan dan dapur. Ruangannya sangat rapih dan bersih, kelihatannya Muhammad cukup telaten menjaga kebersihan tempat tinggalnya.
" Asrama disini, satu ruangan dihuni oleh 2 sampai empat orang. Ruangan ini juga dulunya dihuni oleh 4 orang. Cuma, ketiga orang penghuni yang lain, yakni teman – temanku baru saja lulus sekolah Senior Higth School (Setaraf SMA/MA di Indonesia) tahun ini, mereka melanjutkan studi ke Al Azhar, diantara empat orang itu aku yang paling muda, aku baru naik ke grade 12 (Setaraf kelas III/kls 12 SMA/MA) jadilah aku tinggal sendiri disini, makanya Ustadz Abdullah meminta anda untuk tinggal bersama saya disini, mudah – mudahan anda tidak keberatan." Muhammad sambil mengangsurkan secangkir kopi panas pada Dennis.
" Thanks. No, tentu saja saya tidak keberatan, Justru kalau tidak karena kebaikan kamu Muhammad, saya tidak tahu di Inggris ini saya mau tinggal dimana?"
" Saya dan Taufiq beserta dua kawan yang lain, Hakan dan Ekmal, tinggal dikamar seberang. Kalau anda perlu apa-apa, anda tidak perlu sungkan, datanglah pada kami, Inshaa Allah kami akan bantu sekemampuan apapun yang kami bisa untuk anda!" Iqbal tersenyum.
" Thankyou my Friends!" Seloroh Dennis.
" Hey tidak ada teman dalam Islam. Tapi kita semua saudara, saudara dalam satu ikatan iman, bukan begitu My Brother?" Timpal Iqbal lagi.
" Al Right, we are Brothers In Islam!" Dennis terharu. Hilang sudah keraguannya. Dia yakin, dia kini berada ditengah orang – orang ikhlas yang mau menerima kehadirannya. Kehangatan pun menjalar disekitar ruangan sederhana tapi asri ini, bukan karena pengaruh mesin penghangat ruangan yang dari tadi sudah dinyalakan oleh Muhammad, atau secangkir kopi panas yang tergenggam ditangan mereka masing - masing. Bukan itu, melainkan kehangatan yang menjalar dari keakraban dan suasana persaudaraan dari orang – orang asing yang ikhlas menerima kehadiran Dennis, seseorang yang baru pertama kali mereka kenal di Bandara tadi.
Muhammad, Iqbal dan Taufiq hanya mampu tefekur ketika Dennis kembali mengurai cerita kronologis kejadian di Bandara tadi.
" Sikap Islamiphobia orang Eropa dan Amerika memang sangat keterlaluan. Itu akibat pengaruh dari pemberitaan media milik kaum Yahudi yang tidak henti – hentinya menyebarkan berita bohong dan fitnah kepada umat Islam." Kata Iqbal.
" Muhammad dan Iqbal, kalian tentunya pernah ingat, aku juga pernah mengalami kejadian yang sama persis dialami oleh saudara kita, Dennis." Seloroh Taufiq.
" Ya, waktu kamu liburan ke Amerika kan tempo hari?" Tanya Muhammad.
" Kamu mengalami juga Taufiq?" Tanya Dennis.
" Iya. Waktu itu aku dan seorang kerabatku baru saja mendarat di Bandara Jhon F Kennedy New York City. Aku membawa tas gendong, tiba – tiba Tas gendong yang kubawa jatuh terlepas, tanpa sadar aku berteriak :"ASTAGFIRULLOHHAL ADZIM". Dan teriakanku, membuat orang – orang di Bandara JFK spontan tiarap karena panik. Aku pun digelandang petugas seperti seorang bajingan teroris, persis kayak yang kamu alami Dennis. Bayangkan, tas gendong jatuh bisa membuat semua orang tiaraf dan panik, gila!" Desis Taufiq geram.
" Tapi kita tidak boleh menyerah my Brothers, tugas kita untuk menyadarkan mereka semua, kita muslim dan Islam bukan teroris!" Iqbal berapi – api.
