BAB 7

Aku meminta Deni untuk menemuiku di gudang belakang, ini juga bagian dari rencanaku dan Vano. Sesuai dengan yang ku harapkan, Deni datang menemuiku. Aku berharap setelah ini Vano akan percaya padaku.

“Selamat siang sayang. Aku tahu kau pasti merindukanku sehingga kamu meminta untuk bertemu denganku disini.” Deni memang laki-laki jalang, seenaknya saja dia datang-datang lalu memelukku.

“Lepaskan aku!” Bentakku dan melepaskan pelukannya.

“Ayolah sayang, tidak perlu malu. Tidak ada siapa-siapa disini. Semua orang sedang tidak ada dirumah. Kau tahu, saat kau meminta ingin bertemu denganku, aku langsung bergegas pulang. Aku mencintaimu Mila.” Ujar Deni, dan terdengar menjijikkan bagiku.

“Aku mau kamu tinggalkan Indi. Kamu tidak pantas untuk wanita sebaik Indi.” Pintaku.

“Hahaha… okeoke baiklah, akan ku tinggalkan dia demi kamu. Tapi sebelum itu, jika tidak seluruhnya setidaknya aku harus mendapatkan sebagian properti keluarga Adibrata. Lalu kita akan hidup bahagia.” Jelasnya. Sesuai dengan yang aku harapkan, Deni mempermudah jalanku.

“Tidak. Sampai kapanpun aku tidak akan pernah mau hidup bersama laki-laki sepertimu.” Jelasku.

“Loh kenapa? Bukankah aku laki-laki yang tampan dan menarik, setelah aku mendapatkan semua tujuanku, aku akan membuat hidupmu bahagia sayang.”

“Hentikan ocehanmu itu, kamu tidak akan pernah mendapatkan apapun dari tujuanmu itu.”

“Lupakan soal itu, aku sangat merindukanmu sayang. Aku sangat marah padamu karena kamu menikahi iparku yang bodoh itu.” Deni memelukku kembali.

“Lepaskan aku Den, atau aku akan berteriak.” Ancamku sambil meronta ingin melepaskan diriku dari pelukannya.

“Berusahalah sekuat mungkin, tidak aka nada yang menolongmu. Aku tidak akan melepaskanmu. Kamu harus jadi milikku selamanya Mila.” Racaunya.

“Lepaskan… lepaskan aku. Kamu gila Deni!”

“Kak Mila!!” Terdengar suara Indi meneriaki namaku. Spontan Deni melepaskan pelukannya.

“Sayang.. sayang.. ini gak seperti yang kamu bayangkan. Aku bisa jelaskan semuanya.” Deni mencoba membela dirinya.

“Minggir kamu!” Bentak Indi padanya, aku merasa senang karena Indi tidak termakan oleh tipu dayanya lagi. Tapi sesaat kemudian ku rasakan panas pada pipi sebelah kiriku. Indi malah menamparku.

“Indi.” Lirihku.

“Aku tidak pernah menyangka bahwa aku menyimpan ular di rumahku. Kamu itu istri Kakakku, dan Deni itu suamiku. Tapi kamu…” Indi mulai menangis.

“Indi! Apa yang kamu lakukan? Mengapa kamu menampar Mila? dia tidak bersalah.” Meskipun sakit merasakan tamparan Indi, tapi aku senang setidaknya Vano mulai percaya padaku.

“Kakak membelanya?” Tanya Indi tidak percaya.

“Kamu dengarkan Kakak! Bukankah kita sudah menyaksikannya sendiri bahwa laki-laki bejat ini memang tidak pantas untuk kamu cintai. Hatinya terlalu busuk. Sadarlah dek, jangan dibutakan oleh cintamu.” Jelas Vano.

“Kamu yang jangan dibutakan oleh cintamu pada istrimu. Dia bukan wanita yang baik untukmu. Sayang, ku mohon percayalah padaku. Jangan dengarkan mereka, aku sangat mencintaimu. Mila yang memintaku datang kemari, lihat ini sms nya padaku. Dia yang menggodaku disini sayang.” Deni benar-benar orang yang licik, dia malah memutar balikkan faktanya.

