9

Saat ini.

Daru terbangun di kamar beratap ijuk itu lagi. Cahaya mentari dari celah-celah anyaman bambu memaksanya menyipitkan mata. Setelah tadi malam tidurnya ditemani kenangan tentang pertemuannya dengan raja di sebuah warung, barusan dia memimpikan momen sebelum dia meninggalkan istana. Daru masih belum mengerti mengapa bayangan kejadian-kejadian itu kembali mendatanginya.

“Kau yang bilang sendiri, kau tak pernah bertemu dengannya lagi selama bertahun-tahun!” Teriakan seorang pria menembus dinding kamar Daru.

“Bukan berarti kita tidak bisa memberinya kesempatan!” Sekarang yang terdengar adalah seruan Manur.

Sedikit mengerang, Daru susah payah turun dari tempat dipan. Kondisi tubuhnya memang belum membaik. Namun, dia harus mengetahui situasi sesegera mungkin, sebagai dasar mengambil keputusan.

Begitu membuka pintu, Daru mendapati yang Manur tengah berdiri menghadap dinding, bersedekap dalam diam. Di sisi lain, seorang pria bertubuh kekar berjalan keluar. Pria itu keburu membanting pintu sebelum Daru bisa melihat wajahnya.

“Selamat pagi,” sapa Daru, sedikit terpincang mendatangi Manur.

“Demi Dewa, Daru! Bisa-bisanya kau berjalan dengan kondisi seperti itu!?” Mata Manur sedikit melebar. “Prajurit terpilih Narekta memang beda.”

“Aku bukan prajurit terpilih.” Daru memajang senyumnya, duduk di tikar daun lontar dengan dibantu Manur. “Siapa tadi? Temanmu?”

“Begitulah.”

Ada satu hal yang lupa kutanyakan tadi malam.” Daru berusaha mengambil posisi duduk yang nyaman. “Jadi, kau…”

“Apakah kau ingin bertanya tentang Nagrasala atau perkumpulan yang kuikuti. Maaf, kami sedang kesusahan. Aku pusing memikirkan semuanya,” sela Manur, memijati keningnya. “Nagrasala makin gencar mencari keberadaan kami. Banyak juga yang jadi mundur karena takut… Maka dari itu, bisakah kita tidak membahas hal itu dulu?”

“Baiklah.” Daru menahan diri. Ia tak boleh terburu-buru. Bisa-bisa Manur yang sudah tertekan malah jengah dan menghindarinya. Nanti dirinya malah tak mendapat informasi apa-apa. “Kalau begitu, Ah, aku juga lupa mengatakan ini tadi malam. Aku senang melihatmu baik-baik saja.”

Manur membisu, mengamati Daru dari atas ke bawah. “Kau tahu… Maaf, kalau terdengar kurang pengertian. Tapi setelah kejadian mengerikan seperti itu, sekarang kau terlihat baik-baik saja. Terlalu baik malah. Aku tidak membicarakan tubuhmu yang kacau-balau begitu. Maksudku, sekarang pembawaanmu terlihat biasa saja. Tadi malam pun, aku hanya melihat ekspresi marah dan sedihmu sekilas-sekilas saja. Lihat, sekarang kau malah tersenyum.”

Daru terkekeh pelan. “Seorang prajurit memang dituntut bisa mengendalikan emosi… Tak hanya itu, ayahmu dulu juga mengingatkanku untuk tetap tersenyum dalam situasi sekelam apa pun. Beliau berkata, itu akan membantuku melewati cobaan berat.”

“Dan kau menurutinya?” Manur tertawa sinis. “Padahal itu artinya kau memakai topeng. Bisa-bisanya seorang raja memberi nasihat segoblok itu?”

Kening Daru mengernyit. “Kenapa kau menjelekkan ayahmu sendiri seperti itu…”

“Iya, iya. Aku minta maaf,” potong Manur cepat, kembali memijati keningnya. “Aku baru saja bertengkar. Bertengkar itu bukan makanan enak. Aku tak mau bertengkar denganmu.”

