Delapan belas tahun kemudian.
Mengenakan baju lurik lengan panjang yang dipadu udeng[1], Daru berdiri di depan sebuah warung makan. Pandangannya terhujam ke satu lembaran lusuh yang ditempel di dinding anyaman bambu. Saking lusuhnya lembaran itu, semua sisinya sampai sobek-sobek. Tentu saja, lembaran itu sudah dipajang sejak bertahun-tahun yang lalu.
Berbagai kenangan berputar di otak Daru, ketika tubuhnya belum setinggi dan sekekar sekarang. Waktu itu dirinya masih sering bermain lari-larian, memanjat pohon, sampai belajar berkuda bersama putri Manur.
Apakah wajah putri Manur masih sama dengan yang terlukis di lembar pengumuman itu? Di mana dia sekarang? Apa yang dilakukannya? Benarkah dia masih hidup?
Daru berusaha mengusir pertanyaan terakhir itu dari otaknya. Namun tetap saja, bertahun-tahun putri menghilang seperti ini, sekali dua kali pikiran Daru dihinggapi kemungkinan-kemungkinan terburuk.
“Putri Manursari. Kata orang dialah yang paling cantik di negeri ini.”
Mata Daru melirik wanita berkemben merah tua yang baru berdiri di sampingnya. Dalam hati, Daru tak menyetujui perkataan wanita berkucir tinggi itu. Dengan kulit kuning langsat, rambut lurus berwarna hitam pekat dan berkilau, mata yang terkesan lebih bercahaya dari milik orang biasa, serta wajah yang mungil sempurna, keluarga kerajaan sekalipun tak akan mampu menandingi kerupawanan wanita ini.
“Kau dulu mengikuti satuan yang ditugaskan khusus mencari Putri, kan?” tanya wanita itu, sedikit menyentuh lembaran di dinding dengan tangannya yang terbungkus sarung tangan coklat sepanjang sikut
“Iya, Mbak Catra.” Daru menghela napas. “Kami terus mencari, tapi petunjuk yang kami dapatkan selalu berbuah nihil. Biasanya kami justru menemukan kejahatan lain. Perdagangan wanita misalnya. Tapi, kadang kami juga tak menemukan apa pun.”
“Saat masih bertugas di pasukan Waringin Mas sebagai penjaga istana, aku masih sering mendengar pembicaraan tentang putri Manur. Bahkan aku mengenal salah satu pelayan yang setiap malam menangis karena mengkhawatirkan sang putri. Hilangnya putri Manur sepertinya berdampak begitu besar. Yah, sebelumnya tak ada anggota kerajaan yang menghilang semisterius ini,” tutur wanita bernama Catra itu, mengerudungkan sebuah jarik kecil ke bahunya yang terbuka, lantas mengikatnya sedemikian rupa.
“Waktu ada acara di sana pun aku selalu menyempatkan diri bertanya pada pelayan dan pengawal. Sudah bertahun-tahun, tapi dampak menghilangnya putri sepertinya belum benar-benar hilang.”
Catra kembali menyentuh lembaran di dinding itu. “Aku juga dengar dari para pelayan di istana, dulu ada seorang anak lelaki yang begitu dekat dengan putri Manur. Itu kau kan?”
“Bagaimana Mbak Catra bisa tahu?” Daru mengernyitkan dahi.
“Yah, aku kan anggota Waringin Mas yang sehari-hari ada di istana. Sekali dua kali aku mendengar namamu disebut.” Catra memandang lekat wajah Daru. “Katanya kalian cukup dekat, ya?”
Daru tak menjawab. Bukannya tak ingin. Namun, dia tak tahu harus menjawab seperti apa. Semuanya tidak semudah itu di hadapan wanita ini.
“Apakah kau marah dipindahtugaskan dari satuan pencari ke satuan pemberantas ini?” tanya Catra pelan.
“Mau bagaimana lagi?” Daru mengangkat bahu. “Walau aku belum putus asa, tapi sepertinya istana punya keputusan sendiri. Satuan pencari diperkecil. Protes seperti apa pun tak ada gunanya. Yah, paling tidak dengan bergabung di satuan pemberantas ini, aku bisa kembali ke tujuanku semula.”
