Hari itu adalah hari yang teramat penting. Matahari pagi memulai segalanya. Renas sudah beraktivitas sejak pukul 8, melakukan cek rutin terhadap mobil-mobil nya. Pagi itu juga saat Sara masih tertidur pulas, Renas sudah memikirkan beberapa hal. Hal pertama yang dipikirkan adalah mobil; tidak bisa memutuskan antara BMW m5 hitam atau Jaguar XK putih 2 pintu, atau mungkin Chevrolet Corvette abu-abu 2 pintu miliknya. Tidak mungkin menggunakan Porsche Macan S milik Sara. Mobil wanita tidak termasuk pilihan, lagipula itu adalah hadiah pemberian Renas untuk istrinya. Tidak mungkin menggunakannya.
Keputusan telah diambil.
Pagi itu ia bersumpah akan menghantam kedua orangtuanya tepat dimuka. Renas tidak pernah bahagia dengan keluarganya sendiri. Terlampau benci. Sukses di usia 24 tahun atas keringat nya sendiri. Ayahnya yang bahkan pemilik perusahaan properti kelas kakap di Indonesia tidak mendukung keputusan anak pertamanya itu. Renas membenci nya dan seluruh keluarganya sejak saat itu juga.
‘H-ha! Tidak ada kata keluarga bagiku!’
Sara bangun sangat terlambat hari itu; tidur yang terlalu pulas untuk dibangunkan. Pukul 1 siang ketika ia bangun, Renas tidak ada dimanapun. Sepuluh menit berselang, Renas kembali dengan beberapa box takeaway untuk makan siang. Masih mengenakan kacamata polaroid nya, Renas berjalan menuju bar dan mendapati Sara sudah menunggu.
Sara menengok kebelakang dan tersenyum manis. Renas berjalan kearah nya, menciumnya tepat di bibir dan meletakkan box-box tersebut tepat dihadapan Sara. “I miss pizza!” Sara tersenyum lebar membuka box Cheesy bites super supreme, tidak sabar untuk memakannya saat itu juga. Renas juga membeli beberapa appetizers dan desserts.
“You should eat the lasagna first.” Renas menyarankan. Sia-sia karena Sara lebih memilih pizza.
“Jam berapa berangkat sore nanti?” Sara bertanya.
“6 o’clock. Dinner’s at 8.” Renas mengambil jeda. “Don’t forget to pack.”
Pukul setengah tiga sore Sara sudah siap dengan kopernya untuk dibawa ke Lembang. Hanya satu koper dan satu tote bag berisi beberapa hal kecil.
Sara berada di kamar saat itu, berlutut dengan kedua kaki, menutup kopernya. Renas berjalan memasuki kamar untuk mengambil koper Sara untuk kemudian dimasukkan kedalam bagasi. “Are you sure?” Sara berbisik, menengadah menatapnya dengan mata yang berkilauan.
“I am.” Renas menunduk menciumnya, dan mengambil koper itu. “Go get ready.” Renas mengingatkan sembari berjalan keluar.
Matahari akan segera terbenam dalam satu jam. Sara sudah siap dengan riasan wajah nya yang sempurna. Rambut hitam panjangnya dibiarkan lurus tergerai dan menutupi dada. Bagian belakang gaun malam berwarna emas itu terbuka hingga ke pinggang, slit tinggi di paha kanan.
Setiap lekuk tubuh Sara nampak jelas, sangat indah. Renas berjalan kearahnya; berdiri tepat didepan mata Sara dan menyibakkan rambut istri nya ke belakang. Renas tidak pernah menyukai Sara menutupi bagian tubuhnya yang satu itu. Renas teramat menggilainya.
Sara masih memandangi suami nya yang terbalut dalam setelan business-casual; kemeja putih polos slim-fit yang dimasukkan kedalam celana abu-abu muda nya, ikat pinggang kulit berwarna cokelat tua dan sepatu kulit dengan warna yang senada dengan ikat pinggang yang saat itu dikenakan. Arloji kulit di tangan kanannya; satu hal yang selalu Sara suka. Renas membiarkan dua kancing teratas terbuka, dada yang sangat bidang. Rambut hitam tebalnya terlihat sempurna dengan tatanan formal side-part.
Sore itu, nampak jelas darah Kaukasoid mengalir dalam darah Renas. Postur tubuhnya yang semampai dan berotot, mata nya yang tajam sebagaimana ayahnya memiliki darah Turki seperti Arab lainnya dengan mata hazel yang tajam.
