BAB 8

Setelah 8 hari menjalani perawatan di rumah sakit, akhirnya aku diperbolehkan untuk pulang ke rumah. Luka-luka yang ada di tubuhku sudah mengering semua. Dokter mengatakan aku bisa melakukan rawat jalan saja. Aku sangat bahagia sekali akhirnya aku bisa pulang, tapi jujur saja aku bingung sebenarnya aku akan pulang kemana. Konyol sekali aku ini merasa bingung, sudah jelas aku akan pulang kerumah orang tuaku. Semuanya kan sudah berakhir, saat ini aku bukan lagi istri pura-puranya Vano. Aku senang aku pernah menjadi bagian dari mereka dan pernah hidup bersama mereka meski hanya dalam waktu kurang dari 4 bulan. Semuanya telah dibereskan, inpusku juga sudah dilepas oleh perawatnya dan aku siap untuk pulang ke rumah. Semua keluarga juga sudah ada di rumah sakit untuk menjemputku, bahkan Vano dan keluarganya pun ada disini.

“Syukurlah akhirnya kamu boleh pulang juga Nak.” Ungkap Ayahnya Vano.

“Iya om, Mila seneng banget.” Seruku kegirangan.

“Maaf Om, Tante, Ayah, Ibu. Kalau boleh saya tahu, Mila akan pulang kemana?” Tiba-tiba Vano mengeluarkan pertanyaan yang sama aku tanyakan dalam hatiku sebelumnya. Mereka sama-sama saling menatap satu sama lain. Papaku mendekati Vano.

“Begini Nak, sebelumnya kamu kan udah ngejelasin sama kami bahwa kamu dan Mila itu belum menikah. Hubungan kalian bukan atas dasar kalian saling mencintai, tapi karena kalian terjebak dalam keadaan yang sulit. Jadi, rasanya tidak pantas jika putri Om tetap tinggal bersama kalian. Mila akan kembali kerumahnya. Terima kasih telah menjaga Mila dengan baik selama ini. Bukankah benar begitu Harlan?” Ujar Papaku.

“Om Abi benar Nak. Kami sudah memaafkan kebohongan kalian berdua, terutama kamu. Yang kamu lakukan itu tidak benar. Biarkan Mila pulang bersama orang tuanya.” Jelas Om Harlan. Vano pun berjalan mendekatiku, lalu menggenggam tanganku.

“Bagaimana jika sekarang aku mengatakan bahwa aku sangat mencintai Mila? Bagaimana jika sekarang aku mengatakan bahwa aku tidak bisa hidup tanpanya? Bagaimana jika sekarang aku mengatakan bahwa aku berjanji akan membuat hidup Mila bahagia, aku akan menjaganya? Bagaimana jika sekarang aku mengatakan bahwa aku ingin menikahinya? Pernikahan yang sesungguhnya. Apa yang akan kalian lakukan?” Vano bertanya pada mereka semua. Mataku mulai membola mendengar ucapannya, apa dia sedang melamarku.

“Van….” Ucapku.

“Iya Mila. Aku sangat mencintaimu, bahkan jauh sebelum kita tinggal bersama. Kamu mau kan menjadi istriku dan ibu dari anak-anakku?” Vano bertanya padaku.

“Pa.. Ma…?” Aku berusaha menemukan jawaban dari mereka.

“Terserah padamu Nak, apapun keputusanmu kami akan mendukungmu.” Jawab mama.

“Jadilah menantu di rumah kami Nak.” Pinta Ibunya Vano.

Aku menatap Vano, aku tidak tahu ini benar atau salah. Aku juga menyayangi Vano, aku mulai merasa nyaman bersamanya. “Aku mau.” Jawabku. Vano langsung memelukku erat.

“Aku mencintaimu Mila. terima kasih karena telah memilihku.” Ungkap Vano.

“Eeittsss.. belum boleh. Kalian harus menikah terlebih dulu.” Seru Mama memisahkan kami, menjauhkan aku dari Vano. Mereka semua tertawa melihat hal itu.

“Maaf tante.” Ucap Vano.

“Panggil saja mama seperti biasanya. Sebentar lagi juga kamu akan jadi anak Mama.” Jelas Mama. Aku memeluk Mamaku.

“Jadi Mila akan tetap pulang ke rumahnya?” Tanya Vano konyol.

“Yaiyalah…” Jawab mereka bersamaan.

“Sebelum kamu menikahi anak Papa, Mila masih akan tinggal bersama kami.” Jelas Papaku. Vano menggaruk kepalanya yang tidak gatal, mereka semuapun kembali tertawa.

Aku tidak menyangka sebentar lagi laki-laki yang ada dihadapanku ini akan menjadi suamiku, aku tidak pernah membayangkan sebelumnya bahwa aku akan menemukan pasangan hidup dengan cara seperti ini. Takdir memang tidak bisa ditebak. Batinku bahagia.