" Its, good! Iqbal, sebaiknya kita pamit. Dennis pasti ingin istirahat setelah menempuh perjalanan panjang yang melelahkan. Nanti lain waktu obrolannya kita sambung!" Ajak Taufiq.
" Ok My New Brother, welcome to England, kita sama – sama berjuang dinegeri ini, selamat beristirahat. Assalamu'alaikum!" Salam Iqbal sambil memeluk Dennis.
" Waalaikumsalam!" Jawab Dennis sambil memeluk kedua sahabat barunya. Iqbal dan Taufiq pun keluar ruangan.
" Oh Masya Allah!" Keluh Dennis sepeninggal Iqbal dan Taufiq.
" Ada apa?" Muhammad kaget.
" Smartphone ku rusak. Bagaimana caranya aku bisa menghubungi keluarga di Indonesia kalau aku sudah tiba dengan selamat di Inggris, dan bertemu dengan orang – orang baik seperti kalian?" Dennis menarik nafas panjang.
" Apa kartunya ikut rusak? Sini aku coba periksa!" Tawar Muhammad. Dennis memberikan Smartphonenya yang sudah rusak, remuk tanpa bentuk kepada Muhammad yang langsung menerimanya. Muhammad memasukan kartu dari Smartphone Dennis ke Smartphone miliknya.
" Assalamu'alaikum Mr. Abdullah, saya Muhammad, bukan Dennis. Smarhphone Dennis rusak, takut nomornya rusak juga. Jadi saya mencoba menghubungi anda pakai kartu beliau. Ya Alhamdulillah, beliau sudah tiba dengan selamat di tempat saya. Oh Dennis, anda mau bicara dengan Ustadz Abdullah?" Muhammad mengangsurkan HandPhone, Dennis mengangguk. Segera dia mengambil Smartphone dari tangan Muhammad. Tak lama berselang, Dennis sudah terlibat pembicaraan dengan Ustadz Abdullah, Muhammad hanya diam mendengarkan. Tak lama berselang, Dennis menutup pembicaraan dengan mengucapkan salam. Ketika Dennis hendak menghubungi keluarganya di Indonesia, Muhammad malah mencegahnya.
" Why?" Dennis heran.
" Biaya roamingnya mahal Brother kalau hubungan antar negara, Ibumu pakai telepon rumah atau pakai Hp?" Tanya Muhammad.
" Pakai Hp, tapi jarang dibawa kalau sedang mengajar."
" Ibu anda guru?"
" Guru agama."
" Waw, Subhannallah. Kira – kira sekarang di Indonesia jam berapa?"
" Sekitar jam 10;00 malam. Pastinya Ibu belum tidur, menunggu khabar dari saya."
" Mahal kalau pakai dari HP, bisa jebol pulsamu. Pakai yang itu saja!" Tawar Muhammad. Sambil menunjuk ke meja telepon yang berada dekat pintu masuk kamar ke 1.
" Tapi nanti bayar pulsanya mahal!"
" Tidak penting, bukankah yang terpenting Ibu dan keluargamu tahu kamu sudah tiba dengan selamat di Inggris, iya kan?" Muhammad tersenyum tulus. Ya Allah, sama sekali Dennis tidak pernah mengenal, siapa anak muda ini? Tapi dia begitu tulus menerimanya, bahkan mungkin sedang berusaha mengamalkan ajaran Rasululloh tentang keutamaan memulyakan tamu. Subhannallah, pemuda bule yang berdiri dihadapannya barangkali sedang berusaha menanamkan nilai keislaman. Dennis tidak percaya, adakah ahlaq dan jiwa seperti ini ditengah masyarakat Inggris yang hedonis, materialistis dimana segala sesuatu selalu dinilai dengan bentuk kebendaan semata? Masya Allah, mata biru Dennis menjadi berkaca – kaca. Tinggallah dia kini yang harus berbijaksana menghemat pulsa agar anak muda baik hati itu tidak berat membayar biaya pulsa. Dennis cukup tahu, tingginya biaya hidup dinegeri Britania Raya ini.
Muhammad hanya mesem – mesem saja mendengar percakapan Dennis dengan keluarganya di Indonesia dengan menggunakan bahasa yang bagi dirinya seperti bahasa asing dari planet antah berantah.