Kakek dari ayah Renas berdarah asli Turki, menikah dengan wanita yang berdarah asli Yunani; yang juga memiliki darah Denmark di silsilah keturunan nya. Hal itu berarti kakek dari Renas memiliki darah Turki-Yunani. Ia tinggal di Heraklion sepanjang masa bujang nya, menikah dengan gadis lokal pada usia dua puluh tahun. Setahun setelah pernikahan, lahirlah Eskandar Karim; ayah dari Renas. Saat Eskandar berusia lima tahun, orangtuanya melakukan lompatan besar untuk berinvestasi di Indonesia, di Lombok tepatnya, dimana bisnis properti keluarga mulai dirintis. Pada usia 27, Eskandar menikah dengan Sofia Hasan yang berdarah asli Palembang.
Sore itu juga, Renas harus menahan diri selama beberapa jam kedepan, menahan segala rasa muak dan benci.
Chevrolette Corvette abu-abu 2 pintu menjadi saksi sore itu, betapa bersungguh-sungguh Renas berusaha melindungi Sara dari keluarganya yang selalu membenci.
Renas berjalan tepat disamping istrinya yang terlihat begitu anggun dan lebih dari cantik malam itu di lobby Sheraton Grand Jakarta menuju Anigré; restoran kelas dunia di hotel itu. “I’m scared.” Sara tetap mencoba mengimbangi langkah kaki Renas, hati nya sangat tidak tenang dipenuhi kecemasan. Renas menatapnya melalui bahu kanan nya dan merangkul erat pinggang istri nya, membisikkan sesuatu yang meruntuhkan segala kekhawatiran Sara.
Sejauh mata memandang, Sara belum juga menemukan dimana orangtua serta kedua adik perempuan Renas; mereka tetap berjalan. Sara masih terus mencari, hingga Renas mencium pipi kiri Sara dengan sangat dalam, mengisyaratkan mereka sudah dekat. Mata nya menemukan apa yang dicari.
Satu meja berisi enam kursi kini lengkap sudah terisi. Sara duduk di sisi kiri meja dari arah mereka datang, berhadapan dengan Renas. Helen duduk tepat disebelahnya, Sara merasa sedikit lega. Cindy duduk tepat disebelah Renas.
“You sit on your mother’s chair, get up.”
Eskandar Karim duduk membelakangi arah mereka datang, duduk di kursi tunggal. “Get up and sit there.” Lagi-lagi Eskandar tertawa mencibir.
“Well, from what I’ve learnt…” Renas bangkit, memberi jeda pada ucapannya “there’s always somebody trying to ruin one particular occasion”. Renas menarik satu kursi di ujung, tepat berhadapan dengan ayahnya.
“I was a little bit impressed reading the headline earlier this afternoon. Did you read it as well, Helen? Cindy?”
Eskandar berhenti, memandangi anak tertuanya.
Helen tertunduk diam, Cindy menatap Sara dengan mata menyala penuh rasa jijik.
“Who taught you business, son?”
Sambung pria separuh baya yang masih terlihat bugar dan tampan dengan rambut yang masih hitam segar.
Jeda beberapa detik yang begitu menyiksa, Renas menatap ayahnya tajam, membenci. Sara menatap Renas dengan kekhawatiran jika emosi suami nya akan meledak. Helen terdiam tepat disamping Sara.
“My son!”
Sapa wanita paruh baya yang berjalan semakin mendekat, berhenti tepat di depan Renas. Sofia membungkuk, mencium anak tertuanya tepat di pipi, melepas rindu sekian lama tidak bertemu.
Empat bulan terasa seabad bagi orangtua tidak bertemu anaknya, terlebih lagi bagi Sofia yang harus kehilangan Renas di usia 17 tahun, hingga Renas tapat berusia 28 tahun malam itu.“Selamat ulangtahun.” Sofia memeluk anak tertuanya, Renas tetap duduk, tidak berdiri. Sangat tidak menghargai.
Malam itu, tepat pukul 9, malam tidak lah seburuk yang dibayangkan. Cindy tetap diam, walau mata nya membara karena amarah, begitu pun Sofia. Helen sesekali mengajak Sara berbicara kemudian mereka tertawa. Segala bentuk pujian diberikan untuk Sara. Helen selalu menyukai Sara; keanggunan dan sifat nya. Saat Sofia tengah berbicara dengan suami nya dan Cindy tidak berhenti memandangi layar ponsel nya, Sara memohon izin untuk ke toilet.
