To : Kakak
Kakak, setelah menerima surat ini, mungkin aku sudah tidak ada di dunia ini. Kakak, aku tidak bisa berbohong padamu. Kematianku memang bukan hal wajar. Tapi kematianku adalah pilihanku.
Kakak, aku sungguh menyayangimu. Ketika kamu bertanya apa yang lebih penting antara kakak dan Sean, saat itu aku tidak menjawab. Kalian berdua adalah hal yang penting bagiku. Tapi Kakak, kamu segalanya.
Aku tidak pandai berkata, tapi satu hal, apa yang aku lakukan adalah untuk kebaikan kita semua. Melindungi kita semua. Akan ada pengorbanan untuk melindungi hal yang berharga. Jangan pernah terlibat mencari siapa pembunuhku . Kakak, percalah lada Sean. Dibelakangnya akan ada orang yang membantumu. Bukan aku meremehkan kakak. Tapi kakakku sayang, jadilah orang yang berada di atas yang cukup melihat.
seseorang akan datang menemuimu. Seorang gadis untuk menyampaikan surat ini. Dia gadis yang baik. Kakak, aku memang egois, tapi bolehkah aku meminta satu permintaan padamu?
Tolong lindungi gadis itu. Karena...
Grace-
"Lut."
"Ah?" Lutfian mendongak. Hanya untuk melihat mamanya di depan mejanya. Dengan pakaian formal rancangan terbaru Times Maz, Miranti meletakkan sekotak makananan di atas meja.
"Mom tidak menyalahkanmu atas perasaan duka. Tapi Mom tidak bisa membiarkanmu sakit." Miranti membuka kotak bekal. Itu adalah seporsi sushi dan salad.
"Makanlah."
"Sejak kapan Mom disini?" Mengindahkan perkataan Miranti, Lutfian mengambil sumpit dan memasukkan sepotong sushi ke dalam mulutnya.
" aku heran mengapa mom yang mengantarkan sushi bukan Gra..." Sejenak Lutfian terhenti. Sushi adalah makanan kesukaannya dan Grace. Ketika memakan sushi, secara naluri Lutfian akan memikirkan bagaimana Grace yang selalu membawakan sushi pada jam makan siang untuknya. Sebuah usapan lembut membelai kepala Lutfian.
"Mom tau apa yang kamu rasakan. Kita semua merasakan Lut."
Lutfian tidak menjawab. Kini rasa sushi terasa hambar hingga sulit baginya untuk menelan.
"Jenazah Grace akan dikirim satu minggu lagi. Bersemangatlah."
Tangan kanan Lutfian mengepal diatas meja. Sedangkan dikiri tangannya terdapat sepucuk surat yang telah terlipat rapi. Berapa kalipun Lutfian membaca surat itu, Lutfian tidak akan pernah membiarkan surat itu lusuh. Miranti menyadari reaksi anaknya. Dengan menghela nafas, dia menarik tangannya.
"Meski mom mengetahui, tapi Mom tidak bisa berbuat banyak padamu. Lut, beberapa hal tidak dapat kita tangani meski kita ingin." Setelah mengatakan hal itu, Miranti berbalik meninggalkan Lutfian seorang diri.
Tidak mudah bagi Lutfian menerima semua ini. Bagaimanapun perasaan Lutfian terhadap Grace adalah perasaan yang Miranti tahu lebih banyak. Itu bukan perasaan kakak terhadap adiknya.
"Membesarkan anak kucing dalam lingkaran beruang memang pilihan yang salah." Miranti melihat jam tangan sebelum melangkahkan kaki meninggalkan perusahaan dengan mantap.
***
Seorang lelaki berjas hitam duduk di sudut kafe. Di depannya ada secangkir kopi yang telah tinggal setengah. Dan secangkir kopi utuh ditemani seporsi sandwich yang belum tersentuh di seberang. Beberapa kali dia melihat jam lalu kearah pintu kafe. Baru sepuluh menit melakukan hal yang sama, seorang wanita dengan gaun formal melangkah masuk. Bunyi lonceng pintu menjadi pengingat pegawai kafe menyambut pelanggan. Wanita itu hanya tersenyum sambil menunjuk meja dimana lelaki itu duduk.
