Joy menatap film horor di depannya. Sebenarnya tidak terlalu buruk melihat film genre romantis horor seperti ini. Joy suka film romantis. Yang jadi masalah Joy tidak suka saat adegan kissing seperti sekarang.
Secara otomatis ia menutup wajahnya dan berpaling ke samping. Ke arah vino lebih tepatnya. Dari jarak seperti ini ia bisa mencium aroma parfum menguar dari tubuh Vino. Aroma mint yang menyegarkan.
Kenapa si penulis terlalu terobsesi dengan peran di novel sih sampai-sampai aroma tubuh vino baunya seperti mint yang dingin. Sedingin sikapnya pada orang lain. Benar-benar cocok untuk Vino.
"Apa sudah selesai?" Tanya Joy dengan posisi yang sama.
Alasan Joy benci adegan skinship yang berlebih adalah karena sensasi geli saat melihat adegan-adegan itu. Klise memang. Padahal kalau di pikir Joy itu jomblo dari lahir. Mana tau rasanya ciuman.
Pipi Joy terasa sangat panas. Dapat ia tebak seluruh wajahnya memerah sekarang. Wajahnya pasti seperti kepiting rebus sekarang.
"....."
Tak ada jawaban dari vino. Manusia es ini lagi-lagi diam tak mau bicara. Sepertinya sifatnya kembali seperti semula. Huh, Joy memang tidak berharap lebih untuk dijawab Vino.
Joy membuka tangannya. Jarak wajahnya dengan pipi vino lumayan dekat. Kalo boleh jujur pipi putih vino terlihat mulus tanpa jerawat. Joy mengerjap beberapa kali. Benar-benar tampan. Ia dapat melihat wajah Vino yang fokus melihat ke arah layar. Bersikap biasa dan acuh dengan jarak diantara mereka berdua.
Untuk kesekian kalinya Joy harus berkata kenapa penulis novel selalu membuat gambaran second lead sesempurna ini? Kalau ia jadi Irene mungkin ia akan memilih vino daripada jinno yang kadang menyebalkan. Walau vino dingin, dia memancarkan aura yang membuat orang jatuh cinta. Entahlah... Empat orang ini memang terlalu sempurna sampai-sampai hampir semua laki-laki didunia novel ini terlihat jelek jika dibandingkan dengan ke empat orang ini. TT
Saat Vino berdehem, Joy kembali memandang ke arah layar didepan. Ekspresi vino tadi terlihat agak marah. Mungkin vino merasa tak nyaman dengan skinship. Apalagi Joy dengan terang-terangan menatapnya dengan jarak sedekat itu. Seakan dia berniat melakukan sesuatu yang mesum ke Vino.
Joy menggigit bibir bawahnya. Sebenarnya ada apa dengan vino? Dia seperti sedang marah pada seseorang. Apa vino marah padanya? Tapi apa kesalahannya? Apa karena wajahnya terlalu dekat dengan vino tadi? Atau apa vino menganggap Joy itu berniat melakukan hal yang mesum? Seperti mencium pipinya tiba-tiba, mungkin.
Joy mencoba fokus ke dalam film yang dilihatnya sekarang. Ia menggigit jari-jarinya. Tapi beneran, Joy berfikiran kayak gini bukan karena ia mesum ya. Pipi vino tadi terlihat cium able banget. Untung Joy masih waras sehingga nggak langsung nyium pipi vino tadi. Kan aneh kalo Joy tiba-tiba nyium gitu aja.
Film yang Joy tonton berakhir begitu saja tanpa terasa. Joy dan vino menghela nafas bersamaan. Mereka berdua bertatapan hingga lampu teater dinyalakan. Bahkan gestur tubuh mereka berdua sama. Sayang sekali Vino dan Joy sibuk dengan pikiran masing-masing. Joy yang masih berfikir tentaYang pasti situasi Vino yang terlihat marah, sedangkan Vino dengan pikirannya yang sangat sulit Joy tebak. Situasi sekarang agak canggung menurut Joy.
"Akhirnya selesai juga..." Alka merenggangkan badannya.
"Aku lapar..." Ucap jinno.
"Ayo makan sesuatu yang enak." Ajak sehan. Dia berdiri paling awal.
