Cerah berganti mendung, Awan menjadi hujan. Rasa dan masa terus berubah. Sudah banyak yang berlalu. Termasuk usia. Kini Aisyah dan teman-teman seangkatannya harus melanjutkan perjalanan kehidupan mereka masing-masing di tempat yang berbeda.
Lulus dari MAN ada yang memilih untuk meneruskan pendidikan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, ada yang memutuskan untuk langsung mencari pekerjaan dengan ilmu dan kemampuan seadanya, bahkan ada yang telah siap untuk menikah karena jodoh telah ditetapkan oleh orang tua.
Dari empat puluh lima santri yang berhasil menyelesaikan pendidikannya di pesantren, ada yang memiliki pilihan dan ada yang sama sekali tidak memiliki pilihan. Yang memiliki pilihan akan memilih sesuai dengan keinginan mereka. Dan yang tidak memiliki pilihan hanya bisa pasrah menerima kehendak takdir. Kemiskinan terkadang membuat sebagian manusia menjadi pesimis, orang miskin sering berpikir bahwa mimpi hanya untuk orang-orang kaya.
Aisyah bermimpi bisa mendapatkan beasiswa ke Madinah, usaha kerasnya ternyata tidak menghasilkan sebuah kesempatan yang di impikan. Dia gagal masuk seleksi Universitas Madinah. Ilmu yang dimilikinya belum dapat membawa gadis Arab Malayu itu terbang ke Rumah Rasulullah. Padahal pihak pesantren telah memberikan kesempatan untuknya mengikuti seleksi tersebut. Standar kelulusan yang sangat tinggi. Membuatnya gagal.
Gadis lugu itu terpaku menatap anak gunung yang puncaknya masih berselimut awan putih. Embun tipis berhembus. Perlahan masuk kedalam pori-pori membuat tubuhnya kedinginan. Aisyah merapatkankan jaket hitam yang dikenakan. Angin gunung bertiup pelan membawa dahan-dahan kecil dan daun-daun meliuk seperti penari latar diatas panggung pertunjukkan. Lebah dan serbuk sari sedang bekerja menyemai bunga-bunga di tepi tembok pesantren.
Aisyah masih melamun di tepi ladang sayur yang menghadap ke kaki gunung. Memikirkan kata-kata Pak Kiayi setelah salat subuh tadi. Pak Kiayi memberikan nasehat kepada para santri yang sebentar lagi akan meninggalkan pondok, berbekal ilmu agama yang sudah diajarkan selama enam tahun, Pak Kiayi berharap semua santri dapat menjaga iman dan takwa mereka.
Ujian iman baru akan di mulai ketika soal-soal ujian telah dibagikan. Selama ini pesantren berusaha menjaga para santri dari godaan terbesar nafsu dan syahwat yang dapat menyesatkan jalan lurus mereka. Tapi diluar sana, di negeri yang serba bebas. Tiada lagi yang bisa menjaga diri mereka selain mereka sendiri.
“Tidak lengkap iman seseorang jika tidak ada ujian. Seperti halnya sekolah. Setiap siswa akan diberikan ujian untuk menguji pemahaman mereka. Jika mereka lulus maka mereka akan naik kelas. Ujian bukanlah hal yang mesti di takuti, tapi ujian adalah hal yang mesti dihadapi.” Keburukan dan kebaikan di mata Allah sama, sama-sama diciptakan untuk manusia. Ada yang bertugas menjadi orang buruk dan ada yang bertugas menjadi orang baik, itulah guna ilmu yang dipelajari. Untuk membedakan mana kebaikan dan mana keburukan. “Namun, aku mengingatkan kepada kalian anak-anakku bahwa manusia tak boleh menyalahkan takdir atas kesalahan yang kalian perbuat. Tapi, kalian harus segera bertobat dan mengakui kesalahan. Berjanji dan bersungguh-sungguh untuk tidak akan mengulangi kesalahan yang sama. Berusaha untuk tetap istiqamah di jalan Allah. Orang berilmu ujiannya akan lebih besar.”
Wejangan Pak Kiayi merasuki kalbu setiap santri, ada yang meneteskan air mata karena haru, ada pula yang sedih membayangkan masa depan mereka yang belum jelas. Mata Aisyah berkaca-kaca. Hawa yang duduk di sebelahnya sudah menangis seperti anak kecil yang baru saja kehilangan anak kucingnya.
“Ini bukan perpisahan anak-anakku, ini adalah awal dari kaki kalian melangkah untuk berjalan. Kalian tidak akan pernah menjadi tangguh di kehidupan kalau hanya terus belajar berjalan. Kalian harus berjalan yang sesungguhnya. Berjalan diatas jalan kehidupan. Kalian akan menjadi manusia yang tangguh ketika kalian sudah berhasil berjalan mengarungi kehidupan yang fana ini. Tetapkanlah hati kalian pada kesenangan akhirat, karena kesenangan dunia tidak akan membuat kalian terpuaskan. Kalian semua adalah anak-anakku kapan pun kalian ingin kembali kemari, gerbang pesantren terbuka lebar untuk kalian." Pak Kiayi menutup siraman kalbunya dengan membacakan kafaratul majelis.
Sebanyak empat puluh lima santri yang terdiri dari santriwan dan santriwati itu berdiri saling berpelukan dan bersalam-salaman, santri putri memeluk santri putri dan santri putra saling menguatkan. suasana menjadi haru. Masjid dipenuhi dengan riuh rendah suara tangisan.
