6. Latihan Drama

Hari Selasa adalah hari yang ditunggu oleh Rissa. Ia bersorak dalam hati. Sebentar lagi ia akan bertemu lagi dengan sang malaikat. Sekalipun cuaca di luar mendung, tidak mengubah suasana hati Rissa yang sedang berbunga-bunga. Ia benar-benar tidak bisa berkonsentrasi hari itu. Yang ada di pikirannya hanya cepat pulang cepat pulang.

Hari ini Esther tidak masuk kerja. Sepertinya kondisinya semakin memburuk. Hari ini ia akan latihan sendiri lagi tanpa Esther. Rissa menggumamkan lagu White Christmas sepanjang hari itu.

Tak terasa waktu berlalu. Akhirnya Rissa pulang dan segera naik bus menuju tempat latihan. Hujan turun dengan lebat. Jalanan agak macet karena lampu lalu lintasnya padam.

Rissa melihat jam tangannya, sudah jam setengah lima. Ia bisa terlambat. Akhirnya ia memutuskan untuk turun dan jalan kaki saja. Sayang sekali ia tidak membawa payung. Rissa berlari-lari sambil menutup kepalanya dengan tas. Seluruh badannya basah.

Ia tiba di tempat latihan dengan keadaan basah kuyup. Lantai aula menjadi basah terkena air yang menetes dari badan Rissa. Tidak ada yang menyadarinya telah datang. Semuanya sedang sibuk berbicara berkelompok.

Rissa menyimpan tasnya di dekat pemain drama, berharap akan bertemu lagi dengan Charlos. Tiba-tiba ada yang meletakan jaket di bahunya. Saat ia melihatnya, sang malaikat yang bersinar menatapnya dengan heran, nyaris marah.

"Kenapa kamu hujan-hujanan?" tanya Charlos.

Jantung Rissa berdetak tak karuan. Kali ini dia harus bisa bersikap lebih baik. "Eh iya, Pak Charlos. Saya lupa membawa payung." Rissa tersenyum hambar, matanya tidak berani langsung menatap Charlos.

"Panggil Charlos saja. Lagipula ini di luar jam kerja," kata Charlos, suaranya dalam dan lembut.

"Ini jaketnya..." Rissa berusaha melepaskan jaket Charlos.

"Pakai saja!" seru Charlos. "Kamu lebih memerlukan jaket itu daripada aku," kata Charlos.

"Terima kasih," jawab Rissa malu-malu. Merasa bersyukur karena tubuhnya mulai kedinginan. Jaketnya terasa hangat, seperti habis dipakai lama. Ini pasti jaket mahal, pikir Rissa.

"Hujannya cukup deras," ujar Charlos. "Sepertinya latihan kita akan terlambat. Lihat saja, para pemain drama dan pelatihnya belum datang."

Rissa memandang ke sekitar dan tidak melihat Pamela.

Tiba-tiba Charlos duduk di sebelahnya, "Nama kamu Rissa kan ya?"

Rissa mengangguk perlahan sambil tersenyum. Dalam hati Rissa merasa senang sekali karena Charlos masih ingat menyebutnya dengan nama panggilan. Tapi keadaan tampaknya akan semakin sulit karena saat ini ia hanya berjarak beberapa senti dari Charlos.

"Presentasi kamu kemarin sangat bagus," ungkap Charlos.

Rissa mulai memberanikan diri melirik mata Charlos. Matanya berwarna hitam pekat.

"Terima kasih."

Jarak mereka begitu dekat hingga Rissa bisa melihat lekuk otot tangan Charlos yang kekar. Wajahnya terlihat begitu halus. Kontras sekali dengan jambangnya yang baru berumur sehari, terlihat begitu macho dan menggoda untuk diraba.

"Pak Charlos... eh..."

"Charlos saja," ralatnya. "Tidak usah canggung,"

Rissa menarik napas, "Char..los. Iya.. Mmm..." Rasanya aneh memanggilnya dengan nama depannya. Kalau dilihat-lihat dari umurnya sudah jelas pria ini lebih tua dari Rissa, mungkin seumur dengan Satria. Rissa belum bisa memastikan. Kalau dilihat dari wajah Satria yang kekanakan bisa jadi Rissa umurnya lebih tua dari Satria.

"Charlos, apa kamu biasa kebaktian di gereja ini?"

"Tidak juga. Aku suka berpindah-pindah. Tapi kemarin Minggu aku memang kebaktian di gereja ini. Kalau kamu, Rissa?"

"Iya, kalau aku biasa gereja di sini." Rissa melihat Charlos mengangguk tanda mengerti.