Joy mengalihkan pandangannya. Tuh kan vino terlihat marah. Ia buru-buru berdiri dan mendahului mereka keluar gedung teater. Ini benar-benar acara nonton film yang kacau.
"Kau mau kemana Joy??" Cegat Irene. Ia menahan tangan Joy.
"Maaf teman-teman aku harus pulang sekarang." Joy mencoba tersenyum paksa. Senyum andalannya.
"Ayolah Joy... Kau tak ingin merayakan hari jadian ku dengan Irene??"
Joy menatap ke arah tangan jinno yang merangkul Irene tanpa berkedip. Mungkin ia lupa caranya. Yang pasti ia merasa kaget dengan apa yang di ucapkan jinno barusan.
Kalau jinno terang-terangan seperti ini bagaimana dengan perasaan vino? Joy melirik ke arah vino. Wajahnya tetap sama. Mungkin ini alasan vino terlihat marah dari tadi. Kita semua bisa menebak apa yang akan terjadi di dalam novel bukan?
Hati kecil Joy ingin menangis rasanya sekarang. Walau Joy tak pernah merasakan secara langsung tapi pasti sakit rasanya jadi vino. Bayangkan tunanganmu berpacaran dengan sahabatmu di depanmu. Apalagi ditambah kau menyukai tunanganmu itu. Pasti terasa sangat rumit dan menyesakkan.
"Hahahhaha.... Lihat ekspresimu itu Joy. Kau seakan mau menangis sekarang." Jinno menunjuk ke arah wajah joy.
"Tenang saja aku hanya bercanda"
Ingin rasanya joy menelan hidup2 jinno sekarang. Sungguh lelucon yang tidak lucu.
'Dasar jin tomang pengganggu ketentraman hati manusia. Mati saja kau'
Joy berusaha tidak mengumpat sekarang. Sebisa mungkin ia tidak memukul kepala Jinno.
"Berhenti menggoda ibu dengan leluconmu itu jin..." Alka bergelayut manja di tangan Joy.
"Benar jangan ganggu Joy ku." Irene memukul punggung jinno bertubi-tubi. Hal itu membuat rasa kesal di hatinya sedikit terobati saat mendengar suara kesakitan jinno.
"Aku ada jadwal pemotretan sekarang. Ayo Joy sekalian aku antar kau pulang." Ajak vino dengan muka dinginnya.
Sebenarnya Joy takut dengan vino sekarang. Tatapannya terlihat marah. Tuh kan. Pasti sebesar itu rasa sukanya pada irene. Kasihan sekali vino. Tapi kalau ia pulang bersama vino itu bisa menghemat uang bukan? Joy mencoba menimbang antara pulang dengan vino atau tetap bersama mereka.
"Kau tidak asik sekali sih. Ayolah... Kapan lagi kita berkumpul seperti ini?" Bujuk jinno dengan segala ketidakpekaannya.
Kenapa irene menyukai jinno yang seperti itu?? Joy merasa gemas ingin menendang jinno sekarang. Apa semua tokoh utama selalu seperti ini? Tidak peka dan seenaknya sendiri.
"Hei.... Ini sudah mulai malam. Sebaiknya kita pulang saja. Ayo ka, kita pulang. Bukankah kita harus bertanding PUBG?"
"Ahh... Aku baru ingat. Kita duluan teman-teman."
Ingin Joy ikut mereka. Tapi mereka sudah pergi tergesa-gesa. Dasar game sialan. Sekarang harapan terakhirnya adalah Irene. Memang sebegitu enggannya Joy pulang bersama vino yang terlihat seperti orang PMS.
"Joy kita duluan ya." Jinno menarik Irene pergi membuatnya hanya berdua dengan vino.
Ada apa dengan orang-orang hari ini. Seakan semua sudah direncanakan dari awal. Joy kan tidak mau dijutekin vino selama perjalanan nanti. Apalagi dengan vino dengan mode senggol bacok seperti ini. Salah-salah Joy bisa jadi sasaran kemarahan Vino.
"Ayo Joy kita pulang." Vino jalan duluan di depan.
Baiklah Joy, jangan sampai memancing singa yang sedang tidur. Semua akan baik-baik saja selama kau tak menambah masalah. Ingat Joy, diam itu emas.
