Kota Julla, wilayah Selatan Aculla.
Matahari mulai menjulang tinggi di langit menutupi sekitar Kota Julla. Menandakan bahwa siang hari mulai menampakkan dirinya, mengganti pagi yang sejuk dengan cuaca yang cukup panas terik.
Di pintu masuk kota, seorang pria berjubah hitam baru saja masuk dengan jubahnya yang terlihat lusuh seperti baru saja kembali dari perang. Setiap langkahnya melewati kota, dia menjadi pusat perhatian orang-orang yang dilewatinya. Di dalam Kota Julla ini jarang sekali ada petualang ataupun prajurit yang datang. Karena letaknya yang berdekatan dengan Gunung Bavarinanilla, salah satu gunung penyimpan tanaman herbal dan juga rempah-rempah, kota ini lebih sering dikunjungi pedagang dan para petani yang hendak menjual ataupun membeli barang.
Setelah sampai di pusat jual-beli barang di tengah kota, pria itu menghampiri sebuah toko yang menyediakan barang-barang aksesoris khusus untuk para penyihir.
“Silahkan, lihat-lihat saja terlebih dahulu. Siapa tahu ada yang membuatmu tertarik,” seru pedagang itu kepada si pria berjubah hitam.
Pria itu memegang sebuah kalung dengan batu giok berukuran oval dan berwarna hijau sebagai hiasan di tengahnya. “Ini Arnmonda, kalung yang bisa mengisi secara berangsur-angsur, meskipun tidak terlalu banyak membantu. Berapa harganya?” tanyanya dengan tetap tertunduk sedikit menutupi wajahnya.
“Mata Anda sungguh sangat jeli. Aku mematok harganya sesuai pasaran. Cukup dengan lima belas keping perak dan lima keping perunggu saja,” ucap pedagang itu dengan tersenyum.
Karena agak terkejut, pria itu membuka bagian jubah yang menutupi kepalanya sehingga pedang itu bisa melihatnya dengan jelas. “Semahal itu? Bukankah ini hanya seharga lima keping perak, sepuluh keping perunggu, dan sepuluh keping tembaga?” tanyanya agak kesal.
Ikut kesal, pedagang itu mengambil paksa Arnmonda yang ada di tangan pria itu. “Cihh … kalau tidak sanggup membeli jangan mengoceh hal-hal yang aneh, pergi sana!” teriaknya.
Tanpa berbasa-basi ataupun menawar lagi, pria itu menutupi wajahnya kembali, lalu pergi melanjutkan perjalanannya. Selang beberapa toko, dia membeli sebuah roti gandum berukuran panjang. Tanpa bertanya terlebih dahulu, pria itu langsung memberikan dua keping uang perunggu kepada penjual roti itu.
“Kau ini hidup di zaman apa, hah? Harga roti seperti itu sekarang lima keping perunggu,” ucap pedagang itu kesal.
“Hah …? Apa yang sebenarnya terjadi dengan dunia ini sekarang? Menyebalkan sekali.” Meskipun terlihat kesal, pria itu merogoh kantong celananya kembali dan memberikan tiga keping perunggu tambahan untuk membayar roti yang dibelinya.
Karena sudah membeli sebuah roti, pria itu berpikir untuk menanyakan saja sekalian dengan apa yang dia cari di kota ini.
“Paman, apakah di kota ini ada tempat pandai besi?” tanya Pria itu, kemudian mengigit roti di tangannya.
“Tentu saja ada. Lihat menara jam di sana?”—pedagang itu menunjuk ke arah timur, tampat menara jam yang tinggi menjulang berada—“Letak pandai besi ada di dekat menara jam itu, setelah berada di sana, tanyakan saja pada orang-orang yang ada di sana.”
Pria itu pun melihat ke arah kirinya, di mana menara jam itu berada. Dia menoleh kembali ke arah pedagang itu. “Terima kasih, Paman.” ucapnya dengan tersenyum.
“Sama-sama,” ucap pedang itu dengan tersenyum juga.
