Keesokan harinya …
Orph baru saja kembali dari hutan mencari bahan makanan. Dia berniat menyalakan api unggun untuk memasak, sekaligus berharap Ariesta yang masih tertidur, bangun. Sembari menyiapkan bahan makanan untuk di masak, sesekali Orph melirik ke arah Ariesta. Dia bukan menyukai ataupun curi-curi kesempatan untuk menatapnya saat tidur, tetapi karena dia sangat jengkel karena Ariesta belum juga bangun dari tidurnya.
Tanpa memperdulikan Ariesta, Orph mulai memasak sarapan. Satu-persatu bumbu dan juga bahan makanan dia masukkan ke dalam kuali kecil yang sudah terisi air mendidih. Memancing bau harum terus keluar dari masakannya itu. Karena itulah, akhirnya Ariesta tersadar dari tidurnya dan langsung bangun menghampiri kuali.
“Harumnya … kau membuat apa?” tanya Ariesta dengan santainya.
Orph langsung menutup kuali itu dan menatap Ariesta dengan sinis. “Enak saja. Kau tidak membantu apa-apa dalam membuat makanan ini, kenapa aku harus membagimu juga?” tanyanya kesal.
“Eh? Kejamnya …” ucap Ariesta dengan tertunduk murung.
Melihat Ariesta seperti itu, membuat Orph akhirnya luluh juga. Dia pun mengangkat tutup kualinya kembali, sehingga Ariesta pun terlihat senang saat bisa mencium harumnya makanan itu.
“Tunggu sebentar,” ucap Orph sambil merogoh sesuatu dari tas kecilnya.
Orph mengeluarkan sebuah gulungan berukuran kecil, lalu mulai mencari sesuatu dari dalamnya. Setelah menemukan apa yang dia cari, dia meletakkan gulungannya di tanah dan membuka lebar telapak tangannya di atas guratan sihir yang ada pada gulungan.
“Aku Orph, Munculah.”
Dari gulungan itu, keluar sebuah mangkuk yang terbuat dari tanah liat beserta sebuah sendok kayu.
Orph pun memberikannya kepada Ariesta. “Ini, ambillah. Sebagai gantinya, bersihkan semua peralatan masaknya setelah kau makan.” ucapnya agak jengkel.
Ariesta mengambil mangkuk dan sendok itu dari tangan Orph. “Terima kasih, aku pasti akan mencucinya.” ucapnya dengan tersenyum.
Pandangan mata Ariesta terus tertuju pada gulungan milik Orph yang sedang dimasukkannya ke dalam tas. Dia seakan terkesima dengan gulungan yang bisa mengeluarkan mangkuk dan sendok. Hal itu pun disadari oleh Orph.
“Tidak perlu melihatnya sampai seperti itu? Kenapa? Baru lihat gulungan penyimpan barang yang digunakan oleh seorang penyihir?” tanya Orph dengan sedikit tertawa.
“Eh? Hmm … tidak, tidak apa-apa. Aku tahu soal gulungan itu, tapi baru kali ini aku melihatnya langsung. Bukankah … gulungan itu, membutuhkan mana setiap kali memunculkan barang yang kita simpan?” tanya Ariesta penasaran.
Orph menganggukkan kepalanya. “Semakin besar dan berharganya barang yang disimpan, akan semakin banyak mana yang diperlukan. Itu sebabnya kenapa senjata legendaris dijaga dalam sebuah bangunan khusus, bukan di dalam gulungan. Karena mengeluarkannya dari dalam gulungan, sangat menguras banyak sekali mana.”
“Kalau punya gulungan itu, artinya kau adalah seorang penyihir?” tanya Ariesta lagi, semakin penasaran.
Orph hanya tertawa kecil menanggapi pertanyaan Ariesta itu. Dia pun menuangkan makanan dari dalam kuali ke mangkuknya dan juga mangkuk Ariesta. Sebenarnya Ariesta menunggu pertanyaannya dijawab oleh Orph, tapi karena perutnya sudah kelaparan, hal itu pun dia kesampingkan.
“Selamat makan!”—Ariesta langsung menyuap sup yang dibuat oleh Orph—“Enaknya … tapi, kenapa tidak ada dagingnya? Kenapa Cuma sayuran?” tanyanya kecewa.
