7

Saat ini.

Daru membuka mata. Rangka bagian dalam atap ijuk yang asing menyambut pandangannya. Saat menengok ke kanan dan kiri pun, ia tak mengenali dinding anyaman bambu kusam yang mengelilingi dipan reyot tempatnya berbaring.

Daru memegangi kepalanya, yang dihinggapi sensasi melayang. Ya, dia memang bertanya-tanya di mana dirinya sekarang. Namun, ada pertanyaan-pertanyaan lain yang muncul di kepalanya. Pertanyaan-pertanyaan yang terasa jauh lebih penting. Dari sekian banyak kenangan, mengapa pertemuan dengan raja di warung itu yang muncul dalam mimpinya? Apakah ini artinya dia harus tetap tersenyum? Setelah rekan-rekanmu dibantai? Setelah membuat Jaka terbunuh? Setelah dikhianati secara kejam oleh orang yang dicintainya? Setelah tahu orang itu ternyata anggota Nagrasala?

Daru menarik napas panjang, berusaha menekan degup jantungnya yang meliar. Pertanyaan-pertanyaan itu dia tekan dalam hati. Sekarang, dia harus mengetahui dirinya ada di mana terlebih dahulu, sebelum memikirkan langkah selanjutnya.

“Ugh!” Baru saja akan bangkit, Daru mengerang hebat. Saat meraba luka-luka di sekujur tubuhnya, dia merasakan bebatan kain yang halus.

Sebaris derit terdengar dari sudut ruangan mungil itu. Daru langsung menatap pintu, waspada akan kemungkinan terburuk.

“Desahanmu mengundangku ke sini,” ujar seorang wanita muda yang baru membuka pintu. “Selamat malam, Daru.”

Sendi-sendi tubuh Daru seolah membeku. Wajah wanita itu tak asing baginya. Sempat terbersit sebuah kesimpulan. Akan tetapi, Daru tak memercayainya. Mana mungkin seorang ningrat memakai sanggul sederhana yang dipadu kebaya ungu dengan potongan dada rendah seperti wanita ini? Selendang kuning yang terbebat di pinggangnya juga terlalu kusam.

“Putri Manur?” Kendati demikian, nama itu tanpa sengaja tetap terceplos dari mulut Daru.

Manur menaruh gelas bambu berisi air dan satu ubi jalar bakar ke meja kecil di dekat dipan. “Aku bukan putri. Sekarang namaku Laras.”

“Putri Manur?” ulang Daru, membelalakkan matanya. Apa maksudnya ini? Setelah bertahun-tahun dicarinya, sang putri justru mendatanginya seperti ini?

Manur berdecak kesal, balas mendelik. “Laras.”

Daru buru-buru duduk, tak memedulikan perih menyengat yang merajam tubuhnya. “Kemana saja kau? Apa kau tidak tahu kami begitu mengkhawatirkanmu? Ayahmu…”

Manur cepat-cepat menutup mulut Daru dengan tangannya. Wanita itu pun menempelkan jarinya ke bibir. “Kau tenanglah dulu. Kalau kau sudah tenang, kita baru bicara.”

Otak Daru mencocokkan fitur-fitur wajah wanita itu dengan kenangannya tentang Manur. Setelah yakin, ia mengatur napas, menahan emosi yang sudah begitu meluap di dadanya. Kalau tidak seperti itu, dia tak bisa berbincang dengan baik.

Manur duduk di sebuah bangku dengan berpangku kaki. Pahanya yang mulus sedikit tersingkap dari belahan bawahan jariknya.

Daru segera mengalihkan pandangannya ke wajah Manur. Melihat sahabat masa kecilnya justru membuang muka, Daru merasa perutnya seperti diremas. Di mata Daru, wanita itu terlihat seperti menghindarinya.

“Kau tak mau bicara? Setelah selama ini?” tanya Daru pelan.

Manur tersenyum getir. “Kau tak pantas bicara seperti itu. Kau sendiri yang meninggalkan aku duluan.”

“Tolong, jangan mengubah arah pembicaraan…”

“Sekarang sudah malam. Aku capek dan ingin cepat istirahat. Beda denganmu yang tidur pulas seperti babi kekenyangan sampai satu hari penuh,” potong Manur cepat, memijati keningnya. “Kita tunda dulu basa-basi busuknya. Sekarang kau pasti sudah tahu Catra bergabung dengan Nagrasala, kan? Padahal dia mantan anggota penjaga kerajaan. Kau pasti tahu apa artinya ini.”

