7. Pabrik PT. Kharisma

Charlos sedang melihat jam tangannya yang menunjukkan pukul sembilan pagi. Mobilnya berhenti di depan gedung PT. Kharisma. Charlos turun dari mobil dengan posisi kaki terlebih dahulu. Sepatu mengkilat, jas hitam dengan strip kerah berbahan satin, kemeja biru muda, lengkap dengan dasi biru tua, celana panjang hitam. Rambutnya disisir rapih.

Ia memasukkan tangannya ke dalam saku celananya, memandang gedung PT. Kharisma yang tinggi, lalu melihat ke sekeliling. Lalu ia melangkah dengan penuh percaya diri, diikuti oleh sekertarisnya.

Charlos sangat yakin kalau hari ini ia pasti akan bertemu lagi dengan wanita yang pandai bicara, yang telah berani memaksanya untuk menceritakan tentang Reva. Charlos masih tidak yakin kalau wanita itu bisa tutup mulut.

Rissa memang cantik. Charlos tersenyum mengingat saat Rissa dengan pakaiannya yang basah hendak menyerahkan jaketnya. Segera Charlos mengenyahkan pikiran itu.

Kakinya dengan mantap terus melangkah menuju lobby utama. Pak Agung sedang berdiri menyambutnya. Mereka berjabat tangan. Seperti biasa, Pak Agung menyapanya dengan suara dan tawanya yang menggelegar.

Pak Agung meminta maaf karena hari ini beliau tidak dapat mengantarkannya berkeliling pabrik. Jadi asistennya yang akan menggantikannya. Selesai berbincang kemudian Pak Agung meninggalkannya.

Sang asisten muncul di balik punggung Pak Agung. Wanita itu tersenyum seramah mungkin. Tidak ada rambut acak-acakan atau baju basah. Bibirnya dipoles lipstik merah muda.

Rambutnya yang lurus dibiarkan terurai. Charlos tidak begitu menyukai wanita dengan rambut lurus, karena terkesan lepek. Tapi hari ini rambut wanita itu tidak terlihat begitu lepek. Wanita itu telah menatanya dengan rapih.

Lagipula siapa yang peduli dengan rambut wanita itu. Charlos tidak akan pernah melirik wanita manapun lagi. Bukan berarti Charlos harus mengabaikan yang satu ini. Tentu saja karena ada hal-hal yang harus ia waspadai.

Kemejanya berwarna hitam sangat pas dengan tubuhnya yang langsing. Roknya berwarna abu-abu, selutut. Badannya yang tinggi sudah cukup mengesankan tanpa perlu diganjal dengan high heels.

Rissa menjabat tangan Charlos dengan hormat seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Charlos membalasnya dengan senyuman mautnya. Wanita itu tidak benar-benar menatap matanya.

"Selamat pagi Pak Charlos! Selamat datang kembali di PT. Kharisma. Saya, Carissa. Hari ini saya yang akan memandu Anda untuk berkeliling pabrik. Silahkan mengikuti saya."

Rissa berjalan mendahului Charlos. Tangannya memeluk papan berjalan yang menjepit beberapa lembar dokumen. Pertama-tama Rissa membawanya ke gudang bahan baku, lalu tempat pengadonan busa.

Sekarang giliran Charlos yang sesekali melirik Rissa. Wajahnya tampak serius. Tidak sedikitpun Charlos mendapati Rissa terlihat gugup atau salah bicara.

Pabrik Kharisma sangat besar. Karyawan dan buruhnya sangat banyak. Akan sangat menyedihkan jika Kharisma harus melakukan PHK pada buruh sebanyak itu. Betapa repotnya memiliki sebuah pabrik. Setidaknya Charlos akan menyelamatkan perusahaan ini dari kebangkrutan. Hotel-hotel yang telah ia bangun seluruhnya akan menggunakan kasur buatan Kharisma. Kwalitas kasurnya memang bagus. Lagipula ia memang sedang membutuhkan banyak sekali kasur untuk Hotel Poseidon. Benar-benar waktu yang sangat tepat untuk berbisnis dengan Kharisma.

Mereka melewati tempat pemotongan busa, ruang jahit, tempat pemasangan per untuk spring bed. Saat Rissa sedang menjelaskan tentang proses pemasangan per, Charlos mulai mengangkat bicara.

"Apa kamu memang terbiasa seperti ini pada setiap orang?"

"Maaf, Pak?"

"Kamu mendengar apa yang aku bicarakan tadi." Charlos menyadari ternyata ada lingkaran hitam di bawah mata Rissa. Matanya juga agak berair. Sepertinya ia kurang tidur.

"Maaf, tapi apa maksud Bapak? Bersikap seperti apa? Saya tidak mengerti," Rissa menjawabnya dengan tatapan angkuh.

