Menyentuh Cahaya

Jakarta, 11 Juli 2014

Sesuatu mengusik wanita itu, membangunkan nya dari tidur. Mimpi buruk dan rindu yang tiada berkesudahan; dua hal yang selalu menghantui. Kapan kan terbebas? Tuhan pun tiada mengizinkan, kerena pria itu lah takdir nya.

Masih terbalut dalam gaun tidur sutera yang begitu cantik, wanita itu melihat sekitar: kegelapan di kamar masih sama, masih tertidur sendiri. Cinta hilang entah kemana. Sejenak bersedih, sejenak merindu. Semua masih sama. Kan selalu sama entah sampai kapan.

Beberapa menit telah berlalu setelah mimpi buruk membangunkan nya dari tidur yang teramat pulas. Waktu menunjukkan pukul 1:27 dini hari. Kesendirian yang begitu menyiksa. Masih terdiam di sisi kiri kasur menunggu seseorang untuk menggenapi sisi kanan yang kosong. Percuma saja, cinta sudah hilang tidak akan kembali. Lagi pula, siapa wanita itu untuk berpikir bahwa pria nya akan kembali?

Malam kala itu terlampau dingin menusuk. Cuaca memang tidak menentu sejak awal Februari. Hujan pun turun di malam yang menyiksa itu. Sempurna untuk menemani kesedihannya. Masih terdiam memandangi ponsel nya; pesan yang sangat dinantikan tidak kunjung hadir. Memang sudah sewajarnya seperti itu. Akhirnya menyerah, ia meletakkan benda itu kembali diatas meja tepat di sebelah sisi kiri kasur nya. Berharap cinta nya pulang.

Kesepian, mengusap wajahnya sendiri dengan senyuman sinis. “Wake up, Sara!” terkekeh, mencemooh dirinya sendiri atas penantian yang sia-sia.

Setidaknya, malam itu tidak lah seburuk yang ia pikirkan. Malam itu, kehadiran satu orang mengubah segalanya.

Malam itu juga, disaat hendak kembali berbaring di kamar yang teramat luas untuk satu orang saja, seseorang berdiri tepat di ambang pintu. Masih dalam kegelapan, di dalam apartemen yang tiada satu cahaya pun menyala. Cinta yang hilang kembali pulang.

Terdiam. Sama-sama terdiam, saling memandangi.

Harus berbuat apa?

Dari kejauhan, figur yang telah dinanti-nanti akhirnya datang. Walau dalam gelap, walau tiada jelas untuk memandang, sudah cukup membuat wanita itu bahagia kembali.

“I thought you’re still in Surabaya,” masih duduk terdiam di sisi kasur nya dan memandangi suami nya yang masih saja berdiri di ambang pintu, tidak bergerak.

“Say,” menghela nafas lelah, pria di ambang pintu dengan kemeja satin hitam polos dan jeans putih yang selalu tampak memesona itu tiada berhenti memandangi wanita nya. “Why don’t we talk outside?” tatapan terakhir sebelum akhirnya menjauh menuju ruang tengah.

“Would you like some Rum and Coke?”

“Please.”

Tanpa memandang, mata nya tertuju pada flat screen; tajam. Sesekali ia memandangi wanita nya yang sedang menyambut kedatangannya di dapur. Seisi apartemen dibiarkan gelap kecuali ruang tengah.

Masih dalam balutan gaun tidur nya yang cantik. Rambut hitam gelap nya terurai menutupi dada, menutupi jelas nya bagian yang menegang oleh karena rindu dan hasrat yang tidak terbendung.

Sara lebih memilih duduk di single sofá karena ia ingin memandangi suami nya lebih jelas, memandangi segala ekspresi dan gerak tubuh nya. Aroma yang sangat kuat dan memikat; maskulin Aphrodisiac. Betapa dia ingin berlari ke arah nya, duduk di pangkuan nya dan mencium nya saat itu juga.

Menit berlalu, masih terdiam. Tanpa kata, tanpa memandang. Renas yang terlalu angkuh untuk memulai pembicaraan, Sara yang terlalu takut untuk memberikan pertanyaan. ‘Terus saja seperti ini, pasangan macam apa kita ini!’

Lagi-lagi, kata tiada terucap.

Harus ada yang memulai.

“Kapan pulang?”

Senyuman itu nyata di ujung bibir Sara; menanti Renas untuk akhirnya memandang, namun tidak jua. Mata masih hampa terpaku pada layar flat screen, entah apa di dalam kepala nya. “Setengah jam lalu,” bertopang dagu, duduk terdiam dengan segala keangkuhan. Teramat acuh. Begitu banyak yang ingin ia katakan, tidak tahu harus memulai dari mana.

“Kamu bilang di Surabaya sampai Sabtu depan…”

Masih memandangi tampan parasnya, masih memuja nya dalam diam. “What about the meeting?” Pertanyaan yang akhirnya tergenapi untuk dijawab.

“Semua batal.”

Mata yang sebelumnya hampa terpaku, kini tertuju pada gelas berisi Rum and Coke di meja tepat di depan mata nya. Tiga tegukan besar itu sudah cukup berbicara betapa kacau nya Renas hari itu, entah karena apa. Sara tetap lah Sara, terdiam memandangi saja, tidak tahu bagaimana baiknya menenangkan karena selalu saja ditolak.

“Would you like something to eat?”

Tanpa basa-basi, Sara bertanya.

“No, I’m fine.” Renas menolak.

‘See? Selalu saja ditolak!’ Sara meronta di dalam.

Menit yang teramat menyiksa, menit penuh kebencian dan kesunyian. Dimana nyala api cinta? Sepuluh menit tanpa berbicara sudah cukup. Sara menyerah. Renas teramat rumit. Kini wanita itu berdiri dan bersiap untuk beranjak. “Don’t stay up too late,” senyuman terakhir, sejenak memandangi Renas untuk terakhir kali nya malam itu. Beberapa detik masih berdiri memandangi. Sara pun beranjak.