“Aku ini vegetarian, tidak makan daging.” jawab Orph dengan kesal.
“Kenapa? Dagingkan enak,” ucap Ariesta dengan santainya.
“Aku punya banyak sekali hewan pemanggil, baik yang langka ataupun yang biasa saja. Entah kenapa, karena hal itu aku jadi tidak enak pada mereka kalau terus memakan daging semauku.” jawab Orph sambil menunjuk Ariesta dengan sendoknya.
Mendengar jawaban Orph, Ariesta semakin yakin kalau Orph bukanlah orang biasa. Selain bisa memanggil Bahamuth, Orph bahkan mengatakan kalau dia memiliki banyak sekali hewan pemanggil. Memperkuat dugaannya kalau Orph adalah seorang penyihir yang kuat.
Ariesta melanjutkan makannya sampai habis dan kenyang. Meskipun dia agak kecewa karena tidak ada daging di dalam supnya, tapi dia tetap bersyukur masih bisa makan sup seenak itu. Dia pun mencari helai daun berukuran besar yang akan digunakannya untuk membersihkan peralatan makanan, dikarenakan jumlah air yang terbatas. Setelah menemukan daun yang dia cari, dia kembali dan membersihkan semua peralatan makan yang tadi digunakan Orph dan juga dirinya.
Sambil membersihkan peralatan makan, Ariesta melirik ke arah Orph yang sedang membaca sesuatu dari sebuah gulunga di tangannya. “Kau masih belum menjawab pertanyaanku,” ucapnya ketus.
Orph pun melirik sejenak ke arah Ariesta, lalu kembali membaca gulungannya. “Pertanyaan apa? Aku tidak ingat dan tidak mau ingat,” jawabnya datar.
Mendengar jawaban Orph yang menyebalkan, Ariesta berusaha menahan emosinya karena Orph sudah memberikannya makanan yang enak padanya. “Pertanyaan tentang kau ini penyihir atau bukan,” ucapnya.
“Bukan. Aku ini seorang prajurit, sama seperti Komandan Lowasz. Sihir hanyalah sesuatu yang ada dalam diriku, bukanlah identitas ataupun jati diriku.” ucap Orph datar.
“Tapi, kau bisa mengeluarkan bermacam-macam sihir seperti itu. Artinya, kau adalah penyihir yang kuat. Aku saja hanya bisa menggunakan dua jenis sihir. Sementara kau, sejauh yang aku lihat sudah menggunakan empat jenis sihir; Pemanggil, Penyembuhan, Elemen, dan Penguat Diri. Menandakan kalau kau itu penyihir yang kuat,” ucap Ariesta dengan yakinnya.
Orph merapikan kembali gulunganya, dan menatap Ariesta dengan tajam. “Aku ini penyihir atau bukan, itu biar jadi urusanku. Kalau kau mau terus ikut denganku, jangan membicarakan hal semacam ini lagi di hadapanku.” ucapnya ketus.
Setelah mengatakannya, Orph berdiri dan berjalan pergi dari hadapan Ariesta. Sadar kalau perkataannya telah membuat Orph seperti itu, Ariesta hanya bisa tertunduk menyesalinya dan terus membersihkan peralatan makan.
Begitu Ariesta selesai dengan tugasnya, mereka berdua melanjutkan perjalanan kembali untuk mengambil batu khusus yang ada di dasar sungai yang terletak di antara Kota Grenmilla dan Julla. Lika-liku hutan itu dilewati oleh keduanya. Berbagai hewan yang menyerang pun dapat dikalahkan dengan mudah oleh Orph, bahkan Ariesta juga sedikit membantu dengan beberapa kali membunuh hewan yang menyerang dengan pedangnya. Perjalanan di hari itu pun berakhir sampai bulan sudah menampakkan wujudnya di hadapan mereka berdua.
Tidak seperti tadi pagi, kini Ariesta juga ikut membantu menyiapkan makan malam. Dia berniat untuk mencari daging hewan agar makannya kali ini terasa lebih enak dibandingkan tadi pagi. Tapi, hal itu justru ditentang oleh Orph karena dia memang tetap bersikukuh tidak mau memakan daging. Karena kesal, Ariesta pun memutuskan untuk membakar saja daging yang nantinya dia dapatkan, tidak mencampurkannya ke dalam sup.