“I’ll go with you.”
Helen bangkit dan kemudian menarik tangan Sara.
Renas tidak berhenti menatap keduanya, menatap adiknya curiga. Tetapi Sara kemudian melemparkan senyuman yang mengisyaratkan semua akan baik-baik saja. Mereka berdua berjalan melewati Renas. Saat tepat berjalan melewati bahu kanan suaminya, Sara menyntuhnya dan pada saat itu juga Renas sadar bahwa Helen mencoba untuk melindungi kakak iparnya.
“Oh, i need to pee.”
Helen memasuki toilet ke 3 yang ada di dalam restroom tersebut. Sara berdiri di depan kaca, mengulang kembali lipstick nya yang mulai memudar, Revlon nomor 117 nude. Bahkan untuk wanita sekelas Sara, dengan laki-laki yang berjalan tepat disebelah nya adalah Renas Karim; salah satu taipan muda Indonesia, Sara masih tetaplah Sara yang dulu.
“You look dashing tonight!” Secepat itu Helen sudah berada tepat di samping kiri Sara, mengambil maskara dari clutch nya dan mengulang riasan wajah nya kembali; memuji Sara.
“How’s my brother?” Helen menuntut jawaban.
Sara menunduk memasukkan kembali lipstick nya kedalam clutch putih Dior miliknya dan menyandarkan punggungnya pada dinding keramik, menatap Helen masih setengah tertunduk. “He’s um,” Sara menatap Helen dan tersenyum.
“Tell me he treats you right.” Helen tetap berdiri memandangi kakak iparnya yang bahkan lebih muda dari dirinya itu. “He does. He absolutely does,” Sara berhenti. Tertunduk kembali, mengisyaratkan bahwa terdapat segudang pertanyaan mengenai suami nya itu.
“But?”
Helen bertanya lebih jauh, mengerti bahwa ada yang disembunyikan, mengerti bahwa Sara masih ingin bertanya lebih lanjut.
“Renas sedikit berbeda dibandingkan dulu saat awal bertemu.” Sara akhirnya berani terbuka.
“Ceritakan semuanya.” Helen menanggapi, dan masih mendengarkan dengan baik.
“Keras masih sama, bahkan dulu waktu pertama bertemu aku sudah bisa memahami sifat itu. Sekarang setelah menikah, rasanya seperti ada jarak, seperti dia berjalan maju dan mundur. Ada kalanya dia menarik diri dan menjauh, seperti orang asing. Ada kalanya dia kembali mendekat dan… kami berdua bahagia lagi. Selalu seperti itu. Saat dia menjauh itu saat paling menyiksa. Tidak berbicara, menghindar. Tapi kemudian dua atau tiga hari setelahnya dia kembali mendekat, memperlakukanku lebih dari berarti. Tiga bulan terakhir ini aku mencoba mencari salahku barangkali mungkin aku yang salah. Takut sekali dia akan berubah lagi…” Senyum sedih dan putus-asa menghiasi wajah cantik Sara.
Helen menghela nafas dan menjelaskan.
“Renas memang rumit. Aku sebagai adik yang hanya terpaut dua tahun lebih muda mengerti benar dia, dan aku mengakui itu. Renas… satu hal yang aku tahu pasti dan yang aku percaya, tidak ahli dalam mengungkapkan perasaan. Tidak bisa sama sekali. Jika dia mencintai satu orang dalam hidupnya, walau keras dan jauh, dia akan tetap berada didekat orang itu, tidak akan pergi kemanapun. Well, kalaupun dia pergi menjauh, akhirnya akan selalu kembali. Kalau dia sedikit saja merasa tidak nyaman dengan satu orang tertentu, walau dipaksa untuk tinggal serumah dia tidak akan sudi. Lihat ayah. Tahu benar kan seberapa benci Renas pada nya? Lihat perlakuan Renas pada ayah. Walau besok ayah mati, Renas tidak akan menangis. Aku mengerti apa yang kamu tanyakan. Kamu bertanya didalam ‘apakah Renas cinta?’ Renas cinta kamu lebih dari apapun. Aku tahu itu. Aku bisa lihat dari mata nya. Come on, he’s my brother. I do know him. Pertanyaan kenapa ia terkadang menjauh, Renas punya banyak sekali beban yang tidak ia bagi dengan kamu. Dan seperti itulah dia. Dia tidak pernah suka menceritakan masalahnya, bahkan pada orang terdekatnya. Jika dia menjauh lagi, biarkan saja, biarkan dia berpikir dan menemukan jalan keluar atas masalahya sendiri. Dia pasti akan kembali lagi. He loves you, Sara.”
