“Woi bajingan! Maju sini!” Memimpin sekelompok orang, satu lelaki muda mengacung-ngacungkan parangnya ke kelompok lain di ujung jalanan desa.
Kelompok lain itu membalas dengan lemparan batu. Orang-orang di sekitar situ berteriak-teriak, berusaha melerai, tetapi tak ada yang berani mendekat. Tidak, dengan wajah-wajah bengis seperti itu.
Dua kelompok itu terus mencaci-maki, kemudian berlari mendekati satu sama lain, saling mengacungkan senjata.
Tiba-tiba saja, seorang pria bercaping mendarat di antara mereka. Dia menghantamkan kedua telapak tangannya ke perut para pemimpin kelompok. Keduanya pun terpental, menerjangi anggota kelompok masing-masing. Sebagian besar dari mereka pun rubuh.
“Ada yang mau melawanku?” tanya pria bercaping itu dengan nada tenang, menaruh kedua tangannya di balik punggung.
Alih-alih kabur, para anggota kelompok justru menyerang si pria bercaping. Namun, kemampuan mereka jelas berbeda. Serangan yang mendatangi pria bercaping itu kebanyakan tak terarah. Dengan mudahnya, si pria bercaping melancarkan tendangan, pukulan telapak tangan, dan bantingan kepada mereka.
Terakhir, si pria bercaping memelintir tangan musuhnya yang menggenggam parang. Parang itu terlepas dan si pria bercaping mendorong pemegangnya sampai terjengkang. Tak memberi kesempatan, si pria bercaping menginjak dada musuhnya itu.
Sang musuh terakhir memandang bengis pria bercaping dengan mata merahnya. Dia pun berontak keras, berteriak-teriak bak binatang liar.
Si pria bercaping menyipitkan matanya. Aneh. Biasanya, dia tak perlu bertarung sampai seperti ini. Dengan serangan pertamanya tadi, mereka seharusnya mundur. Orang-orang seperti itu hanya besar di omongan saja. Tawuran pun pasti cuma modal nekat.
“Terimakasih, Kisanak.” Seorang kakek tua bungkuk mendatangi pria bercaping. “Biar kami yang mengurus mereka setelah ini.”
Si pria bercaping memandang sekeliling. Orang-orang desa sudah mulai mengurusi pemuda-pemuda yang kebanyakan tak sadarkan diri. Ia pun melepaskan pijakan dari musuh terakhir, membiarkan sekelompok orang menahannya.
“Aduh, Le! Sudah kubilang yang seperti itu tidak ada gunanya! Kalau kau mati bagaimana!?” Seorang ibu menangis tersedu-sedu, mengikuti sekelompok orang yang menggotong pria yang masih berontak itu.
“Sekali lagi terimakasih, Kisanak.” Si kakek tua bungkuk menghela napas panjang.
Si pria bercaping tersenyum ramah. “Saya hanya kebetulan lewat.”
“Sudilah Kisanak mampir ke warung jamu saya dulu.”
“Tentu saja. Itulah tujuan utama saya datang ke sini.” Si pria bercaping menoleh kepada rekannya yang sedari tadi cuma mengawasi, seseorang yang jauh lebih muda darinya dan sama-sama memakai caping. “Apit, ayo.”
“Baik.”
Mengangkat sebelah alis, si kakek mengamati tubuh pria bernama Apit itu. Sadar sedang diperhatikan, Apit hanya tersenyum.
Kakek itu terkekeh. “Ah, maaf. Tadi saya kira Kisanak ini perempuan. Baiklah, ikuti saya.”
“Tidak apa-apa, Mbah,” jawab Apit santai. Dengan wajah terlampau lembut, orang memang akan mengira dirinya perempuan, sebelum menyadari bentuk tubuhnya atau mendengar suara beratnya.
Setelah berjalan sebentar, mereka pun tiba di sebuah warung kecil di sudut jalan. Sementara kakek itu membuka lapak kayunya, si pria bercaping dan rekannya menempati satu meja panjang di halaman warung, diteduhi atap ijuk.
“Sebenarnya warung ini buka, tapi saya takut rusak lagi gara-gara tawuran,” dengus si kakek, sedikit menata bumbung-bumbung[1] jamunya. “Nah, sekarang kisanak-kisanak mau minum apa?”
“Saya beras kencur saja, Mbah,” jawab si pria bercaping.
“Saya pahitan saja,” sambung Apit.
“Sebentar, ya.” Si kakek mengambil ceret air kehitam-hitaman dari atas tungku arang membara.
Si pria bercaping tersenyum. “Jujur saja, aku tidak kuat minum pahitan, walau katanya khasiatnya banyak.”
“Ah, setiap hari saya menemukan sesuatu yang baru dari Yang …” Apit berdehem, sedikit mencondongkan kepalanya, berbisik pelan. “Maaf, saya belum terbiasa.”
“Tak apa. Tapi, ingat-ingat selalu kalau di tempat seperti ini namaku Pardi dan kau Apit.” Raja melepaskan capingnya.
“Saking terburu-burunya saya menutup tempat ini sampai lupa mematikan tungku. Untung saja tidak terjadi kebakaran,” keluh si pemilik warung. “Mereka benar-benar membuat resah.”
“Anak-anak yang tawuran tadi, apa mereka mabuk, Mbah?” tanya Pardi.
Sambil meracik, si kakek menghela napas. “Lebih parah dari mabuk, Kisanak. Mereka mendapatkan semacam serbuk yang bisa menghilangkan akal sehat, katanya lebih membuat kecanduan daripada tuak.”