“Tidak. Jangan percaya padanya. Kakak hanya ingin menolong kamu, Kakak tidak ingin dia menyakiti kamu. Dia bukan laki-laki yang pantas untuk mendapatkan kamu.” Aku mencoba meyakinkan Indi.

“Apa ini Kak Mila? Jika suamiku bukan orang yang baik untukku, lalu siapa? Dan kenapa Kakak memintanya untuk datang kemari, dan kenapa Kakak memeluk suamiku? Itu sudah cukup membuktikan bahwa Kakak tidak ada bedanya dengan suamiku.” Tangis Indira semakin pecah.

“Apa ini? Apa yang aku lihat ini? Kenapa kau menyudutkan adikku?” Tiba-tiba suara yang tidak asing ditelingaku menyela pembicaraan kami.

“Kakak…” Aku sangat bahagia sekali melihat Kakakku Mike datang mengunjungiku bahkan disaat yang tepat, aku berlari memeluknya. “Kapan Kakak kembali dari Sidney?” Tanyaku. Aku begitu merindukannya. Jujur saja, entah sejak kapan hanya nama Kak Mike lah yang terukir indah dihatiku. Diam-diam aku mencintainya, aku sudah berusaha sekuat mungkin untuk membunuh perasaanku padanya karena dia adalah Kakakku. Sebenarnya tidak ada masalah jika kami saling mencintai, toh kami bukan saudara kandung. Tapi aku tahu, sampai kapanpun rasaku tidak akan mungkin berbalas. Karena jika itu terjadi maka kami berdua akan menyakiti hati Mama dan Papa. Sama seperti yang pernah dikatakan oleh Kak Mike, aku tidak boleh mencintainya, aku harus membuang jauh-jauh perasaanku padanya. Karena sampai kapanpun, hubungan kami, cinta dan kasih sayang diantara kami hanya akan sebatas Kakak dan Adik. Aku kecewa, tapi aku mencoba untuk mengerti dengan penolakan Kak Mike. Aku yang salah dalam hal perasaan yang ku miliki terhadapnya. Tapi walaupun ia mengetahui semua itu, ia sama sekali tidak pernah menjauhiku. Dia menganggapku gadis remaja yang belum mengerti arti cinta sesungguhnya.

“Tadi malam. Apa ini Mila? Aku datang mengunjungimu ingin melihat keadaanmu disini, tapi kamu malah diperlakukan seperti ini?” Terlihat ada amarah di mata Kakakku. “Dengar Nona, kau sama sekali tidak berhak menghakimi Adikku. Aku lebih mengenal Adikku daripada kalian semua. Dan kau Deni, jangan kamu pikir kamu bisa menghancurkan hidup Adikku setelah kami menolakmu menjadi menantu dirumah kami. Tinggalkan Adikku, aku tidak akan pernah membiarkanmu mendekati Mila lagi. Hiduplah bersama wanita bodoh ini, itupun jika dia masih sama bodohnya sebelum dia mengetahui kebenaran tentangmu.” Lanjut Kak Mike.

“Apa? Aku bodoh? Kau mengatakan aku bodoh? Siapa kamu hingga berhak menghardikku seperti itu?” Ujar Indi.

“Lalu apa bedanya dengan kau yang menghakimi Adikku? Siapa kamu?” Kakakku malah memutar pertanyaan Indi. “Dan untuk kamu.” Kak Mike mulai menunjuk ke arah Vano. “Suami macam apa kamu membiarkan istrimu di hina oleh Adikmu dan dilecehkan oleh Adik iparmu?”

“Ayo Mila, ikut Kakak pulang sekarang. Kamu tidak pantas berada ditengah orang-orang seperti mereka.” Ajak Kak Mike.