"Berapa lama kamu menunggu?" Wanita itu menarik kursi di depan lelaki itu untuk duduk.
"Ah terimakasih sudah memesankan makanan kesukaanku."
"Miranti Nares, aku membenci sifat menyepelekanmu."
"Kamu masih sangat kaku seperti dulu."
Yuto Nakamura, lelaki itu baru saja mengambil jam kantor untuk menemui wanita di depannya. Dia memiliki jam sibuk. Sebagai manager dia memiliki tanggung jawab. Dan dia adalah penderita OCD tentang pekerjaan . Keterlambatan adalah hal yang paling dia benci. Tentu saja terkecuali keterlambatan putri kesayangannya Mio. Jika itu Mio, Yuto akan mendukungnya meski terlambat dalam hal apapun terutama urusan menikah. Ah! Mengingat masalah pernikahan , wajah Yuto kembali tenggelam.
"Sungguh ayah yang gila. Berhentilah menganggap putrimu bayi. Dia sudah dewasa."
Yuto manautkan alis, "berhenti membaca pikiranku. Cepat katakan apa maumu."
"Kasar sekali." Miranti tersenyum.
"Yah, tapi aku suka itu. Aku hanya ingin kamu menyampaikan pada lelaki tua itu. Mintalah dia berhenti ikut campur dalam urusanku." Wajah Miranti berubah dingin seolah wajah lembut yang selalu dikenakannya sama sekali tidak pernah ada.
"Bagaimana dia bisa mengorbankan anakku untuk melindungi anakmu? Anakku bahkan belum memiliki pernikahan impiannya. Jika dia tidak bisa melindungi. Maka diamlah. Jangan bertindak seolah kami hanya boneka."
Yuto tidak bergeming.
"Aku tidak melakukan hal yang salah. Anakku tidak pernah menggunakan kekuatannya untuk menarik hantu..."
"Tunggu." Yuto mengintrupsi.
"Jangan naif Nares. Yang aku tau anakmu menggunanakan spiritnya untuk menenangkan Sean. Kamu tau konsekuensinya."
Miranti menggertakkan giginya. Di depan semua dia tidak bisa bersikap lemah menangis akan kehilangan anak. Hanya Tuhan yang tau bagaimana dia begitu hancur kehilangan darah dagingnya. Anak yang hanya bisa dia lahirkan. Siapa ibu yang menerima hal itu?
"Dan satu hal lagi, berhenti menyalahkannya. Kamu yang memulai bersikap bodoh. Kamu tau alasan kamu mengambil Lutfian dalam rumah tanggamu. Kamu tau alasan kamu membiarkan perasaan tak wajar tumbuh di hati Lutfian. Kamu tau Grace hanya akan hidup disamping Lutfian. Kamu hanya bodoh membiarkan anakmu memilih Sean."
Kata-kata Yuto benar-benar menekan titik paling sakit di hati Miranti. Miranti tau bahwa Grace spesial. Dia indigo. Namun dia memiliki beban furture eyes miliknya. Setiap melakukan hal itu Grace hanya akan mengurangi masa hidupnya. Pendamping Grace haruslah seorang dengan gelombang spirit sama dengannya. Tidak kuat tidak lemah. Itu ada pada diri Lutfian. Dengan keseimbangan hal itu maka tidak akan ada hantu yang memburunya. Tidak akan ada kelelahan yang menimpanya. Namun Miranti hanya bodoh menuruti Grace demi kebahagiannya.
"Aku benci mengatakan ini, tapi sebenarnya kamulah yang menyebabkan bencana ini. Yah...memang ini dipercepat oleh pihak-pihak lain. Tapi Nares, berapa lama anakmu akan hidup setelah dia melihat hal yang seharusnya tidak boleh kita lihat? Konsekuensi kekuatan yang kita bawa memang kutukan bagi keturunan kita. Tapi aku dan kamu sama-sama mengetahui solusinya." Yuto menyesap kopi miliknya meminumnya hingga hanya tersisa bubuk kopi terdalam.