Waktu kian berlalu, Orph sudah mulai menyiapkan supnya, sementara Ariesta belum juga kembali dari berburu. Khawatir terjadi sesuatu pada Ariesta, Orph pun mencarinya. Rasa khawatirnya runtuh seketika dan berubah jadi tawa setelah melihat Ariesta duduk termenung di hadapan jebakan penangkap hewan yang telah rusak.
Orph pun menghampirinya. “Ada sesuatu yang pada akhirnya tidak bisa kau dapatkan meskipun terus mencoba, bersabarlah.” ucapnya sambil mengelus pundak Ariesta untuk menenangkannya.
Ariesta mengangkat kepalanya dan menatap Orph dengan tatapan haru. “Aku ingin makan daging …” ucapnya dengan memelas.
Karena tidak tega melihat ekspresi Ariesta, mau tidak mau Orph ikut membantunya memburu hewan. Dia pun melihat ke sekelilingnya, sembari menyiapkan tongkat sihirnya untuk digunakan. Pandangannya kini tertuju pada semak-semak yang terus bergerak tidak bisa diam, dia pun mengarahkan tongkatnya ke arah semak-semak itu.
“Aku Orph, meminta bantuan kepada kau wahai Dewa Korzwick. Perangkap Tanah!”
Muncul sebuah gundukan tanah berbentuk bulat di tempat Orph memusatkan sihirnya. Dia pun menghampiri gundukan tanah itu, membawa pedang milik Ariesta. Kemudian, dia menusukkan pedangnya beberapa kali ke dalam gundukan tanah itu, sampai tanah itu perlahan mulai keropos dan runtuh.
Ternyata, di dalamnya ada seekora kelinci hutan yang sudah terbaring tak berdaya. Melihat hal itu, Orph duduk bersimpuh dan mulai berdoa mendoakan kematian kelinci itu.
“Maafkan aku telah membunuhmu, kelinci. Tolong jangan dendam padaku. Aku tidak bisa tenang kalau terus-terusan melihat seorang gadis yang setiap detiknya merajuk, meminta daging untuk dimakan. Semoga kau tenang di sana. Jasamu tidak akan pernah aku lupakan,” ucap Orph dengan penuh haru.
Orph pun kembali ke Ariesta membawa kelinci hutan itu. Seperti dugaan Orph, Ariesta langsung kembali ceria melihat Orph membawakan daging untuk dia makan.
Mereke berdua kembali ke tempat di mana mereka menyalakan api unggun. Sesampainya di sana, Ariesta langsung membersihkan daging kelincinya sebelum dibakar. Sementara itu, Orph melanjutkan memasak sup yang sedang dibuat olehnya. Setelah semua makanan selesai dibuat, tanpa berbasa-basi mereka berdua pun memakannya sampai habis.
Selera makan Orph sebenarnya sedikit menghilang saat melihat Ariesta dengan lahapnya memakan daging kelinci yang dia bakar sendiri. Tapi, karena dia harus tetap makan, mau tidak mau pemandangan itu harus dilihatnya suka tidak suka.
Orph pun meletakkan mangkuknya di bawah karena dia sudah selesai makan. “Sudah puas bisa makan daging?” tanyanya sambil menatap Ariesta.
Ariesta menganggukkan kepalanya. “Aku ucapkan terima kasih karena sudah membantuku mendapatkan daging,” ucapnya dengan tersenyum.
Orph hanya sedikit tersenyum, kemudian meminum air di gelasnya tanpa menjawab ucapan Ariesta dengan kata ‘Sama-sama’. Hal itulah yang membuat Ariesta semakin bingung, kenapa Orph sama sekali tidak mau mengatakan hal itu, padahal dia sudah membantu dirinya.
“Kenapa sulit sekali bagimu mengucapkan ‘sama-sama’, meski hanya sekali saja. Apa alasannya?” tanya Ariesta penasaran.
