8. Calipso d'Café

Calipso d'Café. Lampunya berkerlap-kerlip. Rissa melihat pria tampan itu dari balik kaca jendela cafe, sedang duduk sendirian sambil memegang gelas. Hidungnya yang mancung terlihat jelas dari kejauhan. Rissa mendorong pintu cafe dan kemudian masuk ke dalam.

"Guess coming!" seru pelayan. "Untuk berapa orang, Mbak?" Rissa berjalan terburu-buru tanpa menghiraukan tatapan sang pelayan. Ia menarik kursi lalu duduk di hadapan Charlos.

"Hai!" sapa Rissa sambil terengah-engah. "Hari ini aku lembur. Tidak ada kendaraan yang langsung lewat ke sini. Jadi aku agak telat sedikit. Apa kamu sudah lama menunggu?" Rissa menyabut tiga helai tissue yang ada di meja, mengelap wajahnya yang basah dan kotor.

Charlos memandangnya kesal, tidak menjawab pertanyaannya. Pria itu bersandar pada punggung kursi sambil melipat tangannya di dada. Sejauh ini Rissa masih belum terbiasa dengan keberadaan Charlos di dekatnya. Dan yah, Charlos memang pria yang benar-benar tahu bagaimana harus berpakaian.

Terkadang terlihat dewasa, seperti orang penting yang sangat sibuk. Terkadang ia juga terlihat muda dan kasual, seperti sekarang ini : jaket jeans berkerah dengan dalaman kaus merah bermotif abstrak, dipadankan dengan celana jeans dan sepatu kets. Rambut coklatnya terlihat keren memakai gel rambut.

"Profesionalisme," ujar Charlos tiba-tiba. "Kalau tidak salah tadi siang ada yang mengatakan soal profesionalisme. Ck ck ck..." Charlos menggelengkan kepalanya. "Telat sedikit eh? Memangnya kamu pikir sekarang pukul berapa?" Ia memperhatikan Rissa seperti yang sedang menilai. Dan Rissa yakin kalau nilainya pasti buruk. Ia tertunduk sambil cemberut.

"Dengar. Aku benar-benar minta maaf, Charlos." Rissa kembali menarik tissue dan menggosok-gosok bahunya yang terkena cipratan air, sampai tissuenya hancur.

"Sebenarnya kamu niat makan malam denganku atau tidak? Percuma saja aku punya nomor ponsel kamu. Sejak tadi aku menelepon tapi tidak diangkat." Charlos membolak-balik kartu nama Rissa di tangannya lalu memasukkannya ke dalam dompet. Ia mencondongkan tubuhnya ke depan.

"Wah! Tadi kamu telepon?" Rissa mengeluarkan ponselnya dari tas dan melihat ada delapan belas kali panggilan tak terjawab. "Aku sungguh-sungguh minta maaf, Charlos. Tadi aku lembur. Pekerjaanku menumpuk. Kamu tahu sendiri kalau tadi pagi aku harus menemanimu keliling pabrik. Sebenarnya aku menggantikan Kak Esther. Seharusnya itu pekerjaannya. Ngomong-ngomong aku boleh minta minum tidak?" Rissa mengambil gelas Charlos, lalu menenggak isinya sampai habis. Isinya teh lemon hangat. Seketika tenggorokannya terasa nyaman.

Charlos memandangnya tidak percaya. "Hei!" Ia merebut gelasnya dari tangan Rissa. "Ada apa denganmu?"

"Aku haus!" rengek Rissa, lalu ia cemberut lagi. "Lagipula siapa yang setuju makan malam denganmu? Aku kan belum bilang iya."

"Aku pikir kamu mau menagih hutang penjelasan padaku."

Rissa hendak menjawab Charlos lagi, tapi kemudian Charlos memberi isyarat pada pelayan restoran. Tidak lama kemudian menu utama datang. Steak ayam yang ditata di sebuah piring berbentuk daun, saus berwarna kecoklatan mengelilingi sisi steak ayam dibuat seperti tetesan yang besar yang berjejer menjadi semakin kecil. Terdapat butiran halus berwarna hijau di atasnya. Rissa hanya menduga-duga kalau itu adalah taburan basil. Irisan kentang goreng yang besar-besar dalam porsi cukup banyak bergumul di sampingnya. Sayuran rebus seperti jagung, wortel, dan buncis berdampingan di sebelahnya.

