Quarter 1-03: Derby Alvaro Putra

"Kalian bertiga,” pak Andrean menunjuk Vander, Viole dan Sandra, “kalau tidak berniat mengikuti kelas saya, silakan pergi dari lapangan sekarang!" Suara tegas Pak Andrean menyentak tiga saudara yang sejak tadi asyik mengobrol di tempat mereka duduk sekarang.

"Maaf, Pak."

Ketiganya diam setelah mendengarkan teguran dari Pak Andrean. Setelah Pak Andrean kembali fokus pada murid-murid yang sedang pengambilan nilai, Sandra kembali mengeluarkan suaranya, protes. "Tuh kan nyebelin lagi, perasaan kita nggak berisik amat deh, kenapa ditegur sih?"

"Karena kalian emang dari tadi berisik." Tiga saudara itu menoleh ke arah cowok yang sedang duduk tepat di sebelah Vander. Sandra mengerutkan keningnya melihat cowok di sebelah Vander. Kayak pernah ketemu, tapi, di mana?

"Ya elah ... sensi amat lu kayak Vio kalo lagi PMS." Derby menoleh ke arah Vander dan menatapnya dengan tajam. Bukannya takut Vander malah terkekeh geli melihat wajah Derby yang dingin seperti es batu.

"Eh iya ... kalian belum kenalan kan, ya." Viole baru ingat kalau Sandra belum berkenalan dengan Derby begitu juga sebaliknya.

"Baby ... cowok yang mukanya dingin kayak es batu ini namanya Derby, dia temen gue sejak SMP sekaligus Kapten tim basket putra SMA Batavia." Vander mengenalkan Sandra pada Derby.

Sandra menelisik tampilan Derby dari ujung rambut sampai kembali ke ujung rambut lagi. "Yakin? Kagak kelihatan kalau dia Kapten tim basket. Wajahnya aja datar kayak papan cucian, kaku, dingin kayak es kutub."

Vander dan Viole ingin tertawa mendengar perkataan Sandra yang blak-blakan sementara Derby? Jangan tanya dia sudah menggeram dalam hati dan ingin menceburkan cewek di sebelah Vander ini ke lubang buaya.

"Jangan jujur-jujur kali, Baby, nanti dia klepek-klepek sama kamu." Vander kadang gemas sendiri dengan mulut Sandra yang terlalu jujur tanpa bisa ditutupi.

"Ogah!" tolak Sandra dengan mentah-mentah.

Viole tak dapat menahan tawanya lagi. Derai tawanya yang nyaring mengundang perhatian banyak teman-temannya dan termasuk juga pak Andrean.

"Vio!" tegur Pak Andrean. Viole menggumamkan kata maaf pada Pak Andrean.

Saat Pak Andrean sudah tidak memperhatikan mereka lagi, Viole kembali menatap Derby dengan senyuman mengejek. "Belum ada sehari lo udah ditolak aja sama sepupu gue, Der." Viole kembali terkikik penuh penghinaan kepada Derby.

Derby menatap Viole dengan kening berkerut lalu berganti pada Vander seolah meminta penjelasan. "Alexandra Laurant, alias Sandra alias My Baby alias Sunny itu sepupu gue, selama lima tahun ini dia tinggal di Bandung dan baru balik lagi ke Jakarta kemarin." Vander menjelaskan sekaligus mengenalkan Sandra pada Derby.

Jujur saja meskipun Derby dan Vander sudah berteman sejak SMP tapi dia baru tahu kalau ternyata Vander memiliki sepupu yang tinggal di Bandung.

Peluit panjang tiba-tiba ditiup oleh Pak Andrean menandakan kalau pengambilan nilai sudah selesai. Sandra tersentak karena dia tak merasa kalau namanya dipanggil. "Pak saya belum pengambilan nilai." Sandra mengacungkan tangannya.

Andrean melihat buku yang dia bawa yang berisi daftar nama semua siswa di kelas 11-MIA-1. "Yang belum saya panggil untuk pengambilan nilai maju ke depan." Keempat orang yang sejak tadi ribut di tempat masing-masing otomatis maju menghadap pak Andrean, siapa lagi kalau bukan Derby, Vander, Sandra dan Viole.