Daru makin tak mengerti. Di istana dulu, paling-paling Manur mengeluhkan ayahnya yang jarang bermain dengannya. Sesuatu yang wajar diucapkan seorang anak. Berbeda dengan tadi malam dan barusan, Manur sampai mencaci raja.

Daru berdehem. “Kau marah karena ayahmu tidak percaya kalau Nagrasala…”

Sebelum ucapan Daru selesai, Manur berdiri sambil mendengus keras. Daru langsung menutup mulut, sadar akan kesalahannya. Manur tak ingin melanjutkan topik ini lagi.

“Mau kemana, Ndok? Makanannya sudah jadi.” Seorang wanita tua, bertubuh pendek, berambut putih dengan sanggul kecil, mengenakan kebaya berwarna hitam, juga mengikatkan selendang kuning ke pinggang seperti Manur, masuk ke ruangan itu dari pintu lain. Tangan keriputnya membawa tiga pincuk[1] tiwul.[2] “Galih pergi lagi, kan? Dia pasti akan lama perginya, lebih baik kita makan dulu.”

Daru menerima satu pincuk dari wanita tua itu. “Nama saya Daru, terimakasih sudah merawat saya, Mbok.”

“Namaku Wuri, Le. Bukan aku yang merawatmu, tapi Manur. Dia yang mengobati lukamu. Tangan tuaku ini gemetar terus, kurang terampil menjahit luka.” Si wanita tua itu tersenyum, memberikan satu pincuk kepada Manur. “Ayo makan. Maaf cuma ada seperti ini. Tidak ada lauknya.”

Meski nafsu makannya belum juga kembali, Daru tetap memaksakan diri untuk menyuap makanan itu ke mulutnya

“Apakah kau sudah memikirkan tawaran kami untuk bergabung?” tanya Wuri, memecah keheningan canggung di antara Manur dan Daru.

“Ah…” Daru memandang Manur, yang masih saja makan, seolah tak peduli keadaan sekitarnya.

Tadi malam Daru berkata Manur tak berubah, tapi sekarang ia tak yakin. Ada sesuatu yang lain dalam pancaran mata sang putri dan Daru tak tahu apa itu. Sesuatu yang biasanya Daru temukan di mata prajurit yang sudah banyak terjun ke misi berbahaya. Misi-misi yang membekaskan kenangan buruk.

Tragedi apa saja yang membayangi Manur sejak bergabung ke perkumpulan itu?

“Dengan diam dan menikmati pemandangan diriku yang sedang makan, kau tidak akan memberi jawaban kepada mbok Wuri, Daru,” ceplos Manur dengan mulut penuh, samasekali tak melihat Daru.

“Ya, aku akan bergabung dengan kalian,” jawab Daru tegas. Dia sudah memikirkan hal ini. “Jadi, apa rencana kalian sekarang?”

“Tidak semudah itu,” ucap pria yang tadi keluar setelah bertengkar dengan Manur, baru saja kembali. “Kami belum bisa memercayaimu.”

Daru memperhatikan sekilas tubuh kekar pria yang memakai rompi dan udeng berwarna biru tua itu, kemudian menatap wajahnya yang dihiasi garis-garis tegas. Tersenyum ramah, Daru berdiri, mengulurkan tangan. Namun, pria itu malah berjalan melewati Daru begitu saja, memanggul jaring yang berisi beberapa ekor ikan.

“Aku tak tahan lagi dengan kelakuanmu, Mas Galih.” Serta-merta, Manur meremas pincuknya yang sudah kosong. “Aku kan sudah bilang, dia itu bukan orang asing! Aku memercayainya!”

Galih berhenti, mendengus keras.

