6

Tiga tahun sebelumnya.

Di dalam sebuah warung minum kecil, pundak Daru ditepuk oleh seorang rekannya.

“Kau akan menyendiri di sini seperti orang bodoh lagi, kan?” tanya sang rekan, bangkit dari duduknya.

Rekan Daru yang lain—berdahi lebar—tertawa. “Makanya, cari istri sana! Biar ada yang menunggumu di rumah! Jadi tidak menggalau terus seperti ini!”

Daru sedikit tertawa. “Aku sedang tidak terburu-buru, umurku baru dua puluh tahun.”

“Betul, sih. Daripada dapat yang galak seperti punya dia,” ledek rekan yang lainnya lagi, menunjuk si dahi lebar.

Si dahi lebar mencibir, sementara yang lain terbahak. Beberapa dari mereka menepuk pundak Daru sebelum akhirnya meninggalkan warung minum berdinding anyaman bambu itu.

“Nambah lagi wedangnya?” tawar sang pemilik warung, pria tua ubanan berperut buncit, mulai merapikan gelas-gelas bambu berbau tuak dari meja yang ditempati Daru.

Daru tersenyum, sedikit mengangkat wedang uwuh[1]nya, jenis minuman yang sangat berbeda dari pilihan rekan-rekannya itu. “Ini sudah cukup, Pak.”

Begitu pemilik warung beranjak, Daru memandangi daun-daun jamu beserta rerempahan yang ada di dalam gelasnya. Untuk kesekian kalinya, dia gagal. Satuannya lagi-lagi cuma menemukan tempat para penyamun, bukan lokasi putri Manur. Daru sudah mengikuti pelatihan prajurit perang, yang dilanjut penggemblengan menjadi anggota pasukan Puspa Kresna. Apa gunanya semua itu kalau dirinya tak kunjung bisa menemukan sang putri raja?

“Sepertinya kau mendapat teman-teman yang baik, eh?”

Ucapan itu membuat Daru mendongak. Seketika saja, ia berdiri dan membungkuk kepada seorang bapak yang tahu-tahu sudah berdiri di depannya.

“Maaf Yang Mulia….”

“Shhhh….” Sang raja, yang berpenampilan layaknya rakyat biasa, menempelkan telunjuknya ke mulut. Setelah mengecek sekitar dan memastikan tak ada yang mendengar, ia pun duduk di hadapan Daru, menaruh segelas wedang jahe ke meja. “Perkenalkan, aku Pardi. Seorang rakyat biasa.”

Daru melongo, lantas ikut duduk. Jelas-jelas yang berbicara dengannya itu seorang raja. Apa yang sebenarnya terjadi?

Melihat ekspresi Daru, Raja terkekeh pelan. “Waktu-waktu yang kuhabiskan untuk semedi di istana sebenarnya kugunakan untuk blusukan seperti ini. Aku ingin lebih dekat dengan rakyat. Aku ingin bisa mengerti apa yang mereka rasakan. Bodoh sekali kalau ada yang percaya aku bisa semedi berhari-hari tanpa melakukan apa pun….”

Omongan raja terpotong oleh kedatangan pemilik warung yang menghidangkan sepiring sate usus. Setelah mengucapkan terimakasih dan menunggu pemilik warung pergi, raja mengangkat satu tusuk makanan sederhana itu. “Di istana, mana boleh aku makan usus seperti ini? Katanya, bagian tubuh buangan seperti ini tidak cocok buat ningrat. Bisa saja sih, aku mengubah peraturan, tapi nanti bisa jadi keributan. Bayangkan, masalah sekecil usus ayam jadi keributan? Lebih baik mengurusi masalah lain yang lebih penting.”

Raja mulai menikmati sate ususnya, sementara Daru masih saja melongo. Dia belum pernah mendapati raja berbicara sesantai ini kepada dirinya. Tak ada lagi aura ningrat. Tak ada lagi nada bicara yang halus dan tertata.

“Ambil saja.” Raja memajukan piringnya.

Karena yang menawarkan adalah raja, serta-merta Daru mengambil sate usus itu, memakannya dengan canggung.

“Aku senang, kau terlihat bisa bergaul dengan mereka, bisa tertawa bersama dan tidak menjadi orang dewasa yang pemurung. Yah, dengan sejarahmu yang seperti itu… Ah, maaf telah mengingatkanmu akan kejadian itu.” Raja memejamkan mata.