"Wah!" Rissa melongo melihat menu di hadapannya. Aroma gurih dari ayam menguar, menggelitik hidung Rissa yang kecil. Ia mencucukkan kentangnya dengan garpu. Kentangnya terasa sangat renyah dan lembut di dalam. Belum apa-apa ia sudah jatuh cinta dengan kentangnya, belum lagi ia mencoba daging ayamnya.

Charlos memperhatikan sikapnya yang mungkin dianggapnya sangat kampungan. Rissa menegakkan punggungnya dan berusaha seanggun mungkin. Pria tampan di hadapannya mengambil garpu dan pisau, memotong daging ayam di piringnya dengan sikap yang sangat terhormat. Rissa meraih gelasnya dan meneguk teh lemon panas miliknya sendiri yang baru diantar oleh sang pelayan restoran. Tangannya agak gemetar.

Ia memutuskan untuk memandang sekitar. Rissa belum pernah datang ke tempat seperti ini. Suasananya sangat hangat. Aroma keju bertebaran di udara. Dindingnya batu bata yang dicat merah, ditutupi oleh sederet bingkai yang berisi foto artis-artis yang pernah berkunjung ke tempat ini, lengkap dengan tanda tangannya. Kursi dan meja kayunya berwarna coklat muda. Sebuah gelas kaca berisi bunga kecil berwarna kuning mempercantik meja makan yang minimalis.

Para pemain musik mulai menaiki panggung, mengetes alat musik seperti : piano, bass, terompet, drum, dan gitar. Kemudian musik jazz memenuhi ruangan, memecah ketegangan yang selama ini masih berlangsung di hadapan mereka. Ingin rasanya Rissa bergoyang.

Beberapa kali Charlos memandang Rissa dengan sikap curiga. Musik membuat Rissa melupakan sikap anggunnya. Ia memotong steaknya dan memakannya dengan lahap. Rissa tidak pernah membayangkan ayam yang lebih enak daripada yang ada di piringnya. Rissa bergumam tanda nikmat. Kepalanya mengangguk-angguk kecil mengikuti irama musik. Charlos tertawa mencemooh.

"Apa?" tanya Rissa dengan mulut penuh dengan makanan.

"Sebaiknya kamu mengaca. Rambutmu acak-acakan. Baju basah. Makan seperti orang gila. Apa kamu benar-benar kelaparan?"

Rissa tersedak. Sambil masih terbatuk-batuk, dia mengambil sisir dari tas, berusaha memperbaiki rambutnya. Mulutnya masih melanjutkan mengunyah. Charlos benar-benar tertawa sambil menggelengkan kepalanya. Giginya tampak rapih dan putih. Lesung pipinya bertengger ceria.

Mau tak mau Rissa harus mengakui, entah dengan pose apapun, Charlos selalu terlihat tampan. Walapun untuk saat ini, Charlos agak menyebalkan.

"Kamu masih memakai baju yang sama seperti tadi pagi. Kenapa kamu tidak pulang dulu? Kamu kan bisa pakai baju yang lebih sesuai, dandan sedikit. Itu kan jauh lebih baik daripada..."

"Kamu lupa ya. Tadi kan aku sudah bilang kalau aku lembur. Tentu saja aku belum pulang ke rumah." Charlos mengangkat alis. "Sudahlah! Jangan mengomentari tentang caraku berpakaian. Sekarang kamu tahu kan kalau aku itu orang yang rajin bekerja." Rissa mengibaskan rambutnya ke belakang bahu. Charlos mulai terkekeh.

"Sekarang kamu mau cerita apa?" tagih Rissa. Tawa langsung lenyap dari wajah Charlos.

"Cerita apa? Kenapa kita tidak membahas tentang kamu saja? Kamu itu sebenarnya orangnya seperti apa? Hidup kamu itu seperti apa?"

Rissa menimbang-nimbang. Apakah orang seperti Rissa perlu dipertanyakan hidupnya seperti apa? Ini seperti yang agak menghina. Tapi Rissa tetap saja menjawab pertanyaan itu dengan jawaban jujur apa adanya.