“My parents are here.”

Renas kembali meneguk hingga tiada sisa. “Sit right back.” Kini ia memandangi istri nya yang telah beberapa langkah menjauh darinya. Dengan tatapan memohon penuh keputus-asaan. Dia; Renas dengan segala keangkuahan, mengulang kembali permintaannya.

Apa boleh dikata? Mimpi buruk terulang kembali. Akankah Renas melindungi? Atau malah berbalik menyerang, bersatu padu dengan keluarga nya untuk menghancurkan yang tersisa dari Sara?

Sara pun kembali duduk, di sofá yang sama, memandangi kembali tanpa kata. Tuk sejenak menggilai, mencintai seperti selalu.

My love

My soul

My life,

My dear Husband

“Kapan sampai?”

Masih dengan pesona nya, keanggunan nya, kecantikan nya. Masih sama, dan akan selalu sama hanya untuk cinta nya.

Beberapa menit berlalu, masih tiada bergeming, tiada berkata, hingga gerakan yang tanpa terduga dilakukan nya. Tidak ada lagi nyala flat screen yang bahkan tidak ia tonton, semata-mata untuk memecah kebisuan diantara mereka berdua. Sentakan suara remote yang setengah dilempar ke meja itu memulai segalanya.

“Forget it. We’re not going.”

Nyala mata nya tidak berhenti menatap, menghantui. Sara yang malang. Besar cinta nya tidak terbalaskan, tidak akan pernah.

“What would you say to them?”

Sara yang selalu menghamba, kini tidak lagi.

“What would you say to them now?”

Suara yang semakin meninggi, semakin menghantui, semakin mengacaukan pikiran dan segala perasaan Renas. Masih diam tertunduk, tidak mampu melihat betapa cantik dan marah istrinya dia saat itu. Kali ini Renas membiarkan emosi Sara meluap.

“You’re ashamed of me. I’m just a stain on your white sheet. How pity.” Senyuman yang mencemooh diri sendiri, Sara tertunduk dengan senyuman itu. Senyuman yang Renas sangat benci. Pernah suatu hari pria itu berkata; jika tidak suka dengan keadaannya tidak perlu bersenyum dengan penuh sindiran. Sangat mengganggu.

“Bahkan satu tahun belum cukup, Renas?”

Sara berdiri, satu langkah baru saja akan diambil.

“Bukan seperti itu.”

Renas membentak, mendongakkan kepala nya, memandangi Sara dengan penuh amarah. Tidak tertahankan.“Duduk. Aku belum selesai.”

“Apa lagi?”

Masih berdiri, masih memandangi dengan keputus-asaan yang teramat menyiksa, menahan air mata.

‘Come on, Sara you can’t cry in front of this man!’

“You said that your parents are here then you made the decision on your own. You don’t even allow me to try! What else would it be if you’re not ashamed of me?”

Air mata jatuh disaksikan. Renas tidak berhenti memandangi wanita yang baru satu tahun dinikahi nya. Belum genap satu tahun; 7 bulan tepatnya. Pernikahan yang menyiksa, cinta sepihak.

Tidak, tidak seperti itu. Tidak sepihak, sama sekali tidak. Tidak seperti itu kenyataannya. Coba tanyakan, jika Renas tidak cinta, mengapa masih mempertahankan? Jika memang pernikahan itu suatu bencana bagi nya, mengapa setiap malam ia masih pulang kepada Sara?

Mengapa masih bercinta dengannya?

“Bahasa.”

Terlalu angkuh untuk menggunakan bahasa Inggris, percakapan yang terlalu berat. Dengan nada lebih rendah, Renas meminta. Mata masih saling memandangi. Walaupun menangis, wanita itu masih terlampau indah.

“Sudah?”

Renas masih duduk di sofá panjang, masih memandangi Sara yang berdiri di ujung meja mengusap air mata nya sendiri. Luapan emosi nya telah berhenti, Sara sudah mulai tenang.

“Duduk.”

Suara itu, suara yang lebih berharga daripada segala materi di dunia, suara yang selalu ia cari dalam setiap detik di hidup nya. Renas tidak berhenti memandangi istrinya, dari mata hingga ke ujung kaki nya. Mata nya mengisyaratkan Sara untuk kembali duduk dan tenang. Pembawaan Renas sangat tenang dan dingin malam itu, seperti selalu.

Malam masih panjang, tenang saja, akan ada waktu untuk…

Lupakan.

“Kamu ingat 4 bulan lalu?” Renas memandang Sara lebih tajam, menekankan pertanyaannya. Sangat mengganggu, sangat menghantui. “Sebelum melimpahkan salah ke orang lain, ingat kembali 4 bulan lalu.”

Sara masih terdiam, mengerti benar apa yang terjadi 4 bulan lalu, mengerti benar apa yang dimaksud.

“Fine, Sara. Let’s be clear. Berbeda dengan Helen, Cindy merendahkan kamu. Sangat. Begitu pula mama. About the old man, well i don’t give a damn ‘bout him. But let’s say my dad is fond of you, he still hates me anyway. So do Cindy and my mom.”

Renas berhenti sejenak. “You see? There’s no point of going. It’s not that I’m ashamed of you, what kind of silly assumption really.”

Tegang nya suasana pelan-pelan mulai mencair. Dingin nya Renas mulai melebur, tembok mulai runtuh. Tidak ada lagi keangkuhan.

“It’s just, you never give me a chance.” Sara tidak berani memandang nya, masih belum berani untuk memandang nya.

“You don’t need to impress them. Ah, come on Sara!”

“I don’t mind doing that.” Sara bersikeras.