Pria itu langsung menuju ke menara jam yang sudah ditunjukkan pedagang tadi sambil menghambiskan roti yang dibelinya. Sesampainya di sana, dia melihat ke sekelilingnya. Benar saja, tanpa perlu bertanya, dia sudah melihat tanda yang berada di depan pintu yang biasa menandakan sebagai tempat pandai besi.
Begitu pria itu masuk ke dalam tempat pandai besi, seperti biasa, lonceng yang digantungkan di dekat pintu pun berbunyi.
“Silahkan, ada yang bisa aku bantu?” tanya orang yang menjaga tempat itu.
Pria itu pun menghampiri meja, dan meletakkan pedang yang sebelumnya ada di punggungnya ke atas meja. “Aku ingin kau merawat ini. Tampaknya dia agak sedikit lusuh dan mulai hilang ketajamannya.”
Penjaga itu terkejut bukan main. Matanya tidak bisa berhenti menatap pedang berukuran cukup besar dengan sarung dan gagang berwarna hitam tepat di hadapannya. Dia tidak menyangka bisa melihat pedang itu untuk pertama kalinya.
“Inikan … ‘Meteoulark’ salah satu dari lima pedang tertajam yang ada di Aculla. Dibuat dengan bahan dasar meteor dan campuran cakar naga yang hidup di sekitar gunung berapi. Gagangnya saja terbuat dari tanduk Monotaur, salah satu bahan terkuat yang tahan akan segala serangan dari luar. Aku tidak menyangka bisa melihat pedang ini,” ucap penjaga toko itu haru.
“Terima kasih sudah mendeskripsikan secara jelas tentang pedangku ini. Pertanyaannya sekarang, apa kau bisa merawatnya?” tanya pria itu agak jengkel.
Penjaga toko itu menghapus terlebih dahulu air matanya yang mulai menetes dengan tangan saking terharungnya. “Bisa-bisa,” ucapnya sambil menganggukkan kepala beberapa kali.
“Tapi, masalahnya ….”
“Apa?”
Penjaga toko itu tertunduk sejenak memandangi pedang ‘Meteoulark’. “Aku butuh batu khusus untuk mengasahnya. Karena batu itu tidak ada di Kota ini, aku tidak bisa mengasahnya. Tapi, kalau batu itu kau miliki, aku bisa mengasahnya.” ucapnya sambil memegangi dagunya.
“Ada di kota mana, batu itu berada?” tanya pria berjubah itu.
“Batu itu ada di dasar sungai yang memotong antara Kota Greenmilla dan kota ini, letaknya berada di bagian barat. Kalau berjalan kaki, kau butuh waktu lima sampai tujuh hari untuk sampai. Kalau menaik kuda, kau bisa memangkas setengahnya. Batu itu bersinar jika terkena sinar matahari. Semakin bersinar semakin bagus.” jawab penjaga toko itu.
Merasa kalau di tempat ini pedangnya tidak bisa dirawat, pria itu pun mengambil pedangnya berniat untuk pergi dari tempat pandai besi. Namun, dengan cepat, penjaga itu menahan pedang ‘Meteoulark’ yang ingin diambilnya.
“Tunggu!” ucap penjaga toko itu.
“Ada apa?” tanya pria itu bingung.
“Kau ingin mengasahnya di Greenmilla? Dari sungai ke kota itu, butuh waktu dua belas hari sampai dua minggu jika berjalan kaki. Jalan ke sana begitu berliku karena hutannya yang cukup lebat. Terlebih lagi, banyak monster kuat di sana. Sangat berbahaya buatmu jika berkelana tanpa pedang yang bisa digunakan dengan baik.”
Pria itu meletakkan kembali pedangnya di atas meja dan berpikir sejenak. Dia mencoba memperhitungkan segalanya sebelum mengambil keputusan. Tapi, dia baru ingat kalau ada hal yang lebih penting lagi dibandingkan memikirkan hal itu.
“Sebelum aku setuju merawat pedangku di sini, boleh aku bertanya berapa biaya yang harus aku keluarkan?” tanya pria itu penasaran.