Senyum tipis mengembang di wajah Catra. “Aku ingat sekali, waktu di tempat pelatihan, kau berkata lantang ingin menghancurkan Nagrasala sampai habis tak bersisa.”
“Siapa tahu ketika melaksanakan tugas, aku mendapat informasi tentang keberadaan putri.”
Sebuah siulan dari pintu warung memanggil Catra dan Daru. Pemimpin mereka, pria tinggi besar dengan rambut putih dan muka penuh bekas luka, mengangguk-anggukan kepala. Para anak buah yang berdiri di sebelahnya pun ikut-ikutan.
“Dari mulai di pelatihan prajurit sampai sekarang, aku akan terus mendukung kalian!” salah satu anak buah, seorang perempuan, mengepalkan tangan ke udara.
“Mendukung apa, sih?” Catra terkekeh pelan.
Pertanyaan itu memang sederhana, tapi sudah cukup memicu sedikit gejolak di perut Daru.
***
Pemimpin kelompok Daru keluar dari kereta dan duduk di sebelah Daru, yang tengah mengendalikan kuda penarik.
“Aku muak mendengar debat dua anak buah tercintaku itu. Mereka memang tidak sepakat satu sama lain tentang rencana penyetaraan senjata di setiap satuan pasukan, tapi apakah itu harus selalu jadi bahan perdebatan?” gerutu pria dengan jabatan lurah prajurit itu, sedikit menenggak tuak dari tempat minum bambunya.
“Yang mendukung, berkata itu akan menghemat anggaran karena kita tak perlu merekrut banyak pelatih dengan berbagai disiplin senjata. Yang tidak, beralasan karena sejak dulu keberagaman senjata dianggap efektif, musuh lebih susah memprediksi serangan kita,” timpal Daru, sedikit tersenyum. “Pak Jaka di kubu mana?”
“Hei, perlukah kau mengulangi topik itu lagi? Aku ke sini karena ingin jauh-jauh dari itu.” Pemimpin bernama Jaka itu kembali menenggak tuaknya. “Tapi yah, aku tidak ingin terlalu melarang-larang anak buahku begini-begitu. Mereka sudah terlalu terkekang dengan peraturan keprajuritan. Mereka harus bebas berpendapat. Tapi ingat, itu tak berlaku dalam misi. Kau harus menuruti orang dengan pangkat lebih tinggi darimu, tanpa terkecuali. Kalau tidak, semuanya jadi kacau. Kita akan terus berdebat dan tak kunjung menjalankan misi… Ah, kenapa aku jadi ngomong panjang lebar begini?”
“Bolehkah saya berpendapat kalau begitu? Sebagai wakil lurah prajurit kedua?” Daru tersenyum kembali dan Jaka berdecak. “Sepertinya Anda sudah terlalu banyak minum, Pak. Kita ini sedang bertugas.”
“Satu teguk lagi.” Setelah menenggak minumannya kembali, Jaka memandang matahari yang sudah mulai turun. “Sepertinya kita harus bermalam di hutan. Yah, itulah risikonya kalau mendatangi markas musuh di tempat terpencil… Huh, kita kan menyamar sebagai pedagang di misi pertama kita ini. Mana ada pedagang dengan dua kereta kuda mendatangi daerah terpencil seperti itu? Kadang aku heran dengan keputusan atasan kita. Yah, bukan berarti aku bisa membantah perintah mereka… Ah, pembentukan regu ini juga sudah aneh, sih. Anggota pasukan Waringin Mas, Puspa Kresna, Pager Wilis, Suket Seta, dan Jati Rekta semua ada di sini. Kalau satu-dua pindah ke satuan lain sudah biasa, tapi yang seperti ini belum pernah terjadi sebelumnya.”
“Bukannya pak Jaka pernah berkata kalau alasan kita digabung itu mungkin karena motivasi kita? Semua anggota regu ini punya sejarah kelam dengan Nagrasala. Kita ini orang-orang yang punya motivasi lebih untuk menghabisi Nagrasala.” Daru merasa tengkuknya seperti disiram air dingin. “Atasan kita berpikir, orang-orang seperti kita ini akan lebih efektif membasmi Nagrasala. Kita mau melakukan apa pun agar mereka hancur.”