“Look at me when I’m talking to you.” Betapa menenangkan nya satu permintaan itu, Renas menghela nafas. “We’ve been living without them, haven’t we?” Renas berhenti sejenak untuk kemudian menegaskan. “But if you still insist on going, I suppose I can’t let you go alone,” lanjutnya.

“I’ll think about it.” Senyuman yang sangat merendah di hadapan suami nya, namun selalu memesona, selalu menggetarkan. Betapa Renas ingin menjatuhkan nya ke kasur dan bercinta untuk menunjukkan sayang, dan cinta yang tidak pernah ditunjukkan nya, tidak pernah diizinkan nya.

Renas akhirnya berdiri; tinggi semampai, masih memandangi wajah istri nya, berjalan mendekat dan berhenti tepat didepan nya. “Go back to sleep.” Ia menunduk, menyentuh Sara tepat di dagu dengan jemarinya, sedikit mengangkat dan mencium nya tepat di pipi kiri. Satu ciuman singkat di pipi, tiada diduga turun hingga ke bibir. Sangat lembut dan lama untuk seorang Renas yang dingin. Gerakan yang bahkan tidak dikontrol, gerakan lepas, Sara memegangi tangan kanan Renas yang masih mengangkat dagu nya dan masih mencium nya. Dilihatnya, betapa tulus Renas, mata nya terpejam menikmati. Sara memegangi nya erat, kini menutup kedua matanya dan Renas mencium nya lebih dalam.

Satu ciuman terakhir di kening, singkat dan berakhir.

Bahu nya menjauh menuju ruang kerja.

“Are you coming to bed?” Sara sontak berdiri, tidak mengejarnya, masih pada tempat yang sama.

“I am.”

Renas berhenti sejenak, menatap istrinya kembali walau sudah beberapa langkah ia ambil di depan mendahului. Masih ada yang harus ia katakan kepada istri nya “Give me 5 minutes,” Renas menutup.

Detik demi detik berlalu sangat lama malam itu.

Masih Sara memandangi figur yang tertidur disebelah nya. Setiap detil untuk dicintai; lebat hitam rambut nya, kuat rahang nya, tebal alis nya, keras nya setiap otot di tubuh nya, pucat kulitnya yang berona kemerah-merahan. Wajah nya yang begitu pucat dan tegang walau dalam tidur; begitu bersih dan terlampau tampan, dada nya begitu bidang, begitu pula otot-otot lengan nya. Betapa merindu nya untuk berada di pelukan itu lagi, walau hanya sekali lagi saja sudah cukup.

Sara masih memandangi, masih memuja dalam diam tanpa menyentuh Renas. Sudah lewat pukul 4, malam segera berganti. Hari itu adalah hari Sabtu, akan kah Renas tinggal? Jika memang akan pergi, kemana pergi nya? Sara bertanya; terlampau takut untuk ditinggalkan, lagi. Jika memang akan pergi, Minggu tentu nya Renas sudah akan kembali. Bukankah mereka masih harus menemui orangtua nya?

Sara menenangkan diri.

Kini pandangan nya tertuju kembali pada Renas. Sara mengamati nya lebih baik. Satu hal benar-benar membuat nya bahagia malam itu. Renas yang tidur disamping nya bertelanjang dada, seperti malam-malam sebelum nya saat keadaan masih baik. Sara merasa bukan lagi seperti orang asing. Merasa sangat dihargai, merasa sangat bahagia.

Tidak, sebenarnya tidak seperti itu. Renas tidak pernah menganggap Sara sebagai orang asing. Renas selalu ingin Sara ada. Tidak pernah sedetik pun ia mencampakkan Sara dari hidupnya. Jika memang persoalan dingin dan acuh nya sikap; Renas memang selalu seperti itu, kepada siapapun. Pria yang dingin dan kokoh diluar, namun sebenarnya hati nya sangat sensitif dan mudah sekali menyerah. Sekali saja ia menerima penolakan, akan selamanya ia pergi. Seperti hubungan nya dengan ayahnya sendiri.

Hati nya mudah sekali teriris, mudah sekali terluka. Begitu halus dan lembut di dalam, hanya saja tidak ingin ia tunjukkan kepada orang-orang yang ia cintai karena takut akan penolakan dan anggapan lemah.

Sara mengetahui benar sifat cinta nya itu, hanya saja terkadang merasa lelah meyakinkan diri sendiri jika sikap Renas selalu saja dingin. Lalu, baiknya siapa yang layak disalahkan?

Begitu tampan, keinginan untuk menyentuh nya yang diredam.

Renas membuka mata nya, masih berbaring dan terjaga.

‘Damn, he caught me!’

Memandangi satu sama lain, pihak yang tertangkap dan yang menangkap. Sara terdiam kaku.

“Come here.” Renas yang tanpa nada mengejek, mengundang Sara kedalam pelukan nya. “Dim the light please?” Mohon nya, oleh karena lampu meja tepat disebelah kanan Sara masih menyala. Renas tidak pernah menyukai tidur dengan sedikit saja cahaya.

“I’m sorry.” Sara tersenyum kecil, mematikan nyala lampu yang pagi hari itu menerangi gelap nya kamar mereka. Sara berbaring dalam pelukan Renas. Kulit bersentuhan, tidak ada jarak bahkan satu inci pun. Membenamkan kepala di dada suami nya, Renas menutup pelukan dengan tangan kanan nya. Menyentuh Sara tepat di pinggang, perlahan naik keatas. Pelukan yang begitu mencintai dan menjaga.

“Do you think you really need sleeping pills?”

“No, it’s just… I slept too early tonight. It’s not like every day.” Sara meyakinkan, masih dengan posisi yang sama. “You should go back to sleep, I’ll just stay this way for probably an hour or two.” Sara kembali tertawa perlahan, menertawakan diri sendiri.