“Kau mengambil batunya sendiri, jadi tidak aku kenakan biaya bahan. Karena pedang itu termasuk ke dalam lima pedang tertajam, artinya dibutuhkan perawatan khusus. Jadi, biayanya lima keping emas dan dua keping perak.” ucap penjaga toko itu dengan tersenyum.
“Mahal sekali,” gumam pria itu dalam hati.
“Bagaimana kalau aku memberikanmu empat keping emas, sepuluh keping perak, dan delapan keping perunggu?”
Penjaga toko itu mengira-ngira sejenak, dan menghitung ulang apakah harga yang ditawarkan itu sepadan dengan apa yang akan dia kerjakan. “Baiklah, aku setuju.” ucapnya dengan tersenyum sambil menjulurkan tangannya untuk berjabat tangan.
Keduanya pun berjabat tangan, tanda adanya kesepakatan di antara keduanya.
“Kalau begitu, atas nama siapa pedang yang harus aku rawat ini?” tanya penjaga toko itu.
“Panggil saja aku, Orph.” ucap pria berjubah hitam itu dengan tersenyum.
***
Di saat yang bersamaan setelah Orph pergi melakukan perjalanannya menuju sungai untuk mencari batu yang bisa membantu mengasah pedangnya, prajurit kerajaan yang terdiri dari sepuluh orang baru saja tiba di Kota Julla. Mereka berpakaian lengkap dan juga membawa senjata, seperti sedang mencari buronan dari kota ke kota.
Kedatangan mereka membuat para penduduk bertanya-tanya. Jarang sekali ada prajurit sampai datang ke Kota yang berada cukup jauh di wilayah Selatan ini. Kedatangan prajurit kerajaan itu pun di sambut oleh pemimpin pasukan yang menjaga kota ini.
“Ada urusan seperti apa sampai Anda berada di sini, Tuan Prajurit?” tanya pemimpin pasukan penjaga Kota Julla itu.
Komandan dari prajurit kerajaan itu pun turun dari kudanya. Dia memberikan sebuah gulungan surat perintah kepada kepala pemimpin pasukan penjaga kota itu. “Siapa namamu?” tanya Komandan itu.
“Namaku Condivs, Tuan Komandan.” jawab pemimpin pasukan penjaga kota itu.
“Baiklah, Condivs. Aku adalah Komandan Lowasz, datang langsung ke sini untuk mencari seseorang yang tertera dalam gulungan yang ada di tanganmu itu.” ucap Komandan Prajurit itu sambil menunjuk gulungan yang ada di tangan Condivs.
Bukan hanya Condivs saja yang terkejut, semua penduduk di sana juga ikut terkejut. Mereka tidak menyangka bahwa Komandan sekelas Lowasz bisa berada di kota yang ada di ujung selatan kerajaan ini. Membuat mereka bertanya-tanya ada apa sebenarnya.
“Kalau begitu, apa perlu aku dan pasukanku ikut bantu mencari?” tanya Condivs.
“Tidak perlu, Condivs. Kau hanya perlu menjaga kota ini saja dan mencarinya di sekitar kota ini. Sisanya, jangan ganggu urusan kami dan tetaplah bekerja sesuai dengan pekerjaanmu. Mengerti?” tanya Komandan Lowasz dengan tatapan matanya yang tajam.
“Baik, aku mengerti.” ucap Condivs sambil bertekuk lutut.
Komandan Lowasz pun kembali ke kudanya, lalu pergi dari hadapan Condivs dan beberapa anak buahnya. Setelah Komandan Lowasz sudah cukup jauh, Condivs berdiri, memandangi dengan saksama gambar sketsa yang menunjukka target yang sedang dicari oleh Komandan Lowasz.
“Gadis ini …,” gumam Condivs.
Kedatangan Komandan Lowasz membuat Condivs agak pusing kepala. Di satu sisi dia harus menjaga Kota Julla, di sisi lain dia juga harus melayani kemauan Komandan Lowasz dengan baik. Dia pun pergi ke bar untuk menenangkan dirinya sejenak dengan tetap membawa gulungan yang diberikan oleh Komandan Lowasz kepadanya.