***

“Pa, ada sesuatu yang ingin Mila tanyakan dan Mila berharap Papa mau menjawab pertanyaan Mila dengan jujur.” Ucapku memulai pembicaraan saat aku duduk bergabung bersama mereka di teras rumah kami dan tengah menikmati pagi weekend dengan secangkir tehnya.

“Apa yang mau kamu tanyakan sayang?” Tanya Papa.

“Mengapa Mila selalu merasa takut saat Mila berada di bawah kolong ranjang tempat tidur? Mila merasa bahwa ada orang yang ingin membunuh Mila. Apa itu sebenarnya Pa?” Tanyaku penasaran. Papa dan Mamaku kini mulai saling memandang satu sama lain, namun tak satu katapun keluar dari mulut Papa ataupun Mama sebagai jawaban untuk menjelaskan semua kebingunganku.

“Mengapa kalian diam? Ada yang kalian tutupi dariku? Jika benar, tolong beritahu Mila Pa, Ma. Mila sudah besar sekarang, Mila ingin mengingat memori masa lalu Mila yang sudah Mila lupakan.” Pintaku.

“Semua itu karena rasa traumamu Nak atas kejadian yang menimpamu dua puluh tahun yang lalu, kejadian yang juga telah merenggut nyawa kedua orang tuamu.” Jawab Mama.

“Ma..” Jelas terlihat dari mata Papa, Papa ingin menutupi semuanya. Aku semakin penasaran apa yang sebenarnya terjadi, dan jika benar itu adalah kilasan dari kejadian buruk dimasa lalu, lalu mengapa aku melihat sosok Papa disana dan membuatku ketakutan. Aku harus mengetahui kebenarannya.

“Jika tidak ingin diberitahu, tidak masalah. Aku akan mencari tahunya sendiri.” Ungkapku.

“Jangan Nak, Papa takut kamu akan kembali terpukul karena ingatan masa lalu ini. Lupakan semuanya Nak, sebentar lagi kan kamu akan menikah. Tatalah masa depanmu, jangan pernah menoleh kebelakang.” Pinta Papa padaku. Aku tidak menyangka bahwa Papaku mengatakan semua hal itu, bagaimana bisa papa menyuruhku untuk melupakan kejadian dimana aku kehilangan orang tuaku. Aku tahu mungkin menyakitkan karena mengingat mereka sudah tiada. Tapi aku juga perlu tahu, apakah benar mereka meninggal karena kebakaran seperti yang selalu mereka katakan padaku selama ini.

“Apa Papa terlibat dengan kematian mereka?” Tanpa berpikir akan melukai perasaan mereka, aku melontarkan pertanyaan tersebut. Mendengar itu, papa dan mama terlonjak kaget. “Kenapa Papa dan Mama kaget? Mila melihat wajah Papa saat Mila berada dibawah ranjang tempat tidur itu, bukan hanya sekali bayangan itu muncul dan Mila melihat dengan sangat jelas, bahwa wajah itu milik Papa yang terlihat sedikit lebih muda daripada sekarang.” Jelasku. Mereka kembali saling menatap. “Kenapa kalian kaget Mila mengingatnya? Sudah Mila katakan sebelumnya, jika kalian tidak ingin mengatakan yang sebenarnya biar Mila sendiri yang mencari tahu kebenarannya.” Lanjutku.

“Baiklah jika kamu memaksa, akan Papa ceritakan semua yang Papa ketahui… Papa dan Ibu kandungmu sudah bersahabat sejak kami duduk di bangku kuliah. Dua puluh tahun yang lalu tepat pada hari dimana kejadian buruk itu terjadi, Papa sedang menyelesaikan pekerjaan kantor Papa yang masih belum selesai hingga larut malam. Tiba-tiba Ningsih Ibu kandungmu, menelpon Papa. Suaranya terdengar cemas dan sedikit berbisik, sambil menangis ia meminta Papa untuk menjemput dan menyelematkanmu dari rumahnya. Papa bingung dengan apa yang dia bicarakan, belum sempat kebingungan papa terjawab sambungan telponnya sudah terputus. Papa mencoba membangunkan Mamamu dan mengatakan semuanya, dengan rasa cemas Mamamu menyuruh papa untuk segera ke rumahmu dan melihat apa yang sebenarnya terjadi. Papapun langsung menuju ke rumah kalian dengan kecepatan yang penuh…” Papa menghentikan ceritanya. Papa mulai menunduk.

“Lalu apa yang terjadi disana Pa? Katakan semuanya pada Mila pa.” Desakku.

“Mila..” Mama memegang tanganku dengan tatapan yang aku tidak bisa deskripsikan.

“Ayo teruskan Pa..” Desakku kembali.