“Tapi Kak..” Entah mengapa aku enggan meninggalkan rumah itu, aku melihat ke arah Vano.

“Soal Mama sama Papa, biar Kakak yang jelaskan pada mereka. Ayo.” Kak Mike menarikku pergi bersamanya.

“Tunggu!” Teriak Vano dan ia berlari mendekati kami. “Tolong Kak maafkan aku, jangan bawa Mila pergi dariku. Aku berjanji aku tidak akan membiarkan siapapun menyakitinya.” Untuk pertama kalinya aku melihat Vano memohon dengan mata yang tulus. Kak Mike melirik ke arahku. Aku hanya diam menatap Kakakku karena aku tidak tahu langkah mana yang harus aku tempuh.

“Baiklah, aku tidak akan membawanya pergi darimu. Tapi biarkan aku pergi bersama Mila sebentar, aku akan mengantarnya pulang kembali setelah itu. Dan kau, urus kedua orang itu, jangan libatkan Adikku dalam permasalahan kalian.” Pinta Kak Mike. Lalu Kak Mike menarikku kembali untuk pergi bersamanya menjauh dari rumah itu.

***

Setelah beberapa hari dari kejadian itu, syukurlah keadaan dirumah Vano mulai membaik kembali. Indira akhirnya sadar siapa sebenarnya Deni. Aku turut bahagia akan hal itu, untunglah Deni belum melakukan hal yang lebih jauh lagi namun kedoknya sudah terbongkar. Aku juga berharap bahwa setelah ini Vano akan mengakhiri kesalahpahamannya padaku, dan mengembalikan semua asset keluargaku. Aku berjalan memasuki kamar Vano, ku lihat dia sedang sibuk dengan kertas-kertasnya padahal ini weekend. Mungkin pekerjaannya di kantor masih banyak sehingga ia harus menyelesaikannya di rumah.

“Kamu sedang apa? Apa aku mengganggumu?” Sapaku.

“Oh Hai.. Aku sedang mengecek file-file yang akan dibawa saat meeting besok.” Jawabnya. Aku menggangguk pelan. “Oh iya Mil, maafkan aku selama ini aku selalu berlaku buruk padamu.” Ini pertama kalinya dia membahas soal ini setelah beberapa dari kejadian itu.

“Tidak apa-apa. Aku mengerti kamu melakukan semua itu karena kamu sangat menyayangi Adikmu.” Ujarku.

“Oh iya, aku akan membebaskanmu setelah ini. Kau boleh kembali ke rumahmu, kamu gak usah takut biarlah tanggung jawabku menjelaskan semuanya pada semua keluarga kita. Dan soal aseet keluargamu, kamu ini memang gadis yang bodoh. Mudah saja tertipu dengan sebuah surat palsu. Aku tidak sekejam itu.” Jelasnya sambil tersenyum tanpa menoleh kearahku. Aku menganga tidak percaya, jadi selama ini dia telah membohongiku, memanfaatkanku, dan sengaja menyiksaku. “Tutup mulutmu itu, nanti lalat masuk tahu rasa.”

“Tunggu..tunggu.. jadi selama ini kamu..” Aku benar-benar tidak percaya dengan apa yang telah dilakukannya. “Kamu sadar, gara-gara kebohonganmu itu, Papaku sampai masuk rumah sakit. Jika saja saat itu terjadi sesuatu yang buruk pada Papaku maka aku tidak akan pernah mengampuni seumur hidupku.” Jelasku.

“Untungnya tidak terjadi kan?” Vano menjawab dengan santainya.

“Kamu benar-benar gila. Hanya karena kamu ingin balas dendam padaku atas kesalahan yang tidak pernah aku lakukan, kamu melakukan semua ini.” Aku menghela napasku panjang.

“Aku minta maaf akan hal itu. Sekarang kamu bebas, aku tidak akan mengikatmu lagi dengan ikatan palsu ini.” Serunya, entah mengapa aku merasakan sesuatu yang lain didadaku saat ia mengatakannya.