"Aku... aku ya orangnya biasa saja. Beginilah aku, seperti yang kamu lihat." Rambut acak-acakan. Baju basah. Makan seperti orang gila. Rissa mengunyah kentangnya. Tiba-tiba rasanya jadi hambar.

Mereka terdiam sesaat. Charlos seperti menunggu Rissa berkata hal yang lain.

"Apa?" tanya Rissa polos.

"Oke. Apa pekerjaan orang tuamu?" Pertanyaan Charlos mulai mengarah ke interogasi.

"Ayah tiriku berjualan di pasar tradisional. Sebenarnya aku tinggal bersama adikku, James. Dia masih sekolah. Aku yang membiayai sekolahnya sejak ayahku tidak ada." Rissa memperbaiki duduknya supaya lebih tegak.

"Oh jadi ayah kamu sudah tidak ada. Sama aku juga. Ibu kamu?" Suara Charlos terdengar cuek.

"Ibuku? Hmmm... Dia menikah lagi tidak lama setelah ayahku meninggal. Suaminya orang Batam. Sejak itu ibuku ikut dengan suaminya ke Batam." Rissa menghela napas, merasa heran bagaimana bisa ia sejujur itu di hadapan seorang pria. Charlos meneguk sedikit teh lemonnya.

"Jadi maksudmu, kamu hanya tinggal berdua saja dengan adikmu?"

"Ya. Dan itu... Itu bukan rumahku, tapi itu kontrakan. Aku tidak punya rumah sendiri." Suaranya terdengar menyedihkan.

"Bagaimana bisa kamu hidup seperti itu? Apa ibumu sering berkunjung?"

"Tidak juga. Terakhir kami bertemu saat natal tahun lalu." Daging ayam di mulutnya tiba-tiba terasa pahit.

Charlos menatapnya tidak percaya. "Selama itu kamu hanya berdua dengan adikmu? Bagaimana bisa? Maksudku, bukankah seharusnya kamu ikut ke Batam dengan ibumu?"

Rissa menunduk. Ia masih bisa merasakan tatapan Charlos.

"Lebih baik seperti ini. Kalau aku ikut ke Batam, nanti di sana aku akan susah mencari pekerjaan. Aku tidak punya biaya untuk kuliah. Zaman sekarang mana ada yang mau menerima karyawan yang sekedar lulusan SMA? Aku pasti akan merepotkan ibuku. Jadi ya beruntunglah aku sudah bisa mencari uang sendiri. Aku bisa menafkahi diri sendiri dan James."

"Tidakkah kamu merasa kesal atau marah mungkin pada ibumu?" tanya Charlos.

"Untuk apa?" Rissa mendongak dan memperhatikan Charlos. Matanya yang coklat bersinar tertimpa cahaya lampu cafe yang remang-remang.

"Karena membiarkanmu tinggal berdua saja dengan adikmu dan jauh dari orang tua?"

Rissa terkekeh. "Aku? Marah? Tidak juga. Untuk apa aku marah. Itu sama sekali tidak perlu." Rissa menggerakan tangannya. "Sebenarnya ibuku tidak membiarkanku tinggal berdua saja dengan adikku di sini."

"Apa maksudmu?"

"Bukankah lebih baik seperti ini? Aku lebih nyaman tinggal di sini daripada harus ikut ke Batam. Aku baik-baik saja. Sungguh." Rissa jelas harus terlihat sungguh-sungguh, entah Charlos mempercayainya atau tidak.

Charlos tertegun. Rissa tidak tahan ditatap seperti itu. Jadi ia melihat-lihat ke sekitar. Rasanya sangat menusuk. Rissa bertanya-tanya apa yang ada di pikiran Charlos. Apa pria itu menganggapnya begitu menyedihkan? Mungkin itu yang disebut tatapan iba, walaupun ekspresinya tidak menunjukkan rasa simpati. Ia mengira-ngira berapa menit lagi Charlos akan terus menatapnya. Napasnya nyaris tercekat.

Dan akhirnya Charlos meneguk minumannya dan mengalihkan tatapannya, Rissa mulai bicara lagi.