" Kamu tenang saja, mungkin tadi bagimu bahasa yang kugunakan asing. Percayalah, aku tidak bercerita yang jelek tentang anda. Aku hanya mengabari keluargaku kalau aku sudah tiba di Inggris dengan selamat, dan bertemu dengan para pemuda baik hati yaitu kamu, Iqbal dan Taufiq!" Dennis tersenyum, Muhammad pun hanya manggut – manggut. Tiba – tiba Dennis terdiam, dia seperti teringat sesuatu.
" Muhammad, jam berapa ini?" Dennis melihat jam yang tertempel didinding.
" Jam 17:00 sore. Ada apa lagi?"
" Masya Allah, aku telah banyak melewatkan waktu sholat!"
" Anda belum sholat Ashar?"
" Bukan hanya sholat Ashar, sepanjang di pesawat, aku lebih banyak tertidur. Jadi banyak waktu sholat yang telah aku lewatkan. Ya Allah, aku harus sholat sunat Taubat, sekalian masih ada waktu menjama Ashar dengan Dhuhur hari ini. Dimana letak mesjid Asrama Muhammad?"
" Diluar sangat dingin Brother, dan anda juga sedang terluka, anda bisa sholat di ruangan ini, atau di Mushola Asrama di Basemant!".
" Aku hanya ingin di mesjid, please Brother!" Dennis berharap.
" Tapi lukamu?" Muhammad ragu.
" Jangan pedulikan lukaku. Luka saudara – saudari kita di Syria dan Iraq jauh lebih berat dari ini. Atau saudara kita di Palestina yang harus bertaruh nyawa hanya untuk bisa sholat di mesjid Aqsho, lukaku ini tidak seberapa bandingannya, my brother!" Dennis dengan sorot mata tajam. Muhammad tidak sanggup menjawab, dia segera masuk ke dalam kamarnya, tak lama kemudian muncul lagi membawa dua buah mantel dan topi tebal.
" Pakai ini punya saya dulu, punya anda masih basah, dan anda barangkali belum sempat membongkar koper pakaian anda, kebetulan saya juga belum sholat Ashar, mari sekalian kita ke mesjid!" Muhammad sambil menyerahkan Mantel tebal dan topi kepada Dennis. Dennis menerimanya sambil tersenyum.
Wushhhh!!! Udara dingin menyambut mereka ketika kedua pemuda kulit putih itu membuka pintu utama lantai bawah asrama menuju mesjid. Dennis dan Muhammad merapatkan mantel ke badan. Timbunan salju sampai menembus tiga perempat kaki mereka, kedua anak muda ini sampai harus mengenakan sepatu booth. Ternyata, letak mesjid tidak begitu jauh, hanya beberapa blok dari Asrama, justru letaknya ditengah – tengah antara asrama putra, asrama putri dan sekolah. Sesaat Dennis terpesona dibuatnya, dia tidak percaya, ditengah kehidupan kota London yang Megapolitan, ada kehidupan dan lingkungan seperti ini.
" C'mont Brother!" Muhammad menepak punggung Dennis, lagi – lagi anak muda ini untuk yang kedua kalinya membuyarkan lamunan Dennis.
"Aaaugghh!" Tiba – tiba rasa sakit ditulang rusuk Dennis datang kembali menusuk, dia sampai membungkukan badan menahan nyeri.
" Masya Allah, mari saudaraku!" Sigap Muhammad memapah tubuh Dennis, melanjutkan langkah menuju masjid.
Terasa kehangatan kembali menjalar ke sekujur tubuh Dennis ketika kedua belah tangannya mengangkat melakukan Tahkbiraratul Ihrom, maha Suci Allah atas segala Rahmat dan karuniaNya yang Maha Agung, Dennis untuk pertamakalinya bisa bersujud ditanah leluhurnya. Air mata deras bercucuran saat keningnya bersujud kehadirat Illahi, Subhannallah, nikmatnya yang mana lagi yang dapat dia dustakan dari Tuhannya? Dulu, ketika dia pergi meninggalkan tanah Inggris, dirinya hanya bocah yang berumur 10 tahun, belum mengerti apa – apa, tapi pernah merasakan kerasnya kehidupan jalanan di Inggris dan masih memahami ajaran agama yang dianut nenek moyangnya. Tapi sekarang dia kembali menginjakkan kaki ditanah leluhurnya dalam keadaan sudah dewasa, merasa jauh lebih baik dan sedikitnya mulai memahami apa itu Islam?
