WebNovelOrphex17.50%

Chapter 6: Rusa, Komandan, dan Kutukan

Di dalam sebuah desa kecil di utara Aculla, kobaran api menghanguskan sebagian besar rumah penduduk yang ada di kota itu. Di tengah kobaran api, seorang anak laki-laki duduk termenung menatap tangannya yang mengalami sedikit luka bakar.

Dari kejauhan, suara seorang wanita terdengar menghampiri anak laki-laki yang sedang duduk terdiam itu. Panggilan wanita itu sama sekali tidak diperdulikan. Wanita itu pun menghampirinya, memegang kedua pundaknya, kemudian memeluknya.

“Jangan menangis, aku di sini menemanimu.” ucap wanita itu dengan lembut.

“Pergi! Aku tidak membutuhkan siapapun!” teriak anak laki-laki itu dengan penuh amarah.

Wanita itu pun berdiri, sedikit menjauh dari anak laki-laki itu. Dia terlihat sangat sedih, bahkan menutupi mulutnya dengan kedua tangan karena tidak menyangka akan dibentak seperti itu oleh anak laki-laki yang sedang dipeluknya.

Anak laki-laki itu merentangkan tangannya ke depan, lalu mengarahkannya tepat ke hadapan wanita itu.

“Aku bilang, pergi!”

Tiba-tiba, kobaran api yang sangat besar keluar dari tangan kiri anak laki-laki itu.

***

“Hah!”

Orph terbangun dari tidurnya dengan napasnya yang terengah-engah. Dia memegangi kepalanya yang terasa agak sakit setelah baru saja terbangun dari mimpi yang cukup buruk baginya. Ketenangannya pun dapat kembali setelah dia meminum air dari botol yang berada tidak jauh darinya.

“Ke mana perginya?”

Orph baru menyadari bahwa Ariesta sudah tidak ada. Dia melihat ke sekelilingnya, namun Ariesta sama sekali tidak terlihat. Merasa khawatir, dia pun mencoba mencari Ariesta di sekitar tempat itu. Hingga akhirnya, dia berhasil menemukan Ariesta sedang mengintip sesuatu dari balik semak-semak dengan pedang di genggamannya.

“Apa yang sedang kau lakukan?” tanya Orph heran.

“Jangan berisik. Nanti dia kabur,” jawab Ariesta pelan.

Orph pun melihat ke arah di mana Ariesta sedang memusatkan perhatiannya. Di sana ada sebuah rusa yang sedang memakan rumput yang tumbuh di bawah pohon.

Orph menunjuk ke arah rusa sambil menoleh ke arah Ariesta yang duduk di bawah. “Kau tidak punya panah. Rusa itu hewan yang gesit. Mau kau bunuh pakai apa?” tanyanya penasaran.

Dengan percaya dirinya, Ariesta menunjukkan pedang yang dipegangnya ke hadapan Orph, ditambah dengan senyuman penuh keyakinannya.

Melihat hal itu, Orph hanya bisa menghela napas dan geleng-geleng kepala. Dia tidak mengira kalau seorang keturunan bangsawan bisa sepolos dan sebodoh ini. Tidak mau mendengar Ariesta merengek ataupun melihat Ariesta lesu karena tidak makan daging, mau tidak mau Orph mengeluarkan tongkat sihirnya untuk membantu.

“Aku Orph, meminta bantuan pada kau wahai Dewa Jardzach. Melesatlah, Panah Angin.”

Rusa itu pun seketika terkapar setelah sihir panah angin yang dilesatkan oleh Orph tepat mengenai tubuhnya.

“Sekarang, ambil da … gingnya.” Orph melihat ke arah Ariesta duduk, namun dia sudah tidak ada di sana. Ketika dia melihat kembali ke tempat rusa yang dibunuhnya berada, Ariesta sudah di sana dan membawa tubuh rusa itu.

“Paling tidak, ucapkanlah terima kasih …” ucap Orph dengan tertunduk lesu.

Mereka berdua kembali ke tempat mereka berkemah untuk mulai membuat sarapan. Setelah sarapannya jadi, seperti biasa Ariesta terlihat lahap sekali memakan daging rusa yang dibunuh Orph sendirian. Sementara Orph hanya memakan sup yang berisi beraneka ragam rempah dan sayuran.