"Charlos, kamu itu sangat penting untukku. Kalau kamu sampai membatalkan kontrak ini, mungkin pekerjaanku akan selesai. Kalau aku sampai menganggur, aku tidak akan bisa menafkahi hidupku lagi. Aku tidak bisa membayar uang sekolah James. Jadi aku mohon dengan sangat, kamu lanjutkan kontrak ini. Soal rahasiamu itu... aku masih tidak mengerti, tapi aku akan tutup mulut."

Charlos berdeham, lalu memperbaiki posisi duduknya.

"Aku dengan Reva memang cukup dekat," ucap Charlos perlahan.

"Oh jadi namanya Reva." Rissa mengangguk.

"Reva itu... artis," lanjut Charlos. "Kami tidak boleh terlihat berdua."

"Memangnya kita tidak boleh punya pacar seorang artis ya?" Rissa mengerutkan dahinya.

"Aku dengan Reva itu tidak pernah berpacaran," sergah Charlos.

"Pasti kamu berbuat skandal. Iya kan?" Rissa mengacungkan telunjuknya.

Tiba-tiba Charlos berubah menegang seolah Rissa mengetahui sesuatu. Sedikit gertakan sanggup membuat Charlos agak terguncang. Itu benar-benar lelucon yang sangat bagus. Rissa tertawa.

"Kamu jangan menuduhku sembarangan ya."

"Oh maaf." Rissa berhenti tertawa. Baiklah, mungkin sebaiknya Rissa jangan mendorongnya terlalu jauh. Ia melipat bibirnya sambil memperbaiki posisi duduknya.

"Reva itu artis mana? Aku tidak pernah mendengar nama itu ."

"Reva itu pemain saxophone. Ah sudahlah." Charlos berubah tidak sabar. "Kamu tidak akan mengenalnya. Intinya aku mau kamu tutup mulut soal ini."

"Tenang saja," ujar Rissa. "Aku harap kamu percaya padaku karena aku memang tidak berniat menceritakannya ke siapa-siapa, kalau aku memang mengerti alasannya," imbuh Rissa. "Jadi aku tidak penasaran lagi sampai aku mengarang sendiri ceritanya."

"Kamu masih penasaran. Iya kan?" tanya Charlos sambil menggulung lengan jaketnya, memperlihatkan bulu-bulu halus di tangannya.

"Aku masih tidak mengerti kenapa kamu tidak bisa terlihat berdua dengan Reva."

"Karena nanti wartawan akan membuat gosip tentang kami. Aku tidak mau karir aku atau Reva terganggu."

"Tapi kamu pasti menyukai Reva."

Charlos terdiam sejenak.

"Ya... Aku menyukai Reva," jawabnya hati-hati. "Tapi belum tentu sebaliknya."

Seperti ada sesuatu yang menyengat dada Rissa saat mendengar Charlos mengakui rasa sukanya pada Reva. Tentu saja Reva, sang artis. Bukan dirinya yang hanya orang biasa.

"Seharusnya kamu menyatakan perasaanmu pada Reva." Harus diakui, saat ini ia hanya bisa mengutarakan perkataan bodoh. "Pikirkan kalau ternyata Reva juga memiliki perasaan yang sama seperti kamu. Aku pikir tidak ada salahnya kalau bos Golden Group memiliki kekasih seorang artis. Mungkin karir kamu akan semakin menanjak. Kalau kalian benar-benar saling cinta, tidak akan ada yang bisa melarang."

Charlos mencondongkan tubuhnya, menatap Rissa serius.

"Jadi menurutmu, sebaiknya aku menyatakan perasaanku pada Reva?"

Haruskah ia berkata tidak? Sepertinya akan terdengar menyedihkan jika Rissa memohon agar Charlos menyatakan perasaan padanya saja, bukan pada Reva. Bersyukur karena Charlos tidak dapat membaca pikirannya.

Rissa mengangguk. "Ya. Kenapa tidak?" Ia memaksakan bibirnya untuk tersenyum.

"Apa kamu benar-benar melihat Reva waktu itu?" tanya Charlos.

"Ya. Aku lihat Reva duduk berhadapan denganmu di kedai kopi. Rambutnya panjang ikal sebahu kan. Kalau tidak salah dia memakai baju berwarna putih."