“I’m fine.” Renas menyanggah, menolak untuk meninggalkan Sara yang masih terjaga. Masih membelai lengan istri nya, memijit nya perlahan di tengkuk kepala, melakukan sedikit bantuan relaksasi agar Sara cepat tertidur.

“You smell so good.” Sara menghirup aroma tubuh suami nya selagi berbaring tepat di atas kulit nya, mencintai setiap detik nya.

“Close your eyes.” Renas berbisik tepat di telinga Sara; memerintah, selagi masih memijit tubuhnya perlahan. Dilakukannya selama kurang lebih setengah jam hingga dilihatnya Sara sudah jatuh tertidur di pelukan nya. Semakin ia dekap erat, tidak akan dilepas. ‘Tidurlah sayang.’

Karena ku sungguh menginginkanmu

Mencintaimu lebih dari cinta itu sendiri

Lebih dari hidup yang fana ini

Cinta ku kekal, tidak menua

Walau tiada terucap,

Berlutut pun akan kulakukan

Mencium kedua tanganmu,

setiap jengkal tubuhmu

Karena ku menghamba padamu

Mencintaimu lebih dari cinta itu sendiri

**

Keras getar ponsel akhirnya membangunkan. Orang macam apa yang mengirim pesan di pagi hari. Masih merasa pusing karena tidak cukup tidur; setidaknya seperti itulah yang dipikirkan. Sara memegangi kepala nya sembari menyesuaikan mata nya dengan sinar matahari yang terang menembus jendela kamar. Masih berbaring, menggapai ponsel nya. Pesan singkat dari Richard Salim; sahabat karib Sara sewaktu di Sekolah Menengah, berkabar bahwa ia sudah kembali ke Jakarta dan mengajak Sara makan siang. Dilihat nya waktu diatas layar saat itu juga, pukul 12.07 siang.

Apakah Renas pergi? Jika ada, mengapa tidak membangunkan? Renas pasti sudah pergi. Harapan sejak semalam kembali patah.

Sara melihat kembali pesan Richard; terkirim pukul 08.10 pagi kemudian ia segera membalasnya.

“Richard maaf, just woke up. I don’t think I can make it today. Disini sampai kapan sebelum ke Kalimantan? Please re-arrange. We should definitely meet!” Sara, 12.15 siang.

“Til 27. Selasa depan, alright?” Richard, 12.16 siang.

Richard memang selalu seperti mesin pembalas otomatis, selalu saja ada. Ada dan terlampau cepat untuk membalas pesan atau panggilan.

“Done deal! I’ll see you on Tues.” Sara, 12.17 siang.

“Keep on updating. How you doin?” Richard, 12.40 siang. Beberapa menit jauh berselang.

Saat Richard membalas pesan, Sara sudah tidak lagi berada di tempat yang sama. Berendam air hangat untuk sepuluh menit pertama, kemudian membiarkan air mengalir membasuh seluruh tubuhnya. Hampir satu jam sudah Sara merapikan diri, mengeringkan rambut dan hanya menggunakan pelembab. Begitu cantik bahkan tanpa riasan sedikitpun. Hari itu Sara memilih ivory lingerie untuk dikenakan. Sangat cantik, sungguh sesuai dengan kulit putih nya.

Belum mengenakan sehelai kain pun, Sara dengan rambut hitam panjang nya yang terurai, membalurkan lotion ke seluruh lekuk tubuhnya. Tubuh yang sangat ideal, baik tinggi maupun berat badan nya. Pinggang dan perut yang begitu ramping, buah dada yang sangat padat dan berisi; bulat. Ukuran 38B nya itu selalu membuat Renas tergila-gila.

Setelah selesai, masih juga belum berpakaian, beralih ke wajah, mengamatinya dengan seksama. Alisnya yang tebal dan panjang tanpa tipuan, dagu nya yang sedikit terbelah, tulang pipinya yang menonjol, wajah oval; cukup tirus dan sempurna, mata nya yang kecil khas perempuan dengan darah Jambi dan pupil yang bercahaya. Hidung mancung dan lurus, bibir nya yang tebal, sangat menggoda setiap pria untuk menciumnya. ‘Am I beautiful enough for him?’

“I was about to wake you up.”

Suara yang sangat baik dikenal. Darimana datangnya?

Gerakan refleks yang baik saat Sara langsung mengambil lingerie yang ia taruh di atas kasur, menutupi bagian atas tubuhnya, melihat keaarah figur yang lagi-lagi berdiri di ambang pintu. “I’m sorry.” Sara menatapnya tegang, malu. Renas tampak sangat tenang, hangat, tidak seperti semalam ketika pulang.

“Don’t need to.” Renas mencoba mengalahkan luapan gairah didalam nya; masih bertatapan, masih canggung.

“I thought you’re not here,” Sara menatapnya bertanya-tanya.

“Join me when you’re done.” Renas menatapnya sekali lagi, hati yang berdebar tidak ditunjukkannya. Damn, betapa ingin ia berjalan kearah wanita itu dan mencengkram leher nya untuk menciumnya keras. Renas beranjak, menahan hasrat. Masih terlalu awal, tenang lah Renas, tenang.

Sara akhirnya bergabung dengan Renas di meja makan. Begitu banyak hidangan yang ada di depan mata. Begitu bahagia nya melihat semua itu. Segala bentuk perhatian, walaupun tidak pernah terucap. Sara menarik kursi di sisi kiri Renas di meja makan panjang cukup untuk 8 orang. Pernah bertanya mengapa 8? Karena seandainya orangtua Renas datang berkunjung, seandainya pula ibu dan saudari perempuan Sara juga datang berkunjung, mereka tidak akan kekurangan kursi.

Mereka tidak pernah sekalipun berkunjung.

Renas dan Sara adalah darah daging yang terbuang. Tetapi berbeda dengan Sara, Renas memilih untuk menjauhi keluarganya sendiri; atas pertimbangan dan kehendak hati nya sendiri.