“Setelah kupikir-pikir, alasan seperti itu tetap mengada-ngada…” Jaka menghentikan ucapannya saat Daru mendapati Catra mengintip sekilas dari kereta kuda di depan mereka.
“Kita sudahi obrolan konspirasi yang membosankan ini.” Jaka menyikut lengan Daru. “Aku sudah tahu tentang sejarahmu dengan anggota tercantik kita itu. Katanya, di pelatihan prajurit, kalian cukup dekat sampai jadi bahan perbincangan. Mumpung kalian satu pasukan seperti ini, tidak ada salahnya memanfaatkan kesempatan.”
Daru mengernyitkan dahi. “Mohon maaf, Pak. Apakah bijak memberi saran seperti itu? Bukankah perhatian saya harus terpusat ke tugas…”
“Ah! Alasan klasik! Ingin memusatkan perhatian ke tugas, lah! Tidak punya waktu memikirkan kehidupan, lah! Hei, kau ini manusia, bujang! Nikmatilah kehidupan ini sesekali! Curi hati wanita yang kau sukai!” Jaka mendengus keras. “Hei, apa kau mau mendengar sedikit cerita dariku?”
“Cerita seperti apa, Pak?”
Jaka mengambil napas dalam-dalam. “Katanya kau tak punya keluarga, kan? Bahkan teman-temanmu cuma ada di keprajuritan, kan? Persis sama sepertiku. Suatu hari… Argh! Aku selalu kesusahan kalau bercerita mengenai hal seperti ini, lebih susah daripada menerangkan tentang misi! Intinya, kalau kau pulang dan istrimu menyambut, rasanya tak terkira, Daru. Kau tak akan merasa hampa. Hidupnya tak cuma tugas-bertarung, tugas-bertarung saja.”
Kata-kata itu bagai menggempur dada Daru. “Kalau kami bersama, salah satu harus keluar dari keprajuritan. Saya tak yakin wanita berbakat seperti mbak Catra…”
“Kau tahu kenapa banyak prajurit yang menikah satu sama lain?” potong Jaka cepat. “Jadi prajurit memang hebat, berwibawa dan dipuja orang. Makanya banyak yang mendaftar. Tapi begitu mendaftar, mereka baru sadar bebannya berat dan risikonya tinggi. Walaupun katanya negeri ini makmur, tetap saja masalah selalu ada. Kalaupun ditempatkan di istana, ada saja pejabat yang rewel dan menyusahkan prajurit. Banyak yang tidak tahan. Sayangnya, kalau ingin keluar, kau harus sakit parah dan tak bisa disembuhkan, kehilangan bagian tubuh, menikah dengan sesama prajurit atau bangsawan, lalu pilihan terakhir adalah jadi gila.”
Kening Daru berkerut. “Apa Pak Jaka menduga mbak Catra ingin keluar? Kalau itu benar, kenapa dia tidak menerima lamaran lelaki lain? Bahkan dia menolak lamaran bangsawan paling kaya di ibukota.”
“Hei, kau sampai tahu hal seperti itu. Ini artinya kau perhatian kepadanya.” Jaka menepuk punggung Daru keras-keras. “Yah, bukannya aku tahu dia mau keluar atau tidak. Tapi, dari pengalamanku, ada sebuah alasan seorang wanita menolak lamaran dari prajurit lain atau bangsawan, walau sebenarnya dia ingin keluar dari keprajuritan. Barangkali, dia menunggu satu orang tertentu untuk melamarnya.”
Jantung Daru seperti baru saja disundut sesuatu yang panas. “Apakah mbak Catra seperti itu?”
“Mana tahu kalau kau tak mencobanya?”
Daru terdiam, kembali mendapati Catra yang mengintip lewat tirai. Daru tak menduga obrolan tentang asmara yang dulu dia anggap remeh, bisa membuatnya berpikir dalam-dalam seperti ini.
[1] Sejenis penutup kepala yang terbuat dari kain.