“Bahamuth?”
“Tidak mungkin. Seharusnya makhluk itu sudah lama menghilang dari Aculla.”
“Apa ini hanya semacam ilusi saja?”
Semua prajurit Komandan Lowasz terkejut begitu melihat Bahamuth yang keluar dari Sihir Pemanggil yang diucapkan oleh Orph. Mereka semua tidak menyangka kalau naga yang sudah lama menghilang itu, muncul di hadapan mereka saat ini.
“Apa-apaan ini? Kalau Bahamuth bisa dipanggil seperti ini, artinya orang itu telah mengalahkannya dan juga membuat kontrak pemanggilan padanya. Siapa sebenarnya orang itu?” gumam Komandan Lowasz, terus melihat ke arah Orph yang berdiri di belakang Bahamuth.
“Jangan hanya melamun saja, persiapkan diri kalian untuk bertarung!” teriak Komandan Lowasz.
“Ohh!”
` Komandan Lowasz beserta para prajuritnya menyiapkan sihir penguat tubuh untuk melawan Bahamuth. Segala macam sihir mereka kerahkan, guna melawan Bahamuth, naga yang terkenal kuat akan serangannya.
Bahamuth yang sejak tadi hanya mengamati, kini mulai melakukan pergerakannya. Dia membuka mulutnya lebar-lebar, menarik napas panjang sampai api berwarna hitam pekat berkumpul di area mulutnya, kemudian melesatkannya ke arah Komandan Lowasz dan para prajuritnya.
“Serangan datang!”
Kerusakan yang cukup besar tidak dapat terelakkan. Tanah yang terkena serangan Bahamuth luluh lantak, membekas seperti kejatuhan sebuah meteor. Dari serangan itu, semua prajurit Komandan Lowasz terkapar tak berdaya. Sihir yang melindungi tubuh mereka tak mampu menahan serangan Bahamuth yang begitu besar.
Komandan Lowasz yang masih sanggup berdiri, bertumpu pada pedangnya dan melihat ke arah Bahamuth dengan tatapan penuh tekad.
“Aku belum kalah,” ucap Komandan Lowasz dengan geramnya.
Bahamuth kembali menyiapkan serangan kedua, sementara Komandan Lowasz memasang kuda-kuda siap bertarung dengan memegang kuat pedangnya dengan kedua tangan.
“Cukup. Kau sudah bisa kembali, Bahamuth.”
Di tengah pertarungan itu, Orph datang menghampiri untuk menghentikan tindakan Bahamuth. Setelah mendengar ucapan Orph, Bahamuth pun menghilang kembali.
Komandan Lowasz kehilangan keseimbangannya untuk berdiri, sehingga dia duduk tertunduk di hadapan Orph. “Siapa kau sebenarnya?”—dia mendongakkan kepalanya, dan menatap Orph dengan tajam—“Tidak sembarangan orang bisa mengontrol naga. Apalagi naga itu adalah Bahamuth, salah satu dari naga terkuat di Aculla.”
Orph menggaruk-garukkan kepalanya dan sedikit tertawa mendengar pujian dari Komandan Lowasz. “Ah … biasa saja. Aku ini hanya seorang pengelana,” ucapnya dengan tersenyum.
Komandan Lowasz menjadi semakin bingung mendengar jawaban Orph. Kalau dia hanya pengelana biasa, kenapa dia sampai bisa mengeluarkan Bahamuth sebagai salah satu makhluk panggilannya. Di satu sisi, kenapa dia juga harus repot-repot menolong seseorang yang dia tidak kenal sama sekali.
“Lalu, kenapa kau menolong gadis itu?” tanya Komandan Lowasz sambil menunjuk Ariesta yang duduk tersungkur cukup jauh di belakang.
Orph menoleh sejenak ke arah Ariesta, kemudian menatap kembali Komandan Lowasz. “Bukankah sudah kewajiban seorang laki-laki untuk menolong seorang gadis?” tanyanya.
“Kalau gadis itu seorang kriminal, kau akan tetap menolongnya?” tanya Komandan Lowasz ketus.
Adrenalin Orph tersentak. Dia baru ingat kalau hal semacam itu juga bisa terjadi. Demi menghindari kejadian seperti itu, dia pun menghampiri Ariesta untuk memastikan apakah dia wanita yang baik atau wanita yang jahat.