Awan putih masih menyelimuti pegunungan dan perbukitan. Burung-burung beterbangan, mendendangkan zikir kepada Sang Maha Penguasa langit. "Alangkah senangnya menjadi kalian, bisa menikmati keindahan dunia tanpa harus di hisab." Bisik lirih hati Aisyah menyapa burung-burung Sriti yang memenuhi langit biru. Kedua tangannya menopang dagunya yang tirus. Kerudung merah jambu melingkar diwajahnya yang putih bersinar seperti cahaya mentari yang baru saja menyapa pagi.
Bayangan rembulan malam masih membekas di atas langit. Aisyah membawa pikirannya melangkah ke ribuan tahun yang silam, ketika umat Islam menghadapi peperangan melawan pasukan Quraisy padahal mereka sendiri adalah kerabat bahkan saudara tapi saling membunuh karena Agama Allah. Pasukan muslim di janjikan surga dengan Syahid dan yang hidup pun dijanjikan kemenangan oleh-Nya. Apakah ada perang yang lebih hebat dari peperangan dikala itu? Mata Aisyah menatap langit biru yang dipenuhi awan comulus. Perlahan ia menarik nafas panjang kemudian beranjak pergi dari singgasananya. Sebuah pondok yang berada di pinggir kebun sayur, tempat persemayamannya setiap tidak ada kegiatan belajar. Aisyah sering berada di tempat itu menghabiskan waktunya untuk merenungi tujuan hidupnya.
Aisyah berjalan menuju kamarnya, mengambil handuk dan peralatan mandi. Kemudian berjalan menuju ke kamar mandi, setelah itu dia bersiap-siap. Mengenakan baju panjang selutut berwarna putih berpadu dengan rok plisket berwarna abu tua, di kepalanya melingkar kerudung berwarna hijau jambu menutup hingga pinggang. Di dada kirinya tersemat bros kupu-kupu yang cantik dan berkilau. Wajah putihnya berseri-seri. Sebentar lagi kedua orang tuanya akan datang menjemputnya untuk kembali ketanah kelahirannya. Walau rasa sedih tak dapat terbendung karena akan berpisah dengan sahabat-sahabatnya, tapi ada sedikit kebahagiaan yang tersisa di lubuk nuraninya. Dia akan berkumpul kembali dengan Ibu dan Bapaknya. Tinggal kembali di rumah yang sudah enam tahun tak dilihatnya.
Bagaimana kondisi rumah itu sekarang, apakah bunga-bunga mawar kesayangannya masih berada di pekarangan rumah itu, bagaimana dengan pohon anggur yang dulu ditanamnya. Sudah berapa kali pohon anggur itu berbuah. Apakah kamarnya masih sama seperti enam tahun yang lalu. Apakah tetangganya masih sama, si kembar Ana dan Ani. Jika iya, pasti sekarang usia mereka sudah tujuh tahun. Apa saja yang sudah berubah dalam enam tahun terakhir, di otaknya seketika muncul pertanyaan-pertanyaan yang berasal dari rasa penasaran.
Enam tahun berada jauh dari rumah tak sekalipun diberi kesempatan pulang. Kini Aisyah akan pulang menyambut kenangan manis masa lalunya ketika masih kanak-kanak. dunia terus berjalan maju. Usia terus saja bertambah padahal sejatinya usia itu bukan bertambah tapi berkurang, penduduk bumi datang dan pergi sesuai kehendak yang maha kuasa.
Suara panggilan dari mikrofon kantor menembus speaker-speaker yang berada di kamar santri. Memecah keheningan. Lamunan Aisyah buyar. Aisyah mendengarkan namanya disebut. Ibu dan Bapaknya sudah menunggu di kantor pondok. Semua barang-barang pribadinya telah dimasukkan ke dalam dua buah koper berukuran besar dan sedang.
Tinggal kasur dan lemari kosong. Entah siapa selanjutnya yang akan menghuni tempat tidur dan lemari itu. Hawa dan beberapa sahabatnya datang menghampiri diruangan santai. Sudah satu jam mereka menunggu Aisyah keluar dari kamarnya. Mengucapkan ucapan perpisahan. Hawa lagi-lagi tersedu membuat yang lain ikut haru dan ikut meneteskan air mata.
Aisyah santri pertama yang harus meninggalkan pondok, mereka saling bertukar nomor telepon. Dan berpelukan satu sama lain. Kemudian mereka berjalan bersama menuju ruang kantor. Hawa menarik koper Aisyah yang besar dan Aisyah membawa kopernya yang berukuran sedang.
Selama enam tahun Aisyah tidak pernah meninggalkan pesantren. Inilah hari pertamanya melangkahkan kaki keluar gerbang pesantren. Seperti narapidana yang baru menghirup udara bebas, ada rasa yang beda di dalam hati Aisyah.
Persahabatan yang terjalin selama enam tahun bukan hal yang mudah untuk dilupakan, susah dan senang mereka hadapi bersama apalagi bagi Hawa. Aisyah adalah sahabat yang paling dekat dengannya. setiap kebahagiaan dan kesedihan dibaginya hanya sama Aisyah. Hanya Aisyah yang paling mengerti dengannya. Tak terhitung berapa banyak curahan hati yang sudah mereka bagi. Hawa yang paling berat dengan perpisahan ini.
Aisyah kembali ke Malaysia bersama kedua orang tuanya. Hawa sendiri tidak kemana-mana. Karena rumahnya adalah pesantren. Kedua orang tua Hawa tinggal di dalam pesantren. Bapaknya adalah khadam Pak Kiayi. Dan ibunya telah menjadi tukang masak pesantren sejak usia Hawa tujuh tahun. Cita-citanya ingin menjadi guru agar dapat mendidik generasi bangsa. Mengambil bagian dari perjuangan pesantren, Hawa ingin ilmunya nanti dapat bermanfaat untuk santri-santri berikutnya. Hawa ingin menjadi guru di pesantren.