Quarter 1-05: Tawaran Pak Andrean

Pelajaran Matematika setelah jam olahraga adalah satu hal yang paling menyebalkan dan melelahkan dalam hidup seorang pelajar. Bagaimana tidak? Setelah tenaga kita dikuras dengan berbagaimacam gerakan tubuh lalu tenaga kita akan dikuras untuk memikirkan rentetan rumus-rumus Matematika yang membingungkan. Tapi, sepertinya hal itu tidak berefek pada Sandra, karena sekarang Sandra sedang menumpukan kepalanya di atas lipatan kedua tangannya dengan mata terpejam.

“Lola, tolong bangunkan teman sebangku kamu itu,” kata sang guru Matematika pada seorang gadis berkaca mata dengan kepang kuda menghiasi kepalanya.

Gadis bernama Lola itu segera menggoyangkan tubuh Sandra, membangunkan gadis itu. Mata bulat sandra perlahan bergerak membuka. “Eh, kenapa?” tanya Sandra pada teman satu bangkunya.

“I-itu, bu Anita suruh aku bangunin kamu,” jawab Lola.

Sandra menatap ke arah depan kelas. Di sana sudah berdiri bu Anita dengan tampang garangnya, beliau bersedekap sambil menatap tajam ke arah Sandra. “Maaf, Bu, saya nggak tahu kalau udah bel,” kata Sandra dengan santai seolah dia tidak melakukan kesalahan yang serius.

“Kamu anak baru?” tanya bu Anita pada Sandra yang dijawab dengan anggukan kepala.

Bu Anita sepertinya tak terlalu memusingkan hal itu, dia segera duduk di kursinya dengan tenang sebelum mengabsen murid-muridnya. “Masukkan semua buku yang berhubungan dengan Matematika, hanya ada bulpoin, pensil, penghapus dan tipe-X di atas meja kalian. Hari ini kita ulangan untuk materi yang telah selesai minggu lalu.” Perkataan bu Anita tentunya menuai banyak protes dari murid-murid di kelas itu, namun tak ada yang berani mengeluarkan suaranya.

Sandra mengacungkan tangannya. Perhatian bu Anita dan beberapa siswa lain teralihkan ke arah Sandra. “Saya mau tanya, Bu, materinya sudah sampai mana ya, Bu? Kan saya anak pindahan, jadi kalau saya ikut ulangan, saya harus tahu sampai di mana materinya, mungkin saja materinya tidak sama dengan sekolah lama saya.”

“Fungsi komposisi dan fungsi invers, sudah diajarkan di sekolah kamu, kan?” tanya bu Anita.

“Sudah, Bu. Tapi baru sampai fungsi invers,” jawab Sandra.

“Ya sudah, saya beri kamu waktu sepuluh menit untuk mempelajari materi fungsi invers, setelah itu, kamu bisa mengikuti ulangan saya.” Meskipun bu Anita terkenal tidak pandang bulu kepada muridnya, tapi bu Anita terkadang masih memberikan sedikit toleransi, contohnya seperti Sandra sekarang ini.

“Terima kasih, Bu. Tapi sepertinya saya langsung ikut saja dengan yang lainnya. Kan tidak adil jika saya diberi waktu sepuluh menit untuk belajar, sementara yang lainnya tidak.”

Bu Anita tak terlalu memusingkan pilihan Sandra, toh dia sudah memberikan kesempatan tapi Sandra menolak. Jadi, kalau nanti nilainya jelek, Sandra harus menanggung resiko sendiri.

Bu Anita menayangkan soal ulangan lewat proyektor. Di layar sudah terpampang dengan jelas lima soal yang membuat kepala seluruh siswa panas. Meskipun kelas yang ditempati Sandra adalah kelas yang isinya murid-murid dengan keenceran otak di atas rata-rata, bukan berarti soal yang diberikan oleh guru mereka bisa dengan mudah dikerjakan. Justru karena kecerdasan mereka dengan kelas lainnya berbeda, soal yang diberikan juga berada di tingkat kesulitan yang berbeda.

Di tengah-tengah mereka mengerjakan soal yang diberikan bu Anita, pintu kelas mereka diketuk oleh seorang siswa laki-laki. Dia berjalan mendekati bu Anita kemudian mengatakan sesuatu kepada bu Anita dengan suara lirih agar tidak menganggu murid-murid yang sedang mengerjakan ulangan.

“Baiklah, kamu bisa kembali, nanti biar saya yang bicara pada yang bersangkutan.” Setelah mendengar perkataan bu Anita, siswa itu keluar meninggalkan ruang kelas.