"Kemarin Minggu aku lihat kamu..." Rissa menggigit lidahnya. Ia benar-benar canggung. Belum pernah ia merasakan hal seperti ini sebelumnya. Aku kamu. Oh ya ampun. Ini nyaris seperti mimpi.

Charlos terkekeh, tapi dia terlihat curiga. "Kamu lihat aku? Di mana?"

"Iya di gereja," jawab Rissa.

"Iya maksudku kamu melihatku di sebelah mana? Apa kita duduknya berdekatan?"

"Oh bukan. Aku lihat kamu berlari turun tangga sewaktu selesai ibadah. Lalu aku juga lihat kamu waktu di kedai kopi..." Rissa ragu-ragu meneruskan pembicaraannya. Ia takut disangka tukang usil.

Senyum menghilang dari wajah Charlos. Ia terlihat agak terkejut. Charlos terdiam selama beberapa detik. Rissa ketakutan. Ia berpikir apa ia telah salah bicara.

"Maaf. Aku tidak bermaksud membuntuti kamu. Aku hanya tidak sengaja melihatmu. Tapi sepertinya kamu tidak melihatku..."

Charlos masih membeku. Ponsel Rissa berbunyi. Dengan salah tingkah Rissa membuka ponselnya. Ada pesan dari Pamela : "Rissa, aku terjebak macet total. Sepertinya aku tidak ikut latihan ya."

Rissa membalasnya : "Tidak apa-apa. Sampai bertemu lagi ya."

"Apa kamu lihat semuanya?" tanya Charlos tiba-tiba.

"Hah? Lihat apa? Aku tidak..."

"Apa kamu benar-benar melihat orang yang bersama denganku?" Nada suara Charlos terlalu tegas. Pertanyaannya sangat aneh. Membuat Rissa bingung. Apakah itu begitu penting untuknya?

"Se...se...sedikit..." jawab Rissa terbata-bata.

Charlos mengehela napas. "Kamu bisa jaga rahasia? Anggap saja kalau kamu tidak pernah melihat apa-apa. Aku mau kamu jangan cerita ke siapa pun juga tentang hal ini. Kalau kamu sampai cerita, aku bisa saja membatalkan kontrak kerja dengan Kharisma!" kata Charlos tegas. Pria itu bangkit berdiri, meninggalkan Rissa.

Rissa hanya bisa menunduk. Tangannya gemetaran. Ia melirik Charlos yang sedang bergabung dengan pemain drama lainnya. Rissa memegang kerah jaket Charlos, merapatkannya ke lehernya.

Hampir saja Rissa menitikkan air mata. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Hidungnya terasa gatal, Rissa bersin. Bulu kuduknya berdiri. Ada yang melihatnya, itu adalah Satria. Beberapa detik kemudian Satria menghampirinya.

"Hai Rissa!" sapa Satria. "Kamu sudah datang?"

Rissa hanya tersenyum sedikit. Lalu berdiri, bergabung dengan kelompok paduan suara. Tidak terlalu menghiraukan Satria. Elizabeth dan Vivian menyapanya. Mereka berbincang dengan seru. Mempertanyakan bagaimana Rissa bisa kehujanan.

Rissa memperhatikan sepertinya Satria tampak kecewa. Ia tidak pernah bersikap seperti itu sebelumnya pada siapapun. Satria memperhatikan kursi basah yang tadi diduduki Rissa. Tiba-tiba Satria memandangnya, buru-buru Rissa memalingkan wajah.

Rissa tahu sikapnya memang tidak sopan. Tapi ia tidak mau Satria terlalu memperhatikannya. Rasanya sangat canggung. Jika ia benar, Satria sepertinya menaruh perasaan padanya. Ia tidak ingin Satria berharap terlalu banyak padanya.

Latihan drama dan paduan suara terlambat hampir satu jam. Ibu Kiki tidak datang. Hanya ada Pak Rudy. Satria yang menjadi pemimpin paduan suaranya. Wajahnya lebih serius dari biasanya. Tidak ada pamer senyuman dengan gigi besar. Satria hanya fokus dengan lagunya.

Rissa tidak berani benar-benar menatap Charlos. Ia hanya memperhatikannya sekali-kali. Hidungnya sangat mancung. Wajahnya sangat halus terkena cahaya lampu. Jaket Charlos masih menempel pada tubuhnya. Kalau saja Charlos tidak meminjamkan jaketnya, Rissa pasti sudah kedinginan setengah mati. Rissa sangat berterima kasih atas itu. Tapi hatinya masih sedih melihat sikap Charlos tadi yang berubah galak.