Charlos mengangguk. Rissa jelas tampak semakin meyakinkan. Ia ingat wanita itu memakai baju putih, meskipun tidak benar-benar melihat wajahnya.

"Jadi kalau kamu sudah melihat Reva waktu itu, kamu masih mendukungku untuk menyatakan perasaanku?"

Rissa menatapnya tak percaya. "Kamu tidak percaya diri? Ayolah! Aku mendukungmu seratus persen," ungkap Rissa mantap.

Ia benar-benar menyesal telah mendukung Charlos, tapi ia hanya berpikir kalau saat ini Charlos mungkin sedang membutuhkan seseorang untuk meyakinkan perasaan sukanya pada Reva. Kalau Rissa tidak bisa mendapatkan hati Charlos, setidaknya ia bisa menjadi teman baiknya.

Charlos berdeham. "Oke. Soal itu tidak perlu dibahas lagi. Aku percaya kamu pasti bisa jaga rahasia. Tenang saja. Aku juga profesional dalam bekerja. Aku tidak akan membatalkan kontrak begitu saja."

"Ah syukurlah." Rissa bernapas lega, meskipun dadanya masih terasa sesak. Ia tersenyum lebar. "Terima kasih, Charlos."

"Tidak usah berterima kasih, itu sudah seharusnya." Charlos mengernyitkan dahinya, membuat alisnya yang tebal terlihat sangat dekat dengan matanya yang tajam. Ia terdiam.

"Kamu kenapa?" tanya Rissa, menangkap sesuatu yang berbeda di matanya.

"Aku heran. Zaman sekarang masih ada orang seperti kamu. Aku yang tidak banyak bergaul atau aku memang tidak pernah bergaul dengan orang sepertimu?"

"Apa yang kamu bicarakan?"

Charlos pasti mulai mengejeknya lagi, pikir Rissa. Pria kaya raya itu pasti tidak pernah bergaul dengan wanita miskin seperti dirinya. Itu sudah jelas.

"Well... Ngomong-ngomong, terima kasih." Charlos menghela napas. Ia tampak seperti baru saja terlepas dari beban berat. "Hanya kamu satu-satunya orang yang mendukungku. Satria saja tidak mendukungku sama sekali. Kamu lihat sendiri kan. Aku..." Charlos menggelengkan kepalanya. "...aku itu tidak mungkin dengan Reva."

Rissa terkejut dirinya dibandingkan dengan Satria.

"Tidak ada yang tidak mungkin," ujar Rissa sambil tersenyum.

Mereka terdiam beberapa saat. Musik jazz bermain dengan nada yang semakin cepat. Rissa tidak tahan untuk menggerak-gerakan kepala dan kakinya.

Rissa terus saja bergoyang-goyang. Dia sudah tidak tahan lagi. Sang pemain piano menunjuk Rissa. Dia tertawa-tawa, melihat ke arah Charlos yang menggelengkan kepalanya sambil mengerutkan dahi. Lalu Rissa maju ke depan panggung. Tanpa ragu ia menyambar mic dan mengangkat suara.

***

Jump Jive And Wail.

Charlos memandang Rissa tidak percaya. Dia tidak tahu apa yang sebenarnya ada di pikiran wanita itu. Rissa telah terhipnotis dengan musik jazz yang benar-benar semangat dan ceria, ala Brian Setzer. Rissa berduet dengan sang pemain gitar. Suaranya yang semangat dan merdu memenuhi ruangan. Semua orang memandanginya. Nadanya yang cepat membuat badannya terus bergoyang.

Rissa memang cantik sekalipun rambutnya berantakan saat ini, tapi roknya yang ketat membuatnya terlihat sangat seksi saat pinggulnya bergoyang. Charlos merasa kehidupan wanita itu lebih berat darinya, tapi sepertinya tidak begitu saat wanita itu bernyanyi dengan penuh semangat. Charlos merasa ada sesuatu dalam hatinya yang melompat-lompat. Baru kali ini ia melihat seorang wanita yang begitu polos, apa adanya dan sangat menarik.

