07. MARI BERTEMAN

Ketika memasuki pesawat, hanya ada Sean dan dirinya sebagai penumpang . Berjalan lebih masuk, dua pramugari menyambut mereka ramah.

"Entah kenapa aku merasa sebagai tokoh utama dalam drama The Heir. Jika ada pengawal maka itu akan sangat mirip drama korea."

Belum usai Mio berimajinasi dengan bagaimana dia adalah tokoh utama dalam serial korea, seseorang berjalan melewatinya dan membungkuk pada Sean.

" tuan muda, kami sudah mengamankan tempat."

"En. Kembalilah."

"Baik." Lelaki tinggi berseragam hitam itu lalu pergi.

"Ha-ha- pengawal sungguh datang?aku merasa imaginasiku tampak semakin nyata. Mungkin aku harus mengurangi pasienku. Kalau tidak aku akan ikut gila."

"Kita duduk disini." Sean menunjuk kursi kosong dengan meja yang tertata wine merah.

Mio tidak langsung mengikuti Sean untuk duduk, dia melihat sekeliling pesawat. Baik, pesawat ini memang tidak dapat dikatakan kosong jika kalian dapat melihat hal-hal yang tidak terlihat. Seperti saat ini, dikursi dimana Sean duduk, disampingnya ada sosok lelaki tua yang memandang jendela pesawat. Pandangan kakek itu kosong. Wajahnya memang tidak buruk. Hanya pucat. Tapi Mio tetap merasa ngeri jika dia pura-pura tidak melihat dan langsung duduk.

"Ada banyak kursi kosong disini. Bolehkah aku duduk di tempat lain?"

"Beberapa hal perlu dibicarakan." Aku Sean.

Mio mengangguk, " aku tau. Maksudku setelah perbincangan kita."

"Ya."

Mio tersenyum. Lalu sebelum mengikuti Sean duduk, Mio dengan berbisik meminta sosok itu untuk pindah. Ketika kakek itu menoleh, Mio hampir tenggelam saat melihat wajah kakek itu berlubang pada matanya. Tidak berdarah. Tapi meninggalkan lubang hitam di tempar bola mata. Oh Tuhan! Mio ingin sekali menangis.

"Ah baiklah...tidak perlu pindah. Aku saja yang duduk di depan. Oke?" Mio buru-buru berkata.

"Kamu..." Sean menengok kursi di sebelahnya. Raut horor terlihat jelas di wajahnya. Berdiri dengan anggun Sean tiba-tiba saja memanggil pramugari menunjuk kursi di depan, "atur meja untuk kursi itu." Tapi sebelum pramugari menjawab, Sean melihat Mio.

"Apakah aman?"

"Eh?" Maksudnya aman dari hantu?

"Iya aman."

"Baik. Pindah kesana."

"Eh???" Pramugari menatap keduanya dengan bingung. Namun dengan cekatan menyiapkan meja untuk kursi di depannya

***

"Tuan dan nyonya, pesawat akan landing tiga puluh menit lagi. Harap matikan perangkat elektronik anda dan pasang sabuk pengaman anda dengan baik." Suara merdu pramugari mengintrupsi keduanya dengan khusus. Setelah melakukan hal yang diperintahkan, pramugari itu kembali pergi.

"Layanan kelas satu memang beda ." Mio memang keluarga menengah. Namun didikan papanya selalu mengajarkan kesederhanaan yang kata Riou adalah 'sinonim dari irit bin pelit'. Sehingga setiap kali pergi dengan naik pesawat, mereka akan menggunakan kelas ekonomi. Kecuali saat mengunjungi kakeknya, mereka akan memakai kelas bisnis tidak sampai kelas VIP. Jadi layanan kelas satu seperti saat ini adalah hal baru bagi Mio. Menjadi kaya memang menyenangkan! Binar bintang sungguh muncul di mata Mio.

"Kita akan langsung ke intinya. Beberapa hal mungkin sudah kamu dengar dari keluargamu. Aku hanya akan menjelaskan lebih rinci." Sean membuka percakapan.

