Tujuh bulan yang lalu.
Orang-orang desa kembali berkumpul malam itu. Tak ada yang tersenyum atau tertawa. Beberapa dari mereka justru terisak. Manur, yang berada di tengah kerumunan itu, juga menahan air matanya, kendati dia tak terlalu mengenal siapa-siapa yang meninggal itu.
Lagi-lagi upacara pemakaman tanpa jenazah. Hanya ada orang-orang yang berkumpul, satu tetua yang memimpin acara, dan nantinya daun lontar bertuliskan nama yang mati akan dilempar ke api unggun raksasa.
“Terimakasih atas kedatangan saudara-saudara sekalian.” Wuri memulai pidatonya. “Terimakasih telah datang untuk mengenang putra-putri terbaik kita ini. Mereka sudah mengorbankan segalanya demi Narekta yang lebih baik. Narekta tanpa kegelapan. Narekta tanpa kebengisan penguasa. Narekta tanpa Nagrasala…”
Manur memandangi sekelilingnya. Seperti di upacara-upacara terakhir, banyak yang tidak mendengarkan dan justru bisik-bisik sendiri.
“Hei, apakah perjuangan ini benar-benar akan berhasil?”