“Hei, kau. Kau ini baik atau jahat?” tanya Orph sambil menyilangkan kedua tangannya di dada.
Ariesta terkejut dengan pertanyaan konyol Orph itu. “Apa maksudmu? Apa bagimu, aku ini terlihat seperti gadis yang jahat?” tanyanya balik.
Orph memegang dagunya, kemudian melihat Ariesta dari ujung kaki sampai kepala dengan teliti. Dia terus mengulanginya beberapa kali sampai dia benar-benar merasa yakin. Setelah puas mengamati Ariesta, Orph kembali menghampiri Komandan Lowasz yang masih duduk memegangi pundaknya yang terluka.
“Aku rasa dia itu gadis baik-baik. Lalu … melihatmu menggunakan pakaian seperti ini, kau pasti prajurit kerajaan. Karena aku tidak terlalu suka dengan mereka, mungkin itu juga bisa jadi alasanku menyerang kau dan semua prajuritmu.”
Komandan Lowasz hanya bisa menatap Orph dengan perasaan heran. Dia tidak menyangka kalau dia dan pasukannya dapat dikalahkan dengan mudah oleh orang aneh seperti Orph.
Orph pun menghampiri setiap prajurit yang terkapar, lalu menggendongnya dan meletakkannya di dekat Komandan Lowasz. Setelah semua prajurit sudah berkumpul di dekat Komandan Lowasz, Orph menggambar lingkaran yang cukup besar mengelilingi mereka semua.
“Apa yang sedang kau lakukan?” tanya Komandan Lowasz heran.
“Mengobati kalian semua agar bisa kembali pulang ke Ibu Kota,” jawab Orph dengan tersenyum.
“Apa? Kau tidak menghabisiku? Aku bisa saja kembali membawa pasukan yang lebih banyak untuk menangkap, bahkan membunuhmu.” ucap Komandan Lowasz dengan tatapan tajamnya.
Setelah selesai menggambar lingkarannya, Orph berdiri tepat di hadapan Komandan Lowasz dan duduk bersimpuh agar bisa langsung menatap matanya. “Anggap saja hal ini sebagai pertukaran setara. Aku tidak membunuhmu, sebagai gantinya kau rahasiakan hal ini dari siapapun. Nyawa dan harga diri itu sama berharganya, Komandan. Kalau kau dendam padaku, datanglah sendiri. Aku pasti akan melayanimu,” ucap Orph dengan tersenyum.
Komandan Lowasz tersenyum begitu mendengar alasan Orph. Dia pun menjulurkan tangannya, mengajak Orph untuk berjabat tangan. Orph pun langsung menjabat tangan Komandan Lowasz tanpa ragu.
“Aku, Robsguard Lowasz Ormov, bersumpah atas nyawaku untuk merahasiakan hal ini dari siapapun dan suatu hari, akan membalaskan dendamku ini kepadamu secara adil, layaknya seorang prajurit.” ucap Komandan Lowasz dengan tatapan tajamnya.
“Aku, Wardfang Orpheuz Thalsora, bersumpah atas nyawaku tidak akan membunuh Komandan Lowasz sampai pertarungan adil di antara kita berdua terjadi.” ucap Orph dengan tersenyum.
“Wardfang? Thalsora?” gumam Komandan Lowasz seperti telah menyadari sesuatu.
Setelah perjanjian tidak tertulis itu dibuat oleh keduanya, Orph mundur beberapa langkah menjauhi Komandan Lowasz. Bersiap untuk menggunakan sihir penyembuh.
“Aku Orph, dengan tangan ini sebagai perantara. Aku meminta bantuanmu wahai Dewi Arsyill, sembuhkanlah mereka semua.”
Perlahan, aura berwarna hijau daun menyelimuti daerah yang berada dalam lingkaran. Luka-luka yang ada pada tubuh Komandan Lowasz dan para prajuritnya juga mulai menghilang, walaupun tidak sembuh sepenuhnya.
“Maaf. Aku tidak begitu ahli dalam sihir penyembuh. Hanya seperti itu saja yang bisa aku lakukan untuk menyembuhkanmu,” ucap Orph sambil menggaruk-garukkan kepalanya.
Komandan Lowasz pun berdiri, diikuti juga dengan para prajuritnya yang baru saja tersadar. Para prajurit Komandan Lowasz terkejut begitu melihat Orph ada di hadapan mereka. Mereka pun langsung memasang kuda-kuda untuk siap bertarung, namun Komandan Lowasz memberikan isyarat untuk menghentikan tindakan mereka.