Setelah selesai bermunajat, Dennis tidak berniat segera pergi meninggalkan ruangan mesjid ini. Dia merasa betah berlama – lama di rumah Allah ini. Diluar, udara begitu dingin menggila, tetapi diruangan ini Dennis merasakan kehangatan melihat geliat syiar keagamaan yang sepertinya tidak pernah sepi.
" Iqbal?" Dennis kaget. Tidak jauh dari tempat dia bersandar, dihadapannya terlihat Iqbal sedang duduk dikelilingi anak – anak remaja baik putra maupun putri, mungkin mereka bukan seorang muslim, karena tidak ada satupun anak remaja putri yang mengenakan pakaian hijab.
" Jangan heran, mereka bukan muslim. Tapi mereka itu anak SMA yang sedang mencoba memahami apa itu Islam? Ada yang datang dengan sendirinya, ada yang diajak temannya, dan ada juga karena tugas dari sekolah. Dan Iqbal, dia pemuda yang luar biasa. Lihat gaya bicaranya yang begitu atraktif, tidak sedikit ada sebagian para ABG sesudah diskusi dengan Iqbal, langsung mengucapkan dua kalimah syahadat." Muhammad tiba – tiba duduk disebelah Dennis.
" Subhannallah, begitukah?"
" Iqbal seorang pejuang aqidah sejati, begitu menurutku. Semangat jihadnya sangat luar biasa. Dia tidak hanya aktif di mesjid sekolah, dia juga aktip diorganisasi Asosiasi Muslim Inggris, rajin menggalang dana untuk membantu saudara seiman dibelahan bumi manapun, rajin mengisi kajian keIslaman dengan keliling negeri Britania raya ini, bahkan tak jarang dia terjun langsung ke daerah konflik untuk menyampaikan bantuan. Baru sebulan yang lalu, dia pulang dari Afghanistan. Bahkan dalam waktu tidak lama lagi, dia akan berangkat ke Somalia dan Bangladhes bersama team kemanusiaan Asosiasi Muslim Inggris, menyalurkan bantuan pangan titipan para donatur di Inggris untuk membantu masyarakat yang kelaparan di Somalia. Jihadnya jihad nyata, bukan hanya kata-kata!" Muhammad sambil tak lepas memandang Iqbal yang sedang berdiskusi.
" Ya Allah, Iqbal seorang pejuang? Berapa usianya?"
" Sama dengan anda, 22 tahun. Darah pejuang memang mengalir deras dalam tubuhnya. Iqbal bukan orang Inggris, dia pemuda Palestina."
" Apa? Jadi dia orang Palestina? Dan umurnya sama denganku? Tapi muka, kulit dan postur tubuhnya menyerupai pemuda Eropa?"
" Itulah barangkali salah satu keistimewaan yang Allah berikan pada bangsa Palestina, letak negaranya berada dibenua Asia, istimewanya banyak dari mereka yang menyerupai orang Eropa, tapi satu yang membedakan antara orang Eropa dan Palestina. Kulit boleh sama putih, postur boleh sama tinggi, tapi Aqidah dan keimanan yang membedakan, bangsa Palestina adalah Bangsa pejuang, bumi mereka, bumi para syuhada. Itu yang membedakan." Muhammad tak melepaskan pandangan mata dari Iqbal yang sedang berbicara.
" Ya. Darah pejuang yang mengalir dalam tubuh Iqbal berasal dari kedua orangtuanya, Inshaa Allah mereka menjadi martir yang sahid dijalan Allah. Anda pernah mendengar peristiwa penyerangan mesjid Al Aqso yang dilakukan oleh Zionis Israel ditahun 1994?" Muhammad melanjutkan kata-katanya.
"Peristiwa penyerangan keji yang terkenal dengan peristiwa shubuh berdarah tahun 1994 dibumi jihad Palestina!" Jawab Dennis.
