5

Berjongkok di salah satu ranting besar sebuah pohon, Daru mengendalikan napasnya supaya tak terdengar. Dia sudah punya dugaan siapa yang melakukan hal ini. Nagrasala. Mereka pasti punya koneksi dan sumber daya untuk mendapatkan racikan pelumpuh langka semacam itu. Pertanyaan yang masih menghantuinya adalah: bagaimana bisa mereka tahu misi rahasia satuan ini?

Lalu, mengapa Catra tidak seberuntung dirinya? Mengapa pujaan hatinya itu harus mati dengan cara tragis?

Daru meremas kepalanya. Bayangan wanita itu lagi-lagi menyerang otaknya. Semuanya berakhir? Bahkan sebelum dia sempat mencoba kembali?

Kalau tak dilatih menjadi prajurit, Daru pasti sudah tersedu-sedan sedari tadi. Ya, dia dituntut untuk bisa berpikir jernih dan bertindak dalam situasi sekelam apa pun. Kalau terus meratap, dia tak akan menghasilkan apa pun.

Daru kembali memusatkan perhatian kepada tugasnya. Dari kejauhan, matanya menangkap sebuah titik cahaya. Semakin lama, titik itu membesar dan akhirnya Daru bisa melihat api yang menyala dari sebuah obor. Daru langsung bisa menduga, selain untuk menerangi jalan, obor itu juga untuk memancing dirinya dan Jaka. Kemungkinannya sangat kecil kalau orang itu cuma kebetulan lewat di hutan. Untuk apa jalan-jalan di hutan tengah malam begini? Sudah jelas dia adalah orang yang menyerang kelompok Daru.

Daru menekan segala dorongan untuk menghabisi orang itu. Misinya sekarang adalah menangkap orang itu hidup-hidup untuk ditanyai, bukan dihabisi.

“Daru, kau di mana?”

Alih-alih melompat dan menangkap orang itu seperti perintah Jaka, Daru malah mematung di tempatnya. Suara pembawa obor itu sangat dikenalnya. Wajahnya, meski tak jelas karena cuma diterangi cahaya remang obor, juga tak asing bagi Daru. Dia seorang perempuan, sedang melangkah pelan di antara pepohonan, menggenggam patrem[1] berlumur darah di tangan kanan.

Tanpa berpikir lagi, Daru melompat, mendarat dengan berguling di tanah, lalu berdiri di hadapan si pembawa obor. “Mbak Catra? Apa yang terjadi?”

“Ah, tadi ada yang menyerang kelompok kita. Aku sempat bertarung melawannya,” jawab Catra, mendekati Daru.

Jaka keluar dari semak belukar. “Awas!”

Melihat ujung patrem di tangan Catra meluncur ke dadanya, Daru mengelak ke belakang. Tusukan-tusukan lanjutan pun datang bertubi-tubi. Daru hanya menghindar, samasekali tak balas menyerang. Otaknya masih belum bisa mencerna apa yang sedang terjadi sekarang.

Jaka melompat, berusaha menyabet Catra dengan goloknya. Namun, Catra cepat-cepat menghindar sambil melemparkan obornya. Jaka dan Daru langsung melompat mundur. Langkah mereka terhalang oleh api yang mulai menjalar di akar pohon.

“Kau kira kami akan lari melihat api ini? Siapa yang menanti kami di belakang sana? Bala bantuanmu?” Sambil meringis dan bernapas berat, Jaka memasang kuda-kudanya. “Tidak, Catra. Trik murahan seperti ini tidak mempan untukku.”

“Mengulur waktu dengan mengobrol untuk sedikit memulihkan diri, Pak Jaka?”

Daru tetap pada posisinya. Jangankan mengambil karambit[2] yang terselip di sabuk belakangnya, memasang kuda-kuda saja tak ia lakukan.

Kini, dengan bantuan cahaya api yang berkobar-kobar, Daru bisa melihat wajah wanita itu dengan lebih jelas. Catra menjilati bibirnya sendiri, mendesah dengan nada menggoda, memicingkan matanya. Selama ini, Daru tak melihat ekspresi seperti itu dari Catra. Apakah ini berarti Catra menikmati perbuatannya? Apakah dia tak merasa bersalah setelah membantai rekan-rekannyanya sendiri?