“Tidak perlu melawannnya. Kita kembali,” ucap Komandan Lowasz.
“Tapi, Komandan …”
“Diam! Lakukan saja apa yang aku katakan, mengerti?” ucap Komandan Lowasz dengan lantang.
“Mengerti, Komandan!”
Setelah mendengarkan perintah dari Komandan Lowasz, semua prajuritnya pun berbalik badan dan berjalan meninggalkan Orph. Sementara itu, Komandan Lowasz masih menatap tajam Orph sebelum akhirnya ikut pergi menyusul para prajuritnya.
Orph pun menghela napas lega karena hal yang merepotkan baginya ini, akhirnya selesai. Dia meletakkan kembali tongkat sihirnya di bagian belakang bajunya, kemudian menutupinya lagi dengan jubah hitam yang dipakainya.
“Terima kasih sudah menolongku,” ucap Ariesta yang sudah berdiri di belakang Orph.
Orph berbalik badan, lalu menatap gadis itu dengan malu-malu. “Ah … bukan apa-apa,” ucapnya dengan gugup dan memalingkan wajahnya ke arah lain.
“Aku sudah tahu siapa namamu, kini giliranku untuk memperkenalkan diri. Namaku, Coldline Ariesta Polark. Kau bisa memanggilku, Ariesta.” ucap Ariesta dengan tersenyum sambil menjulurkan tangannya, mengajak Orph untuk berjabat tangan.
Orph pun menjabat tangan Ariesta. “Salam kenal, Ariesta. Aku Orph,” ucapnya dengan tersenyum juga.
Karena Orph merasa sudah tidak ada lagi yang bisa dia kerjakan di sini, dia pun pergi meninggalkan Ariesta begitu saja. Hal itulah yang membuat Ariesta jengkel dan marah. Sontak, Ariesta pun langsung melempar Orph dengan batu yang dipungutnya dari tanah.
“Aw!”—Orph berbalik badan, menatap Ariesta dengan geramnya—“Apa masalahmu? Kenapa melemparku dengan batu?” tanyanya heran.
“Paling tidak ucapkan ‘sama-sama’ kepadaku,” jawab Ariesta dengan kesalnya.
“Hanya karena itu kau melemparku dengan batu? Terserah kau saja.”
Orph pun kesal dan langsung memakai cincin khususnya yang bisa menangkal serangan berdaya rendah. Setelah memakainya, Orph dilindungi dinding transparan berwarna hijau yang hanya bisa dilihat olehnya. Dia melanjutkan kembali perjalanannya tanpa memperdulikan Ariesta.
Melihat hal itu, Ariesta semakin geram. Dia melempar Orph lagi dengan batu yang lebih besar, namun hal itu tidak berpengaruh. Dia pun berlari menghampiri Orph, menarik pedang miliknya dari sarung dan mengayunkannya ke arah leher Orph.
Orph berbalik badan dan menahan tangan Ariesta dengan tangannya. “Aku tidak punya waktu untuk menanggapi tindakanmu ini. Aku sudah menolongmu, jadi pergilah. Apa lagi yang kau inginkan?” tanyanya dengan tatapan tajam, lalu melepaskan cengkramannya pada tangan Ariesta.
Ariesta melepaskan genggamannya, sehingga pedang yang ada di tangannya pun terjatuh. Dia tertunduk dan terlihat murung. “Aku tidak tahu ke mana lagi harus pergi. Aku tidak bisa kembali ke Julla begitu saja,” ucapnya dengan pelan.
“Kenapa memangnya?” tanya Oprh heran.
“Aku bisa membahayakan penduduk di kota itu, dan juga Condivs. Selama satu bulan ini, aku terus menyamar sebagai gadis lain dengan sihir peniru wajah yang Condivs berikan padaku. Kalau aku kembali dengan wajah ini, aku tidak tahu akan bagaimana jadinya nanti.” Ariesta mengepal kuat kedua tangannya dan terus berusaha menahan air matanya agar tidak terjatuh.
Orph yang semula kesal dan jengkel pun, melepaskan kembali cincin khususnya dan menyimpannya di dalam tas kecil di pinggangnya. “Baiklah, baiklah, kau boleh ikut denganku untuk sementara. Aku juga sepertinya akan membutuhkan bantuanmu nanti.”