Ia memang tidak selevel dengan Charlos. Pengusaha kaya, punya segalanya, tampan lagi. Sedangkan dirinya hanyalah seorang karyawan biasa, apalagi kalau dilihat dari penampilannya sekarang. Rambutnya acak-acakan, bajunya basah, merasa tidak cantik sama sekali.

Memang pria tampan sudah seharusnya bersanding dengan wanita cantik. Oh! Sesuatu melintas di pikirannya. Mungkinkah wanita itu adalah wanita simpanan Charlos, tidak ada seorang pun yang tahu. Jangan-jangan wanita itu adalah istri seseorang, sehingga Golden Group tidak akan tetap berjaya jika sang CEO memiliki skandal dengan wanita itu.

Rissa menghela napas panjang. Bisa saja Rissa benar. Walaupun ini masih sekedar asumsi, rasanya sangat masuk akal. Karena sebenarnya tidak ada satu alasan pun yang tepat untuk membuat sikap Charlos berubah segalak itu sampai harus mengancam Rissa segala.

Malam itu latihan berakhir pada pukul sembilan. Rissa mengambil tasnya buru-buru. Ia ingin sesegera mungkin pergi dari sini. Langit belum juga selesai dengan tetesan airnya yang semakin lama semakin deras. Tidak ada payung, tas pun jadi. Semoga saja ponselnya baik-baik saja. Rissa telah membungkusnya dengan plastik.

Halte bus tempatnya agak jauh dari Gedung Serba Guna Rajawali. Ia masih harus berjalan beberapa meter lagi.

Sebuah mobil sedan hitam berhenti di depannya. Rissa hanya berjalan melewatinya. Mobil itu mengklaksonnya dua kali. Membuat Rissa melonjak kaget.

Rissa tidak berani menoleh, ia masih saja terus berjalan. Orang yang dari dalam mobil itu keluar, menutup kepalanya dengan tangan, memanggilnya. "Rissa! Rissa!"

Lalu Rissa menoleh, ternyata itu Charlos.

***

Seseorang telah melihat Charlos dengan Reva. Charlos menyesal telah berkata kasar pada Rissa. Seharusnya ia tidak boleh terlihat secemas itu. Bisa saja Rissa mengetahui sesuatu. Charlos berencana untuk mendekati Rissa dan bicara baik-baik padanya.

Charlos sedang menyimpan sayap yang telah ia pakai sehabis latihan drama. Ia melihat Rissa terburu-buru meninggalkan aula. Charlos berusaha menyusulnya. Satria menghalangi jalannya.

"Hei! Kamu mau ke mana, Charlos? Kenapa buru-buru? Hari ini aku tidak bawa mobil, mobilku sedang diservis di bengkel. Aku ikut denganmu ya."

"Tidak sekarang, Sat! Aku ada urusan!"

Charlos segera pergi. Satria memandang Charlos tak percaya.

Charlos menancapkan gas dan melesat meninggalkan gedung latihan. Di sanalah ia melihat Rissa. Wanita itu berjalan sendirian sambil kehujanan.

Charlos merasa iba pada wanita itu. Dasar ceroboh. Musim hujan begini tidak membawa payung. Ia menghentikan mobilnya di depan Rissa.

Rissa terus saja berjalan, tidak melirik sedikit pun padanya. Ia mengklaksonnya. Wanita itu terlihat kaget, tapi terus saja berjalan. Dengan geram Charlos keluar dari mobil dan memanggilnya.

"Rissa! Rissa!"

Hujan cukup deras, membasahi kepala dan wajahnya.

Rissa menoleh sedikit, terdiam beberapa saat. Dengan terpaksa ia menghampiri mobil Charlos.

"Masuk!" kata Charlos. Dari dalam mobil Charlos membukakan pintu untuk Rissa. Lalu akhirnya ia masuk juga ke dalam mobil. Charlos mengunci pintu.

Ia tidak tahu harus berkata apa. Ia menggerakan jari-jarinya ke setir mobil, sementara Rissa sibuk sendiri membereskan rambutnya yang berantakan, mengelap wajahnya yang basah dengan tangannya. Otomatis Charlos menyerahkan tissue.

"Ada apa, Pak memanggil saya?" tanya Rissa dengan sikap sopan, tidak berani menatap mata Charlos.

Charlos mendengus. Kenapa wanita itu terus menerus memanggilnya Bapak?

"Charlos saja, kenapa sih!" bentak Charlos. Wanita itu terkejut. Mungkin ia terlalu kasar. Charlos memutar bola matanya.

"Hmm... Dengar. Aku minta maaf. Seharusnya aku..."