Sara duduk mengamati setiap hidangan di depan mata nya selagi Renas masih berada di kitchen-bar meramu gin&tonic. Sesaat setelah selesai, dibiarkan nya dua sloki gin&tonic itu dan segera berjalan kearah meja makan untuk mengambil dua piring beef lasagna dan diletakkan di meja kitchen-bar. “Disini lebih baik.” Renas menatap Sara dari jarak yang cukup jauh, mengundang istrinya untuk pindah ke kitchen-bar.

“I thought you’d wake up early so I made breakfast too,” untuk pertama kali Renas tersenyum. Tanpa sindiran sinis, tanpa motif tersembunyi, senyumnya tulus dan bahagia. Sara menarik kursi tepat didepan Renas, mata memandangi satu sama lain, kemudian tertunduk tersipu. Renas meneguk minuman yang tadi diraciknya sendiri, sesekali menatap Sara yang tidak sadar sedang diperhatikan. Jarak yang begitu dekat, saling bertatapan.

“Ada acara sore nanti?” Renas bertanya. Tidak menatap, mengiris potongan beef lasagna nya. “No,” Sara sedikit terkejut dengan pertanyaan Renas. Nada suara nya ringan dan lembut namun penuh pertanyaan. ‘Memang mau kemana? Bukankah tidak pernah beranjak, selalu menanti Renas di rumah?’

“You shouldn’t ask, you know me.” Sara tersenyum. Tertunduk, canggung.

“Mau jalan?” Renas berhenti, menatap Sara. Sara menatap balik. “Jalan, makan diluar,” Renas berhenti lagi. Ia menatap istrinya yang pagi itu terlihat begitu cantik dan bersinar. Pria itu masih memegang pisau di tangan kanan dan garpu di tangan kiri nya sembari mengunyah dengan canggung. “Pulang malam, jadi bisa langsung tidur.” Lagi-lagi Renas mengambil jeda, mengisyaratkan bahwa masih ada yang ingin dikatakan. “Atau pulang larut. Atau mau ke Lembang? Sore ini, besok setelah dari Sheraton juga boleh.” Renas sudah selesai, hanya menunggu jawaban dari Sara.

‘Ya Tuhan...’ kupu-kupu berterbangan di Rahim wanita itu menggelitiknya.

Besok setelah dari Sheraton? Apakah ini berarti Renas memutuskan untuk mengajak Sara bertemu keluarga nya untuk yang kedua kali setelah insiden terakhir 4 bulan lalu?

“Mau kamu yang memutuskan atau aku?” Sara bertanya.

“Kamu yang putuskan.”

“Jalan sore ini, pulang larut.” Sara mengambil keputusan.

“Jam 4 kita keluar? Aku butuh setelan baru untuk besok.” Renas kembali bertanya.

“At 4 then.” Kembali tersenyum, Sara menatap suami nya dengan penuh arti. Apa yang baru saja dikatakan dan dilakukan Renas sungguh berarti bagi Sara.

Segera setelah makan siang, Sara kembali ke kamar untuk bersiap. Rambut hitam nya yang bergelombang dibiarkan panjang menjuntai sore itu. Mata nya sangat tajam dengan riasan shadow smokey-eyes dan winged liner. Highlight yang sangat tipis halus mempertegas tulang pipi, hidung dan dagu nya. Sara memilih strapless short dress Kate Spade berwarna peach untuk menggoda Renas dengan indah curve pada belahan dada nya sore itu. Flare chiffon dibagian bawah membuat Sara Nampak sedikit lebih tinggi, kaki nya yang sangat menawan. Heels silver Louboutin setinggi 7 cm hadiah ulang tahun pemberian Renas September lalu cantik melengkapi. Sara mengenakan floral cardigan untuk menutupi belahan dada nya. Masih terlalu awal untuk menggoda.

Renas berada di kamar yang sama; di sisi yang berbeda, di depan wardrobe nya sendiri. Terdapat ratusan setelan kemeja di dalam nya, begitu juga dengan koleksi arloji mewah dan sepatu kulit nya. Renas memilih sweater v-neck berwarna putih polos, jeans biru muda, serta sepatu kulit putih nya. Terakhir, ia memilih arloji bermerek Vacheron Constantin miliknya untuk dikenakan di pergelangan kanan nya. Pria yang dominan dan selalu memimpin. Selesai dengan dirinya, ia berjalan menuju Sara.

“Don’t need the cardigan.”

Renas berdiri di dekat ranjang, menarik kedua lengan sweater nya hingga ke siku. Tangan seputih porselen dengan rona kemerah-merahan layaknya ras Kaukasoid, bulu di kedua tangannya yang lebat dan berwarna kecokelatan layaknya ras Arab. Pria itu dilahirkan sebagai percampuran keduanya. Empat, sebenarnya; Yunani, Denmark, Turki dan Indonesia. Kedua bola mata tajam berwarna hazel itu; siapa yang tidak tergila-gila? Aroma tubuh nya, Aphrodisiac yang memikat.

“It’s still too early.” Sara bersikeras. Tersenyum pada akhirnya. “Makan malam nanti pasti kulepas.” Sejenak Sara memandangi Renas. “Suka dress nya?” Sara bertanya sembari kembali menoleh ke cermin, melihat bayangan nya sendiri dan melihat bayangan Renas yang berdiri tidak jauh di belakangnya.

“Suits you perfectly.” Pria itu memuji.

**

Plaza Senayan adalah tujuan mereka sore itu.

“I’d like your cardigan off.” Renas mematikan mesin, menatap Sara sekali lagi dengan segala bentuk memuja.

“Are you sure? Won’t it be too much?” Sara berargumen, masih mengenakan cardigan nya.

“Much classier without the cardigan.” Renas bersikeras.

Sara pun akhirnya mengalah, melepaskan cardigan nya dan meninggalkan nya di mobil.

