Quarter 1-02: Sekolah baru

Bagi Sandra pagi ini berbeda dengan pagi-pagi biasanya. Jika biasanya dia bangun dengan suasana kamar sederhana yang menyambutnya, berbeda dengan hari ini. Suasana kamar lamanya yang sedikit diberikan sentuhan tambahan menyambutnya. Sejujurnya Sandra sudah terbiasa dengan kamarnya yang ada di Bandung. Tapi mau bagaimana lagi sekarang dia ada di Jakarta tidak mungkin kan kamarnya dipindah ke Jakarta?

Setelah mandi dan sedikit merapikan dandanannya dengan seragam sekolah barunya yang sudah melekat di tubuh Sandra dengan pas, dia melangkah menuruni tangga menuju meja makan untuk sarapan.

"Pagi ...."

Di meja makan sudah ada kedua orang tua Sandra yang sudah siap untuk melakukan rutinitas mereka yaitu sarapan. Seperti biasa juga Sandra mencium pipi kedua orang tuanya bergantian, barulah dia duduk di kursinya yang berhadapan dengan sang mama. Menu sarapan pagi ini adalah nasi goreng dengan suiran ayam dan potongan sosis, menu sarapan favorit Sandra.

"Oh iya, Ma ... nanti Sandra bawa bekal, ya, ke sekolah?" Laras menatap putrinya penuh tanya begitu juga dengan Vano.

"Kenapa, Sayang?" tanya Laras penasaran.

"Semalam, Viole ajak Sandra nunggu dia latihan basket dulu, baru pulang. Jadi, pulangnya agak sorean."

"Bukannya lebih baik kamu beli makanan di kantin aja, Sayang? Kalau kamu bawa bekal nanti keburu dingin dan nggak enak kalau dimakan," sahut Vano.

Sandra diam memikirkan perkataan papanya. Bener juga sih, kan kelamaan di kotak juga nggak enak.

"Kamu bawa sandwich aja, ya? Nanti dimakan di sana sama temen-temen yang lain jangan nasi, nanti basi nggak enak dimakan. Kalau sandwich kan masih tahan meskipun kamu makan nanti agak sorean." Sandra mengangguk antusias mendengarkan usulan mamanya.

"Mama siapin dulu, ya." Laras meninggalkan meja makan dan meninggalkan makanannya yang baru tersentuh beberapa sendok saja.

"Lanjut makannya, Sayang, nanti kamu telat lo!" Sandra melakukan perintah papanya dengan patuh. Dia menyikat habis nasi goreng di piringnya sampai tak bersisa sebutir pun.

Tak lama setelahnya, Laras kembali sambil membawa kotak bekal ukuran medium dan menyerahkan pada Sandra. "Makasih, Mama." Laras tersenyum hangat menanggapi.

Sandra melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. Jarum pendek sudah berada di angka tujuh, waktunya dia berangkat. Sandra segera berpamitan pada papa dan mamanya lalu keluar dari rumah. Dia berjalan menuju rumah besar yang berada tepat di sebelah rumahnya, rumah paman dan bibinya. Baru saja dia berada di depan rumah Vano dan akan masuk, pagar rumah itu terbuka terlebih dahulu dan keluarlah mobil Audi putih yang sedang dikemudikan oleh Vander.

"Ayo, masuk!" Viole yang duduk di belakang memberikan isyarat pada Sandra untuk masuk dan duduk di sebelah Vander, tanpa menunggu lagi dia segera duduk di sebelah Vander. Dan mobil pun melaju dengan kecepatan sedang membelah jalanan Ibukota yang cukup padat.

***

Tepat setengah jam berselang mereka sampai di area parkir SMA Batavia, tempat sekolah Sandra yang baru. "Gue antar ke ruang TU dulu, habis itu kita cari kelas lo." Sandra mengangguki perkataan Viole karena jujur dia malas sendirian berjalan ke ruang TU yang tak tahu ada di mana letaknya, belum lagi mencari ruang kelasnya nanti.