Daru tercekat. Kedua tangannya langsung mengepal erat. “Nagrasala sudah menyusup ke istana.”

“Benar sekali.”

“Tak hanya Catra buktinya. Aku juga melawan sesame pengguna karambit. Kau tahu, di pulau ini, yang menggunakan karambit hanyalah pasukan Narekta. Pihak keprajuritan negara kita ingin menambah jenis senjata yang mematikan. Dipilihlah karambit yang berasal dari negara lain di seberang samudra. Mereka sampai mendatangkan guru dan pandai besi dari sana.” Daru menelan ludah. “Yah, barangkali Nagrasala punya guru karambit sendiri, tapi aku sulit memercayainya.”

Manur kembali memijati keningnya. “Kita masuk ke intinya saja. Sebenarnya, tujuan utama Nagrasala sejak dulu sama saja: menumbangkan raja. Untuk apa? Tentu saja untuk menguasai negeri ini.”

Kening Daru berkerut. “Itu salah satu teori yang beredar. Tapi tetap saja, aku tak mengerti mengapa mereka membunuhi orang secara acak. Korban-korban mereka tak ada sangkut-pautnya satu sama lain. Tak ada pola. Semuanya acak. Sekedar teror? Aku tak yakin. Kalau ingin menumbangkan raja, mengapa tak langsung menyerang istana saja?”

“Sebanyak apa pun mereka, masih tak sebanding dengan kesaktian raja kita itu. Hidupnya saja sampai ratusan tahun.”

“Ya, beliau begitu sakti. Aku pernah melihat beliau menghentikan hujan.”

Manur tertawa sinis. “Kabarnya, air seninya juga bisa menyembuhkan penyakit.”

“Itu ucapan yang tak pantas untuk ayah sekaligus rajamu, Putri.” Daru terkejut kata-kata seperti itu bisa keluar dari mulut seorang putri raja.

“Sudah kubilang, jangan panggil aku Putri.” Manur sedikit berdecak. “Dan terserah aku mau bilang apa tentangnya. Ini mulut, mulutku sendiri.”

Daru sedikit menggelengkan kepala. “Kenapa kau aneh begini? Sampai menjelek-jelekkan ayahmu seperti itu?”

“Baiklah, intinya raja kita ini sakti sekali, kan?” Manur jelas sekali mengubah arah pembicaraan. “Untuk bisa sejajar dengan raja, Nagra—pemimpin Nagrasala itu—perlu tumbal yang begitu banyak.”

Meski masih ingin mempertanyakan alasan Manur menjelekkan raja, Daru menahan diri. Sekarang waktunya mengumpulkan informasi, bukan bertengkar. “Tumbal? Bukannya Nagrasala jarang menculik? Mereka biasanya langsung membunuh.”

Daru membayangkan ritual-ritual aneh, dengan seseorang yang diikat di altar, pembacaan mantra-mantra, serta pengambilan darah.

“Pikiranmu seperti lubang hidung anak kecil, sempit sekali, Daru. Ah, itu bukan perumpamaan yang bagus.” Tawa getir meluncur dari mulut Manur. “Sekarang kutanya, apa kau pernah memeriksa senjata Nagrasala? Apakah kau bisa merasakan perbedaan antara senjata itu dengan senjata biasa?”

“Tidak. Sebelum ini aku bergabung ke satuan yang bertugas khusus mencarimu. Aku tak pernah berhadapan dengan Nagrasala. Jadi, aku tak punya kesempatan memegang senjata mereka.”

Manur mendengus. “Bisakah kita tidak membicarakan tentang kepergianku? Tenang saja, aku tidak kehilangan keperawanan atau bagaimana, kok.”

Meski omelan itu aneh dan tidak pada tempatnya, Daru kembali menahan diri.

Manur menggaruk-garuk rambutnya gusar. “Ah, daripada panjang lebar, kita masuk ke intinya saja. Begini, setelah digunakan membunuh orang, senjata-senjata itu menghisap ‘energi kehidupan’ dari orang yang terbunuh itu.”

Kening Daru berkerut. “Energi kehidupan?”

“Arwah.” Manur memejamkan matanya. “Arwah-arwah itu dikumpulkan untuk meningkatkan kesaktian Nagra.”