Pada intinya perjalanan mereka kali ini adalah untuk mengelabui pembunuh. Jika beruntung, pembunuh itu akan mencari Sean dan Mio. Saat itu Keluarga Guan akan bergerak.Mio tidak mengerti, dengan keahlian papanya atau kakeknya, mengetahui dalam pembunuh Grace tidaklah sulit. Tapi karena mereka memilih untuk diam, Mio berpikir pasti ada alasan dibalik itu.

Sedangkan masalah pernikahan, Sean tidak banyak bicara . Meski para sesepuh telah memutuskan, tapi Sean sendiri adalah orang yang baru saja kehilangan orang terkasih dalam beberapa hari. Bagaimana bisa dia langsung mendapatkan pengganti? Sean merasa bersalah pada Grace setiap kali dia memikirkan pemikiran keluarganya. Namun Sean tidak membuat hal itu rahasia. Tentang isi hatinya Sean mengungkapkan secara jelas pada Mio.

"Aku senang kamu terbuka. Terus terang, aku juga merasakan hal sama. Meski tidak ada lelaki lain atau apa, aku tipe gadis sulit menyukai lawan jenis. Tapi pernikahan adalah hal sakral bagiku. Aku tidak mau seperti dalam drama yang menggunakan pernikahan untuk kontrak. Itu membuatku muak. Aku ingin pernikahan yang seumur hidup. Memiliki pasangan yang mencintaiku dan menerimaku apa adanya ." Mio berhenti sejenak. Tatapannya serius tertuju pada Sean.

"Karena itu mari kita bekerja sama agar semua ini berakhir sebelum pernikahan dilaksanakan. Jika kita menikah, aku hanya akan menjadi pengantin pengganti. Aku tidak mau!"

Sean tersenyum kecil, "ya. Aku harap ini berakhir sebelum itu."

"Jadi, mari berteman!" Karena keduanya telah mencapai kesepakatan, Mio berpikir mereka rekan. Dengan rekan tentu mereka teman. Cara berpikirnya sesederhana itu.

"En."

Mio tersenyum sumringah, " nah! Jadi apa yang akan kita lakukan?" Tanyanya antusias.

Disamping, Sean memandang Mio dengan tatapan bertanya.

"Maksudku adalah kita akan melakukan perjalanan selama lebih dari dua puluh jam! Tidak mungkin kita hanya berdiam diri kan?"

"Aku bekerja. Sebenarnya kita akan transit dulu ke Abu Dhabi untuk pekerjaanku."

Mio memandang Tab ditangan Sean sebelum berkata, "walau kamu bekerja, kamu tidak mematikannya? Itu bahaya!"

"Aku menyetel mode pesawat." Jawabnya datar. Dengan wajah datar dan jawaban singkat, Mio merasa Sean seolah mengatainya 'idiot'.

"Tapi ponselku aku matikan! Itu tidak adil!"

"......." Sean hanya memandang sekilas sebelum mulai menarikan jemarinya di keyboard Tab. Melihat hal itu Mio merasa tertekan.

Lalu Mio memilih untuk diam. Entah kenapa Mio merasa sebagai psikolog, dia tidak mampu menangani mental Sean.

Karena perjalanan cukup panjang, Mio akhirnya menyalakan kembali ponselnya dan menyetelnya dalam modus airplane. Membuka aplikasi games dan memainkan candycrush.

Satu jam... Mio masih tekun bermain dan Sean tenggelam dalam pekerjaannya.

Dua jam berlalu...

Mio mulai mengganti permainan menjadi teka teki silang.

Tiga jam berlalu...

Mio menyeruput jus jeruk dan memakan sandwich yang disediakan pramugari.

Tiga jam lima belas menit...

Mio membanting ponselnya di pahanya.

"Ponselku mati! Aku tidak tahan lagi!"

"......" Sean ikut meletakkan Tab untuk memandang Mio.

"Ada power bank di dalam rak."

Mio merengut, "mataku sudah panas menatap ponsel! Tidak bisa online. Tidak asik!"