"Aku rasa itu saja yang dibicarakan. Aku pasti akan menyampaikan apa yang kamu katakan hari ini pada Ayah." Yuto mendorong kursi dan berdiri. Meletakkan uang seratus ribuan dibawah cangkir, Yuto melihat Miranti untuk berkata,
"Baik Mio maupun Grace, ayah memperlakukan mereka dengan sama. Aku tidak tau apa maksudmu dengan memancing anakku menemuimu. Tapi aku tidak akan segan jika Mio tersakiti olehmu meski kamu adikku." Yuto tidak lagi tinggal. Dia mengambil tas kerjanya dan meninggalkan Miranti.
Di sisi lain, Miranti tidak bereaksi apapun. Dia hanya melihat bagaimana punggung Yuto lama kelamaan menghilang sebelum akhirnya memilih untuk ikut meninggalkan kafe.
Perlakuan sama? Miranti tersenyun miris. Bahkan dengan wajah awet muda yang terwarisi darinya, tidak membuatnya lebih disayangi daripada Yuto yang hanya memiliki visi menonjol.
***
"Mama!" Mio sudah terburu-buru sepanjang perjalanan dari rumah sakit ke rumahnya. Namun sesampainya dirumah, hati Mio langsung tenggelam. Di kamarnya, mamanya dengan wajah memuakkan bahagia telah menutup resleting koper keempat.
"Oh? Kamu sudah pulang?"
"Mama apa maksudnya ini?" Mio menunjuk keempat koper yang berjejer rapi di kamarnya. Dengan langkah terburu-buru Mio mendekati almari hanya untuk mendapati lemarinya setengah kosong.
"Mama sudah mengepak pakaian kamu yang bagus-bagus. Gaun-gaun yang tidak muat juga. Kamu harus diet agar gaunnya muat!"
"Mama..." Mio menjambak rambutnya frustasi.
"Heh Mio, saat pulang nanti bawakan aku cokelat swiss. Di USA cokelat itu cukup banyak terjual." Itu Riou. Dengan wajah penuh senyum dan tangan sibuk bermain game. Mio merasa dia adalah orang terbodoh disini. Apa cuma dia yang tidak tau apa-apa? USA? USA apa?!
"Mama apa maksudnya ini? Siapa yang akan pergi?"
"Kamulah." Oke , entah bagaimana kali ini mama dan adiknya kompak menjawab.
"Dengan?"
"Calon suamimu." Alesya menjawab santai.
"Hah?" Mio tercengang. Calon suami apa? Setan mana yang melamarnya?
Lalu mamanya dengan sangat baik hati menceritakan apa yang terjadi. Seperti radio siaran ulang, Alesya dapat menceritakan secara mendetail bahkan tanpa mengubah percakapan yang terjadi siang tadi. Termasuk campur tangan kakeknya atas perjodohan ini.
"Nah begitu ceritanya. Paket merahnya tidak perlu kamu bawa. Simpan dirumah lebih baik. Oh ya, tiket dan paspor sudah ada di dalam tas kecil. Kamu hanya perlu bersiap-siap sore ini kalian berangkat."
Mio syok. Mio merasa mamanya seperti mucikari yang menjual anaknya sendiri.
"Kakek!!! Aku membencimu!" Mio berteriak frustasi.
.
.
.
Di tempat lain di sebuah pinggiran taman bambu...
"Hachuuu!" Terbangun oleh bersinnya sendiri. Lelaki itu mengusap hidungnya yang gatal.
"Siapa yang mengutukku?"
***
4 pm Bandara Internasional Soekarno-Hatta.
Entah dosa apa yang telah Mio perbuat hingga dia mendapatkan kejadian buruk seperti ini. Dia hanya menolong menyampaikan pesan dari roh. Dan sekarang dia harus ikut dalam drama orang kaya? Apakah itu yang namanya karma baik? Mio tidak bisa untuk tidak menyesali bantuannya. Jika saja dia tidak membantu Grace, maka dia tidak akan terlibat dalam hal ini. Kini, meskipun Mio menolak, dia tidak bisa benar-benar menolak. Kakeknya yang merencanakan. Papanya telah setuju. Bagaimana dia bisa membantah?