Charlos menggelengkan kepalanya saat melihat gambar di ponselnya, dia teringat Reva. Ketegangan diantaranya dengan Reva saat mereka makan malam di restoran Perancis, wajah dingin Reva saat mereka tiba di hotel Borobudur di Jakarta di mana beberapa menit berikutnya ia kabur karena kehadiran media. Entah sampai kapan mereka akan terus seperti ini.

Sang bartender dan beberapa orang pengunjung memberinya tepuk tangan di atas kepala yang lalu diikuti oleh seluruh orang yang ada di dalam cafe. Beberapa orang yang tahu dengan liriknya ikut menyanyi dan berteriak-teriak.

Malam itu semua orang tampak lupa diri. Sepasang kekasih yang terlalu bersemangat ikut maju ke depan dan menari. Yang lain mulai ikut-ikutan. Charlos menutup mulutnya dengan tangan sambil menopang dagunya. Tidak sedikipun ia ingin bergoyang.

Lagunya berakhir dengan nada terompet yang tinggi. Semua orang bertepuk tangan meriah. Rissa tertawa-tawa, wajahnya memerah, memberi high five pada para pemain band. Lalu ia kembali ke tempat duduknya. Beberapa orang memberinya salam saat ia berjalan menuju mejanya.

Berikutnya sang pianis menyanyikan lagu I've Got You Under My Skin dengan nada yang tidak seramai sebelumnya walaupun drumnya masih dalam tempo yang cepat.

"Kamu sangat... liar. Maksudku luar biasa," kata Charlos mengkoreksi, sambil mengambil tissue lalu menyerahkannya pada Rissa yang langsung dipakainya untuk mengelap keringat yang ada di dahinya.

"Terima kasih," jawab Rissa tersenyum lebar. Wajahnya masih memerah, napasnya terengah-engah.

"Kamu suka musik jazz?" tanya Charlos.

"Suka sekali! Aku benar-benar penggemar jazz. Kalau kamu?"

"Tentu saja aku suka jazz."

Rissa mengerutkan dahinya. "Tapi aku lihat tadi kamu seperti yang tidak menikmati musiknya."

"Oh ya?" Charlos mengangkat alisnya sebelah. "Bukan karena lagu jazz-nya. Tapi... Ah sudahlah." Charlos mengibaskan tangannya.

"Pasti karena aku maju ke depan ya? Kamu tidak suka melihatku menyanyi di depan sana."

Ingin sekali Charlos berkata : Tepat sekali! Tapi itu hanya akan membuat Rissa tersinggung. Jadi ia mengatakan hal yang lain.

"Tanggal delapan nanti aku akan ke Festival Jazz."

"Wah! Coba saja aku bisa ke sana." Rissa tampak sedih.

"Reva akan tampil di sana." Charlos melihat jam tangannya.

"Oh ya?" Rissa mengangkat alisnya.

Charlos meneguk habis teh lemonnya yang sudah dingin.

"Ya," jawab Charlos. Ia melambaikan tangannya, memanggil pelayan. Tak lama kemudian sang pelayan membawa bon. Charlos mengeluarkan beberapa lembar seratus ribu. Lalu ia bangkit berdiri tanpa repot-repot menunggu kembaliannya.

"Terima kasih ya makan malamnya. Sampai bertemu lagi, Charlos." Rissa tersenyum. Wanita itu masih saja duduk di kursinya. Charlos menunggunya.

"Kenapa diam saja? Ayo pulang!" Charlos menggerakan tangannya.

"Oh..."

Rissa lalu berdiri dan mengikuti Charlos sampai ke depan pintu masuk. Hujan yang semakin deras mengguyur Bandung. Angin dingin bertiup. Membuat bulu kuduk berdiri. Charlos bisa melihatnya di kaki Rissa.

Seorang tukang parkir berlari menghampiri mereka sambil membawa payung besar. Charlos menarik tangan Rissa, lalu mereka sama-sama berjalan cepat menuju mobil Charlos.

Wanita itu tampak bingung saat Charlos menyuruhnya untuk masuk ke dalam mobil. Saat sudah di dalam mobil, Charlos menjalankan mesin. Mobil menderu perlahan. Wiper bergoyang.

"Kamu mau mengantarku pulang?" tanya Rissa.