Daru menunduk dengan gerakan kaku. Bagaimana bisa hatinya bertaut kepada perempuan sekejam ini?

Terlalu sibuk dengan pikirannya, Daru tak sadar Catra sudah melompat ke arahnya.

“Ugh!”

Begitu mengangkat wajahnya, Daru melihat punggung Jaka. Percikan darah segar terlontar dari mulut sang pemimpin. Alih-alih menghujam Daru, ujung patrem Catra justru menembus dada Jaka.

“Kau suka mempermainkan hati lelaki, ya?” Jaka tersenyum dengan bibir bergetar. “Daru yang kasmaran denganmu ini tak mungkin menyerangmu, tapi kau malah menyerangnya.”

Catra membeku di tempatnya. Beberapa detik kemudian, mulutnya pun ikut memuncratkan darah. Ia pun menunduk untuk memeriksa perutnya, langsung mendapati golok Jaka sudah bersarang di sana.

“Seperti yang sering kau katakan tentang rompi ini. Tusukan dengan sudut yang tepat seringkali lolos,” racau Jaka.

Keduanya pun tumbang. Catra ke tanah. Jaka ke pelukan Daru.

“Kau larilah, Daru. Aku tak akan bisa bertahan.” Mulut Jaka kembali memuncratkan darah.

Daru membelalakkan matanya. Darah makin deras mengalir dari dada pemimpinnya itu. “Tapi…”

“Lari! Nagrasala akan… Nagrasala akan selalu berusaha menyelesaikan misinya! Mereka akan mengejarmu sampai liang lahat…”

Dengan mata membelalak dan mulut menganga, Daru melirik Catra yang tengah susah payah merayap menghindari api yang makin membesar.

“Maafkan aku,” gumam Daru dengan bibir bergetar, membaringkan pemimpinnya itu ke tanah. Jaka pun menarik napas pelan, memejamkan mata.

Daru sekarang sedikit mengerti alasan ayahnya dulu meninggalkan ibundanya yang sekarat.

Daru kembali melirik Catra. Dorongan keras untuk bertanya begitu mendesak di dadanya. Namun, sebagai prajurit, ia harus bisa membaca situasi. Yang terpenting sekarang adalah bertahan hidup. Tak ada gunanya mendapat informasi, tapi dirimu mati. Membulatkan tekad, ia pun bangkit dan berlari tanpa menoleh ke belakang lagi. Tak ada waktu untuk menyalahkan dirinya sendiri atas kematian Jaka.

Seperti dulu, Nagrasala merenggut orang yang dikasihinya, sekarang dengan cara yang lebih buruk pula. Catra dicuci otak untuk berkhianat. Sekarang, Catra adalah ancaman. Wanita itu harus ditinggalkan. Wanita itu tak bisa dimilikinya lagi.

Otot-otot wajah Daru menegang. Ia menegaskan sumpahnya untuk memusnahkan Nagrasala dari muka bumi.

Di sekitar Daru, derap-derap cepat mulai terdengar. Ia pun mempercepat larinya, meningkatkan kewaspadaan karena sumber cahaya api makin jauh. Meski ingin menghabisi orang-orang Nagrasala yang mungkin sedang mengejarnya itu, dia harus menahan diri. Sekali lagi, demi bertahan hidup.

Daru berhenti mendadak, sedikit hilang keseimbangan, nyaris tersungkur ke dalam jurang yang menghalanginya. Ia membisu sejenak, mengatur napas, kemudian berbalik. Sepertinya, dia tetap harus melawan.

Tangan Daru meraih karambit yang terselip di belakang celananya. Memasang kuda-kuda, ia menunggu. Tatapannya begitu tajam. Tujuannya sekarang cuma satu: hancurkan.

Beberapa titik cahaya obor muncul. Orang-orang yang menutupi mulutnya dengan kain hitam pun bermunculan, mendatangi Daru dengan mengendap.

Alih-alih mengamati keadaan terlebih dahulu, Daru justru berlari maju, melompat dan mendendang batang pohon, meluncurkan tubuhnya. Orang terdepan di barisan Nagrasala itu pun tumbang begitu wajahnya ditebas Daru. Baru saja mendarat, ia menghindari satu tusukan pedang, langsung menyabet leher penyerangnya itu.