"Tidak perlu, Pak. Saya baik-baik saja." sela Rissa. Kepalanya tertunduk.

Charlos memandang Rissa tak percaya. Ia merapatkan bibirnya membuat lesung pipinya terlihat jelas. Beberapa detik berlalu dan Charlos tidak menemukan kata-kata yang tepat untuk melanjutkan perbincangannya.

Akhirnya Rissa menarik napas kemudian bicara, "Saya tidak tahu apa yang sebenarnya ada di pikiran Bapak. Sebelumnya Bapak mengatakan suka dengan presentasi saya, tapi sedetik kemudian Bapak bilang akan membatalkan kontrak. Saya tidak berani sedikit pun untuk curiga tentang kehidupan Bapak. Tapi saya sangat yakin kalau Bapak menyembunyikan sesuatu..."

Mendadak Charlos merasa tegang. Wanita ini telah membuatnya ketakutan. Matanya menatap Rissa tajam, tapi Rissa hanya menunjukkan wajah tanpa dosa.

"Kamu tidak perlu tahu apa-apa. Pokoknya kamu jangan beritahu siapa-siapa tentang pertemuanku di tempat parkir atau di kedai kopi itu. Mudah, bukan?"

"Mudah saja kalau saya mengerti alasannya kenapa saya harus menuruti keinginan Bapak. Saya hanya berpikir ada sesuatu yang aneh. Bapak berbicara seolah-olah Bapak akan mengalami sesuatu yang buruk dan mungkin ini ada kaitannya dengan nama baik..." sambung Rissa.

"Kamu memang wanita yang sangat pintar bicara." Tangan Charlos gemetar karena emosi. Charlos sadar, dia telah salah bersikap dengan orang yang tidak tepat.

"Ya maka dari itu Bapak telah memuji presentasi saya. Saya masih tidak benar-benar mengerti apa yang membuat Bapak sampai ingin membatalkan kontrak dengan Kharisma hanya karena saya bilang kalau saya telah melihat Bapak dengan..."

"Cukup! Jangan teruskan lagi! Apa yang kamu mau dariku?"

"Bapak sendiri yang telah membuat saya jadi ingin tahu, sebenarnya siapa orang yang bersama dengan Bapak hari itu? Kalau Bapak memberi saya alasan yang tepat untuk tidak memberitahu hal ini pada siapa pun..."

"Uang? Kamu butuh uang? Aku rasa bisa juga sekali-kali menutup mulut orang dengan uang."

Rissa membelalak, mulutnya terbuka sedikit. Wanita itu tampak sakit hati. Charlos tidak bermaksud kasar. Tapi ia merasa kesal sekali.

Segera saja Rissa susah payah membuka pintu mobil. Betapa bodohnya Rissa mengguncang-guncang pintu mobilnya yang terkunci dengan kasar. Ketika Rissa teringat untuk membuka kuncinya, Charlos menarik tangannya keras sekali.

"Lepaskan!" seru Rissa.

Rissa memandang tangan Charlos yang masih meremas tangannya dengan kencang. Wajahnya tampak terkesima.

"Jangan," Charlos menatapnya serius. "Jangan... pergi dulu. Urusan kita belum selesai."

"Aku tidak semurahan itu ya! Jangan kamu pikir dengan uang, segalanya jadi beres. Anggap saja ini pertama kalinya kamu menghadapi sesuatu yang tidak ternilai harganya!"

Kata-kata wanita itu menghambur begitu saja. Sudah lama sekali Charlos tidak pernah berurusan dengan wanita yang temperamental seperti Rissa. Charlos terkekeh.

"Oke, maaf," kata Charlos masih terkekeh. Kemudian ia melepaskan tangannya. "Maaf maaf. Aku tidak bermaksud merendahkanmu."

"Kenapa kamu tertawa? Memangnya ada yang lucu?"

Oh wanita itu sudah kehilangan sopan santunnya sama sekali.

"Kamu galak sekali. Itu yang membuatku jadi ingin tertawa."

Kali ini Charlos tertawa lepas. Seolah ia tidak pernah tertawa sebelumnya. Belakangan ini banyak sekali hal-hal baru yang terjadi dalam hidupnya. Rasanya lepas dan melegakan sekali bisa tertawa seperti ini.

Charlos melirik Rissa yang hanya diam saja sejak tadi tidak tergoda sedikit pun untuk ikut tertawa. Wajahnya yang cemberut membuat Charlos ingin mencubit pipinya, tapi itu sama sekali tidak mungkin terjadi.