Charlos mengerutkan dahinya. "Memangnya kamu mau pulang sendiri dengan kondisi hujan besar seperti ini?"

Rissa terdiam. Charlos sibuk memundurkan mobil, dipandu sang tukang parkir. Lalu setelah menyerahkan selembar uang dua puluh ribu, mereka meluncur meninggalkan Jalan Braga.

Charlos menyalakan radio, menggonta-ganti salurannya. Akhirnya ia menemukan lagu yang disukainya. Charlos bisa merasakan tatapan Rissa. Ia hanya meliriknya sedikit.

Wanita itu bersenandung perlahan. Kepalanya bergerak-gerak perlahan mengikuti irama musik. Suaranya memang bagus, meskipun ia tidak benar-benar suka melihatnya seliar itu di atas panggung.

Kehidupan Rissa terdengar tidak begitu menyenangkan. Ia harus berjuang untuk menghidupi dirinya dan adiknya. Charlos tidak pernah benar-benar merasa berpisah jauh dari orang tuanya. Meskipun mereka bercerai, tapi ibunya selalu bersama dengannya.

Kalau ia jadi Rissa, entah apakah ia akan bertahan. Tapi setelah Charlos melihatnya, wanita itu seolah tidak memiliki beban hidup. Senyum dan tawanya saat menyanyi tampak begitu bebas dan natural. Seolah ia menyanyi dari hati. Lain kali Charlos harus lebih memperhatikan saat Rissa bernyanyi di gereja.

Lampu lalu lintas berubah merah. Charlos mengerem. Ia kembali melirik Rissa. Wanita itu juga sedang meliriknya. Rissa tersenyum.

"Charlos." Rissa tiba-tiba menyebut namanya. Charlos terkejut.

"Ya?"

"Terima kasih sudah mau mengantarku pulang,"

Charlos mengangguk sambil tersenyum. "Tidak masalah."

Rissa terlihat seperti yang salah tingkah. Ia membenahi rambutnya, lalu memegang pipinya sambil melihat ke arah jendela. Suasana jadi canggung. Tapi Charlos tetap fokus menyetir.

Mereka memasuki daerah Bandung Selatan. Jalanan sangat sepi. Ia menyetir dengan cepat. Ia cukup hafal jalanan itu karena ia sudah pernah mengantarnya sekali. Akhirnya setelah beberapa menit kemudian mereka tiba di depan gang kontrakan Rissa.

"Sampai bertemu lagi, Charlos. Aku pulang dulu."

Rissa hendak membuka pintu mobil, tapi Charlos masih belum membuka kunci otomatisnya.

"Pintunya..." Rissa berbalik.

"Em, itu ada..." Charlos mendekati Rissa. Hidung mereka hanya berjarak satu senti, "...tissue."

Rissa menutup matanya. Jantung Charlos berdetak kencang. Apakah ini normal? Charlos hampir menciumnya. Tapi kemudian ia mundur menjauh dan mencabut tissue yang menempel di dahi Rissa.

"Sudah. Itu ada tissue menempel." Charlos menyeringai. Rissa membuka matanya, terkejut. Wajahnya memerah. Charlos menelan ludah. Ia membuka kunci otomatisnya.

"Oke. Sampai bertemu lagi, Rissa."

Rissa tersenyum malu-malu.

"Eh, tunggu!" Charlos menahan tangan Rissa. Wanita itu membelalak ketakutan seolah Charlos akan melahapnya.

"Jangan lupa kalau kamu pergi, bawa payung dan jaket. Kalau perlu dengan baju ganti. Kan katanya kamu profesional."

Napas Rissa pendek-pendek. Dadanya naik turun. "Oke. Aku akan mengingatnya." Ia menunduk sambil melihat tangan Charlos yang masih memegang tangannya.

Dengan cepat Charlos melepaskan tangannya. Ia tersenyum sedikit. Kemudian Rissa membuka pintu dan turun dari mobil. Ia berlari sambil menutup kepalanya dengan tas, menuju ke rumahnya karena hujan masih cukup deras.

Tangan Charlos gemetaran. Ia menghirup udara banyak-banyak, lalu mengeluarkannya lewat mulut. Tangannya memegang setir mobil, kemudian ia melaju.