Kepala Daru seperti dihantam keras. Sebuah kesimpulan muncul di otaknya. Kesimpulan yang lebih buruk dibandingkan kematian. Pertahanannya jebol. Ia sudah tak bisa mengendalikan napasnya lagi. Ini lebih buruk daripada perkiraannya. Kalau perkataan Manur benar, apakah ini berarti kedua orangtuanya tak bisa beristirahat dengan tenang? Apakah mereka hanya menjadi bagian dari alat Nagra untuk melakukan kejahatan?

“Pokoknya, selama beratus-ratus tahun, usahanya selalu berhasil digagalkan. Maka dari itu, sekarang dia mulai mengubah rencana. Nagrasala mulai menyusup ke istana. Tak hanya itu, sekarang mereka juga punya sumber daya lebih untuk melakukan pembantaian. Akhir-akhir ini korban mereka semakin banyak saja. Sepertinya, mereka ingin membuat versi Nagra yang terkuat, yang bisa mengalahkan raja.”

Daru menggeram pelan. Isi kepalanya seolah meluap. “Aku tak akan membiarkan mereka mengganggu raja lebih dari ini! Apa mereka tak mensyukuri sumber daya alam yang melimpah? Apa mereka tak menyadari kalau rajalah yang memasang pelindung tak kasat mata untuk menghalau dedemit dari luar? Tak bisakah mereka melihat kalau negara kita tak didatangi bencana alam!? Raja itu anugrah untuk kita!”

“Tenanglah Daru.” Manur lagi-lagi memijati keningnya. “Yah, kadang kita tidak tahu apa yang ada di pikiran orang-orang jahat seperti mereka.”

Daru susah payah mengendalikan napasnya kembali. Dia tak boleh begini. Emosi berlebih hanya akan membuat pikirannya berkabut, mengurangi kemampuannya mengambil keputusan.

“Kau tidak berubah, ya. Sampai sekarang masih sangat memuja ayahku,” desah Manur, tersenyum lembut.

“Kau juga tidak berubah.”

Manur meraba-raba dada, pinggang, dan yang terakhir pinggulnya sendiri. Kemudian, dia memijit-mijit kedua pipinya. “Oh, ya? Aku rasa tetap banyak yang berubah dariku.”

Wajah Daru seperti dihantam hawa panas, tapi dia menjaga ekspresinya agar terlihat biasa. “Bukan yang begitu maksudku…”

“Kita kembali lagi ke obrolan kita,” sela Manur, lagi-lagi memijati kening. “Seperti yang kubilang tadi, kekuatan kelompok Nagrasala sekarang ini sangatlah besar. Anggotanya jadi banyak sekali. Namun, ayahku masih percaya kalau hal itu bisa ditanggulangi. Dia juga tak percaya kalau Nagrasala sudah menyusup ke pemerintahan. Bahkan dia marah waktu aku memberitahunya. Yah, mungkin dia terlalu jumawa, merasa sudah berkali-kali mengalahkan rencana Nagrasala, jadi…”

“Tunggu, kau sudah tahu daridulu, tapi tak mau cerita kepadaku?”

“Mau bicara bagaimana kalau orangnya sudah pergi?”

Sebelum Daru bisa membantah, Manur berbicara lagi dengan lebih cepat, “Singkatnya, aku kabur dan memutuskan untuk bergabung dengan sebuah perkumpulan yang ingin membasmi Nagrasala.”

Perkataan Manur itu langsung mencerahkan otak Daru. “Ah, apakah itu perkumpulan yang kadang terlihat di tempat munculnya Nagrasala? Yang katanya pasukan rahasia pemerintah?”

“Kau yang seorang prajurit pasti tahu kalau kami tidak berhubungan dengan pemerintahan… Agak kurang tepat sebenarnya. Kami ini ‘terhubung‘ dengan pemerintah lewat mata-mata yang ditempatkan di sana. Tapi, kalau secara resmi tentu tidak. Dan satu lagi, kegiatan kami tak hanya melawan Nagrasala saat muncul saja, tapi lebih dari itu. Banyak orang yang tak tahu karena selain kami bertindak sembunyi-sembunyi, orang-orang Nagrasala di pemerintahan juga menekan informasi tentang keberadaan kami.”

“Kalau begitu, apakah kau sebelumnya sudah tahu tentang rencana pembantaian satuan kami?” tanya Daru penuh selidik.

“Ya.” Manur menghela napas panjang. “Maaf, kami terlambat.”