"Lalu?" Sean bertanya. Sean jarang berbicara kecuali hal penting. Dia juga benci pekerjaannya diganggu. Dia membenci seseorang yang cerewet. Tapi menghadapi Mio, Sean mengecualikan. Dia secara naluri mulai bersabar dan mencoba membalas apapun yang diinginkan Mio. Dalam bawah sadarnya sudah terdokrin, buatlah gadis ini senang atau 'sesuatu' yang kamu tidak lihat yang akan membuatmu tidak senang. Berpikir demikian, Sean tidak bisa mengabaikan Mio.

"Ayo mainkan permainan."

"Kita ada di ketinggian 30.000 ft. Kita tidak bisa bermain petak umpet."

Mendengar tanggapan datar Sean, wajah Mio langsung blank, "tolong, aku masih waras."

"Bukan itu. Ayo mainkan permainan ambadon."

Alis Sean bertaut, "ambadon?" Terdengar keren. Tapi Sean lalu teringat satu hal penting.

"Jika itu melibatkan sesuatu aku tidak mau."

"Kenapa kamu selalu negative thinking sih?" Mio mau tidak mau bersungut. Perasaan Sean selalu menjawab ucapannya dengan hal-hal gila yang menyebalkan didengar.

"Maaf ."

"Dimaafkan. Ah! Ambadon itu permainan kata. 'Kamu bertanya aku jawab' misal aku bertanya padamu tentang kata 'love' maka kamu harus menjawab itu dalam waktu kurang dari lima detik. Misal jawabanmu itu 'Grace.' Yah...karena cintamu adalah Grace . Get it?"

Sean mengangguk.

"Baik kita mulai. Aku atau kamu dulu?"

"Aku akan bertanya."

Mio mengangguk, " aku adalah juara dalam permainan ini. Reflek ku cepat. Terutama dalam hal berbicara."

Sean memandang Mio seolah berkata 'ya. Itu terlihat sekali kalau kamu memiliki reaksi cepat dalam hal berbicara'. Tapi Sean memilih diam tidak mengungkapkannya.

"Ayo mulai!" Mio antusias.

"Astropus?"

Mio melongo, "hah?" Astropus apa itu?

"Megantropusspare?"

"He?" Mio meringis, apa pula?

"Sapp..."

"Stop!" Mio langsung menyela. Dengan wajah memelas Mio memandang Sean tidak terima.

"Kamu tidak boleh menggunakan bahasa alien! Tolong, gunakanlah bahasa indonesia atau inggris atau Jepang yang baik dan benar. Bahasa planet lain dilarang."

"Itu bahasa ilmiah."

Mendengar jawaban datar Sean, Mio merasa dia adalah orang teraniaya di seluruh dunia.

"Kita ubah peraturan! Bahasa harus inggris atau Indonesia. Selain itu ditolak ." Mio menjeda sebelum melanjutkan,

"Ayo mulai."

"Nama?"

"Mio Nakamura."

"Hobi?"

"Menyimpan uang, makan."

"Orang favorit?"

"Diri sendiri sedikit Riou."

"Kesukaan?"

"Uang ."

"Ambisius?"

"Duit."

"Planing?"

"punya uang banyak."

"....." lalu Sean tidak bisa berkata-kata. Sean tanpa sadar bertanya profil Mio. Tapi jawaban gadis itu membuat Sean terdiam . Sean takut jika kepala gadis itu dibuka, maka hanya akan ada gulungan uang di dalamnya.

"He-he... itu hanya bercanda. Buka sungguhan. Aku bukan orang matrealistis." Mio mengusap bawah hidungnya—canggung.

Apa kamu masih yakin itu bercanda?

"Jawaban spontan adalah dari hati." Ungkap Sean.

Mio menggeleng, " kalau aku tidak." Mio Kekeuh menolak disebut matrealistis. Selang beberapa saat Mio ingat satu hal.

"Eh uang yang kamu janjikan dua puluh juta sudah dikirimkah?"

"......." Sean langsung diam. Bukan matrealistis ya?