Perut kenyang, semua barang sudah dibereskan kembali, mereka berdua pun melanjutkan perjalanan. Namun, sebelum memulai perjalanan, Orph menanamkan sihir penguat tubuh kepada Ariesta sebagai pertahanan diri. Dia takut kalau Elf yang sudah dua kali menyerang mereka itu kembali sewaktu-waktu.

Di tengah perjalanan yang tanpa obrolan itu, Orph pun melirik sejenak ke arah Ariesta karena ingin mengajaknya bicara.

“Kalau sudah sampai di sungai yang aku tuju, bantulah aku mencari batu paling berkilau yang ada di dasar sungai.” ucap Orph datar.

Ariesta yang sedang fokus berjalan menapaki batu yang menghalangi jalan pun, terkejut dengan perkataan Orph. “Batu di dasar sungai? Memangnya apa yang kau inginkan dengan batu itu?” tanyanya heran.

“Untuk mengasah pedangku, Meteoulark.” jawab Orph.

Adrenalin Ariesta tersentak. Dia langsung menghentikan langkahnya dan menatap Orph dengan tatapan terkejut. “Kau pemilik Meteoulark? Bukankah pedang itu sangat susah untuk dikendalikan? Hanya seorang kesatria pedang sejati yang bisa menggunakannya,” ucapnya.

Orph pun menghentikan langkahnya juga dan berbalik badan menghadap ke arah Ariesta. “Kau tahu mengenai keluarga Thalsora?” tanyanya.

Ariesta hanya menggelengkan kepalanya. Orph sedikit tertawa, dan berbalik badan kembali melanjutkan perjalanannya.

“Artinya kau kurang membaca buku sejarah, Nona Bangsawan.” ledek Orph.

Mendengar ledekan Orph, membuat Ariesta agak kesal. Dia tidak sudi mendengarkan ejekan seperti itu dari Orph yang asal-usulnya saja tidak jelas.

Berjam-jam berlalu, perjalanan yang melelahkan itu pun akhirnya berakhir ketika matahari berada di puncak tertinggi di langit. Sungai yang dikatakan oleh Si Pandai Besi kepada Orph pun ada di hadapan mereka berdua saat ini.

“Sebaiknya kita makan terlebih dahulu untuk memulihkan tenaga setelah perjalanan panjang ini,” ucap Orph.

Mendengarkan hal yang membahagiakan seperti itu, Ariesta pun duduk memegangi perutnya yang sudah mulai kelaparan.

“Ide bagus …” ucap Ariesta lesu.

***

Komandan Lowasz beserta para prajuritnya baru saja tiba di Kota Julla menggunakan kuda mereka masing-masing. Pakaian mereka yang lusuh dan tubuh yang dipenuhi luka, membuat penduduk sekitar merasa khawatir dan cemas. Mereka sama sekali tidak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Setelah Condivs dibunuh oleh Komandan Lowasz, tak ada satupun penduduk yang berani berbicara ataupun bertanya pada mereka tentang apa yang sebenarnya terjadi.

Melihat hal itu, Komandan Lowasz pun merasa harus meluruskan apa yang sebenarnya terjadi antara dirinya dan Condivs agar para penduduk tidak menaruh kecurigaan terhadapnya.

“Panggilkan Walikota kalian, aku mau berbicara dengannya.”

Seorang pasukan penjaga kota yang ada di situ pun segera memanggil Walikota yang ada sedang berada di kediamannya. Tak lama, Walikota itu pun datang beserta beberapa pasukan penjaga kota, menghadap kepada Komandan Lowasz.

“Aku Norv, Komandan Lowasz. Aku Walikota di kota ini,” ucap Walikota Norv dengan duduk bersimpuh.

Komandan Lowasz pun turun dari kudanya, berjalan menghampiri Walikota Norv. “Maafkan aku yang baru bertemu denganmu sekarang. Karena dikejar oleh waktu, aku tidak menyempatkan waktu untuk bertemu denganmu.” ucap Komandan Lowasz sambil membungkukkan badannya.

Melihat Komandan Lowasz membungkuk, Walikota Norv langsung berdiri tegak kembali. “Tidak perlu membungkuk, Komandan. Anda adalah salah satu Komandan terkuat kerajaan. Jangan membungkukkan badan Anda pada Walikota dari kota kecil sepertiku ini.” ucapnya agak panik.

Komandan Lowasz menegakkan badannya kembali, kemudian melihat ke sekelilingnya. Dia melihat satu-persatu orang yang ada di dekat pintu masuk Kota Julla.