“Baiklah.” Daru berkata sebelum terjadi pertengkaran lagi. Daru tak mempermasalahkan kelakuan Galih, yang pasti hanya ingin mencegah informasi jatuh ke tangan sembarang orang. “Kalau Mas Galih belum bisa memercayaiku, aku tidak usah diberitahu rencana kalian dulu juga tidak apa-apa. Tapi, aku akan tetap mengikuti perkumpulan ini.”

Galih angkat kaki begitu saja menuju ruang belakang. Wuri langsung bangkit dari duduknya.

“Biar aku yang berbicara kepadanya,” desah wanita tua itu.

Manur merebahkan dirinya ke tikar, mulai mengorek sisa makanan di sela gigi dengan jarinya. “Kau yakin ikut dengan kami? Itu artinya kau memercayaiku? Bukannya kita bertahun-tahun tidak berjumpa?”

Daru terkekeh pelan, kembali duduk. Dia baru sadar, kelakuan anti-ningrat itu ternyata begitu dirindukannya. “Tentu saja. Dari yang kulihat, kau tetaplah Putri Manur.”

“Apa kau tak berpikir…” Manur menelan ludah. “…mungkin saja aku seperti rekanmu yang mengkhianatimu itu?”

Hawa dingin seolah menerpa tengkuk Daru. “Oh, kau tahu kalau rekanku sendiri yang mengkhianatiku?”

“Aku mengetahuinya dari mata-mata di istana. Ada rencana untuk membentuk kesatuan yang berisi orang-orang yang punya dendam pribadi kepada Nagrasala. Mereka dianggap ancaman. Kemudian, Nagrasala memasukkan salah satu anggota mereka sendiri ke satuan itu… Ah, maaf…” Lagi-lagi Manur menelan ludah. “Aku juga mendengar igauanmu saat masih belum sadar. Kau menyebut namanya, bertanya mengapa dia mengkhianatimu.”

Daru tak tahu harus menanggapi seperti apa. Dia mati-matian menekan ekspresi gila Catra dan adegan kematian Jaka di kepalanya. Dia tak mau jadi gila gara-gara hal itu.

“Padahal, aku sendiri yang berkata tidak ingin membicarakan hal seperti itu.” Manur menatap mata Daru lekat-lekat. “Yah, mungkin saja kau memang memercayaiku. Tapi aku yakin, kau tetap waspada, kan? Bagaimanapun, kau seorang prajurit.”

Lagi-lagi Daru tak bisa menanggapi. Ucapan Manur tersebut begitu mengena. Ya, dia tak yakin Manur akan mengkhianatinya. Bagaimanapun, wanita ini menolongnya dari ajal. Kalau memang mau membunuh Daru, sang putri pasti sudah melakukannya sejak kemarin. Daru juga belum bisa menduga-duga hal lain yang bisa dimanfaatkan darinya, selain kemampuan bertempur dan informasi yang dimilikinya. Namun, sedikit saja ada yang mencurigakan dari sahabatnya itu, Daru tak bisa tinggal diam. Ia tak ingin dikhianati lagi. Sudah cukup.

Daru tertawa dalam hati. Tadi malam dia sedih Manur baru memercayainya setelah dirinya sekarat. Sekarang, dia malah tak bisa memercayai temannya itu sepenuhnya. Alasannya bergabung pun, kalau dipikir-pikir, bukan sepenuhnya karena Manur. Bukan sekedar melindungi sahabat masa kecilnya itu. Bukan juga untuk membalas budi karena Manur dulu membantunya melewati masa-masa kelam. Ya, itu semua memang tetap menjadi bahan pertimbangannya. Tapi tetap saja, hal utama yang mendorong Daru bergabung adalah: ia merasa kalau perkumpulan itu adalah kesempatan terbaiknya sekarang, setelah dirinya tak bisa lagi menjadi prajurit.

Barangkali, dirinya bukan teman yang baik

[1] Wadah dari daun pisang yang dilipat dan disemat lidi sehingga membentuk lekukan.

[2] Makanan yang terbuat dari tepung gaplek, yakni singkong yang dikeringkan dan ditumbuk.