Vander berpisah dengan dua saudaranya yang lain. Dia memilih pergi ke kelasnya terlebih dahulu untuk menyalin PR yang lupa belum dia kerjakan semalam, daripada nanti dia dihukum berjemur di halaman sekolah yang panas.

"Permisi ...."

Salah seorang petugas TU yang sudah datang menoleh ke arah Viole dan Sandra. "Ada apa ya?" tanya petugas TU pada Viole.

"Begini, Bu, saya mau mengantarkan murid baru mencari kelasnya. Tapi dia belum tahu di mana kelasnya, saya boleh tahu di mana kelasnya berada, Bu?" tanya Viole.

Petugas TU itu menoleh ke arah Sandra. "Alexandra?" tanya petugas itu memastikan. Sandra menganggukkan kepalanya sekali sebagai jawaban. Petugas itu mengambil sebuah buku besar yang berisi data-data siswa-siswi SMA Batavia.

"Kamu ada di kelas 11-MIA 1," kata petugas itu. Viole diam-diam memekik senang dalam hatinya karena dia akan satu kelas dengan sepupunya itu.

"Kamu tunggu dulu di sini, sebentar lagi wali kelas kamu akan ke sini dan mengantar kamu ke kelas." Sesuai perintah petugas TU, Sandra menunggu. Dia juga meminta Viole menemaninya karena dia tak mau sendirian menunggu di ruangan TU. Tak berselang lama bel tanda masuk berbunyi dan seorang guru cantik masuk ke dalam ruang TU.

"Murid barunya sudah datang, Fin?" tanya guru cantik itu pada petugas TU yang tadi dimintai Viole tolong. Tanpa banyak kata petugas TU itu mengedikan dagunya ke arah tempat Viole dan Sandra duduk.

"Makasih, ya, Fin."

Guru itu berjalan mendekati dua muridnya dengan langkah anggun. "Kamu tidak masuk kelas, Vio?" tanya guru cantik itu pada Viole.

"Saya diminta sepupu saya ini untuk nemenin dia di sini, Bu Gita." Bu Gita nampak memperhatikan Viole dan Sandra bergantian. Seperti menilik adakah persamaan antara dua saudara itu? Dan dia menemukan satu persamaan pada keduanya, warna mata mereka, sama-sama terang.

"Kalau begitu kita ke kelas sekarang," Bu Gita melihat jam tangannya, "jam pertama akan dimulai lima menit lagi, Ayo!"

Mereka berjalan bersamaan menuju ruang kelas Viole dan Sandra. Di SMA Batavia sistem penempatan kelas diurutkan berdasarkan prestasi akademik mereka. Murid-murid berotak cemerlang ditempatkan di urutan pertama seperti kelas Viole dan Sandra,11 MIA-1.

Begitu mereka sampai di depan pintu ruang kelas, Bu Gita masuk terlebih dahulu diikuti Viole barulah Sandra. Viole segera duduk di bangkunya sementara Sandra berdiri di sebelah Bu Gita yang mulai menyapa anak didiknya.

"Hari ini kalian mendapat satu teman baru jadi Ibu harap kalian bisa membantu dia beradaptasi dengan kelas kita." Bu Gita menoleh ke arah Sandra dan memberikan perintah untuk memperkenalkan diri.

"Nama gue Alexandra Laurant, kalian bisa panggil gue Sandra. Gue pindahan dari Bandung, SMA Erlangga." Sandra menyudahi perkenalannya.

"Kalau ada pertanyaan, nanti jam istirahat kalian bisa tanyakan pada Sandra." Bu Gita memperhatikan semua muridnya yang duduk rapi di bangkunya masing-masing.

"Sandra kamu bisa duduk, di sana," Bu Gita menunjuk bangku nomor dua dari belakang yang berdekatan dengan jendela. Sandra membungkuk sedikit pada bu Gita, permisi, lalu melangkah menuju mejanya.