" Ayah Iqbal gugur sebagai Syuhada demi mempertahankan mesjid Al Aqso dari pendudukan tangan Zionis. Menurut cerita yang pernah kudengar, ayah Iqbal nekad masuk ke dalam mesjid yang sudah dikepung oleh pasukan zionis untuk melakukan Adzan shubuh. Ketika sedang mengumandangkan Adzan, beliau sahid di berondong peluru tentara zionis biadab." Terang Muhammad dengan sorot mata berkaca.
" Innalillahi, Inshaa Allah itu kematian yang mulia!" Jawab Dennis serak.
" Saat itu Iqbal masih bayi, sepeninggal ayahnya, ibu Iqbal tetap bertahan di Palestina untuk membesarkan Iqbal, namun lima tahun kemudian, sang Bunda juga dipanggil menghadap Allah. Pada hakekatnya, Ibunda Iqbal ternyata seorang pejuang juga. Dia aktif dipergerakan bawah tanah penggerak jihad Islam di Palestina, bahkan katanya kelihaian Ibunda Iqbal dalam perjuangannya membuat kaum Zionis jeri dan ketakutan, maka tak ayal lagi perempuan mulia pemberani itu harus syahid di racun oleh kaum Zionis. Iqbal sudah menjadi yatim piatu sejak umur 5 tahun. Sejak kematian Ibunya, Iqbal di asuh oleh tetangga yang baik hati, sampai keberadaannya diketahui oleh para relawan muslim Inggris yang sedang menjalankan misi kemanusiaan, menyampaikan bala bantuan untuk warga Palestina yang sedang tertindas. Atas inisiatif para relawan, Iqbal dipinta untuk dibawa ke Inggris, dengan tujuan agar Iqbal bisa tumbuh untuk meneruskan sepak terjang kedua orangtuanya."
" Dan tentunya bukan hal yang mudah bagi para relawan itu untuk bisa membawa Iqbal keluar dari Palestina."
" Mengapa?" Dennis heran.
" Sebagian kerabat Iqbal takut jika Iqbal di bawa ke negeri Inggris, iman Islamnya akan terkikis, anak – anak di Palestina sebelum berumur 10 tahun rata – rata sudah khatam Al Qur'an berkali – kali dan sudah menjadi Hafidz/Hafidzah, mereka merasa ngeri dengan kehidupan masyarakat disini."
" Terus apa yang menyebabkan Iqbal bisa berada disini?"
" Relawan itu berhasil menyakinkan kerabat Iqbal. Karena tidak ada pilihan lain agar garis keturunan orang tua Iqbal tidak terputus, Iqbal harus selamat, dia harus dibawa keluar dari zona perang, agar jika dewasa kelak, dia bisa meneruskan perjuangan kedua orang tuanya. Melihat kesungguhan para relawan itu, keluarga besar Iqbal pun akhirnya luruh. Dan tahu kah kamu Dennis, siapa relawan berhati mulia yang membesarkan Iqbal? Dialah Syech Abdullah, dia dan istrinya merawat dan membesarkan Iqbal seperti anak sendiri, sampai Iqbal bisa menjadi seperti sekarang ini!" Terang Muhammad sambil nanar menatap Iqbal yang sedang memimpin majelis.
" Subhannallah, Allahu Akbar, mulia sekali Syech Abdullah dan istrinya yang sedemikian kasihnya merawat anak yatim piatu putra para mujahid dan mujahidah." Mata Dennis berkaca-kaca.
Sekeluar dari mesjid, untuk beberapa saat Dennis masih terpana melihat hilir mudik muda – mudi para santri di sekolah ini. Rasa kagum terpancar dari sorot mata birunya melihat banyak para gadis berlalu lalang mengenakan pakaian hijab muslimah.
" Hey Brother, jangan terpesona dengan pemandangan disini. 100 meter kalau kamu keluar melewati pintu gerbang itu, kau akan menemukan sesuatu yang lain, negeri Inggris yang sesungguhnya." Tegur Muhammad. Dennis pun hanya tersenyum simpul, membenarkan pendapat anak muda remaja kelas 12 SMA itu (Kalau di Indonesia)