Bab 7

Ketika Nico keluar dari rumah Rui, perasaan berkecemuk di hatinya berapi-api. Rasa tak rela itu terus menghantuinya, namun pekerjaan adalah hal paling penting untuk dirinya.

Sementara Monika masih duduk di ruang tamu sembari diam menatap secangkir teh belum disentuh sama sekali.

Albert tengah membaca untuk didengar oleh nenek Gwen. Monika yang melihat dari jauh pun sangat iri. Tentu bagaimana tak iri, sementara dirinya sudah menikah dua tahun belum juga hamil, beri keturunan.

Monika benar-benar gagal menjadi seorang istri untuk suaminya. Apalagi Monika melihat kemesraan dan keharmonisan rumah tangga Rui dengan Aldo begitu bahagia. Monika berharap suaminya juga bisa seperti Aldo penuh pengertian, perhatian, sabar dan tidak membentak istri.

Selain itu, Monika dapat melihat rumah ini begitu nyaman. Suasana yang penuh warna. Bahkan Monika mengingat sahabat baiknya satu angkatan sekolah, Fera. Mendengar Fera sudah menikah dengan seorang pria yang mapan, dan paras biasa-biasa. Fera juga menikah atas perjodohan dari orangtuanya.

Namun, Monika sangat salut pada sahabatnya itu, apakah dia juga bisa seperti dirinya mempertahankan rumah tangga. Kadang kala Monika tidak sanggup untuk menjalani hubungan pernikahan dengan Nico.

Mengenal Nico sudah dua tahun pernikahan. Tetap, sifat Nico tak pernah menunjukkan keromantisan atau sikap baik kepadanya. Cemoohan orang-orang mau di keluarga Nico, keluarganya. Monika hanya bisa bersabar semua hanya ujian.

"Hahh!" Suara helaan napas menyadarkan Monika dari lamunannya. Monika menoleh menatap Nico kembali duduk di tempatnya sambil membuka surat kabar kedua tangannya.

"Kamu itu benar-benar keras kepala?! Entah apa yang ada isi diotak mu itu?!" ketus Nico menegur Monika.

Monika senyum, ia tau. Tak mungkin Nico akan meninggalkan dirinya seorang diri di rumah sepupunya. Bukankah Nico tau seluk - beluk keluarga Rui.

Sekeras apa pun Nico terhadapnya, Monika yakin Nico bukan tipe orang yang tega. Dari sikap yang sombong, sok berkuasa, tak suka di atur, pemarah. Watak tetap memiliki dua sisi yang berbeda.

"Aku tidak apa-apa, tidak perlu kamu khawatirkan. Aku sudah terbiasa dengan keadaan seperti ini. Jika pekerjaan di kantor lebih penting kenapa tidak kamu urusin dulu?" balas Monika bangkit dari duduknya lalu meninggalkan Nico seorang diri di tempat itu.

Monika ikut bergabung dengan anaknya Rui, Albert. Albert tentu kenal baik dengan Monika. Nico menurunkan surat kabar setelah menyimak kalimat istrinya seperti menyindir. Sembari menatap dari jauh punggung istrinya ketika bermain dengan keponakannya.

Ada rasa jengkel dibalik wajah Nico, entahlah posisi dirinya serba salah. Meninggalkan istrinya di rumah Rui, ada rasa khawatir jika istrinya di cemoohi tidak-tidak oleh mulut laknat, sepupunya, Rui. Memilih untuk menetap di rumah Rui menunggu sampai sore. Malah Monika tidak mengharap dirinya ada di rumah Rui.

Kadang inilah kenapa Nico paling kesal terhadap pikiran wanita, egois. Sekeras apa pun Nico juga punya perasaan lembut. Hanya malas menunjukkan saja percuma, katanya. Nico kembali membaca surat kabar lebih baik daripada emosi mulu. Sebenarnya dia juga tidak betah.

Suasana pun kembali hening, Nico masih setia dengan surat kabarnya. Monika, Albert dan Nenek Gwen tengah berada di halaman belakang rumah menemani Albert bermain. Rui tengah memasak untuk satu keluarga tentu di bantu sama pembantunya.

"Tumben kamu betah di rumahku?" sapa Aldo menyambut Nico dengan nada sindiran.

Nico menurunkan surat kabar yang serius setelah mendengar suara menyindir itu. Tentu suara tak kalah saing, Aldo Hermawan. Pria tampang tampan, mapan, tetapi banyak omongan besar.

Inilah kenapa Nico paling malas ke rumah Rui. Harus berjumpa dengan Aldo, suami Rui. Pasti akan ada perselisihan percakapan antara pria dengan pria.

"Pengin saja, kenapa? Istrimu saja tidak keberatan. Apalagi kamu seharusnya menyambutku secara hormat, karena aku ini tamu, dan juga termasuk keluarga di sini," balas Nico tak kalah dengan ucapan yang lebih ketus.

Aldo tertohok sama ucapan dari Nico, Nico senyum miring sebagai tanda mengejek, melanjutkan lagi membaca surat kabar. Mungkin wajah Aldo sudah memerah akan kalimat-kalimat Nico tadi.

****