"Sandra ... sudah selesai benah-benah barang kamu?" tanya seorang wanita cantik berusia akhir tiga puluh tahun pada seorang gadis cantik dengan surai panjang hitam sepinggangnya.
"Tinggal dikit lagi, Ma."
Gadis yang dipanggil Sandra itu memasukkan beberapa barangnya ke dalam kardus. Laras—Mama Sandra—berjalan memasuki kamar putri semata wayangnya. Dia mendekati putrinya yang masih terlihat sibuk. "Perlu bantuan Mama?"
"Nggak usah Ma, bentar lagi juga selesai."
Laras duduk di tepi ranjang milik putrinya di rumah sederhana mereka. Dia memandangi wajah putrinya dalam diam. Sementara Sandra masih terus melakukan kegiatannya—mengepaki barang-barang yang akan dibawa pindah. Mereka akan pindah ke Jakarta, dimana tempat tinggal mereka dulu.
"Kamu beneran nggak keberatan kalau kita pindah?" tanya Laras pada putrinya. Sandra berhenti memasukkan barangnya ke dalam kardus dan beralih menatap Mamanya yang sedang menatapnya dengan pandangan yang tak bisa diartikan oleh Sandra sendiri.
Sandra duduk di sebelah Mamanya dan menggenggam jemari Mamanya. "Sandra udah bilang sama Mama, kan, kalau Sandra setuju saja. Lagipula Sandra juga kangen sama Jakarta, tempat tinggal kita yang dulu. Di sana ada saudara-saudara Sandra dan teman Sandra juga, Ma. Jadi Mama nggak usah tanya Sandra keberatan atau tidak kita pindah ke Jakarta, karena jawaban Sandra pasti, nggak."
Laras menatap putrinya yang sedang tersenyum manis ke arahnya. "Tapi bukannya kamu sedang persiapan buat pertandingan, kalau nanti kamu pindah sekolah kamu pasti—"
"Mama nggak usah khawatir, kalau emang takdir Sandra ikut pertandingan, ya, pasti ada banyak cara buat Sandra ikut pertandingan itu, mau itu di Bandung atau Jakarta," potong Sandra cepat.
Laras mengusap rambut panjang lalu beralih mengusap pipi putih mulus putrinya. Dia merasa bersyukur memiliki Sandra sebagai putrinya karena Sandra tidak pernah protes pada keadaan keluarga mereka sama sekali.
"Makasih, ya, Sayang ... kamu mau mengerti keadaan Mama dan Papa selama ini, kamu nggak pernah protes dengan keadaan keluarga kita." Laras memeluk putrinya sambil mengusap sebelah lengan putrinya. Pelukan Laras dibalas oleh Sandra dengan hangat.
"Sandra sayang sama Mama juga papa ... kalian sudah berusaha buat Sandra bahagia selama ini. Mama dan papa selalu turutin apa kemauan Sandra jadi kenapa sekarang Sandra nggak nurutin kemauan Mama dan papa? Kalau memang kita harus pindah lagi ke Jakarta karena pekerjaan papa, ya sudah, kita pindah daripada nanti kita pisah sama papa, kan malah kasihan papa harus bolak-balik Jakarta-Bandung." Laras tidak bisa berhenti mengucapkan syukur pada Tuhan karena sudah mengkaruiakan seorang putri seperti Sandra.
"Lo ... ini kenapa? Kok pada pelukan?" Tiba-tiba seorang pria masuk ke dalam kamar Sandra dan mendapati ibu dan anak itu sedang berpelukan.
"Nggak apa-apa kok, Pa," jawab Sandra yang sudah melepaskan pelukannya dengan sang mama.
"Beres-beres kamu sudah selesai, San? Itu mobil boks yang bawa barang-barang kita sudah sampai."
Sandra segera kembali menggeluti pekerjaan yang tertunda. "Belum selesai? Masih banyak lagi, Sayang?" tanya sang papa—Vano.
Sandra melihat beberapa barang yang belum masuk kedalam kardus. "Nggak, Pa, tinggal tumpukan buku itu aja." Sandra menunjuk beberapa novel yang tertumpuk di sebelah ranjang. Vano mengambil novel-novel milik Sandra dan juga sebuah kardus kosong yang ada di dekatnya lalu mamasukkan novel-novel itu ke dalam kardus dengan cepat dan rapi.
Laras sudah keluar dari kamar Sandra menuju dapur membuatkan minuman segar untuk pekerja yang akan membantu membawa barang-barang pindahan mereka ke Jakarta.
"Lo ... Papa kok ... biar Sandra aja, Pa." Sandra mencegah papanya membantu mengemasi barang-barangnya.
"Nggak apa-apa, biar cepet, kasihan di bawah sudah nunggu." Vano tetap berkeras membantu Sandra membereskan barang bawaannya. Sandra hanya bisa pasrah dan membiarkan Papanya melakukan pekerjaan yang seharusnya menjadi tugasnya.
***
Keesokan harinya, Sandra dan kedua orang tuanya sudah berada di Jakarta, tepatnya di rumah lama yang dulu mereka tinggali. Sandra memperhatikan sekeliling, perumahan tempat tinggalnya dulu tak jauh berbeda dengan lima tahun yang lalu.