"Pengambilan nilai untuk kalian berempat tentunya berbeda dengan semua teman kalian karena kalian anggota inti tim basket." Lagi, Derby dikejutkan mengenai satu fakta tentang Sandra. Dia anak basket juga?

"Kebetulan jumlah kalian genap jadi untuk kaian berempat pengambilan nilainya adalah kalian harus one on one. Vander dengan Derby dan Viole dengan Sandra," pak Andrean beralih ke arah muridnya yang lain, "sementara yang lain, persiapkan siapa yang akan melakukan mini game terserah laki-laki atau perempuan asalkan bukan empat orang yang berada di depan sekarang."

Mereka hanya patuh dengan perintah pak Andrean. "Nah, untuk kalian berempat siapa yang akan mulai duluan?" tanya Pak Andrean pada empat muridnya.

"Karena kita perempuan, jadi biarkan yang laki-laki terlebih dahulu. Man first." Viole memilih untuk belakangan karena dia masih malas, apa lagi yang dia lawan adalah Sandra. Semua orang sudah tahu siapa yang akan jadi pemenangnya. Ya walaupun antara Vander dan Derby pasti sudah bisa menebak siapa yang akan menjadi pemenangnya nanti.

"Kalau begitu, kalian ke tengah lapangan." Pak Andrean memerintahkan Vander dan Derby ke tengah lapangan.

"Yang lain silakan menepi." Para murid perempuan dengan antusias sudah duduk berjejer karena tak sabar melihat duel antara dua Pangeran sekolah.

"Pasti yang menang Derby, dia kan Kapten tim, pasti lebih jago dari Vander."

"Yang menang pasti Vander, dia kan paling pinter nyetak angka."

Penontot perempuan sudah terbagi menjadi dua kubu dalam waktu sekejap. Satu kubu membela Vander dan satu kubu membela Derby. Sementara para perempuan sibuk berdebat, Viole dan Sandra sibuk dengan percakapan mereka sendiri.

"Mending ganti aja deh, San, nggak nyaman tahu main pake rok. Izin pak Andrean bentar buat ambil celana di loker gue, yuk?" tawar Viole.

Akhirnya dia mengangguk karena memang benar yang diucapkan Viole jika bermain dengan mengunakan rok itu susah dan ribet. Akhirnya mereka meminta izin pada pak Andrean untuk mengambil celana di loker ganti anak basket.

Sementara Sandra dan Viole pergi, Derby dan Vander sudah siap di tengah lapangan dengan bola oranye yang sedang dipantulkan oleh Derby. "Yah ... Baby gue pergi, padahal mau pamer," gumam Vander saat melihat Viole dan Sandra pergi meninggalkan lapangan.

Pak Andrean mendekati Derby dan Vander. "Kalian udah siap?" tanya Pak Andrean berbasa-basi.

Keduanya mengangguk. "Yang lebih cepat memasukkan sepulih bola ke dalam ring dia pemenangnya, mengerti?" Kembali dua cowok itu mengangguk.

Peluit panjang berbunyi dan Pak Andrean yang sudah memegang bola oranye melemparkan bola itu ke atas sementara Vander dan Derby meloncat merebutkan bola pertama. Dan bola pertama di pegang oleh Vander karena lompatannya memang paling tinggi di antara para pemain basket lainnya di SMA Batavia.

Viole dan Sandra segera belari menuju ruang ganti Klub basket dengan cepat agar tidak tertinggal menonton pertandingan Vander dan Derby. Setelah sampai di depan pintu ruang ganti, Viole segera masuk ke dalam ruangan diikuti Sandra di belakangnya.

“Nih, buruan lu ganti,” Viole menyerahkan sebuah jersei kepada Sandra, “di sana kamar gantinya.” Viole menunjuk pintu yang berada di pojok ruangan.

Sandra berjalan ke arah pintu yang baru ditunjuk oleh Viole setelah menerima jersei milik Viole. Tak berselang lama, Sandra keluar dengan kostum jerseinya. Viole menghampiri Sandra dengan senyuman indah melekan di wajahnya. “Nih, ikat rambut lu, biar nggak risih mainnya.” Viole memberikan ikat rambut pada Sandra.

Setelah beres semua urusan di ruang ganti, Viole dan Sandra segera kembali ke lapangan. Mereka berharap masih sempat menonton pertandingan Derby dan Vander.

***