“Alexandra,” panggil bu Anita. Sandra yang merasa namanya dipanggil menoleh ke arah bu Anita, begitupun dengan murid lain yang merasa penasaran.

“Setelah kamu selesai mengerjakan ulangan, kamu bisa pergi menemui pak Andrean di ruangan beliau.” Sandra sedikit mengerutkan keningnya sebelum akhirnya mengangguk sebelum kemudian melanjutkan mengerjakan ulangannya.

***

Pak Andrean berjalan menuju ruang kepala, baru saja dia mendapat panggilan dari sang Kepala sekolah setelah menyelesaikan pertandingan one on one antara Derby dan Vander. Sang Kepala sekolah berkata kalau dia ingin membicarakan perihal pertandingan Basket tingkat provinsi yang akan diadakan tiga bulan lagi, bertepatan dengan berakhirnya ujian kenaikan kelas.

Tak perlu berjalan lama dari lapangan indoor ke ruang Kepala sekolah, pak Andrean kini sudah berada di depan pintu ruang Kepala sekolah. Dia mengetuk pintu dan mendapat izin untuk masuk dari sang Kepala sekolah sendiri.

Seorang pria paruh baya duduk di kursi kebesarannya. Dia tersenyum tipis mendapati kehadiran guru olahraga sekaligus pelatih tim basket sekolahnya. “Silakan duduk Pak Andre,” kata Kepala sekolah menyilakan untuk duduk di sofa tak jauh dari pintu. Pak Andrean duduk di sofa diikuti pak Kepala sekolah setelahnya.

“Langsung saja, Pak Andre. Seperti yang sudah saya katakan sekilas tadi ditelepon, saya ingin tahu rencana tim basket untuk pertandingan tingkat provinsi beberapa minggu lagi.” Pak kepala sekolah duduk di sofa singel berhadapan dengan pak Andrean.

“Saya memiliki rencana untuk mengadakan camp latihan selama seminggu. Namun, karena pelaksanaan pertandingan dan hari terakhir ujian semester yang berjarak beberapa hari, saya membatalkan rencana tersebut.”

Pak Andrean sudah menyampaikan perihal pertandingan tingkat provinsi yang akan dilakukan beberapa hari setelah ujian semester berakhir kepada tim didikannya. Dan dia sangat menyayangkan acara camp pelatihan yang dia yakin sangat membantu kinerja tim mereka harus dibatalkan karena terbatasnya waktu.

“Jadi, saya dan anggota tim yang lain setuju bahwa latihan akan dilakukan secara rutin sepulang sekolah di lapangan indoor setiap hari selasa, kamis dan sabtu. Jika memungkinkan, hari minggunya saya akan meminta tim basket beberapa sekolah yang saya kenal untuk bertanding dengan tim sekolah kita, hitung-hitung persiapan mengikuti pertandingan.”

Kepala sekolah menyetujui saja apa yang dilakukan pak Andrean kepada tim basket sekolah mereka selagi masih dalam hal positif dan mampu mengambangkan nama tim basket sekolah lebih baik lagi.

“Lalu, Pak. Saya juga sebenarnya baru tahu tentang masalah ini hari ini. Jadi, saya ingin meminta persetujuan Bapak sebelum saya mengambil keputusan.” Kening kepala sekolah berkerut penasaran.

“Apa itu, Pak Andrean?” tanya pak Kepala sekolah.

“Alexandra Lauren, saya ingin dia masuk ke dalam tim kita.” Sang kKepala sekolah menatap pak Andrean masih dengan kening berkerut dalam.

***

Sandra mengetuk pintu ruangan pak Andrean, yang tadi sudah diberitahukan oleh bu Anita di mana letaknya. Setelah mendapat intruksi untuk masuk ke dalam ruangan, Sandra membuka pintu dan mendapati pak Andrean sedang duduk di kursi kebesarannya. Di dalam ruangan itu terdapat lima set kursi dan meja kerja dengan papan nama masing-masing pemiliknya, dan salah satunya pak Andrean.

Sandra melangkah mendekati meja pak Andrean berada. “Maaf, Pak, ada apa ya Bapak memanggil saya?” tanya Sandra pada pak Andrean yang sedang sibuk entah memeriksa apa—Sandra tidak tahu.

Pak Andrean menutup map yang tadi dia baca. “Alexandra, saya ingin kamu bergabung dengan tim basket sekolah ini saat pertandingan tingkat provinsi berlangsung nanti.”

***