"Bersikap seolah tidak terjadi apa-apa, padahal semalam..."

"Itu..." potong Rissa "...yang namanya profesionalisme."

Rissa terlihat melirik pada sang sekertaris. "Saya hanya berusaha bersikap profesional. Apa ada yang salah dengan saya, Pak?"

Penggunaan kata semalam sepertinya akan mengakibatkan rasa penasaran yang berlebihan pada sekertarisnya. Mengingat sebenarnya tidak terjadi apa-apa semalam, Charlos akan membiarkan sekertarisnya itu menggunakan imajinasinya.

Charlos terkekeh. "Profesional ya? Baiklah..." Ia memalingkan wajahnya lalu berjalan ke arah kanan mendahului Rissa.

"Maaf, Pak..."

Dengan kesal ia menoleh. "Apa?"

"Lewat sini, Pak."

Rissa menunjukkan jalan ke sebelah kiri dan berjalan duluan. Charlos mendecak kesal. Memalukan. Saat bersama dengan Rissa, sepertinya agak sulit untuk ia bersikap keren.

Mereka kemudian menelusuri tempat packing, gudang, dan tempat ekspedisi. Selesai acara kunjungan, tujuan terakhir adalah ruangan Pak Agung. Saat Rissa memasuki lift, Charlos mengikutinya dan menutup liftnya segera, membiarkan sekertarisnya menunggu di luar untuk lift berikutnya.

Rissa terkejut. Dia menatap Charlos dengan galak. "Pak Charlos? Kenapa Bapak..."

"Hei! Jangan berpikir macam-macam! Aku tidak akan berbuat apa-apa padamu!"

Charlos memandang Rissa. Wanita itu memang seksi. Badannya sangat cocok dengan balutan kemeja hitam. Kancing atasnya dibiarkan terbuka. Ia meliriknya sedikit, yang ternyata disadari oleh Rissa. Ia langsung memalingkan wajahnya, menelan ludahnya.

"Apa maumu, Charlos?"

"Oh sudah selesai bicara formalnya?" Charlos tertawa. "Kamu suka berubah-ubah ya. Aku pikir... yah..." Charlos mengangkat bahu sambil menggelengkan kepalanya. "Aku memang belum benar-benar mengenalmu, Carissa." Charlos memandang name tag yang tergantung di leher Rissa. Kesannya masih saja seperti yang sedang melihat ke arah dadanya. Rissa terlihat cemberut.

"Charlos," dia menunjuk dirinya sendiri. "Carissa," lalu ia menunjuk Rissa. Lalu ia tertawa kecil. "Bagaimana kalau kita keluar sebentar untuk berbincang-bincang. Sambil minum kopi mungkin..." Charlos berandai-andai.

"Aku tidak ada waktu!" jawab Rissa ketus.

"Kenapa kamu bersikap dingin padaku? Seharusnya kita berteman baik. Aku kan partner kerja kamu. Kalau bukan karena aku, kita tidak akan ada bisnis seperti ini."

Rissa memutar bola matanya.

"Oke oke." Charlos mengangkat tangannya tanda menyerah. "Aku harus bersikap baik padamu, ya kan. Bukankah aku sudah bersikap baik? Baiklah. Bagaimana kalau kita makan malam?"

Rissa menatap Charlos dengan heran. "Apa-apaan sih..."

"Kalau kamu tidak mau makan malam denganku, berarti aku tidak mendapatkan perlakuan yang baik dari PT. Kharisma. Aku bisa saja menggagalkan kontrak," kata Charlos dengan wajahnya tanpa dosa.

"Jadi kamu mengancamku? Sepertinya dari awal kamu memang tidak berniat kerja sama kontrak dengan Kharisma. Pikiranmu hanya menggagalkan kontrak terus sejak kemarin." Rissa menggelengkan kepala, wajahnya tampak kesal.

Charlos terkekeh. "Oh ya? Itu karena aku senang melihat wajahmu kalau sedang kesal. Jadi untuk menebus semua kekesalanmu, lebih baik kamu makan malam saja denganku."

"Seharusnya kamu makan malam dengan Pak Agung. Bukan denganku," kata Rissa tegas.

"Kamulah yang telah mengajakku berkeliling pabrik. Dengan kamulah seharusnya aku makan malam."

Untuk apa Charlos memaksanya untuk makan malam? Ini merupakan sebuah kebodohan. Tapi ia harus bertindak sesuatu untuk meluruskan beberapa hal sebelum akhirnya semuanya menjadi semakin buruk. Ia harus memastikan kalau Rissa akan tutup mulut mengenai hubungannya dengan Reva.

Rissa tampak berpikir sejenak. Kepalanya menunduk sambil memejamkan mata. Ia mengambil napas dalam-dalam, lalu perlahan mengeluarkannya lewat mulut. Mengulanginya sampai tiga kali.