Setelah Sandra duduk dengan nyaman di kursinya Bu Gita melanjutkan perkataannya. "Pelajaran pertama kalian hari ini adalah olahraga jadi sekarang silakan kalian pergi ke ruang ganti untuk berganti pakaian olahraga masing-masing. Dan sekian."

Setelah Bu Gita menutup pertemuan paginya dan keluar dari ruang kelas. Satu persatu murid di kelas mulai keluar dan membawa baju olahraga mereka menuju ruang ganti. Sandra menghela nafas dalam karena dia tidak membawa seragam olahraganya.

Viole dan Vander mendekati meja Sandra. "Lu nggak bawa baju olahraga, Baby?" tanya Vander pada Sandra. Dan gelengan lemah dari Sandra menjadi jawabannya. Vander dan Viole saling bertatapan.

"Lu ikut gue abis ini, kayaknya ada celana training sama kaos gue di loker ekskul."

Sandra menoleh ke arah Viole lalu menggeleng. "Nggak usah, lagian pasti gurunya juga maklum, kan gue murid baru mana tahu jadwal pelajaran."

"Mending lo berdua cepetan ganti, gue tunggu di sini." Sandra mendorong tubuh dua sepupunya menjauh dari bangkunya.

Viole dan Vander menurut saja. Toh memang mereka harus segera berganti seragam karena kalau sampai mereka telat pasti pak Andrean akan marah besar pada mereka.

"Tunggu sini ya, jangan ke mana-mana.” Sandra hanya mengangguki seadanya perkataan Vander.

***

Semua murid di kelas Sandra berbaris. Sandra memperhatikan sekelilingnya, teman sekelasnya semua menggunakan seragam olahraga hanya dia sendiri yang tidak memakai seragam olahraga.

"Yang tidak memakai baju olahraga silakan ke depan!" Suara tegas dari Pak Andrean membuat semua murid menoleh ke arah Sandra.

Dengan langkah pelan Sandra maju ke depan lebih tepatnya berjalan menghadap pak Andrean. "Kenapa tidak memakai baju olahraga?" tanya Pak Andrean penuh intimidasi.

Sandra menatap pak Andrean sebelum menjawab pertanyaan pak Andrean dengan tegas. "Maaf, Pak, saya murid baru dan saya baru tahu kalau kelas yang sama masuki jam pertama adalah pelajaran olahraga."

Pak Andrean memperhatikan wajah Sandra dengan teliti. Dimana aku pernah bertemu dengan anak ini? Wajahnya sangat familiar sekali, tapi siapa?. "Siapa nama kamu?" tanya Pak Andrean.

"Alexandra Laurant, panggilannya Sandra." Pak Andrean sedikit terkejut mendengar nama yang baru saja keluar dari mulut Sandra. "Pindahan SMA Erlangga, Bandung?" tanya Pak Andrean.

Sandra tak bisa menampik keterkejutan di wajahnya saat Guru olahraganya mengetahui asal sekolah lamanya. Sandra hanya menganggukan kepalanya sebagai jawaban. Pak Andrean tersenyum tipis.

"Tommy Hernaman pasti sedang frustasi karena pemain berbakatnya ada di Batavia sekarang." Sandra mengerutkan keningnya mendengar nama pelatih basketnya disebut. Dia kenal coach Tommy dari mana?

"Untuk saat ini kamu saya maafkan karena kamu murid baru, tapi tidak untuk lain kali. Silakan duduk di pinggir lapangan dulu." Sandra menuruti perkataan guru olahraganya. Dia melihat teman sekelasnya sedang melakukan pemanasan. Sandra hanya duduk diam sambil sesekali menghela nafas dan merutuki dirinya sendiri. Olahraga adalah salah satu pelajaran yang disukai oleh Sandra, walaupun tidak semua cabang olahraga Sandra sukai.

Setelah melakukan pemanasan dan lari keliling lapangan sebanyak dua kali semua murid diminta untuk berkumpul di tengah lapangan dan duduk beralaskan lantai dihadapan Pak Andrean.