“Dan sekarang seenaknya kamu mengatakan semua ini setelah semua yang terjadi.”

Vano mengusap wajahnya, lalu berdiri menghadap ke arahku. “Lalu apa? Apa yang kamu inginkan dariku? Aku sudah meminta maaf padamu bukan? Dan bukankah ini yang minta dariku sejak dulu? Kamu ingin aku mengembalikan semua asset keluargamu dan aku membebaskan hidupmu bukan? Lalu sekarang apa masalahnya?” Bentaknya.

“Apa benar semua yang dikatakan oleh mereka?” Tanyaku padanya.

“Apa? Siapa yang kau maksud mereka?” Dia terlihat bingung.

“Ayahmu, teman-temanmu, Ibumu, bahkan Indira pun mengatakan hal itu.” Jawabku.

“Apa yang mereka katakan?” Tanyanya menyelidik.

“Apa benar kamu mencintaiku Van?” Tanyaku ragu. Vano terperanjak mendengar pertanyaanku.

“Siapa yang memberimu hak untuk menanyakan hal itu? Aku tidak punya waktu untuk bercanda denganmu.” Ujarnya dan hendak pergi dari kamarnya. Aku menarik tangannya, mencoba menghalanginya pergi sebelum dia menjawab pertanyaanku.

“Kamu mau kemana? Apa masalahnya jika kamu menjawab pertanyaanku? Aku tidak sedang bercanda.” Jelasku.

“Jika yang dikatakan oleh mereka benar, apa yang ingin kamu lakukan? Apa kamu akan membalas cintaku?” Pertanyaannya membuatku gugup, aku tidak tahu apa yang harus aku katakan padanya. Vano kembali berjalan mendekatiku. “Ayo jawab Mila.” desaknya.

“A..aku.. kenapa kamu malah balik nanya sama aku, kan aku yang nanya duluan. Jawab pertanyaanku dulu.” Seruku. Vano tersenyum melihatku yang sangat jelas terlihat gugup. Pastilah wajahku sudah merah merona seperti gambar-gambar yang ada di webtoon.

“Jika menurutmu apa yang mereka katakan itu benar, maka percayailah. Tapi jika kamu ragu, maka jangan percayai hal itu. Jadi jawabannya hanya ada disini.” Vano meraih tanganku dan di arahkannya pada jantungku. “Tanyakan pada hatimu.” Vano tersenyum lalu berlalu pergi meninggalkanku yang masih berdiri mematung menatapnya.

***

Aku terus memikirkan apa yang dikatakan Vano padaku, apakah aku mulai mencintainya? Hatiku pun mempercayai semua yang dikatakan orang-orang bahwa Vano mencintaiku, walaupun aku sendiri belum mendengar langsung dari mulut Vano. Aku hanya melamun selama menunggu Vano memperbaiki mesin mobilnya. Iya, rem mobilnya tiba-tiba saja blong. Untunglah ia tidak sedang menggunakannya dalam kecepatan tinggi sehingga kami masih bisa selamat, meski begitu kami tadi hampir saja menabrak mobil yang ada didepan kami karena rem mobilnya tidak berfungsi dengan baik.

“Mila, kamu tunggu disini sebentar ya. Aku mau ke bengkel seberang sana, mungkin mereka bisa memperbaiki mobilku.” Ucap Vano sambil menunjuk ke arah bengkel yang letaknya diseberang jalan. Belum sempat aku menjawabnya, dering ponsel Vano sudah berbunyi. Dengan segera Vano mengusap layar di ponselnya.

“Iya cancel saja. Aku tidak bisa sampai disana dalam waktu tiga puluh menit. Rem mobilku sepertinya mengalami masalah….. iya…..” Vano memberiku isyarat dengan tangan dan matanya bahwa dia ingin langsung ke seberang sana. Aku menggangguk pelan dan membiarkannya pergi. “Oya katakan saja begitu…. Filenya ada di atas meja saya….tidak….” Vano terus saja melanjutkan perbincangannya di telpon. Mungkin sekretarisnya yang menelponnya. Aku terus mengamatinya lekat, ku perhatikan setiap gerak geriknya, mulai dari berjalan, berbicara dan semuanya aku mengamatinya hingga aku menyadari ada sebuah mobil yang melaju dengan kecepatan yang tinggi mengarah menuju Vano, aku seperti mengenali mobil itu.