"Apa yang kamu lakukan?" tanya Charlos.

"Oke!" kata Rissa tiba-tiba. "Kamu masih punya hutang penjelasan."

"Hutang penjelasan?" Charlos mendadak tertawa. Belakangan ini ia jadi lebih sering tertawa. Rissa diam saja.

"Kenapa aku berhutang sama kamu?"

"Tanya saja pada dirimu sendiri," jawab Rissa dingin.

Charlos menyeringai. Rissa jadi tampak sangat elegan. Dagunya terangkat ke atas. Caranya menatap Charlos, seketika membuat Charlos salah tingkah. Dia benar-benar wanita yang sangat galak.

Lift masih terus bergerak dengan kecepatan keong. Ruangan Pak Agung berada di lantai delapan. Mereka masih ada di lantai tujuh.

"Berarti kamu setuju untuk makan malam denganku."

Rissa tidak mengiyakannya. Tangannya bersedekap di dada.

"Calipso d'Café, jam tujuh malam."

Beberapa detik kemudian pintu lift terbuka. Charlos keluar terlebih dahulu, membiarkan Rissa yang mulutnya terbuka. Wanita itu tampak kesal, tapi tidak mengatakan apa-apa.

Lift yang di sebelahnya ikut terbuka. Sang sekertaris keluar dari sana menyusul mereka. Rissa menyusul langkah Charlos, kemudian mengantarkannya menuju ruangan Pak Agung.

Charlos dan Pak Agung meneruskan perbincangan. Rissa hanya duduk terdiam di pinggir dan tidak ikut bicara. Acara makan siang berlangsung tanpa kehadiran Rissa. Wanita itu bersikeras tidak ikut dengan alasan masih banyak pekerjaan.

Kemudian mereka melewati dua ruangan setelah ruang Pak Agung. Meja telah dipersiapkan dengan makan siang. Charlos agak kecewa. Sebenarnya ia tidak benar-benar ingin makan siang dengan Pak Agung. Sekertarisnya makan siang di ruangan yang terpisah. Jadi ia hanya berdua saja dengan Pak Agung.

Mereka duduk di tempat masing-masing. Awalnya makan siang berjalan cukup tenang. Beberapa menit kemudian Pak Agung memulai bicara.

"Charlos, apa kamu sudah menikah?"

Charlos yang sedang minum tiba-tiba tersedak dan terbatuk-batuk. "Maaf, Pak Agung. Saya... belum menikah." Charlos mengelap bibirnya dengan sapu tangan.

Pak Agung mengangguk tanda mengerti.

"Charlos... aku minta maaf," kata Pak Agung tiba-tiba. Charlos memandangnya tak percaya.

"Kenapa tiba-tiba minta maaf?"

"Waktu itu kamu telah sangat dekat dengan putriku, Esther. Aku melarang hubungan kalian. Aku dengar kamu sempat...mmm..."

"Tidak apa-apa, Pak Agung. Saya sudah baik-baik saja sekarang.

Pak Agung mendeham sambil meletakkan tangannya ke keningnya. Dia menghela napas, "Pada waktu itu aku tidak melihatmu dengan benar. Yang aku lihat hanya... kamu adalah anak yang miskin dan tidak punya apa-apa. Tolong jangan tersinggung," Pak Agung menambahkan. "Seorang ayah hanya ingin anaknya mendapatkan yang terbaik."

Charlos mengangguk "Jangan khawatir, Pak. Saya mengerti."

"Tapi setelah dipikir-pikir, aku salah. Lihat kamu sekarang! Sangat hebat dan luar biasa." Pak Agung menepuk bahu Charlos sambil tertawa keras-keras.

Charlos pun ikut tertawa. "Justru saya berterima kasih karena saya tidak melanjutkan hubungan saya dengan Esther. Kalau tidak, mungkin saya tidak akan sesukses sekarang ini."

Senyum menghilang dari wajah Pak Agung. "Kamu benar."

Pria tua itu tampak menyesali sesuatu hal yang telah usang. Charlos sama sekali tidak ingin membahas kisahnya yang dulu dengan Esther. Semuanya telah berlalu.

"Sekali lagi aku minta maaf, Charlos. Aku harap kamu tidak memasukkannya dalam hati. Jangan dendam pada Esther. Kamu mungkin boleh dendam padaku, tapi... jangan sentuh dia."

"Tidak masalah, Pak Agung. Saya tidak pernah dendam pada Bapak ataupun Esther. Sama sekali tidak."

***

Rissa turun dengan lift menuju ke ruangannya yang berada di lantai dua. Pekerjaan setumpuk telah menanti Rissa di mejanya. Ia menyambar beberapa lembar dokumen, menatapnya sesaat sambil membolak-balik beberapa halaman. Pekerjaan memasukan data lagi.