“Dengarkan aku, Penduduk Kota Julla. Aku, Komandan Lowasz. Atas tindakanku sebelumnya, aku ucapkan ‘Maaf’!” teriak Komandan Lowasz dengan lantang sambil membungkukkan badannya kembali.

Semua orang yang ada di tempat itu pun terkejut, seakan tidak percaya dengan apa yang mereka lihat saat ini. Seorang Komandan besar seperti Komandan Lowasz membungkukkan badannya untuk meminta maaf kepada penduduk kota.

Komandan Lowasz menegakkan badannya kembali, dan menganggukkan kepalanya di hadapan Walikota Norv. Dia beserta prajuritnya pun pergi dari Kota Julla setelah melakukan hal yang membuat semua orang terkejut itu.

Seorang prajuritnya pun dibuat penasaran dengan apa yang dilakukan oleh Komandan Lowasz. Dia pun mempercepat langkah kudanya untuk menyamai Komandan Lowasz yang berjalan paling depan.

“Kenapa Anda melakukan hal semacam itu, Komandan?” tanya prajurit itu heran.

“Aku tidak mau berada di tempat di mana aku adalah sosok yang ditakuti. Karena aku adalah seorang Komandan, dan bisa ditugaskan di mana pun selama Raja menginginkannya, aku tidak mau kembali ke Julla sebagai seseorang yang menyeramkan dan ditakuti. Aku bukanlah musuh mereka, aku adalah pelindung mereka. Jadi, itulah tindakan tempat. Kalau kau tidak menyukainya, aku akan meladenimu sampai kau puas.” jawab Komandan Lowasz dengan tatapan tajamnya menatap prajuritnya itu.

“Aku mengerti, Komandan.” ucap prajurit itu agak ketakutan.

Prajurit itu pun menghentikan kudanya agar Komandan Lowasz bisa berada di bagian depan sendirian. Sementara itu, Komandan Lowasz kembali tertunduk seperti sedang memikirkan sesuatu.

“Siapa sebenarnya pria berjubah hitam itu. Dia adalah anggota keluarga Thalsora dan menyandang nama Wardfang. Tapi, kenapa dia memiliki kekuatan sihir yang kuat?” gumam Komandan Lowasz.

***

Di tepi sungai, Orph dan Ariesta berdiri saling berhadapan. Ariesta terus melihat ke arah badan Orph yang dipenuhi beberapa luka gores.

“Pejamkan matamu,” ucap Orph.

Ariesta menganggukkan kepalanya dan kembali fokus setelah pandangannya teralihkan oleh badan Orph. Orph pun memegang area di antara kedua mata Ariesta dengan ibu jari tangan kanannya, sementara tangan kirinya memegang tongkat sihir.

“Aku Orph, dengan kedua mata gadis ini aku butuh kekuatan wahai Dewa Ormaill. Mata Elang Hitam.”

Perlahan, Orph melepaskan ibu jarinya dari wajah Ariesta. Perlahan juga, Ariesta membuka kedua matanya. Ariesta terkejut begitu dirinya bisa melihat benda yang kecil meskipun letaknya cukup jauh darinya.

“Wah … dengan mata ini, aku bisa melihat apapun!” ucap Ariesta dengan antusias.

“Dengan mata itu, nilailah batu mana yang paling berkilau. Aku akan berenang ke dalam sungai mencari batu yang menurutku berkilau. Kemudian, aku membawanya ke tengah, dan kau yang menilainya. Urutkan berdasarkan angka dari satu sampai sepuluh. Batu yang mendapatkan nilai sepuluh yang akan aku gunakan untuk mengasah. Kau mengerti?”

Ariesta menganggukkan kepalanya, tanda kalau dia mengerti. Orph pun mengajaknya untuk berjabat tangan, membuar Ariesta bingung akan hal itu.

“Buat apa berjabat tangan?”

“Sihir berikutnya,” jawab Orph datar.

Setelah keduanya berjabat tangan, mereka berdua memejamkan mata. Kemudian, Orph mengangkat tongkat sihirnya cukup tinggi.

“Aku Orph, dengan tubuhku dan tubuh gadis ini aku butuh kekuatan wahai Dewa Ormaill. Serigala Buas Musim Dingin.”

Mereka berdua membuka mata kembali dan saling bertatapan.