“Sesampainya disana, dari kejauhan Papa melihat ada beberapa orang ada disana. Karena Papa merasa datang hanya sendiri dan Papa sendiri sadar bahwa kalian dalam bahaya dan tidak mungkin Papa bisa menolong kalian sendiri. Papa memanjat dari pagar belakang rumahmu. Untunglah Papa mengenal baik rumahmu, jadi Papa bisa dengan mudahnya menyelinap masuk ke lantai atas hingga sampai ke kamarmu. Papa berusaha mencarimu, Papa cemas bahwa kamu sudah berada di tangan mereka. Tapi sayup-sayup Papa mendengar kamu merintih di bawah ranjang tempat tidur. perlahan Papa mengunci pintu kamarmu dari dalam agar mereka tidak dapat masuk. Papa berjongkok untuk memastikan itu benar kamu atau bukan. Saat itu Mila kecilku sangat ketakutan, Papa terpaksa membekap mulutmu agar kamu tidak berteriak sehingga mereka akan mendengarnya. Mungkin saat itu Mila takut pada Papa, Mila menyangka Papa akan berbuat jahat pada Mila. Papa terus membekap mulutmu, Papa berusaha untuk membawamu keluar dari rumah itu tapi tiba-tiba saja ada asap yang entah datangnya darimana. Papa memberanikan diri untuk membuka pintu kamar dan melihat ke bawah, rumahmu terbakar. Papa yakin mereka yang sudah membakar rumahmu lalu pergi meninggalkan tempat itu. Papa sangat bersyukur ternyata mereka tidak mencarimu. Papa mencelupkan kain yang papa dapatkan dalam lemari kedalam bak mandi lalu menyelimutkannya pada kita. Kita turun kebawah dengan kamu yang berada dalam gendongan Papa. Syukurlah Tuhan masih menyayangi kita hingga kita berhasil keluar dari rumah itu dengan selamat. Tapi yang Papa sesali, Papa tidak bisa menyelematkan kedua orang tuamu. Bahkan Papa tidak tahu saat itu mereka berada dimana. Papa sudah menjerit memanggil nama mereka, tapi tidak ada jawaban.” Lanjut Papa.

“Lalu dimana mereka ditemukan meninggal?” Tanyaku kembali.

“Mereka ditemukan dirumah itu dalam keadaan sudah terbakar. Mayat Papamu, ditemukan di ruang keluarga sedangkan mayat Ibumu ditemukan di tempat yang papa yakin tempat itu kamar yang ada dibawah.” Ungkap Papa.

Tanpa terasa air mataku mengalir diwajahku. Begitu mengenaskannya kematian kedua orang tuaku. Apa yang terjadi sebenarnya saat itu? Dan siapa mereka? Mengapa aku tidak mengingat kejadian itu secara keseluruhan. Mengapa hanya potongan-potongan kecil dari kejadian itu. Batinku menangis.

“Papa.. boleh bawa aku ke rumah itu?” Pintaku.

“Rumahmu sudah tidak ada Nak, karena kejadian itu rumahmu hancur. Lalu telah diratakan menjadi tanah, Papa juga bingung setahu Papa rumah beserta tanahnya itu adalah milik Papamu. Tapi satu bulan setelah kejadian itu tanah itu sudah terjual dan telah dibangun dengan bangunan rumah baru. Mungkin sekumpulan orang-orang yang ada dirumahmu waktu itu adalah perampok yang merampok semua harta kalian, bahkan perusahaan milik papamu juga terjual.”

“Apa Papa tidak mencari tahu mereka siapa?” Aku mulai geram mendengar semuanya.

“Sudah, bahkan telah melaporkannya pada polisi. Tapi kasusnya tiba-tiba ditutup, hingga papa menyadari bahwa ini adalah sebuah konspirasi yang sudah direncanakan.” Ungkap Papa.

“Konspirasi? Apakah orang tuaku memiliki musuh?”

“Tidak. Setahu Papa tidak ada, mereka bukan tipe orang yang bisa menyakiti orang lain. Tapi entahlah, Papa tidak tahu kebenarannya. Kami hanya bisa menyimpan kenangan buruk itu, kami hanya tahu bahwa sekarang Tuhan menitipkan seorang putri bagaikan malaikat kecil ditengah keluarga kami.” Mata Papa mulai berkaca. Aku langsung menghambur kedalam pelukannya.

“Maafin Mila Pa. Mila selama ini banyak salah sama kalian, bahkan Mila sempat berpikir bahwa Papa terlibat dengan kematian orang tuaku. Maafin Mila Pa, Mila bukan anak yang baik buat Papa.” Sesalku.

“Hei.. siapa yang bilang begitu? Mau bagaimanapun dan sampai kapanpun. Mila akan tetap jadi anak Mama sama Papa.” Ucap Mama menenangkanku sambil mengusap lembut rambutku. Aku pun berallih memeluk Mama.