Tujuh tahun yang lalu.
Bunyi guyuran hujan yang deras menembus dinding kayu bangunan itu. Ditemani hawa dingin dan aroma tanah bercampur air, Daru memasukkan baju terakhirnya ke sebuah kantong kain. Hari ini, kehidupannya sebagai pengurus istal kuda istana akan berakhir.
Pintu ruangan itu menjeblak terbuka. Manur masuk dengan tubuh, rambut dan wajah yang menetes-neteskan air. Tanpa mengatakan apa pun, dia mengeluarkan baju-baju Daru dari kantong dan melemparnya ke lantai begitu saja.
“Kau akan tetap di sini,” ujarnya dengan suara serak.
Daru berjongkok, memunguti baju-baju itu tanpa melihat sang putri samasekali. “Tenang saja, Putri. Aku yakin banyak orang-orang istana banyak yang mau menemani Putri.”
“Mereka tak bisa kuanggap sebagai teman. Bahkan untuk mengobrol biasa saja, mereka menahan diri, terlalu segan kepadaku… Aku… Aku…” Manur menghapus cairan bening di kedua ujung matanya. “Kenapa kau harus pergi? Karena masih tak tahan dengan orang-orang istana yang iri dan memandang rendah dirimu?”
“Bukan…” Daru menggeleng pelan, mengambil kain pembersih dari kantung barangnya dan menyerahkannya kepada Manur. “Sebelumnya, keringkan dulu dirimu.”
Manur menerima kain itu, menggunakannya untuk menutupi wajah.
“Di istal ini, aku jauh dari orang-orang seperti mereka. Aku bersyukur raja menyadari ketidak-nyamananku dan memindahkanku ke sini.” Daru mengembangkan senyum tipis. “Yah, pak Dipa yang menjaga istal ini memang sedikit galak, tapi dia mengajariku banyak hal…”
“Lalu, kenapa, Daru?” potong Manur, menurunkan kain itu dari wajahnya, memandangi Daru dengan mata yang dibanjiri cairan bening.
Senyum Daru memudar. Otot rahangnya menegang. “Selagi aku bernyaman-nyaman di sini, Nagrasala terus membasmi orang-orang tak bersalah. Bertahun-tahun, aku memikirkan hal itu, Putri. Banyak yang kehilangan orang terdekatnya seperti aku dulu. Maka dari itu, aku merasa…”
“Kau hanya merangkai kata-kata yang terdengar suci, Daru. Sebenarnya, kau ini masih begitu dendam pada mereka, kan?” potong Manur. Nada bicaranya mulai meninggi. “Aku mengerti, Daru. Aku juga merasakannya. Aku ingin menghabisi orang yang membunuh ibuku. Tapi, pada akhirnya aku sudah bisa menerima kenyataan. Aku tak lagi terperangkap di masa lalu. Aku yakin, kau juga bisa begitu. Aku akan membantumu, Daru.”
Daru memejamkan matanya. “Hari-hariku dilalui dengan harapan agar Nagrasala hancur, Putri. Dengan menjadi prajurit, aku tak sekedar berharap lagi, tapi bisa berjuang untuk mewujudkannya.”
“Memangnya, tambahan satu orang akan memberi dampak lebih?”
“Mungkin tidak sekarang. Mungkin nanti setelah aku menjadi perwira tinggi. Kalau sudah duduk di jabatan itu, aku akan punya pengaruh dalam pembasmian Nagrasala. Aku bisa membuat perubahan.“ Daru mengulurkan tangannya, masih saja tak memandang sang sahabat. “Sepertinya obrolan kita sudah cukup sampai di sini. Biar Putri saya antar kembali ke istana. Kalau terus begini, Putri bisa masuk angin.”
Manur menepis tangan sahabatnya itu. “Kau tahu Daru, alasan utamaku bisa bertahan setelah kepergian ibuku tak lain adalah karena dirimu. Kau selalu ada di sisiku, mendengar keluh kesahku, menjadi sahabatku…”
“Maaf, tapi keputusan saya sudah bulat, Putri,” sela Daru, akhirnya menatap mata sang putri.
Beberapa pelayan berpayung muncul di depan pintu, melongok ke dalam bangunan.
“Demi Dewa, putri Manur!? Anda sampai basah seperti ini! Nanti Anda bisa sakit!” Seorang pelayan tergopoh masuk, langsung menuntun Manur. Sang putri tak melawan, hanya diam dengan kepala menunduk dalam-dalam.
Tak terdengar suara manusia lagi. Daru mengalihkan pandangannya kembali, menahan berbagai hal yang begitu mendesak dari dadanya. Dia tak mau ucapannya malah menambah luka di hati sahabatnya itu.
Begitu Manur keluar dan pelayan menutup pintu, Daru mengusap wajahnya. Matanya disengat panas. Pandangannya mulai mengabur. Jantungnya seperti disayat-sayat. Tentu saja berada di samping Manur merupakan sesuatu yang begitu berharga baginya. Namun, dorongan di hatinya ini tak bisa dikompromi lagi.