“Apa serbuk itu berasal dari semacam tanaman?” Apit mengernyitkan dahi.
“Kabarnya begitu.” Si kakek keluar dari lapak sambil membawa nampan. “Tawuran tadi juga paling-paling karena mereka rebutan jatah serbuk itu.”
“Mereka membeli dari seseorang?” tanya Pardi.
“Silahkan, ini hangat jadi langsung bisa diminum.” Si kakek menaruh dua gelas bambu berisi jamu ke meja, ditambah satu lepek kecil berisi potongan gula aren untuk Apit. “Katanya, mereka mendapatkannya secara cuma-cuma dari seseorang. Aneh sekali, bukan? Buat apa capek-capek membuat candu seperti itu kalau nantinya diberikan cuma-cuma.”
“Hmmm… Benar juga. Aneh sekali.” Pardi menyeruput beras kencurnya, mencecapi sensasi sedikit pedas di lidahnya, lantas tersenyum puas. “Sesuai kabar, bahan-bahan jamu dari sini memang yang terbaik. Rasanya pas dan segar.”
“Terimakasih. Kabarnya, dulu sekali, sejak raja naik ke tahta, tumbuhan jamu di sini jadi begitu subur dan berkualitas tinggi.” Kakek itu tersenyum, tapi matanya justru berkaca-kaca. “Sayangnya, saya tak tahu sampai kapan semua ini akan bertahan. Anak-anak muda di sini kebanyakan memakai serbuk itu dan jadi malas bekerja. Siapa lagi yang akan menggantikan para petani dan penjual jamu nantinya?”
Si kakek menggelengkan kepalanya, tak kuasa lagi menahan air matanya. “Ah… Saya jadi ingat anak saya satu-satunya yang seharusnya meneruskan warung ini. Dia meninggal gara-gara memakai candu itu.”
Apit yang baru menghabiskan jamunya bisa melihat raut wajah raja menegang.
***
Pardi berhenti melangkah. Tangannya menyentuh ringan pagar bambu setinggi pinggang yang mengelilingi sebuah kebun.
Ragu-ragu, Apit memandang mata rajanya itu. Agak sayu, seperti orang kelelahan. Apit cuma bisa menebak-nebak apa yang sedang dipikirkan tuannya.
“Awalnya, serbuk itu diberikan cuma-cuma. Kemudian, setelah ketagihan, mereka disuruh membayar. Permintaan serbuk itu pun lama-lama makin meningkat. Karena permintaan semakin banyak, orang-orang di sini akan tergiur menanam tumbuhan yang menghasilkan serbuk itu,” terang Pardi dengan nada datar. “Tidak. Mungkin mereka malah sudah berhasil membujuk beberapa orang. Kebun kosong ini contohnya. Aku ingat, dulu di sini pun banyak ditanami bahan-bahan jamu.”
“Saya tidak mengerti. Padahal hanya demi harta, tapi mereka sampai merusak hidup orang-orang,” timpal Apit, ikut memandang tanah kebun yang masih gembur.
Tawa getir meluncur dari mulut Pardi. “Bukan cuma demi harta. Mereka iri dengan negeri ini. Namun, mereka tak punya daya untuk melawan kita. Aku sudah melihat hal seperti ini berkali-kali, mereka ingin menghancurkan kita dari dalam, walau mungkin memakan waktu bertahun-tahun.”
“Sungguh kejam.”
“Jujur saja, aku lelah. Sekeras apa pun berusaha untuk negeri, masih saja ada hal seperti ini. Aku cuma ingin orang-orang bahagia, itu saja. Aku cuma ingin mereka tidak kelaparan, merasa aman, dan hidup sejahtera.”
Baru saja Pardi selesai berbicara, segerombolan orang muncul. Kebanyakan laki-laki berkulit gelap dan kekar, perempuannya cuma segelintir. Mereka berjalan santai, yang lelaki menenteng cangkul dan menggenggam arit, sementara para perempuan membawa rantang kayu.
“Pulang ngebon[2], Kisanak?” tanya Apit, sementara Pardi masih memandangi lahan kosong itu.
“Iya, Kisanak,” jawab seorang pria terdepan, tersenyum begitu lebar.
Setelah mengobrol sedikit dengan mereka, Apit kembali mendatangi Pardi. “Padahal cuma berkebun, tapi mereka seperti baru saja melakukan sesuatu yang begitu menyenangkan. Artinya, hasil berkebun di sini menyejahterakan mereka. Mereka jadi tak punya beban pikiran. Ini adalah salah satu bukti keberhasilan Anda.”
“Aku yakin kakek tadi juga bahagia, kalau saja anaknya tidak terenggut oleh serbuk jahanam itu. Di satu desa saja serbuk itu sudah membuat kerusakan yang mengerikan, apalagi kalau sampai tersebar ke penjuru negeri? Berapa banyak lagi orang yang akan menjadi sakit karenanya? Berapa banyak lagi yang jadi hilang akal dan saling membunuh karenanya? Berapa banyak lagi yang sengsara karena anggota keluarganya jadi rusak?”
“Anda pasti bisa mencegahnya, sama seperti yang Anda lakukan selama beratus-ratus tahun.”
Akhirnya raja memandang Apit, tersenyum. “Ya, maka dari itu kita harus cepat kembali ke istana.”
[1] Wadah cairan yang terbuat dari bambu.
[2] Berkebun.