Daru seolah menari-nari dengan karambitnya. Menyobek, menghujam, dan mengait kulit para manusia, memuncratkan darah ke mana-mana. Tangan kirinya yang bebas melengkapi, memukul, menarik baju musuh untuk mendekat padanya sebelum disayat, sampai membenturkan kepala musuh ke pohon. Kakinya pun begitu, dari mulai melompat menghindari serangan, menyapu kaki lawan, sampai menendang musuh ke kobaran api dari obor yang jatuh menimpa tanaman.

Daru memang terus bertarung, tapi tubuhnya tidak kebal. Ia juga tak bisa selalu menghindar. Tubuhnya tetap tersayat, tertusuk, terhujam panah, atau terkena pukulan dan tendangan. Yang berhasil menyelamatkannya dari ajal adalah rompi kulit di tubuhnya. Namun, rompi itu bukanlah benda ajaib. Setiap serangan tetap memberikan efek, walau tak melukainya. Belum lagi bagian tubuhnya yang tak terlindungi rompi. Goresan-goresan senjata kini menghiasi kaki dan tangannya. Walau tak terlalu dalam, itu semua memperlambat gerakannya. Semuanya ditambah dengan fakta kalau staminanya terus terkuras.

Daru tetap menyerang, meski gerakannya sempoyongan, serangannya tak lagi tajam, dan napasnya begitu putus-putus. Sorot mata bengisnya seperti berasal dari malaikat pencabut nyawa, menyihir lawan-lawannya menjadi ragu untuk menyerang, membuka kesempatan bagi Daru untuk menghabisi mereka.

Tubuh-tubuh bergelimpangan. Bau anyir dan panas api merayap di udara. Hanya satu lawan Daru yang masih berdiri. Satu yang memegang karambit seperti dirinya. Meski merasa itu adalah kejanggalan, Daru tak memikirkannya. Ia harus fokus kepada sang lawan, atau dirinya yang akan jadi korban.

Daru menangkis sabetan sang musuh dengan karambitnya. Sekarang, setelah kesadarannya menurun drastic, dia cuma bisa menangkis dan menghindar, sekaligus menunggu kesempatan.

Sayangnya, sebelum bisa menyerang, Daru merasakan tendangan di lututnya, memaksanya untuk bersimpuh.

“Argh!” Sang musuh terjengkang karena kaitan karambit Daru di kakinya.

Tak membuang waktu, Daru menduduki perut musuh terakhirnya itu. Tangan kirinya menahan tangan si musuh yang memegang karambit. Sementara itu, tangannya yang lain menempelkan karambitnya sendiri ke leher si musuh.

“Kalau tak ingin matimu menderita, jawab pertanyaanku!” hardik Daru dengan wajah yang begitu merah karena lumuran darah. “Apakah Nagrasala sudah masuk ke keprajuritan…”

“Ya, Catra sudah dari dulu bergabung dengan Nagrasala,” potong si musuh, langsung membuat Daru membeku. “Dia rela melakukan apa saja demi Nagrasala. Bahkan melacurkan diri kepada targetnya sebelum dibunuh…”

“Diam!!!” Daru sedikit menekan ujung karambitnya. Kulit leher si musuh pun mulai mengucurkan darah. Walaupun hati Daru begitu panas melebihi bara api di sekelilingnya, ia tak boleh kalap dan keburu menghabisi si musuh. Ia masih harus mendapatkan informasi.

“Tak apa, Daru. Apa yang dilakukan Catra adalah pengorbanan untuk membuat dunia ini lebih baik.”

Merasa dadanya seperti ditohok, Daru berteriak keras, mengangkat karambitnya tinggi-tinggi. Namun, insting prajurit masih bisa menahan tangannya di udara.

Sang musuh meraih batu dengan tangannya yang bebas. Namun, karena tenaganya juga memudar, serangannya pun tak terarah. Daru bisa menghindar dengan mudah, langsung menghujamkan karambitnya ke pelipis si musuh. Mata si musuh membelalak. Napasnya lenyap seketika.

Tak punya tenaga lagi, Daru pun tumbang merubuhi musuhnya. Dia tak kuasa lagi menjaga matanya untuk terus terbuka. Yang dilihatnya terakhir kali adalah cahaya dari kobaran api yang makin membara.

[1] Keris kecil yang biasa dipakai wanita.

[2] Sejenis pisau genggam kecil berbentuk melengkung.