2

Duduk di sebuah kasur berlapis sutra, Daru menggeleng untuk kesekian kalinya. Wanita berkonde besar di sampingnya langsung menghela napas. Ia menaruh piring kayu berisi makanan ke meja kecil di samping dipan, tak lagi berniat menyuapi Daru. Seperti hari-hari kemarin, makanan itu hanya berkurang sedikit saja.

“Kau tahu, sebenarnya kau ini sangat beruntung,” gumam wanita itu dengan suara agak tertahan, mengamati ukiran-ukiran kayu rumit di setiap sudut kamar. “Bahkan aku yang sudah sepuluh tahun jadi pelayan di sini tak pernah mendapat kamar sebagus ini.”

Daru tak merespon. Sebagus apa pun kamarnya, sebaik apa pun pakaiannya, selezat apa pun makanannya, semua itu tak akan mengubah fakta kalau kedua orangtuanya sudah tiada. Kalau bisa, dia sudah menangis sekarang. Menangis sampai semua terasa baik-baik saja. Namun, air matanya sudah terkuras habis.

Sang pelayan bangkit dari duduknya. “Aku tinggal makanannya di sini, siapa tahu kau masih lapar.”

Bahkan ketika pelayan itu keluar dari kamar, Daru masih saja membeku di tempatnya.

“Maaf Yang Mulia, makannya masih sedikit sekali.” Terdengar bisikan sang pelayan dari balik pintu. “Padahal tukang masak kerajaan sudah membuat makanan sederhana yang mungkin lebih cocok dengannya.”

“Yah, mau bagaimana lagi.” Raja mendesah pelan. “Coba saja terus. Cari yang benar-benar disukainya. Kasihan sekali dia. Sampai kurus kering seperti itu.”

Orang-orang di luar mulai menjauh. Daru tetap membeku di tempatnya, berusaha keras mempertahankan kenangan tentang kedua orangtuanya, yang terus tergerus oleh bayangan tragedi itu.

“Apa nama makanan ini?”

Daru tersentak gara-gara suara cempreng yang mendadak muncul itu. Tahu-tahu seorang anak perempuan berkebaya ungu dan bersanggul kecil sudah berdiri di dekat dipannya, tengah mengamati piring makanan yang ditinggalkan pelayan tadi.

“Hei, aku bertanya padamu,” panggil si anak perempuan, yang tengah memeluk bungkusan daun pisang itu. “Kenapa kamu malah melongo seperti orang bodoh begitu?”

Kening Daru mengernyit. Bisa-bisanya kata tak pantas seperti itu keluar dari mulut seorang anak perempuan?

“Hei.” Anak perempuan itu mendengus, sebelah tangannya berkacak pinggang. “Kau harus menjawab pertanyaanku. Aku ini putri Manursari.”

“Putri Manursari?” Mulut Daru melongo, sementara anak bernama Manursari itu manggut-manggut. “Manursari… Anak perempuan Yang Mulia?”

“Betul sekali dan sekarang jawab pertanyaanku, apa nama makanan ini?” Putri Manur menunjuk piring Daru.

“Nasi, kan?”

Putri Manur menghentakkan sebelah kakinya. “Kalau itu sih aku juga tahu! Maksudnya lauknya itu apa namanya? Aku belum pernah lihat.”

“Eh? Putri belum pernah melihat tempe bacem dan urap sayuran?”

Menggeleng, putri mencuil sedikit tempe bacem di piring Daru dan memakannya. “Ini… Enak sekali. Manis dan empuk.”

Setelah itu, ia mencicipi sayuran yang dibaluri parutan kelapa berbumbu di sana. Masih saja melongo, Daru terus mengamati sang putri, yang gerak-geriknya sama sekali tak menunjukkan adat darah biru itu. Mana ada keluarga kerajaan yang mengambil makanan milik orang lain tanpa minta izin?

“ini juga enak. Biasanya aku tidak boleh makan yang pakai parutan kelapa seperti ini. Katanya aku bisa kena cacing kremi,” cerocos sang putri, mendorong bungkusan daun pisang dari tangannya ke pelukan Daru, lantas mengambil piring itu dan duduk di dipan. “Ini apa namanya tadi? Tempe bacem? Rasanya seperti telur pindang yang berwarna coklat itu, tapi…. Pokoknya beda… Ini terbuat dari apa?”

Manursari makan dengan begitu lahap layaknya kuli bangunan. Belepotan pula. Daru jadi sangsi perempuan ini benar-benar seorang putri raja.

“Kenapa kau diam saja sedari tadi!?” hardik sang putri, menandaskan isi piring itu, lalu bersendawa keras. “Ah, aku sudah dengar cerita tentangmu. Rasanya memang sedih kehilangan orangtua…”

“Memangnya Putri tahu rasanya?” sela Daru dingin.

Putri Manur menaruh piring ke meja, menghela napas, membersihkan sisa-sisa nasi yang mengelilingi mulutnya. “Ibuku juga meninggal karena kejadian itu. Kau pasti tak tahu gara-gara mengurung diri di sini terus.”

Mata Daru membelalak. “Ratu Kumalasari?”

“Awalnya, aku juga mengurung diri di kamar sepertimu. Tapi, aku tidak ingin sedih terus-terusan. Makanya aku melakukan hal-hal yang menyenangkan. Kabur dari pelayan, memanjat pohon, hujan-hujanan, mencuri makanan dari dapur… Yah, sedari dulu aku suka main kabur-kaburan sih, tapi tidak sesering sekarang.” Putri menunjuk bungkusan daun pisang yang masih dipegang Daru. “Semuanya menyenangkan, tapi… Aku tetap merasa sedih.”

Daru tak tahu menanggapi seperti apa. Dia tak menduga kalau keluarga kerajaan dengan pengamanan ketat pun bisa tertimpa tragedi mengerikan seperti itu.

“Hei, apa kau tahu alasan mereka membunuh seperti itu?” tanya Daru pelan. “Aku sudah tanya ke semua orang yang kutemui, tapi mereka selalu menjawab tidak tahu. Bahkan Yang Mulia sekalipun.”

“Sama saja, aku juga tidak tahu.” Putri Manur menyeka setetes cairan bening di ujung matanya. “Ah, pembicaraan ini jadi membuatku tambah sedih. Sepertinya aku harus melakukah sesuatu yang lebih menyenangkan biar rasa sedihku benar-benar hilang!”

Putri Manur melompat turun. “Ayo kita main! Aku senang akhirnya ada anak seumuranku di sini!”

“Hah?”

“Tunggu, kulihat-lihat kau ini kurus sekali, ya? Ah, aku dengar kau susah makan, ya?” Putri mengambil bungkusan di pelukan Daru dan membukanya, memperlihatkan isinya: beberapa biji makanan lonjong berwarna coklat tua. Putri mengambil satu dan menyodorkannya kepada Daru. “Namanya timus. Enak sekali.”

“Aku tahu.”

“Makanlah, biar kamu tidak lemas waktu kita bermain.”

Daru menggeleng. “Tidak…”

Belum sempat Daru menyelesaikan kalimatnya, Manursari keburu menjejali mulutnya dengan timus. Kening Daru mengernyit begitu giginya tanpa sengaja menggigit makanan itu.

“Ini enak sekali, lebih enak dari yang biasa aku makan,” ujar Daru tanpa sadar, dengan mulut penuh.

“Nah, makanlah yang banyak.”

Meski matanya berkaca-kaca, Manursari menyunggingkan senyum samar.