Daru menekan emosinya yang lagi-lagi meluap. Sekali lagi, dia tak punya kemewahan untuk terus meratap. “Jadi, apa yang akan kau lakukan sekarang?”

“Aku punya rencana untuk mengalahkan Nagra, walau kemungkinannya sangatlah kecil. Kalau Nagra mati, kelompok itu akan kehilangan arah. Mereka tak punya orang yang bisa membunuh raja, padahal itu adalah tujuan utama Nagrasala. Mereka akan melemah dan mudah dihancurkan.”

“Memangnya rencanamu itu apa?”

Manur sudah membuka mulut, tapi segera menutupnya kembali. Memejamkan mata, ia pun berdiri, berucap pelan, “Aku akan memberitahumu kalau kau mau bergabung dengan kami. Aku sudah melihat hasil dari pertarunganmu. Dengan adanya orang sepertimu, kami akan sangat terbantu.”

“Begitu, ya.” Daru sedikit berdehem. “Kenapa tidak dari dulu mengajakku? Kenapa harus sekarang?”

“Jujur saja, dulu aku belum bisa memercayimu. Ada kemungkinan, kau terkena pengaruh Nagrasala di dalam keprajuritan. Asal kau tahu saja, Nagrasala sudah cukup dalam mencengkram lembaga keprajuritan Narekta.” Manur tersenyum lebat. “Tapi, melihat kau hampir menjadi daging cincang seperti ini, aku jadi yakin kau tidak terlibat dengan mereka. Maaf, kalau aku membuatmu tersinggung.”

“Ah, alasan yang cukup masuk akal,” timpal Daru, walau dalam hati tak bisa menerimanya. Dia harus sampai nyaris mati dulu, baru sahabatnya ini percaya? Serenggang itukah hubungan mereka sekarang? “Yah, kita memang sudah bertahun-tahun tidak bertemu.”

“Maaf….”

Daru menarik napas. “Aku tak bisa langsung menjawab ajakanmu itu. Aku perlu waktu.”

“Baiklah. Tapi ingatlah, kau tidak akan bisa kembali menjadi prajurit lagi. Kau ini sudah diincar. Nagrasala akan selalu menyelesaikan misinya.”

“Misi untuk membasmi orang-orang yang punya motivasi kuat untuk menumbangkan mereka, kan?” tanya Daru dengan suara tertahankan.

Manur menguap begitu lebar, sama sekali tak mempertahankan gambaran seorang putri raja. “Makanlah, istirahatlah dulu. Besok, kita lanjutkan obrolannya.”

“Tunggu,” cegah Daru ketika Manur akan beranjak.

“Ada apa?”

Daru tercekat. Masih banyak pertanyaan yang medesak di dadanya. Namun, ia bisa melihat gurat-gurat lelah di wajah Manur. Akhirnya, Daru terpaksa melemparkan pertanyaan yang paling ringan. “Selama ini, kau tidak berdiam diri, kan? Kau juga berlatih beladiri, kan? Tubuhmu sedikit berbeda dari yang dulu.”

Tawa keras Manur langsung meledak. “Sedari tadi kau mengamati otot-ototku, ya? Sepertinya aku baru pernah bertemu lelaki yang justru memperhatikan otot, bukan yang lainnya.”

Daru cuma bisa menggaruk rambut, tak tahu harus menanggapi apa. Manur memperlihatkan otot lengannya yang memang lumayan kekar, kemudian keluar sambil terus tertawa.

Daru meraih gelas bambu dari meja dan meneguk isinya, membasahi kerongkongannya yang kering. Gerakan itu sederhana, tapi sudah cukup untuk membuatnya meringis. Setelah itu, ia mengupas ubi pemberian Manur dan mulai memakannya, kendati napsu makannya benar-benar tak ada. Memulihkan kondisi adalah salah satu tugas prajurit. Kalau ada kesempatan, dia tetap harus makan, minum, dan istirahat. Kalau tak melakukan hal-hal itu, dia tak akan bisa menyelesaikan misi dengan maksimal.

Namun, saat ini dia tak punya misi apa pun. Kehidupannya menjadi prajurit sudah berakhir. Tentu saja Daru terpukul akan hal itu. Dia sudah berjuang keras untuk mencapai tahap ini. Tapi mau bagaimana lagi? Mengeluh seperti apa pun, keadaan tak akan berubah.

Daru kembali menggigit ubi yang agak pahit dan lumayan keras itu. Barangkali, dia memang harus memikirkan tawaran Manur.