"Oke. Aku tidak akan membicarakan lagi soal uang. Balik lagi. Aku mau... Aku minta tolong agar kamu jangan menceritakan apa-apa ke siapapun juga tentang hal ini." Charlos menatap Rissa yang masih tampak seperti sedang berpikir. "Tolong..." imbuh Charlos.

"Jadi memang benar orang itu pacar Bapak?" tanya Rissa, seolah itu adalah hal yang sudah pasti.

"Bukan! Aku belum pernah bilang...Ck...Kami belum sampai..."

"Apa?"

"Please, jangan diteruskan lagi. Aku tidak suka kamu bicara seperti itu. Itulah kenapa aku tidak suka berurusan dengan wanita. Membuatku pusing saja! Ini kehidupan pribadiku. Kamu tidak perlu tahu dan jangan pernah ikut campur." Charlos menghela napas. Ia menaruh tangannya di dahinya.

Entah mengapa kata-kata ini membuat Rissa terlihat sedih. "Pak Charlos..."

"Jangan panggil Bapak bisa tidak sih?!" seru Charlos. Rissa berjengit. "Aku pikir sejak tadi kamu sudah tidak memakai sopan santun lagi."

"Itu karena aku tahu kalau aku tidak sopan! Kamu adalah orang yang penting... sangat penting bagiku." Charlos menoleh padanya. "Seharusnya aku mengetahui sesuatu yang memang aku harus tahu. Kalau kamu tidak menjelaskannya, maka aku tidak mendapatkan alasan yang tepat untuk tidak menceritakan hal ini pada siapapun." Rissa menatapnya serius. "Aku harap kamu mengerti."

"Ya Tuhan! Apa maumu?"

"Seharusnya kamu bersikap lebih baik padaku..."

Charlos terlihat kesal. "Akan aku usahakan." Charlos berpikir sejenak. Ia menarik napas. Ia tidak yakin harus menceritakan segalanya pada Rissa.

"Oke. Kalau orang itu bukan pacar kamu, lalu..."

"Kenapa aku harus percaya padamu kalau kamu tidak akan menceritakan hal ini pada siapapun?" ujar Charlos kesal.

Rissa menatapnya lama sekali, kemudian ia menghela napas. "Ya sudah, kamu tidak usah cerita. Sebaiknya aku pulang. Sampai bertemu lagi."

Tangan Rissa berusaha membuka pintu mobil.

"Kuncinya, please," ujar Rissa. Tapi Charlos tidak juga bergeming.

"Ini sudah larut malam. Aku harus pulang!" Rissa mengguncang-guncang pintu mobil dengan kasar.

Charlos menarik tangan Rissa. "Hentikan!" Wajah Rissa tampak menegang. "Biar aku antar pulang."

"Aku bisa pulang sendiri naik bus." Rissa melirik jam tangannya yang sepertinya mati. Rissa mendecak kesal, lalu melihat jam yang ada di dasbor mobil. Sudah jam sepuluh malam. Busnya pasti sudah tidak ada lagi.

"Aaahh..." Charlos memutar bola mata. Tanpa banyak bicara Charlos menghidupkan mobilnya, menginjak gas.

"Lewat mana?"

Rissa tampak terpaksa menunjukkan jalan. Wajahnya masih saja cemberut. Charlos juga tidak ingin berbicara lagi dengan wanita itu. Ternyata rumahnya lumayan jauh.

Sepanjang jalan Charlos merasa kalau Rissa terus saja meliriknya. Ia merasa seperti orang aneh. Wanita itu terlihat kuat. Tidak seperti dirinya yang lemah dan mudah putus asa.

Akhirnya mereka tiba di depan gang rumah Rissa.

"Rumah kamu di dalam gang itu?" tanya Charlos.

"Iya. Memangnya kenapa?" kata Rissa ketus.

"Tidak apa-apa. Kelihatannya gelap. Kamu bisa masuk sendiri?"

"Aku sudah biasa."

Rissa membuka jaket Charlos dan hendak menyerahkannya pada Charlos, tapi tidak jadi. "Maaf jaketnya jadi basah."

Charlos bisa melihat kemeja Rissa yang masih basah, baju dalamnya tercetak jelas di dadanya. Charlos mengerjapkan matanya, lalu memalingkan wajahnya. Buru-buru ia membuka kunci pintu.

"Pakailah!" kata Charlos agak keras.

"Baiklah. Terima kasih." Rissa mengangguk dan mereka berpisah.

Jantungnya sedikit terkena kejutan listrik saat ia tidak sengaja melihat ke arah dadanya Rissa. Dia menepuk kepalanya sendiri. Mungkin itu yang Satria bicarakan. Hot... Seksi...