“Ya ampun, itu Deni… Vanoo awas!!” Aku segera berlari menyusul Vano. “Awas Van..!!!” Spontan saja aku mendorongnya ke depan, tapi sialnya aku belum sempat berhasil mengikuti Vano sehingga mobil itu malah menabrakku.

“Milaaaa…..” Teriak Vano. Samar-samar ku lihat Vano berlari mendekatiku lalu memangku kepalaku. “Apa yang kamu lakukan Mila? Kenapa kamu melakukan semua ini?” Vano mulai menangis. Aku hanya tersenyum menahan rasa sakit disekujur tubuhku.

Aku memegang wajahnya, hingga kini wajahnya kotor karena darah dari tanganku. “Aku sudah memutuskan untuk berencana mencintaimu Van..”

“Mila kamu harus bertahan, aku akan membawamu ke rumah sakit. Bertahanlah sayang, ku mohon.” Terdengar manis sekali kalimatnya, tapi aku tidak berdaya, aku bahkan tidak tahu setelah ini aku masih akan hidup atau tidak.

“Mila..Mila.. maafkan aku, aku tidak bermaksud menabrakmu. Jangan mati Mila. Maafkan aku.” Ungkap Deni yang baru saja datang menghampiri kami.

“Apa? Jadi kamu yang menabrak Mila? B*NGS*T KAU bajingan, menyingkirlah!” Teriak Vano dan Kalimat itu yang terakhir ku dengar sebelum aku tidak sadarkan diri.

***

Perlahan ku buka mataku, aku melihat ke sekelilingku mencoba memastikan bahwa aku masih di dunia atau sudah di alam kubur dan akhirnya aku tahu bahwa aku masih berada di rumah sakit. Aku tidak tahu seberapa lama aku tidak sadarkan diri, yang aku tahu syukurlah aku masih bisa bernapas sekarang.

“Syukurlah kamu sudah sadar sayang. Mama sangat cemas nak.” Ujar Mamaku sambil mengusap lembut wajahku.

“Aku baik-baik aja Ma.” Ucapku. “Papa dan Kak Mike mana Ma?” Tanyaku.

“Papamu dan Mike masih di kantor, kamu udah dua hari gak sadarkan diri. Mama yang menyuruh mereka untuk ke kantor, dan Mama yang menjagamu disini. Tapi paling sebentar lagi mereka kemari lagi, apalagi Kakakmu Mike, dia selalu bermalam disini untuk menjagamu.” Jelas Mama.

Cekleekk..

Suara pintu kamar dibuka. Ternyata Vano. “Permisi Tante, boleh saya masuk?” Tanya Vano. Tante? Kenapa Vano memanggil Mama dengan sebutan tante? Apa jangan-jangan… batinku.

“Masuk aja Nak, kemarilah duduk disini.” Ajak Mama. “Sayang, Mama keluar sebentar ya. Kamu ngobrol dulu sama Vano.” Seru Mama padaku. Aku mengangguk pelan.

“Hai.. gimana keadaan kamu Mil?” Tanya Vano kemudian.

“Seperti yang kamu lihat.” Jawabku.

“Aku benar-benar minta maaf padamu Mil, aku tidak henti-hentinya membuatmu menderita. Maafkan aku, aku sungguh menyesal.” Vano menundukkan pandangannya.

“Kenapa harus minta maaf? Kamu gak salah.” Ucapku.

“Aku bersalah Mil. Andai aku lebih hati-hati dalam berjalan, kamu tidak akan mungkin ditabrak dan kamu gak akan mungkin ada disini sekarang.” Sesalnya.