“Bagaimana? Kau bisa mendengar suaraku?”

“Kenapa aku bisa mendengar suaramu? Padahal mulutmu sama sekali tidak bisa bergerak.”

“Inilah kekuatan serigala. Pikiran mereka saling terhubung pada ‘Alpha’ atau pemimpin mereka. Untuk kasus ini, akulah serigala Alphanya.”

Semua persiapan sudah dilakukan. Keduanya sudah tahu apa yang harus mereka lakukan. Ariesta menunggu di tepi sungai, sementara Orph berenang ke dalam sungai besar yang berarus cukup tenang itu.

Orph berhasil menemukan beberapa batu yang memang terlihat berkilau di matanya, namun setelah dia membawanya untuk dinilai oleh Ariesta, tak ada batu yang menyentuh nilai delapan. Sesekali juga dia keluar dari air untuk mengambil napas. Karena ada batasan dalam penggunaan sihir dalam waktu yang bersamaan, Orph tidak bisa mengaktifkan sihir yang bisa membuatnya bernapas dalam air.

Waktu kian berlalu, entah sudah berapa kali Orph kembali ke atas untuk menarik napas kembali. Hal itu membuat Ariesta semakin khawatir dengan kondisinya. Dia takut kalau Orph terlalu memaksakan dirinya, hingga akhirnya jatuh sakit.

Akhirnya setelah Orph berniat untuk menyelam kembali, Ariesta langsung memegang pundak Orph dan menahannya.

“Apa yang kau lakukan?” tanya Orph heran.

“Tubuhmu mulai dingin, beristirahatlah. Kalau kau memaksakan diri, kau bisa sakit.” ucap Ariesta dengan cemas.

Orph pun berbalik badan, menghadap ke arah Ariesta. “Aku tidak suka menggunakan sihir terus-menerus seperti beberapa hari terakhir. Aku harus segera membuat Meteoulark siap digunakan lagi,” ucapnya dengan serius.

Ariesta tertunduk karena dia sama sekali tidak mengerti kenapa Orph mengatakan hal itu. “Bukankah sihir itu yang telah membantumu melewati semua ini? Kau juga sangat kuat dengan kekuatan sihirmu. Kenapa kau tidak mau menggunakannya terus-menerus?” tanyanya heran.

Orph memalingkan wajahnya dari Ariesta. “Sihir adalah sebuah kutukan,” ucapnya dan langsung menyelam kembali ke dalam sungai tidak memperdulikan peringatan Ariesta.

Saat berada di dalam sungai, Orph melihat ke sekelilingnya untuk mencari batu yang paling berkilau. Namun, saat sedang melihat ke berbagai arah, dia pun terkejut. Arista sudah berada di hadapannya.

“Apa yang kau lakukan di sini? Kau bisa kedinginan.”

“Kalau mencarinya berdua, lebih cepat. Kau juga bisa menggunakan sihir api untuk menghangatkan tubuhku nanti.”

“Terserah kau saja. Jangan memaksakan diri.”

Ariesta menganggukkan kepalanya dan mulai membantu Orph. Pandangan mata Ariesta tertuju pada sebuah batu yang berada di sebuah gua kecil di dasar sungai. Batu itu tidak bersinar dan terlihat biasa saja. Tapi, dia merasa kalau batu itu bisa saja bersinar ketika terkena cahaya matahari.

Ariesta pun memberitahukan hal itu kepada Orph. Awalnya Orph ragu, namun karena Ariesta terus mengoceh membuat kepalanya pusing, Orph pun memindahkan batu itu ke area yang terkena sinar matahari. Benar saja, batu itu langsung berkilau layaknya sebongkah berlian.

“Ketemu!” teriak keduanya dalam hati bersamaan.

Bersama-sama, keduanya membawa batu itu ke dasar. Sesampainya di sana, keduanya tertawa bersama seakan tidak percaya sudah menemukan apa yang mereka cari.

“Sudah aku bilang, batu itu mencurigakan.” ucap Ariesta dengan sedikit tertawa.

“Iya, iya, mungkin instingmu menjadi lebih kuat setelah menerima kemampuan serigala.” ucap Orph dengan sedikit tertawa.

Namun, di tengah canda tawa itu …

“Orph!” teriak Ariesta dengan paniknya.

Sebuah anak panah tiba-tiba saja melesat ke arah Orph dan tepat mengenai dada kirinya.

Bersambung.