Di belakang, empat pengawal dan Philip yang mendengar permainan mereka juga tidak bisa berkata-kata. Dalam hati mereka serempak berkata , "nona, bahkan orang tuli akan tau bahwa anda lebih dari matrealistis yang sangat mencintai uang! Ah!"

***

Malam makin larut. Ketika mereka akan transit di Abu Dhabai. Pramugari kembali datang untuk mengingatkan mengencangkan sabuk pengaman karena pesawat akan transit dua jam untuk mengisi bahan bakar dan makan malam.

Hari ini Sean memiliki pertemuan dengan CEO perusahaan IT yang akan bekerja sama dengan Guan Grup. Jadi Abu Dhabai menjadi pemberhentian lama. Sean sudah memesankan makan malam di restauran dekat bandara. Melihat rolex miliknya, Sean mengangguk puas. Karena mereka tidak terlambat.

"Akan ada pertemuan bisnis. Kamu akan ikut? Jika tidak aku akan memesankan makan malam meja terpisah di restauran nanti."

Mio menggeleng, " aku mau jalan-jalan saja di bandara. Ingin merekam juga."

"Baik." Karena Mio mengatakan hal itu mala Sean tidak mencegah.

Pesawat mendarat dengan mulus. Karena ini pesawat yang disewa penuh, Sean tidak mengkawatirkan pertemuannya yang mungkin akan lebih dari dua jam. Setelah membawa hal yang penting, Philip datang membawakan berkas Sean.

"CEO, apakah saya perlu memesankan meja lagi?" Melihat Mio yang tidak merubah pakaian, Philip tau Mio tidak akan ikut pertemuan.

"Tidak. Bagi tim keamanan menjadi dua. Lindungi Mio."

"Baik CEO."

"Eh? Aku? Tidak perlu! Bagaimanapun mereka tidak akan tahu kalau aku adalah...yah...bisa dibilang tunangan. Mereka pasti akan tau kalau aku tidak mungkin jalan-jalan setelah kecelakaan dan koma aku aman." Mio tegas menolak. Membawa pengawal justru memancing banyak orang.

Tapi Sean tidak setuju. Pada akhirnya Mio mengeluarkan kalimat ampuh," aku memiliki pengawal lebih baik ." Mahluk tak kasat mata!

Terdian beberapa saat, Sean akhirnya menjawab, "oke."

"Kembali setelah dua jam dan jangan terlalu jauh. Kebanyakan petugas malam disini terlalu malas menggunakan bahasa inggris." Sean menambahkan sebelum turun dari pesawat.

Melihat Sean yang pergi dengan damai, berpikir dia akan berjalan-jalan puas disekitar bandara Mio langsung meloncat bahagia.

"Senangnya!"

Mama! Menjadi tunangan orang kaya ternyata tidak buruk!

***

Di sebuah ruangan, sosok jangkung berambut perak berdiri menghadap jendela. Di telinganya terpasang earphone. Ketika sambungan terputus, dia melepas earphone memasukkannya ke saku jas.

" belum mati? Menarik."

"Grace anastasya William, bagaimana kamu mengatur ini semua?" Sepasang mata hijau toska memandang tubuh dingin di depannya. Mengeluarkan cairan hijau toska, jamari putih pucatnya yang terbungkus sarung tangan hitam meraih tangan dingin dengan tatapan gila.

"Yah...Grace, kamu menjadi tidak cantik. Tenang...dengan cairan ini, kamu akan kembali cantik dan menawan. Mungkin bisa menjadi boneka tercantik?"

"Ah...tapi aku tidak menyukai mainan kaku. Tapi kamu pikir bisa melindungi mereka dengan menjadi kaku? Hihi..." dihadapkan pada dinginnya malam. Tak satupun dari rumah sakit menyadari seseorang berpakaian klasik keluar dari brangkas mayat VIP. Langkahnya tenang. Seoalah dia berjalan di atas angin. Bahkan ketika berpapasan dengan dokter jaga malam, mereka tidak menaruh perhatian lebih pada pakaian lelaki itu yang mencolok.

.

***