Ariesta kembali terlihat senang dan menatap Orph dengan tersenyum. “Terima kasih, aku akan membalas kebaikanmu suatu hari nanti.”
“Cepat sekali perubahan kondisi hatinya,” gumam Orph agak jengkel.
Ariesta pun mengambil pedangnya dan menyarungkannya kembali di pinggang. Dia merapikan sedikit pakaiannya dan bersiap untuk mengikuti Orph ke manapun dia pergi. Melihat hal itu, Orph hanya bisa menghela napas karena sebenarnya, dia sangat terpaksa melakukan hal ini.
Perjalanan Orph mencari batu untuk mengasah pedangnya pun dilanjutkan, namun kali ini dia ditemani oleh Ariesta yang berjalan tepat di belakangnya.
“Aku sedikit penasaran. Kalau kau memang dicari oleh pihak kerajaan karena kau adalah salah satu anggota bangsawan, kenapa tidak kembali saja? Bukankah hidup dengan gelar bangsawan itu menyenangkan?” tanya Orph, melirik sejenak ke belakang melihat Ariesta.
“Aku sudah katakan padamu sebelumnya, kan?” tanya Ariesta balik.
“Aku tahu. Tapi, kenapa kau menawarkanku imbalan saat aku menolongmu pertama kali? Kau bilang sudah tidak mau menjadi bangsawan lagi, tapi sikapmu masih menggambarkan kau sebagai seorang bangsawan.” ucap Orph ketus.
“Soal itu …” Ariesta hanya bisa tertunduk memegangi bagian bawah bajunya.
Ariesta yang terus tertunduk, tidak menyadari Orph yang berhenti di tengah jalan. Dia pun menabrak Orph hingga dia tersungkur di tanah.
“Kenapa kau berhenti di tengah jalan?” teriak Ariesta kesal.
Orph melirik ke arah Ariesta, lalu memberikan isyarat tangan agar dia bisa lebih tenang dan tidak berisik. Orph melihat ke sekelilingnya dengan tatapan waspada. Merasa kalau ada yang sedang mengamati mereka, Orph pun mengeluarkan kembali tongkat sihirnya dan bersiap untuk memusnahkan pengganggu yang sedang menguntit mereka berdua.
“Aku Orph, dengan kedua mata ini aku butuh kekuatan wahai Dewi Urzulla. Buatlah pandangan mataku setajam burung hantu di malam hari.”
Pandangan mata Orph kini lebih tajam dari sebelumnya. Membuatnya bisa lebih leluasa melihat ke sekelilingnya, mencari letak seseorang yang sedang membuntuti mereka berdua.
Ariesta pun menarik pedangnya dan berlindung di belakang Orph. Karena tidak bisa menggunakan sihir yang bisa menguatkan indera matanya, dia hanya bisa bergantung pada Orph untuk menyelesaikan hal ini.
Tiga buah anak panah secara tiba-tiba melesat ke arah mereka berdua. Dengan cepat, Orph menghindar dan menangkis salah satu anak panah dengan tongkat sihirnya.
Setelah menangkis salah satu anak panah, Orph melirik sejenak ke arah anak panah yang mengenai tongkatnya itu. “Elf?” gumamnya heran.
“Aku Orph, meminta bantuan pada kau wahai Dewa Portonz. Melesatlah, Seratus Panah Cahaya!”
Sihir panah cahaya milik Orph terus melesat ke arah tongkat Orph digerakkan. Dengan pandangan matanya, dia dapat melihat jelas kalau ada seseorang yang terus menghindari serangannya itu dan berlari semakin jauh, menjauhi mereka berdua. Karena sudah merasa aman, dia pun menurunkan tongkat sihirnya.
“Siapa yang sebenarnya sedang mengawasi kita?” tanya Ariesta heran.
“Entahlah. Yang jelas, dia adalah seorang Elf. Apa kau punya masalah dengan bangsa Elf juga?” tanya Orph penasaran.
“Tidak, tidak ada. Mana mungkin kerajaan menyuruh bangsa Elf untuk mengejarku. Untuk apa?”
“Benar juga. Elf adalah bangsa yang tertutup dari dunia luar. Lalu, kenapa dia menyerang kami? Apa alasannya?” gumam Orph terus mencari tahu kenapa ada Elf yang tiba-tiba menyerangnya.
Bersambung.