Rissa melirik jam tangannya. Beberapa menit lagi waktunya makan siang. Ia menyesal karena tidak ikut makan siang dengan Charlos. Ia tidak tahu akan menyantap apa siang ini.

Akhirnya setelah selesai melahap nasi padang yang dibelinya di dekat pabrik, Rissa kembali ke mejanya. Sedikit demi sedikit ia menyelesaikan pekerjaannya, walaupun terkadang pikirannya masih saja melayang mengingat saat ia bersama dengan Charlos di lift. Rissa tersenyum simpul saat ia mengingat Charlos memaksanya untuk makan malam, dengan nada yang mengancam.

Calipso d'Café. Restoran mewah yang cukup terkenal di Jalan Braga. Rissa menggelengkan kepalanya. Ia tidak tahu harus memakai baju apa yang pantas.

Hampir separuh pekerjaan Esther, jadinya Rissa yang kerjakan. Hari itu ia lembur. Rissa terus saja asyik memasukkan data, tanpa disadarinya matahari mulai tenggelam. Rissa menguap lebar-lebar sambil menarik tangannya ke atas. Jam dinding menunjukkan pukul enam lebih lima belas menit. Komputernya dimatikan, dokumen dimasukkan ke dalam kabinet.

Rissa membuka tasnya dan mengeluarkan sisir. Ketika ia hendak menyisir rambutnya, telepon kantor berdering. Ternyata satpam yang mengingatkan kalau sebentar lagi kantornya akan dikunci. Buru-buru Rissa membereskan tasnya, lalu turun dengan menggunakan tangga.

Ia berjalan menelusuri trotoar ke arah halte bus yang tidak terlalu jauh dari kantornya. Langit mendung, tapi belum juga hujan. Ketika ia sudah tiba di halte bus, perasaannya menjadi tidak enak. Sepertinya ia melupakan sesuatu. Rissa membuka tasnya, memeriksanya. Ponsel, dompet, sisir, karet rambut, tissue. Semuanya lengkap.

Rissa menutup seleting tasnya dan kemudian memandang ke jalan. Busnya belum juga tiba. Lalu ia iseng melihat jam tangan James yang sedang dipakainya, karena jam tangannya mati terkena hujan. Pukul tujuh kurang sepuluh. Perutnya berbunyi tanda lapar. Ini sudah kemalaman. Seharusnya ia sudah ada di rumah pada jam segini.

Oh tidak! Calipso d'Cafe...

Sebuah granat meledak dalam kepalanya. Rasa pusing menderanya. Tubuhnya tegang seketika. Ini adalah hal terpenting yang harus ia lakukan malam ini. Makan malam pertamanya dengan sang malaikat begitu mudahnya ia lupakan.

Jantungnya berdebar kencang, "Aduh! Aku harus bagaimana?" Rissa langsung berdiri. Tempat itu cukup jauh dari kantornya. Jadi ia mencari taksi karena tidak ada bus yang lewat langsung ke Jalan Braga.

Ia hanya punya waktu sepuluh menit. Sepertinya tidak mungkin ia akan sampai tepat waktu. Rissa melambaikan tangan pada setiap taksi yang lewat, tapi tidak ada yang berhenti. Jalanan agak sepi. Langit semakin gelap. Lampu jalanan mulai bersinar kuning.

Rissa mulai putus asa, ia melihat jam tangannya lagi. Tinggal tiga menit lagi. Sudah dipastikan ia telat. Bus terakhir tiba. Dengan terpaksa ia naik bus. Empat puluh menit kemudian ia tiba di Jalan Asia Afrika.

Dengan tergesa-gesa Rissa turun dari bus. Sambil agak berlari ia menelusuri jalan. Rissa menyesal karena tidak memakai celana panjang saja. Roknya yang pas membuatnya sulit untuk berlari. Tinggal beberapa meter lagi, Rissa sudah kehabisan napas. Dilihatnya jam tangan, sudah pukul delapan kurang lima menit. Rissa tercekat.

"Aduh gawat!"

Rissa terus berjalan, melewati sederet cafe yang berjejer di sepanjang jalan itu. Ia tidak yakin apakah Charlos masih tetap menunggunya. Hujan mulai turun. Pertama-tama masih kecil, lama-kelamaan hujannya semakin membesar. Rissa berlari. Sebuah mobil lewat dengan kecepatan tinggi, melewati genangan air dan kemudian menyiprat, mengenai wajah dan badannya.

Ia menjerit. Wajah dan badannya jadi semakin basah dan kotor, meninggalkan bekas tanah dan pasir. Rissa meludah. Rasanya benar-benar tidak enak. Sudah tidak ada waktu lagi untuk bersih-bersih.