Sesaat setelah memarkir BMW M5 hitam yang baru saja dibeli nya awal Februari lalu; Renas berjalan tepat di samping Sara, merangkul pinggang nya. Masih sedikit tidak percaya, Sara sesekali menatap suami nya dengan bertanya-tanya. Ada apa hari ini? Kenapa begitu hangat?

Berjalan berdampingan diantara ratusan orang lainnya, diantara pasangan lainnya; mereka berdua lah yang paling tajam. Tanpa banyak bicara, Renas memasuki store MaxMara dengan Sara tepat disebelah nya.

“Take your time.” Senyum itu sekali lagi diberikan Renas. Betapa bahagia Sara waktu itu.

Setelah setengah jam berselang, Sara kembali kepada Renas yang sedang duduk membaca majalah. Kembali dengan tangan hampa, Renas bertanya-tanya didalam.

“Lama, ya?” Sara tersenyum malu, masih canggung menatap Renas. Betapa tampan nya pria itu ketika sedang membaca dengan kacamata nya. Kerut di dahi dan bibir nya, betapa serius dan tegang. Memesona.

“No, not at all.” Renas menengadah, memandangi istri nya yang sungguh cantik memesona dengan gaun pendek berwarna peach dan belahan dada yang tegas.

“Anything good?” Masih mengenakan kacamata, masih dengan ketampanan dan wibawa yang sama.

“I don’t know, I really can’t choose.” Sara berjalan mendekat, kini tepat di depan Renas yang masih duduk di sofa dengan majalah yang telah diletakkannya di meja.

“Would you like my assistance?” Renas menawarkan, melepas kacamata nya dan menekuknya kembali di kerah v sweater nya. “Yes, please.” Sara mundur satu langkah ketika Renas mulai bangkit dan berdiri di hadapanya. Walau sudah mengenakan heels setinggi 7 cm, Sara hanya setinggi leher pria nya itu.

“Come on,” Renas menyatukan jemari mereka berdua, berjalan bersama.

Sara kembali kepada beberapa gaun pendek dan panjang yang ia tinggalkan beberapa menit sebelumnya, kembali memilih. “Pilih yang banyak, besok sepulang dari Sheraton kita ke Lembang.” Renas mengingatkan.

“Bukankah baiknya Senin, atau minggu depan? Senin kamu kerja…” Sara menatapnya ragu-ragu, bertanya di dalam hati. Meragu, Renas sangat membenci ekspresi semacam itu, seolah Sara bahkan tidak percaya kepada nya.

“No, tomorrow.” Renas mempertegas.

“But what about work?” Sara kembali mempertanyakan.

“Let’s go back to your dresses.” Renas mengalihkan. “Tiga ini?” Renas melepas tiga summer dresses berwarna kuning, hitam floral dan ungu dari gantungan nya. Salah satu nya adalah midi dress, Renas tidak yakin Sara cocok mengenakan midi dress. Karena baginya, itu adalah penyia-nyiaan bentuk tubuh. Tubuh istrinya adalah yang paling sempurna. Renas menyukai setiap kali Sara mengenakan gaun terbuka dan pendek, atau bahkan tidak mengenakan apapun. Tubuh istrinya tidak untuk ditutupi, hanya untuk dia; Renas, tetapi tidak untuk ditutupi dengan pakaian serba tertutup.

Renas benci membayangkan nya.

“Yang mana yang paling bagus?” Sara bertanya, masih berdiri tepat disebelah suami nya.

“Ukurannya benar?” Renas bertanya balik.

“Iya,” Sara berhenti. “Yang mana yang paling bagus?” kembali bertanya, putus asa untuk jawaban.

“Semua nya bagus. Sudah kamu coba?” Renas menatap nya kali ini, masih memegangi ketiga dress yang Sara pilih.

“Belum.”

Detik berlalu, mata Renas masih mencari-cari diantara sekian banyak midi dresses di hadapannya. Satu ditemukan. “Come on.” Renas menambahkan satu lagi untuk istrinya coba. Sara mengerti benar sifat Renas. Jika Sara mengeluh tentang betapa banyak nya belanjaan yang Renas belikan untuk nya, maka seharian penuh Renas tidak akan berbicara pada nya. Sara diam saja membiarkan suami nya mendominasi.

Hati bagaikan bunga bermekaran, bahagia.

Renas mengamati satu persatu dress yang Sara coba, salah satunya ada yang kurang ia suka; midi dress pilihan Sara. Renas diam saja.

“I think it’s too long.” Sara berpendapat mengenai midi dress yang ia pilih tadi, yang Renas sebenarnya benci. Di dalam hati Renas tertawa. Ia menang. Sara memang tidak boleh mengenakan gaun seperti itu. Kerah bulat, lengan panjang, semua serba panjang. Renas sangat bahagia Sara akhirnya memutuskan untuk tidak memasukkan dress itu sebagai pertimbangannya.

Dress terakhir yang Sara coba adalah pilihan Renas. Midi dress, tetapi sangat menggoda. Backless dan v-neck yang dalam. Cocok untuk dikenakan di Lembang besok malam. Terlebih lagi, warna nya hitam dan terbuat dari sutra. Tiga gaun itu akhirnya menjadi milik Sara.

Jam menunjukkan pukul 6 sore.

Renas membawa paperbag MaxMara di tangan kiri, dan tangan kanan nya menyatu pada jemari Sara; berjalan bersama-sama berdampingan. Beberapa pasangan muda-mudi sesekali mencuri lihat dan memandangi mereka. Sang pria yang tampak jelas keturunan Eurasia-Arab dan sang wanita yang asli keturunan Indonesia namun teramat sangat cantik dan tidak pernah membosankan. Bagi Sara, tidak ada yang lebih baik dari sore itu.