"Minggu lalu, saya sudah menerangkan dan mengajarkan bagaimana cara shooting, dribling, passing bola basket dan kalian juga sudah mempraktekan satu persatu jadi sekarang, saya akan mengambil nilai praktek kalian untuk shooting lalu setelah itu kita akan melakukan mini game."

Beberapa dari murid perempuan banyak yang berseru protes karena mereka pesismis untuk melakukan shooting ke dalam ring. "Untuk Vander, Viole, Derby kalian bisa mengajarkan teman-teman kalian sebelum nama mereka dipanggil satu persatu."

Sorakan dari para perempuan terdengar sangat girang pasalnya mereka memiliki kesempata untuk berdekatan dengan dua most wanted boy sekolah, siapa lagi kalau bukan Vander dan Derby.

Sementara dua pangeran sekolah itu dikerubungi oleh cewek-cewek, Sandra mendekati pak Andrean. "Pak ... apa saya juga bisa ikut pengambilan nilai?" tanya Sandra pada Pak Andrean.

"Terserah kamu, kalau kamu ingin nilai kamu kosong ya kamu tidak usah ikut saja." Jawaban pak Andrean yang terdengar cuek bebek membuat Sandra menggeram dalam hati.

"Kalau begitu saya akan ikut, Pak, karena saya tidak mau nilai praktik saya kosong." Pak Andrean dalam hati tertawa melihat satu muridnya ini.

"Meskipun kamu tidak ikut pengambilan nilai kamu akan tetap mendapat nilai yang bagus Sandra." Sandra diam mendengar perkataan guru olahraganya.

"Tidak adillah, Pak, kalau seperti itu, apa kata teman-teman yang lain nanti kalau saya mendapat nilai bagus sementara saya tidak mengikuti praktik." Pak Andrean sebenarnya tidak terlalu memusingkan mau Sandra mengikuti praktik atau tidak. Toh, dia sudah tahu seperti apa kemampuan Sandra, berkaitan dengan basket.

Nggak bakal kenapa-kenapa kan kalau gue ikut penilaian ini? Toh gue juga butuh gerak, pikir sandra sambil menatap kakinya.

"Terserah kamu."

Pak Andrean berlalu dan meniup peluit tanda kalau pengambilan nilai akan segera dimulai. Mereka semua segera duduk sedikit jauh dari tengah lapangan, nama mereka dipanggil satu persatu dimulai dari presensi pertama.

Viole duduk di sebelah Sandra begitu juga dengan Vander diikuti oleh Derby, yang hanya mengikuti Vander. "Gue perhatiin tadi lu ngomong sama pak Andrean, ngomongin apaan?" tanya Viole penasaran.

Sandra menoleh ke arah Viole. "Pak Andrean lebih parah nyebelinnya ketimbang coach Tommy, tahu nggak sih. Kesel gue!" Vander dan Viole menatap penuh minat ke arah sepupu mereka, penasaran.

"Masa, ya, gue tadi kan tanya ‘gue boleh ikut pengambilan nilai apa kagak?’ dan jawabannya tuh nyebelin banget." Sandra geram sendiri menceritakan pada dua sepupunya. Sandra sampai mengepalkan kedua tanganya dengan gemas seolah dia ingin meremas dan meremukkan pak Andrean dengan kedua tangannya.

"Emang jawabannya apa, Baby?"

Seorang yang duduk di sebelah Vander—Derby—menoleh ke arah Vander karena terkejut mendengar nada bicara Vander yang menggelikan, menurutnya. "Terserah kamu, kalau kamu ingin nilai kamu kosong ya tidak usah ikut saja." Sandra menirukan nada dan cara bicara pak Andrean yang terdengar cuek dan menyebalkan.

Viole dan Vander ingin tertawa melihat Sandra yang menirukan ucapan guru mereka. "Nyebelin banget sih!" Sandra menggecurutkan bibirnya kesal. Sementara Viole dan Vander mencoba menahan tawa mereka agar tidak meledak.