Sosok tak kasat mata mencolek punggungnya. Itu terasa dingin. Mio memiliki mood buruk hari ini. Hingga tanpa menoleh Mio langsung mengusir, " jangan menggangguku atau kamu aku kirim ke neraka lebih cepat. Aku sedang bermood buruk!"
Sosok itu kembali mencolek Mio. Kesal Mio kehabisan kesabaran mulai berteriak, "jangan ganggu!"
Opps...! Mio menutupi mulutnya. Melihat sekelilingnya banyak pasang mata memandangnya aneh. Dan sosok di depannya tersenyum usil. Sial! Itu hanya hantu anak kecil dengan wajah penuh koreng. Dilihat di atas dahinya ada titik putih. Dari cara tersenyum hantu itu, jelas dia hanya hantu iseng. Mio memelototinya kemudian berbalik berlagak cuek dan tidak terjadi apa-apa. Lalu kerumunan orang di terminal A tempat Mio menunggu kembali seperti biasa.
"Kamu datang tepat waktu." Suara barithon membuat Mio menolehkan kepalanya.
Ketika melihat sosok tinggi, dengan balutan jas rapi dan bermerek, untuk sesaat Mio blank. Lalu setelah sadar Mio merasa dia seperti gembel dihadapan lelaki itu.
Mama, kini aku tau apa yang namanya kasta. Dia memakai pakaian GUCCI sedangkan aku memakai merek KENDI.
Mio meringis. Dia merasa sebagai calon psikolog, Mio harus bisa mengatasi mental kasta sosialnya dulu. Ini ketiga kalinya mereka bertemu. Dua pertemuan mereka Sean tidak menampakkan kharisma terlalu mencolok. Dia memakai kemeja dan satu lagi memakai pakaian pengantin. Namun kali ini, lelaki itu jelas memakai pakaian yang sangat pas dengan image nya. Itu membuat mata Mio silau.
Berjalan mendekati Mio, Sean tidak sengaja membuat Mio berpikir Sean sedang mengadakan peragaan busana Paris.
"Semua barangmu sudah kamu serahkan pada supirku?"
"Em..ya."
"Bagus. Ikuti aku."
Setelah mengatakan hal itu, Sean langsung melangkahkan kakinya. Ini tidak berlebihan, tapi sepanjang perjalanan, Mio merasa semua orang menatap Sean. Berpikir pakaian dan penampilannya, Mio sungguh beruntung bahwa dengan Sean di depannya, sosoknya berubah menjadi tak kasat mata. Jika ada wartawan yang memotret mereka, Mio pasti hanya akan dianggap spam.
Mengikuti Sean, dirinya sadar bahwa saat ini jalur yang diambil Sean bukan jalur biasa penerbangan. Itu adalah lorong sunyi yang bahkan tidak satupun orang lewat.
"Ini jalur khusus. Kita akan melakukan penerbangan pribadi."
Mio takjub," kamu memiliki pesawat pribadi?"
Berhenti melangkah Sean menoleh hanya untuk mengatakan,"novel apa yang kamu baca?"
"Eh?"
"Memiliki pesawat pribadi tidak dapat dilakukan di Indonesia. Kalaupun ada, jelas Guan bukanlah salah satunya. Kecuali itu adalah pangeran, presiden, kaisar. Biro perpajakan terlalu tinggi dengan tingkat konsumsi minus. Ketika inflasi hanya akan membuat pembengkakan pengeluaran pajak. Mungkin jika dapat bersaing dengan Garuda, CTLink, membangun penerbangan baru bisa juga."
Dia bicara apa? Mio gagal paham.
" ini pesawat pemerintah. Kami hanya menyewa satu pesawat penuh."
"Oh..." penjelasan terlalu panjang! Hanya katakan kalimat terakhir saja itu cukup. Kenapa berbelit-belit sih?
"Selamat datang tuan muda Guan, nyonya muda Guan."
Saat pramugari menyambutnya dengan sangat lembut dan berpakaian modis, cantik dan anggun, satu hal yang terlintas di pikiran Mio, "wah...ini terlalu menyilaukan. Sean dan aku bersama? Terlalu Mustahil!"
***