"Jalanmu lama sekali." Vino menarik tangan Joy dan menggenggamnya agar Joy bisa sejajar dengannya.
Tangan vino ternyata terasa hangat. Entah mengapa tangan besar terasa pas saat menggenggamnya. Padahal ia kira tangan vino akan terasa dingin sedingin sikapnya. Tapi kali ini Joy keliru. Ada sesuatu yang menghangat di dadanya sekarang.
Selama perjalanan Vino hanya diam saja. Hari ini ia tidak memakai supir. Padahal biasanya pak min selalu standby menemaninya kemanapun vino pergi.
Sesekali vino meliriknya. Apa yang salah dari dirinya? Padahal Joy tidak melakukan kesalahan apapun.
"Vin... Ucapan jinno tadi..."
"Aku tau. Bukankah mereka pasangan yang serasi?"
Kata-kata vino barusan membuat mata joy berkaca-kaca tanpa sadar. Pasti rasanya sakit bila di posisi vino. Menahan cinta sepihak selama bertahun-tahun itu terasa lebih menyakitkan. Perjuangan bertahun-tahun tanpa ada balasan. Pantas vino marah tadi. Perasaan marah, sedih sakit yang bercampur menjadi satu.
"Pasti rasanya berat sekali." Guman Joy. Ia mencoba menyeka air mata yang keluar. Joy tak bisa menghentikan air matanya yang terlanjur keluar. Ia merasa sangat sakit sekarang padahal ia tidak di posisi Vino saat ini.
Vino meminggirkan mobilnya. Ia menatap ke arah Joy intern. Sifat Joy yang unik ini cukup membuatnya terkejut. Tiba-tiba saja gadis ini menjadi melankolis. Sebenarnya apa yang membuat Joy menangis seperti ini? Seakan-akan Joy sendiri yang mengalaminya. Benar-benar gadis yang unik.
"Aku berharap kau bahagia vin."
Joy sungguh-sungguh mengatakannya. Tangisnya pecah. Ia sudah banyak membaca cerita novel picisan dulu. Dan ia sudah hafal dengan jalan ceritanya. Dan sesuatu yang selalu ia benci adalah ketika yang bahagia hanyalah si main lead saja meninggalkan second lead seperti Vino menahan rasa sakit sendirian. Patah hati sendirian.
Joy benar-benar ingin semua orang bahagia. Terutama vino yang menjadi second lead. Kalau bisa ia ingin mengenalkan gadis lain agar vino melupakan Irene. Tapi pasti percuma karena pesona Irene terlalu besar. Karena didalam hati Alvino pasti sudah terpatri nama Irene.
"Joy..." Panggil Vino dengan suara lembut. Suara bassnya terdengar penuh perhatian.
Joy menatap ke arah Vino masih dengan tangisannya. Tangisan yang bahkan membuat siapapun yang melihat bingung.
"Jangan menangis. Tak ada yang bisa di tangisi." Vino menyeka air mata Joy lalu memberikan sapu tangan. Tatapan berubah sendu.
"Tapi aku ingin kau bahagia lebih dari apapun. Walau bukan dengan Irene, ku harap kau selalu bahagia." Bukannya berhenti Joy malah tambah menangis.
Vino diam menatap Joy. Ia benci melihat Joy menangis lebih dari apapun. Cukup sekali ia egois hingga hampir kehilangan Joy. Kata-kata Joy benar-benar membuat hatinya lebih baik.
Andai Joy tau siapa yang menjadi pusat kebahagiaannya sekarang. Sayang takdir tak berpihak padanya lagi kali ini. Tak ada yang berjalan lancar di dalam kamus cintanya. Seakan takdir menertawakannya yang selalu jatuh cinta sebelah tangan.
"Aku lebih ingin melihatmu bahagia Joy." Lirihnya. Terlalu lirih hingga hanya dirinya saja yang bisa mendengar.
Selalu ada prioritas didalam hidup. Begitu pula bagi Joy dan vino. Joy yang ingin kebahagiaan temannya dan akhir cerita happy ending untuk semua orang. Termasuk happy ending untuk Vino. Dan alvino yang ingin melindungi Joy dari sang ayah.