Sesampainya di bar, Condivs duduk di meja yang berhadapan langsung dengan pelayan. Tak lama, seorang pelayan menghampirinya.
“Mau minum apa, Condivs? Kau tidak akan minum rum sepagi ini kan?” tanya gadis pelayan itu.
Condivs membuka gulungan yang dibawanya untuk menunjukkan kepada gadis itu apa isinya. Seketika, adrenalin gadis itu tersentak begitu melihat isi dari gulungan itu.
“Pergilah, Ariesta. Saat ini, Komandan Lowasz baru sampai di kota dan sedang mencari tempat untuk beristirahat. Gunakan waktu itu untuk kau kabur dari sini, mengerti?” ucap Condivs dengan tatapan tajamnya menatap Ariesta, gadis pelayan yang ada di hadapannya.
“Terima kasih, Condivs. Aku tidak tahu harus membalasmu dengan cara apa,” ucap Ariesta yang langsung memeluk Condivs dengan erat.
Condivs pun memeluk balik Ariesta dengan erat, setelah itu melepaskannya. “Kau adalah warga kota ini. Sudah tugasku sebagai orang yang menjaga kota ini untuk melindungi masyarakat yang ada di dalamnya. Jadi, pergilah selagi bisa. Lewatilah jalan yang pernah aku tunjukkan kepadamu. Jangan sampai tertangkap,” ucapnya dengan tersenyum.
Ariesta menganggukkan kepalanya, sekaligus menjatuhkan air matanya karena terharu dengan kebaikan yang diberikan Condivs kepadanya. Ariesta pun langsung pergi dari bar sesuai dengan perintah Condivs.
Tak lama setelah Ariesta pergi, Komandan Lowasz beserta anggotanya datang memasuki bar. Melihat keberadaan Condivs, Komandan Lowasz menyuruh anggotanya untuk duduk di meja lain, sementara dia duduk di sebelah Condivs.
“Sudah ada di tempat ini, di jam seperti ini. Apa tidak akan mengganggu tugasmu?” tanya Komandan Lowasz ketus.
“Tenang saja, Komandan. Tempat ini bukanlah ibukota kerajaan. Yang datang mencari kegaduhan di sini paling Cuma mantan prajurit kerajaan atau para bandit-bandit lemah yang kerjaannya hanya merampas pedagang yang lewat. Tidak ada sesuatu yang besar terjadi di sini,” ucap Condivs sambil menatap balik Komandan Lowasz dengan tersenyum.
Komandan Lowasz jengkel mendengarkan jawaban Condivs yang terkesan terlalu santai dan tidak peduli. Dia pun bangkit dari kursinya, lalu menghampiri para anggotanya.
“Ke mana perginya Ariesta, Condivs? Bukankah, dia yang harusnya berjaga di sini sekarang?” tanya wanita pemilik bar yang baru keluar dari dapur.
Condivs hanya menunjukkan isi gulungan yang dibawanya, sambil mengisyaratkan adanya Komandan Lowasz di dalam bar kepada wanita pemilik bar.
“Astaga, semoga saja Ariesta baik-baik saja dalam pelariannya nanti.” ucap wanita pemilik toko dengan khawatir.
“Semoga saja. Semenjak kedatangannya ke sini, aku sudah tahu kalau hal ini pasti akan terjadi. Doakan saja semoga kelak Ariesta bisa mewujudkan impiannya,” ucap Condivs dengan tersenyum.
Wanita pemilik bar itu pun ikut tersenyum dan mengharapkan hal yang sama seperti Condivs. Dia pun meninggalkan Condivs karena mau melayani Komandan Lowasz dan anggota prajuritnya.
“Berhati-hatilah, Ariesta. Jalanmu masih sangat panjang dan penuh lika-liku. Maaf, lelaki yang sudah cukup tua ini tidak bisa membantu banyak.” gumam Condivs dengan tersenyum.
Bersambung.