“Hungry yet?” Renas bertanya, berjalan melewati store demi store, melihat dengan cermat.

“No, not yet.” Sara tersenyum lebar.

“I’m thirsty, let’s get some coffee.”

Renas membimbingnya memasuki Starbucks.

Empat puluh menit cukup untuk melepas dahaga dan melepas lapar yang singkat. Mereka kembali melihat-lihat. Apa yang ada di pikiran Sara jelas berbeda dengan apa yang ada di pikiran suami nya. Jika Sara berpikir Renas sedang mencari setelan jas untuk dikenakan esok, Sara salah besar.

“Kita masih punya enam tujuan lagi, so let’s hurry.”

“Enam?” Sara terkejut.

“Precisely.” Renas masih menggenggam tangan istri nya dan melihat-lihat sekitar.

“Apa saja 6 itu? Semua nya disini?”

Belum sempat bertanya lebih, Renas membimbing langkah Sara menuju Dior. “Bags and shoes.” Senyum nya singkat, melepas Sara untuk memilih. “No need to be hurry, we still have Fendi and a lot others.” Renas kembali tersenyum.

Sara akhirnya memilih keluaran terbaru evening bags dari Dior sore itu, seri Zodiak. Clutch hitam dengan detail bordir dari kulit domba.

“Cancer?” Renas tertawa, masih mengamati pilihan istri nya. “Can I do the choosing?” Renas menggoda.

“You can’t. Please don’t, I love it”. Sara memohon. “Mau aku pakai besok,” lanjutnya.

Renas kemudian mengajak Sara ke Karen Millen, karena sebelumnya di Dior Sara belum menemukan heels yang cocok. “Sit down, let me do this.” Renas bersikeras.

Setelah setengah jam memilih, Renas kembali dengan membawa sepasang stiletto setinggi 10.5 cm berwarna emas, dengan pleated leather detail dan pointed toe serta gaun malam satin berwarna gold; detail v-neck yang sangat tegas membelah dada; backless, serta slit-thigh yang tinggi di bagian kanan paha.

“Coba sekarang.” Lagi dan lagi, Renas mendominasi.

Tepat pukul setengah 10 mereka selesai berbelanja. Sara duduk tepat di samping, di passenger seat. Renas menyalakan mesin dan akan segera meninggalkan Senayan. Sara yang masih saja cantik walau malam semakin larut, memijit-mijit lengan kanan nya dan terkadang memegangi leher nya. Mata nya masih menyala, masih terlalu segar untuk tertidur, hanya saja sendi nya terasa kaku malam itu.

“Kenapa?” Renas bertanya. Menatap Sara dengan penuh pertanyaan, kemudian meraih tangan kanan istri nya dan mulai memijat perlahan.

“Sakit?” Renas bertanya, masih memijit lengan kanan Sara; turun hingga ke siku.

“Nyeri sendi.” Sara tertawa, begitu cantik. “What a grandma…” tawa nya semakin menjadi, masih menatap suami nya.

Renas masih memijit nya perlahan, masih di parking lot dan di dalam mobil dengan mesin yang menyala. “Seminggu kedepan kalau masih susah tidur, kita ke dokter, minta pil tidur.” Renas menegaskan. Raut wajahnya serius, dan sangat berhati-hati. Sangat peduli. Sara mengangguk menyetujui, ditutup dengan senyum lembut nya.

Beberapa menit berlalu Renas masih memijit tangan kanan Sara, memijit jari-jari lembutnya. Suasana semakin mencair, semakin malam dan semakin hangat. Renas masih menggenggam tangan Sara, tidak akan dilepas. Mata nya menatap istri nya dalam-dalam. Terbawa suasana dan hasrat yang sudah tidak dapat lagi dibendung.

Renas menyentuh leher Sara dengan tangan kiri nya, menyondongkan badannya ke samping kiri untuk mengangkat dagu istri nya. Saling bertatapan hangat selama beberapa detik. Sara pun terseret arus hasrat yang sudah meluap kemana-mana. Renas menutup mata dan mencium istri nya. Saat itu juga. Beberapa kali, setiap ciuman semakin dalam.

Renas masih terus mencium Sara. Akhirnya berhenti, turun kebawah menyusuri leher nya, menciumnya di beberapa titik. Di satu titik di leher sebelah kiri. Sara menyondongkan badannya agar lebih dekat, agar Renas bisa menciumnya lebih dalam lagi. Renas menghela nafas dalam, tangan kanan nya menyentuh perut Sara, masih ia membenamkan wajah nya di dada istri nya. Lagi, Renas menghela nafas panjang dan Sara mendesah halus. Jari-jari nya kini menyusuri rambut suami nya, menyentuhnya halus dan penuh gairah. Aroma pria itu benar-benar memabukkan.

Malam yang sangat gila!

Renas meraih risleting di bagian belakang dress yang Sara kenakan malam itu, menariknya turun dan membuka nya hingga tepat di bawah perut. Heaven is on Earth. Renas mencium setiap jengkal tubuh istri nya, masih menunduk dan membanjiri Sara dengan ciuman bergairah. “Sit on my lap, baby please,” Renas menatap. Memohon, dengan nafas yang tersengal-sengal, memohon istrinya.

Malam sungguh masih panjang. Malam yang tadinya sudah direncanakan untuk diakhiri di The Café Hotel Mulia untuk fine dining, batal oleh karena hasrat yang meluap-luap. Tidak tertahankan lagi, Renas mencintai istri nya, menginginkan istri nya. Setiap kali ia mengingat Sara menangis malam sebelumnya, semakin ingin ia menunjukkan betapa menyesal dirinya. Walau tidak mampu mengatakannya, setidaknya Renas mampu menunjukkannya.