Helen terdiam sejenak
“dan percaya, jika kamu bertanya ‘apakah Renas menemui wanita lain?’ Tidak. Tidak sama sekali. Pegang ucapanku, Sara. Masih ingat nenek lampir dengan rambut pirang yang tidak perlu aku sebutkan namanya itu? Well, you know, sebelum bertemu kamu, Renas bersama dia selama 6 tahun. Walau diselingkuhi sekian kali perasaan Renas dulu tidak pernah berubah, dan tidak pernah membalasnya. Tidak sekalipun. Hingga akhirnya mereka selesai untuk yang terakhir kali dan Renas bertemu kamu yang jauh lebih baik. Tidak segampang itu Renas bertemu wanita lain, apalagi tidur dengannya. Dia harus merasa nyaman dan setidaknya mengetahui wanita tersebut cukup lama. He’s not a cheater, Sara. Trust me.”
Helen maju beberapa langkah mendekati Sara, mengusap bahu kiri kakak iparnya itu. “Besok siang aku kembali ke Auckland, mungkin kalian berdua mau ikut?” Helen berharap.
“Ah seandainya aku lebih dulu tau. Malam ini juga kami ke Lembang, seminggu disana...”
“Lembang? Seorang Renas? Ke Lembang? Sara...” Helen tertawa geli. “Percayalah, jika memang dia bilang ke Lembang, kenyataannya bukan Lembang. Lihat saja nanti.
Ketika mereka berdua berjalan keluar restroom untuk kembali bergabung, betapa terkejut Sara melihat kedua kursi Renas dan Eskandar kosong. “They must be on the balcony, talking.” Helen berbisik.
Ketika telah kembali bergabung, selama setengah jam pertama Sofia tidak mengajak Sara bicara. Bahkan tidak memandang Sara, masih sama menganggap remeh. Hingga 40 menit lamanya duduk bertatapan dengan Sofia, masih sama tidak diajak bicara. Sofia yang pada malam itu duduk berbincang anak ketiga nya; Cindy, terlihat menyindir Sara. Sara tidak dapat mendengar apa yang mereka berdua katakan. Helen mencoba mengecoh Sara dengan menunjukkan beberapa model gaun di layar ponsel miliknya, meminta bantuan Sara untuk memilihkan.
Sara tidak begitu memperhatikan mertua nya itu.
Tepat pukul 10 kurang 5 menit Renas dan ayahnya kembali bergabung. Masih mereka berdua berdiri; Renas berdiri tepat disamping kursi Sara, menatapnya dengan isyarat bahwa harus segera pergi. Sara yang detik pertama kebingungan akhirnya menyadari dan segera bangkit dari kursi nya. Renas berjabat tangan dengan ayahnya, tegas dan bersahabat, walau tanpa kata-kata. “Secepat itu pulang?” Sofia bertanya. “Tinggal lah satu jam lagi, Renas.” Ibunya memohon. “Biarkan pergi, besok pagi sekali harus berada di Sentani.” Ayahnya membela, berbohong. Sara menatap mata Eskandar dan ketika pria paruh baya itu balik menatap, Sara tersenyum.
Helen bangkit dari kursi nya dan memeluk Sara layaknya sahabat lama yang baru saja bertemu dan sudah harus berpisah lagi. “Text me often.” Helen berpesan sembari masih memeluk Sara. Semua orang di meja itu melihat mereka berdua. Cindy masih dengan keangkuhannya.
Sara berjalan kearah Sofia untuk mencium kedua tangan wanita paruh baya tersebut yang seumuran dengan ibunya sendiri. Sofia memalingkan wajah, menolak. Sara terdiam beberapa detik menanggung malu dan rasa tidak enak. Renas berjalan kearahnya, menarik tangan istrinya itu “Tidak perlu.” Renas berbicara dengan cukup keras sehingga semuanya mendengar, termasuk ibunya sendiri. Sara yang berdiri tepat disamping Renas; dijaga, menatap Eskandar dan melihat kehangatan di wajahnya.