Orph mengambil botol rum dari balik jubahnya, kemudian meminumnya. “Dulu, aku sering membantu orang dengan kemampuanku. Otomatis, orang-orang selalu mengucapkan terima kasih setiap kali aku tolong. Terlalu sering mendengarnya, lama-kelamaan telingaku mulai risih. Aku hanya berniat membantu. Aku tidak butuh ucapan semacam itu sebagai balasannya. Itu sebabnya aku juga mulai bosan mengatakan ‘sama-sama’ demi menutupi rasa kesalku,” jawabnya dengan sedikit tersenyum.
Ariesta yang kini tertawa setelah mendengar jawaban Orph.
“Kenapa kau tertawa?” tanya Orph heran.
Ariesta menggeleng-gelengkan kepalanya, lalu menatap Orph kembali. “Alasan yang lucu dan sepele sakali. Aku pikir kau terkana kutukan sihir atau semacamnya. Jadi, kau tidak bisa mengucapkan hal itu. Ternyata karena hal semacam itu.”
Orph memalingkan wajahnya dan meminum kembali rum miliknya.
“Kau seharusnya tidak boleh seperti itu. Mereka mengatakan hal itu karena berhutang pudi kepadamu. Anggap saja ucapan itu sebagai tanda kalau suatu hari, mereka akan membantumu di saat kau membutuhkannya. Mau kau tidak menjawabnya sekalipun, paling tidak tetaplah memberikan senyumanmu kepada mereka.” ucap Ariesta dengan tersenyum.
Mendengar ucapan Ariesta, Orph pun sedikit tersenyum. Dia tidak menyangka kalau gadis yang hanya mementingkan daging sepertinya, bisa punya pemikiran semacam itu.
Namun, di tengah-tengah keheningan keduanya, tiba-tiba saja tiga anak panah melesat ke arah mereka. Dengan cepat, Orph membentangkan tangan kirinya untuk melindungi Ariesta. Sehingga, tiga buah anak panah itu menancap di tangan kirinya.
“Tangan kirimu,” ucap Ariesta panik.
Orph justru tidak memperdulikan hal itu dan langsung mengeluarkan tongkat sihirnya untuk melakukan perlawanan balik terhadap orang yang menyerangnya.
“Aku Orph, dengan kedua telinga ini aku butuh kekuatan wahai Dewi Urzulla. Buatlah pendengaranku setajam kelinci hutan.”
Orph memejamkan matanya begitu sihirnya sudah aktif. Dia dapat mendengar suara langkah kaki yang melompat dari satu dahan pohon ke dahan yang lain. Tapi, suara itu semakin terdengar pelan olehnya. Menandakan kalau orang yang menyerangnya sudah jauh pergi.
“Cih … apa maunya Elf ini terus menyerangku seperti ini? Kalau dia ada dendam, kenapa tidak langsung saja datang kepadaku dan duel langsung. Tidak perlu menggunakan cara bertele-tele seperti ini,” ucap Orph dengan geramnya.
Ariesta justru terlihat panik. Bukan karena penyerangan Elf, tapi karena panah yang masih menancap di lengan kiri Orph.
“Sebaiknya obati tanganmu terlebih dahulu,” ucap Ariesta dengan cemas.
“Ini?” tanya Orph sambil menunjuk panah-panah yang menancap di lengannya.
Orph pun meletakkan kembali tongkat sihirnya, kemudian membuka jubah yang di pakainya. “Lihat? Tidak ada darah sama sekali,” ucapnya dengan tersenyum.
Ariesta terkejut ketika melihat lengan dan jubah Orph sama sekali tidak ada bercak darah. Untuk menghilangkan rasa heran Ariesta, Orph pun membuka bagian baju lengan kirinya agar Ariesta bisa melihat dengan jelas, wujud asli tangannya.
Adrenalin Ariesta pun tersentak begitu dia melihat tangan kiri Orph. “Ada apa dengan tangan kirimu?” tanyanya khawatir.
“Sayang sekali, aku terikat perjanjian tidak tertulis untuk tidak menceritakannya kepada siapapun.” jawab Orph dengan tersenyum.
Ariesta terus melihat ke arah tangan kiri Orph, di mana keseluruhan tangan kirinya adalah tangan mekanik yang tersambung dalam sistem saraf pada pundaknya.
Bersambung.