Terdengar ketukan dari pintu, disusul suara yang sudah Daru kenal, keras melawan gemuruh hujan. “Bolehkah aku masuk!?”
Daru cepat-cepat menyeka cairan bening di kedua ujung matanya, lantas membukakan pintu. Mendapat senyuman dari raja, Daru sedikit membungkuk, memberikan adat penghormatan.
“Kalian tunggu saja di sini,” pinta raja kepada para pengawal pembawa payung yang membuntutinya. Setelah masuk, beliau segera menutup pintu. Dengan beskap berhias jahitan-jahitan benang emas, penampilannya begitu mencolok di antara dinding kayu dan perabotan-perabotan sederhana. “Sepertinya Manur marah. Aku barusan berpapasan dengannya.”
Daru membungkuk lagi. Dadanya seperti baru dihantam keras-keras. “Saya minta maaf yang sebesar-besarnya, Yang Mulia. Saya tidak bermaksud membuat Putri kecewa.”
“Bisa kau ulangi lagi alasanmu keluar dari sini?” Bukannya marah, raja malah tersenyum tipis.
“Saya ingin melakukan sesuatu yang lebih, Yang Mulia. Kelompok Nagrasala masih berkeliaran bebas dan terus melakukan pembantaian. Saya ingin berpartisipasi dalam usaha membasmi mereka.”
Raja berbalik, membuka jendela ruangan, membuat gemuruh makin keras. Pandangannya terhujam ke padang rumput yang masih saja dihantami ribuan tetes hujan. “Maafkan aku, Le. Karena ketidak-becusanku, kelompok jahanam itu tak kunjung musnah bahkan sampai ratusan tahun. Sampai-sampai anak muda sepertimu merasa harus menanggung beban seperti itu.”
“Ini bukan salah Yang Mulia,” timpal Daru, sedikit menggigil karena angin yang masuk. Ia tak rela raja meminta maaf kepadanya. Beliau seharusnya memikirkan masalah yang lebih besar, bukannya mengkhawatirkan perasaan anak kecil seperti dirinya. “Saya tahu Yang Mulia sudah berusaha sebaik mungkin selama bertahun-tahun.”
“Sayangnya, usahaku selalu gagal.” Raja sedikit tertawa getir, menghadap Daru kembali. “Ah, aku juga berterimakasih padamu. Karena kaulah, Manur bisa melewati hari-harinya dengan baik. Tanpamu, aku tak tahu apa yang terjadi kepadanya. Dia itu sangat dekat dengan ibunya.”
Mendapat pujian seperti itu dari seorang raja, Daru sampai tak bisa berkata-kata. Ia cuma bisa menunduk dengan tubuh bergetar. Ia merasa tak pantas menerimanya. Raja telah memberinya terlalu banyak, sementara yang dilakukannya cuma mengurus kuda dan menemani putri.
Raja menepuk pundak Daru. “Enam belas tahun, ya? Walaupun diperbolehkan oleh negara, hampir tidak ada orang yang ikut pelatihan prajurit dengan usia semuda itu. Latihannya terlalu berat untuk anak seusiamu. Aku yakin kau tahu hal itu. Dan hebatnya, kau tetap saja mendaftar. Kau benar-benar ingin menghancurkan Nagrasala, ya?”
“Benar, Yang Mulia,” jawab Daru tegas.
“Apa kau tahu sekarang aku melihat siapa?” Bibir raja membentangkan senyum lebar. “Aku tidak melihat anak kecil yang dulu termenung sedih setiap hari. Sekarang, aku melihat seorang lelaki tangguh. Kau akan baik-baik saja di pelatihan prajurit, aku yakin sekali.”
Daru cuma bisa menunduk. Lagi-lagi dirinya dipuji raja? Beliau juga yakin akan tekadnya? Seumur-umur, Daru tak pernah membayangkan hal seperti ini bisa terjadi dalam hidupnya.
“Aku pamit dulu. Sebenarnya aku ingin mengantarmu, tapi masih banyak hal yang harus kuurus.“ Raja kembali menepuk pundak Daru. “Untung saja sekarang cuaca cerah. Sangat tepat untuk bepergian.”
Daru yang baru memberi penghormatan langsung terhenyak. Apa telinganya tak salah? Ke mana perginya gemuruh hujan itu? Saat menoleh ke jendela pun, wajahnya merasakan hangatnya sinar matahari. Bulu kuduknya seketika meremang. Kenapa awan mendung tak terlihat lagi? Sejak kapan rintik-rintik hujan itu lenyap? Inikah salah satu kesaktian raja?
“Kau berlatihlah sungguh-sungguh. Jaga dirimu baik-baik. Manur tak perlu kau khawatirkan. Biar aku yang mengurusnya. Toh, kalian tak benar-benar terpisah. Istana ini selalu terbuka untukmu. Aku juga akan membawa Manur kalau nanti berkunjung ke tempat pelatihan.”
“Ba… Baik, yang mulia. Terimakasih banyak.” Daru kembali memberi penghormatan. Gerakannya begitu kaku. Ia masih belum mengerti apa yang baru saja terjadi.