Daru menggeleng pelan. “Ini semua karena putri Manur yang membantu saya melewati masa-masa sulit.”

“Seperti yang dulu kubilang, kau juga membantunya. Umurku memang sudah ratusan tahun. Pengalamanku mengurus negara jelas tidak sedikit. Tapi jujur saja, kalau masalah mengurus anak, apalagi tanpa kehadiran istri, aku benar-benar tak sanggup. Mereka itu berbeda-beda. Mereka itu punya keunikan masing-masing. Kau tak bisa menggunakan cara pengasuhan yang sama untuk mereka. Kalau kau salah, hasilnya bisa sangat buruk.”

“Tapi pada akhirnya, putra-putri Bapak ini banyak yang sukses menjalankan jabatan penting.” Daru menyeruput wedang uwuhnya. Walau obrolan mereka santai, tapi tetap saja lawan bicaranya adalah raja, orang nomor satu di negeri ini. Dia tetap sungkan dan sangat berhati-hati dalam berbicara.

“Kau tak tahu betapa mereka membenciku. Kalau tidak membenci, mereka manjanya setengah mati. Atau mungkin keduanya, sudah membenciku, manja pula. Maka dari itu, mereka kubuang saja untuk mengurusi daerah-daerah di seluruh negeri.” Raja menghela napas panjang. “Ah, sudah cukup berbicara tentang diriku. Bagaimana denganmu? Bagaimana misinya tadi?”

“Yah, seperti biasa, Yang…” Daru berdehem, nyaris keceplosan. “Seperti biasa, Pak. Lagi-lagi kami cuma menemukan sarang bandit dan membasminya. Ada beberapa perempuan muda yang disekap, tapi tidak ada putri Manur di antaranya.”

“Perdagangan manusia, ya? Nagrasala memang ancaman terbesar kita. Perhatian negara jadi terpusat kepada mereka, sehingga kejahatan yang jarang terjadi seperti itu kadang terbengkalai…” Raja sedikit memijat keningnya. “Ah… Maaf, aku malah jadi mengeluh di depanmu seperti ini.”

“Tak apa, Pak,” jawab Daru, tanpa dibuat-buat. “Justru saya yang minta maaf karena tak kunjung bisa menemukan putri Manur.”

Raja kembali memakan sate ususnya dengan khidmat. “Itu bukan salahmu. Informasinya saja yang salah. Kau hanya menjalankan tugas. Lagipula, perbuatan kalian membasmi bandit-bandit itu sangat membantu negara kita. Kalian memberi harapan baru kepada perempuan-perempuan yang diculik. Aku benar-benar berterimakasih karena itu.”

Daru tercenung. Dia tidak memandang seperti itu. Bagaimanapun, kontribusinya kepada negara begitu kecil. Ya, menyelamatkan perempuan-peremuan itu memang tugas mulia, tapi dampaknya nyaris tak terlihat. Tak ada yang berubah. Negara masih berjalan seperti biasa. Nagrasala masih melakukan kegiatannya.

“Aku harus pamit sekarang.” Raja berdiri, mengambil sisa sate ususnya dari piring, lantas melambaikan tangan kepada pemilik warung. “Minta daunnya ya, Kisanak.”

Daru ikut berdiri, tersenyum melihat tingkah yang samasekali tidak menunjukkan keningratan itu. Sisi lain ini membuat Daru menyadari satu hal: sesakti apa pun raja Narekta, beliau tetaplah manusia. Beliau tetap butuh rekreasi, kadang frustasi dan mengeluh. Ya, sama seperti dirinya.

“Satu lagi,” kata Raja yang mulai membungkus sendiri makanannya. “Jangan sampai kau kehilangan tawa dan senyummu itu, Daru. Seberat apa pun cobaan yang terjadi kepadamu. Aku yakin itu akan membantumu melewatinya.”

Tentu saja Daru membalas ucapan itu dengan senyuman yang lebih lebar.

[1] Minuman dengan bahan berupa campuran rempah-rempah yang tampak mirip sampah. Memiliki rasa manis dan pedas dengan warna merah cerah dan aroma harum. Merupakan minuman khas Yogyakarta.