Sandra menatap rumah bercat putih gading dengan dua lantai dan pilar besar yang menyangganya, di sekeliling rumah besar itu ditanami pohon-pohon yang sekarang nampak tinggi sekali berbeda dengan lima tahun yang lalu di mana pohon-pohon itu masih setinggi satu meter.
"Ayo masuk, Sayang!" ajak Laras pada putrinya yang masih diam sambil menatap sekeliling rumah mereka. Sandra mengangguk antusias dan mulai melangkahkan kakinya mengikuti kedua orang tuanya.
"SURPRISE!"
Letusan konfeti menyambut kedatangan mereka. Sandra cukup terkejut mendengar suara letusan tak terduga itu. Di sana berdiri seorang pria yang memiliki wajah hampir serupa dengan papa Sandra—Vino—di sebelahnya ada seorang wanita sebaya dengan mama Sandra—Flora—dan dua remaja yang usianya satu tahun lebih tua dari Sandra—Vander dan Viole—menyambut kedatangan keluarga Sandra.
"My Sunny ... miss you baby." Vander langsung menubruk tubuh Sandra dan memeluknya dengan sangat erat membuat Sandra hampir tak bisa bernapas. Sandra menepuk punggung Vander berulang kali berharap tersangka yang sedang memeluknya sedikit melonggarkan belitannya.
"Van ... na-pas ... su-sah."
"Goblok!" Sebuah tonyoran kencang mendarat di kepala Vander membuat cowok itu melepaskan pelukannya yang teramat erat di tubuh Sandra.
"Sakit, Ole!" protes Vander pada cewek yang sedang berdiri di sebelahnya. Cewek itu hanya menatap Vander sekilas lalu beralih ke arah Sandra.
"Aa ... miss you so bad, Darl." Viole memeluk Sandra erat lalu tak lama melepaskan pelukannya dari Sandra.
"Akhirnya lu balik juga ke sini ... gue seneng banget." Viole kembali memeluk sepupu perempuannya itu. Vander yang melihat dua saudaranya sedang berpelukan akhirnya ikut memeluk dua cewek itu. Sementara orang tua tiga remaja itu melihat mereka bertiga dengan geli.
"Biarkan mereka kangen-kangenan kita masuk saja, kalian pasti capek setelah perjalanan jauh dari Bandung ke sini. Kebetulan aku tadi sudah membuat kue dan kubawa ke sini juga makanan untuk makan siang. Jadi kita bisa makan bersama nanti." Flora mengajak saudara iparnya itu untuk masuk rumah layaknya dia adalah tuan rumah di sana.
"Ya ... biarkan mereka melepas rindu, aku sudah lapar sekarang lebih baik kita makan saja." Vano menyahuti perkataan Flora dengan semangat. Dia melangkah menuju meja makan dengan cepat.
"Kids ... kami ke belakang dulu ya, kalian bisa menyusul kami setelah acara kalian selesai.” Setelah mengucapkan pesan pada tiga saudara yang sedang melepas rindu Vino mengikuti istri juga saudaranya.
***
"Besok kamu sudah bisa masuk ke sekolah baru kamu, San."
Setelah acara makan malam bersama di halaman belakang Sandra dan juga keluarganya juga keluarga paman dan bibinya menikmati waktu berkumpul mereka di gazebo belakang halaman rumah Sandra.
Sandra mengalihkan perhatiannya pada Papanya. "Kok cepet, Pa?"
"Papa sudah dari jauh hari minta bantuan Om Vino buat urus kepindahan kamu jadi waktu kita pindah kamu bisa langsung masuk ke sekolah baru kamu tanpa harus lama-lama berhenti karena sibuk urus berkas ini-itu dulu."
Vander dan Viole menatap ke arah papanya penuh tanya. Menyadari tatapan penuh tanya kedua anaknya Vino membuka suara. "Sandra besok bisa masuk ke sekolah Vander dan Viole, seragam juga sudah ada, kalau nggak salah sudah Om gantung di lemari kamu."
Sandra mengingat kembali memorinya. Tadi waktu dia berganti pakaian dia sempat melihat beberapa setel seragam yang sangat asing tapi tak terlalu Sandra pusingkan, ternyata itu seragam sekolahnya.
"Serius, Dad?" tanya Viole kelewat antusias. Anggukan dari Vino mampu membuat Viole berteriak kegirangan.
"Pokoknya besok kita bertiga harus berangkat bareng nggak boleh sampai nggak!" Putus Viole sepihak yang tak terlalu dipermasalahkan oleh Vander dan Sandra.
"Ah, iya ... gue harus kasih tahu Luna sama Anggi kalau lu udah balik dan bakal satu sekolah lagi, pasti mereka seneng banget." Baru saja Viole ingin mengambil ponselnya, gerakannya lebih dulu dicegah oleh Sandra.
"Jangan kasih tahu, biar jadi kejutan buat mereka besok." Viole hanya bisa mengikuti perkataan Sandra karena memang kalau dipikir lebih seru memberikan dua temannya itu kejutan.