Pukul 11 malam mereka sampai di apartemen; Keraton Private Residence. Segala belanjaan masih di bagasi. Masa bodoh dengan publik! Setibanya di lobby, Renas mengejar Sara yang berlari mendahuluinya menuju lift. Menangkapnya untuk menciumnya di dalam lift pribadi yang menuju unit apartemen mereka. Renas tergila-gila pada istri nya, akan selalu tergila-gila padanya.

Setibanya di unit apartemen mereka; Sara berlari menuju ruang tengah dan melepas heels nya, membuang clutch nya ke sofa dan setengah melepas dress nya. Renas mengikuti, melepaskan sweater nya setibanya di ruang tengah. Sara berlari menjuh ke kamar. Renas berjalan mengikuti, masih terbalut dengan jeans nya. Di sana, di ujung kamar tepat di depan cermin rias, Sara berdiri dengan dress nya yang sudah setengah terlepas, belum sepenuhnya ditanggalkan. Sara menatap suami nya; berapi-api, membara. Renas terdiam di ambang pintu memandangi istrinya yang begitu cantiknya hingga membuatnya gila.

Perlahan, Sara menanggalkan setiap helai kain ditubuhnya. Renas berjalan perlahan pada awalnya, semakin cepat begitu ia hampir mendekati Sara. Setelah berhadapan dengan wanita nya, Renas mencengkram leher Sara dan menciumnya keras.

“Make love to me,” bisik pria itu.

Renas menatap tajam kedua mata istri nya; memohon, mengharap, mencinta. Beberapa detik memohon dan berharap, menunggu jawaban dari wanita pujaan yang malam sebelumnya menangis karena nya. Sara mengangguk perlahan dan tersenyum tulus, mencium suami nya tepat di bibir.

Akan kukatakan jujur malam ini

Mari bicara dari hati ke hati

Tetang rasa yang tidak pernah terucap

Oleh karena acuhnya kamu,

angkuh nya kamu

Mencintaimu, dingin nya hati mu

Mencintaimu, keras nya sifat mu

Jauh nya figur mu

Rapuh nya jiwa mu

Tulus nya cinta mu

Berlabuhlah padaku, sayang

Malam ini dan selamanya

Be here, be holy.

**

“Happy birthday.”

Tepat pukul 12 tengah malam. 13 Juli sudah, tepat 28 tahun. Renas yang selalu tampan, selalu dingin dan memikat.

Masih dalam pelukan suami nya, menyatukan jari-jemari; Sara membisikkan dua kata itu. Renas tersenyum bahagia, menatap mata istrinya dalam-dalam. “Karena itu tadi memilih motif Cancer?” Masih memeluk erat tubuh Sara, bertanya. Sara menangguk dan diiringi oleh senyuman lebar.

“Aku benci clutch itu,” ekspresi Renas datar tetapi bersungguh-sungguh.

“Hold on,” Sara beranjak. Wanita itu berdiri dan mengenakan kimono putih gadingnya. Kimono yang cantik dan transparan, Renas bisa melihat setiap lekuk tubuh istrinya, indah tidak akan lekang oleh waktu. Kembali dengan benda berukuran panjang setidaknya 40 cm dan lebar 20 cm, Sara berjalan kembali ke ranjang.

“Happy Birthday.” Mengulang dan memberikan benda yang terbuat dari kayu yang diukir sedemikian rupa itu; sebuah replika kapal pesiar. Renas menopang tubuhnya dengan siku tangan kanan nya, menerima pemberian Sara dan mengamati nya dengan seksama. Tidak mampu berkata-kata; bahagia, bahkan lebih dari bahagia. Renas tidak mampu mengalihkan pandangannya dari hadiah pemberian Sara.

“Thank you.” Renas masih terkejut, masih terlalu bersemangat untuk terjun kedalam pembicaraan sesungguhnya.

“I can’t afford buying anything. Plus, all i wanted to buy, you have it already. I was walking around the other day and I found it. I remember what you told me, about your dreams, so… It’s very cheap, it’s nothing really, but I hope you like it. And, I hope it’ll bring you drives.”

Sara duduk di ujung ranjang; masih dengan kimono nya, menyelipkan rambut di telinga nya dan tertunduk tidak mampu lagi berkata-kata.

“I love it.”

Renas mengamati sekali lagi hadiah pemberian Sara, mengamati setiap inci, setiap lekukan dan goresan dari pemberian yang benar-benar tidak seberapa itu tetapi sungguh ia berterima-kasih dan menyukainya.

“I have something to tell you.”

Masih duduk terdiam di sisi ranjang nya, menuntut jawaban dari Sara yang diam di ujung menatap nya tanpa henti.

“Tell me.” Walaupun hati berdebar penuh ketakutan, senyum palsu tetap menghiasi.

Renas tersenyum menutup-nutupi. Malam itu terlampau indah untuk dirusak. Tidak ada cara untuk mengatakannya saat itu juga. Di lain waktu, mungkin. Apapun yang Renas pikirkan dan ingin lakukan hanya untuk membuat Sara bahagia, untuk melepaskannya dari setiap belenggu; termasuk dari keluarga nya sendiri. “Nothing,” Renas mengambil jeda.

“Come here.”

Satu perintah yang melengkapi malam itu.

Sara kembali dalam hangat pelukan suami nya, mata nya semakin terasa berat ketika Renas mematikan setiap cahaya di kamar dan mendekapnya erat. Renas menenangkan Sara dengan sentuhan-sentuhan lembut nya.

“What if i can’t sleep?” Sara berbisik, masih membenamkan kepala nya di dada Renas. “I’m not gonna sleep either.” Renas masih membelainya, memijitnya lagi di tengkuk kepala dan bahu. “Think of something nice and relax. I’m right here.” Renas menenangkan, semakin mendekap Sara lebih erat.

“Close your eyes.”

Renas mencium kening Sara untuk terakhir kali malam itu.

Sara pun jatuh tertidur.

‘Hush, darling. Let yourself drift away…’