Sara berjalan mendekati ayah mertuanya dan mencium tangan kanan nya, menghormati dan mengasihi. Eskandar membelai Sara tepat di bahu kiri wanita itu dan tersenyum. Walau sedingin gunung es profil dari ayah mertuanya tersebut, malam itu Eskandar berada di pihak Sara dan anak laki-lakinya. Entah apa yang mereka bicarakan tadi; antara Renas dan ayahnya, hingga memakan waktu satu setengah jam. Sara bertanya-tanya. “Baik-baik.” Eskandar berpesan pada Sara, tersenyum hangat.
Renas menyentuh Sara tepat di pinggang dan berjalan berdampingan menjauhi meja. Renas bahkan tidak berpamitan kepada ibunya sendiri, karena baginya, ibunya menolak Sara, sama saja menolak dirinya sendiri. Cindy yang seumuran dengan Sara bahkan tidak bisa menerima Sara setidaknya sebagai seorang teman. Tidak perlu sahabat, teman sudah cukup. Tetap tidak bisa. Bagi Cindy, Sara bukanlah siapa-siapa dan tidak pantas mendapatkan saudara laki-laki nya. Bagi Cindy, pernikahan Sara dan kakak nya hanyalah kelicikan semata untuk harta. Cindy selalu, dan akan selalu merasa jijik terhadap Sara.
“Kapan ulangtahun Cindy?” Sara bertanya, Renas tidak memalingkan wajah, terlalu fokus pada jalan dan tidak menyukai pertanyaan Sara.
“Kenapa?” Renas bertanya dingin. Sara mengetahui benar betapa benci Renas terhadap pertanyaan itu. Adiknya bahkan tidak menyukai Sara, kenapa Sara harus peduli?
“Karena aku tanya.” Sara berpura-pura lugu, tersenyum menggoda.
“15 Desember.” Jawabnya dingin.
“Jadi aku lebih tua sedikit, ya?” Sara bercanda. “3 bulan lebih tua.” Sara tertawa, Renas mencoba menghapus wajah orangtua dan adik-adiknya dari pikirannya. Menyedihkan.
Sara terpaut 6 tahun lebih muda dibandingkan Renas. Pertama bertemu satu tahun lalu tepat saat Sara merayakan ulangtahun nya yang ke-21.
**
13 September 2013.
Pertama bertemu.
‘Ingatlah kembali, sayang...’
Sara yang seumuran dengan Cindy; adik dari suaminya. Renas; suaminya yang seumuran dengan saudari kandungnya, Carin. Renas bersahabat dengan Carin sejak Sekolah Menengah. Dulu menyukai Carin diam-diam, namun Carin hanya menganggap Renas sebagai sahabat. Malam terakhir sebelum Renas menghilang dari Indonesia, dia menyatakan perasaannya pada gadis pujaannya semasa dibangku SMA itu. Ditolak. Pertama kali Renas mencium seorang gadis, Carin, malam itu setelah fine dining. Renas menghilang dari Jakarta dan mengubur perasaannya dalam-dalam. Tidak ada lagi Carin, karena setelahnya dia bertemu sang enam tahun yang berkhianat.
Sang enam tahun yang mencurangi.
Dulu Renas sangat tergila-gila padanya, pada sang enam tahun yang teramat dicintai. Pertama kali Renas melakukan hal terhormat dan suci yang seorang laki-laki bisa lakukan, bukan lain kepada sang enam tahun itu. Segala yang untuk pertama kali dilakukannya, untuk sang enam tahun, walau Renas dulu bukan yang pertama bagi gadis itu.
Gadis cantik dengan rambut pirang dan IQ tinggi. Gadis cantik berasal dari keluarga kaya raya, anak tunggal dari Rudi Tanjung; pemilik perusahaan konstruksi raksasa di Indonesia. Gadis pengkhianat, sejak dulu.
Persetan dengan masa lalu.
Siapakah yang menjadi istri seorang taipan muda Indonesia Renas Karim sekarang? Founder dari perusahaan galangan kapal PT. Ældra Shipyard?
Pernikahan yang tanpa disengaja.
Pernikahan yang membawa bencana,
membawa kebahagiaan?
Dunia memang menggelikan.