“Sudahlah, semuanya sudah menjadi bagian dari takdirku.”

“Deni sudah mendapatkan hukumannya, dia sekarang sudah di penjara.” Jelas Vano.

“Kamu memenjarakannya?” Tanyaku terkejut.

“Dia sudah merencanakan pembunuhan terhadapku, dan dia telah menabrakmu.”

“Baiklah, terserah kamu saja.” Ujarku.

“Aku juga sudah mengakui semuanya dihadapan keluargaku dan keluargamu bahwa kita belum menikah, dan ikatan yang kemarin adalah palsu. Aku sudah meminta maaf pada mereka semua, mereka tidak akan menyalahkanmu karena dalam hal ini akulah orang yang paling bersalah.” Jelasnya lagi.

“Jadi mereka sudah mengetahui semuanya?”

“Aku sudah mengatakan semuanya barusan bukan?” Ujar Vano. Well, aku tahu pertanyaanku memang konyol.

“Aku yang duluan nyampe disini, jadi aku yang duluan masuk.” Terdengar suara ribut-ribut dari luar pintu. Aku dan Vano saling memandang hingga akhirnya Vano berjalan mendekati pintu dan membuka pintunya, mengecek kegaduhan apa yang sedang terjadi di depan pintu. Ternyata Kak Mike dan Indi.

“Kakak..” Ucapku.

“Mila.. kamu udah sadar. Heh.. dia Adikku jadi aku yang lebih berhak menemuinya duluan.” Seru kak Mike pada Indi.

“Kasihan sekali Mila punya kakak kayak kamu.” Gerutu Indi.

“Eehh udah udah debatnya. Ini rumah sakit. Kita kesini mau besuk Mila bukan mau bertengkar.” Sela Vano menghentikan perdebatan mereka. Mereka semua pun masuk kedalam ruanganku dirawat.

“Gimana keadaan kamu sekarang dek? Masih ada yang sakit?” Tanya kak Mike.

“Aku baik-baik aja kok kak.” Jawabku tersenyum.

“Kak Mila, aku bawain Kakak buah nih. Semoga Kakak suka ya.” Ujar Indi.

“Waahh.. makasih banyak ya dek. Kak Mila suka kok.” Ungkapku.

“Awas dek, ntar keracunan.” Ucap kak Mike. Haduhh, kak Mike mulai lagi.

“Keracunan? Kamu pikir aku sekriminal itu? Aku itu udah anggap Mila kayak Kakak aku sendiri. Gak mungkinlah aku mau racunin dia.” Jelas Indi.

“Terus aku percaya gitu aja? Kemarin aja kamu maki-maki dia. Sekarang kamu sok baik sama dia. Wanita berbisa.” Ungkap kak Mike.

“Jika aku memang wanita berbisa, aku akan menggunakan bisaku untuk menghabisimu terlebih dahulu. Sayangnya, aku tidak memiliki kekuatan seperti itu.”

“Hahaha.. mau sok sok an. Palingan bentar lagi nangis.” Ledek kak Mike.

“Aduuhh udah kak. Kalo kalian kesini mau berantem, mending kalian berdua pulang aja. Aku pusing. Biar Vano aja yang temenin aku disini.” Seruku.

“Yaelah, itu mah maunya kamu berduan sama Vano. Gak, kakak gak akan pergi dari sini.” Ujar kak Mike.

“Yaudah makanya, kalo gak mau pergi dari sini. Udah jangan berdebat terus.” Pintaku.

“Maafin Indi ya Kak.” Ucap Indira. Vano hanya tersenyum melihat mereka berdua yang tidak bisa berhenti berdebat. Meskipun sudah ku minta untuk berhenti tapi tetap saja. Mereka hanya berhenti sejenak. Beberapa saat kemudian mereka kembali berdebat lagi. Tapi sepertinya aku setuju dengan Vano, mereka terlihat lucu dan menghibur saat mereka berdebat.