WebNovelOrphex20.00%

Chapter 7: Melindungi, Obat Tidur, dan Balas Dendam

“Orph! Orph! Sadarlah!”

Ariesta terus berteriak berusaha membangunkan Orph yang masih terkapar memejamkan matanya. Dia mengecek denyut nadi dari tangan kanan Orph, memastikan bahwa Orph masih bernapas atau tidak.

“Denyut jantungnya masih ada, namun dalam kondisi yang lemah. Kalau aku cabut panahnya sekarang, aku butuh banyak waktu untuk menyembuhkannya. Masalahnya …”

Ariesta menoleh ke arah belakang, ke arah di mana anak panah itu berasal. Dengan pedangnya, dia berdiri memasang kuda-kuda siap bertarung untuk melindungi Orph dari orang yang melesatkan panah tersebut.

Tak lama, dari gelapnya hutan yang berada di seberang sungai, seseorang mulai menampakkan dirinya. Tangan kirinya memegang busur, sementara tangan kanannya memegang anak panah. Dia tidak melakukan ancang-ancang untuk mengarahkan panahnya ke arah Ariesra, hanya memegangnya saja. Dia pun membuka cadar yang menutupi wajahnya, sehingga Ariesta bisa dengan jelas melihat sosoknya.

“Elf,” gumam Ariesta, menelan ludahnya karena yang berdiri di hadapannya saat ini adalah salah satu ras petarung yang kuat.

“Apa maumu? Kenapa kau menyerang kami?”

Tanpa menjawab pertanyaan Ariesta, Elf itu mengambil ancang-ancang umtuk menembakkan anak panahnya pada Ariesta.

“Aku harus bisa menahan setiap serangannya. Kalau menghindar, aku takut dia menyerang Orph yang sedang tidak berdaya. Tenang, Orph. Aku pasti akan melindungimu,” gumam Ariesta, menggertakkan giginya dan menggenggam pedangnya semakin kuat.

Ariesta menyarungkan kembali pedangnya, kemudian mengambil sebuah tongkat sihir berukuran kecil yang selama ini disembunyikannya di balik jubah. Dia mengatur napasnya sejenak, lalu menatap ke arah Elf itu dengan serius sambil mengangkat tongkatnya ke depan.

“Aku Ariesta, memanggil atas nama diriku. Mereka, serigala penghuni hutan selatan. Wolfouth!”

Setelah Ariesta mengucapkan mantera sihirnya, keluarlah empat serigala Wolfouth, serigala kutub yang biasa hidup di hutan bagian selatan Aculla.

“Aku cuma bisa mengeluarkan empat ekor, padahal aku memiliki dua belas ekor. Sudah lama tidak menggunakan sihir, aku belum terbiasa kembali.” gumam Ariesta dengan napasnya yang agak terengah-engah.

“Wolfouth, bantu aku mengalahkan Elf yang ada di hadapanku ini.”

Lolongan para Wolfouth menggema dengan sangat kencang, tanda kalau mereka siap membantu Ariesta, Tuan mereka, untuk bertarung melawan Elf yang sudah siap menyerangnya.

“Maju!”

Bersama dengan para Wolfouthnya, Ariesta berlari menuju ke hadapan Elf yang ada di seberang sungai. Bersamaan, mereka melompati sungai dan di saat yang sama, Elf itu melesatkankan panahnya. Panah itu tepat mengenai salah satu Wolfouth Ariesta yang langsung jatuh ke sungai dan terbawa arus.

Begitu Ariesta dan Wolfouthnya yang tersisa berhasil melompat, Elf itu kembali melesatkan anak panahnya yang tepat mengenai salah satu Wolfouth milik Ariesta. Elf itu terus melesatkan anak panahnya yang membuat semua Wolfouth milik Ariesta terkapar, menyisakan Ariesta yang terus berlari ke arahnya.

“Hiaa!”

Ariesta mengayunkan pedangnya, tapi Elf itu berhasil menghindar dengan mudah. Ariesta tak mudah menyerah, dia terus mengayunkan pedangnya ke segala arah. Namun, tak ada satupun serangan Ariesta yang berhasil melukai, bahkan mengenail Elf itu.

“Cukup main-mainnya, Nona.” ucap Elf itu datar.

Ariesta pun terkejut dan berhenti mengayunkan pedangnya ke arah orang itu.

“Siapa sebenarnya kau? Kenapa mengincar kami?” tanya Ariesta dengan terengah-engah karena sudah sangat kelelahan.

“Aku tidak punya urusan denganmu. Tapi, aku punya urusan dengan orang itu.” ucap Elf itu sambil menunjuk Orph yang sedang terkapar dengan busurnya.

“Memangnya apa yang sudah dia lakukan terhadapmu, sampai kau berusaha untuk membunuhnya?” tanya Ariesta heran.

“Aku tidak membunuhnya. Panah itu sudah diberi obat tidur. Dia pasti sedang terlelap sekarang, bukan sedang sekarat.” jawab Elf itu datar.

“Kalau bukan karena dendam dan tidak berniat untuk membunuhnya, lalu untuk apa kau menyerangnya?”

“Aku ingin melawan sesuatu yang ada di dalam dirinya,” jawab Elf itu dengan serius.

Mendengar hal itu, Ariesta tidak mengerti dengan apa yang dimaksudkan olehnya. Dia berusaha mencernanya perlahan agar mengerti apa yang dimaksudkan dengan ‘sesuatu di dalam diri’ yang dikatakan oleh Elf itu. Namun, saat sedang sibuk berpikir, Elf itu justru meninggalkan Ariesta dan berjalan menghampiri Orph.

“Tunggu, kau tidak boleh melukainya!”

Elf itu menghentikan langkahnya, lalu menoleh ke belakang menatap Ariesta. “Aku tidak bisa melukainya, dia terlalu kuat.” Setelah mengatakan hal itu, dia kembali berjalan menghampiri Orph.

“Apa maksudnya? Kenapa dia bisa mengatakan hal semacam itu? Apa dia pernah melawan Orph sebelumnya?” gumam Ariesta, semakin tidak mengerti apa yang diinginkan oleh Elf itu dari Orph.

Karena tidak mau terlalu memikirkannya, Ariesta pun ikut bersama Elf itu berjalan menghampiri Orph. Benar saja, ketika keduanya sudah berada di hadapan Orph yang sedang terkapar, Ariesta bisa melihat dengan jelas betapa nyenyaknya tidur Orph saat ini.

Elf itu duduk bersimpuh di samping Orph, lalu mencabut anak panahnya. Dia menggulung lengan baju tangan kanannya, sehingga lingkaran sihir bercorak garis-garis hitam yang mengitari tangannya layaknya sebuah gelang, terlihat. Kemudian, dia membuka lebar telapak tangannya di atas luka yang ada di dada kiri Orph.

“Aku Hoctum, dengan tangan ini sebagai perantara. Aku meminta bantuanmu wahai Dewi Arsyill, sembuhkanlah luka yang ada di dada kiri orang ini.”

Aura berwarna hijau perlahan keluar dari tangan Elf itu, lalu mulai menyemuti area di sekitar luka yang ada di dada kiri Orph. Perlahan, luka itu mulai sembuh dan tertutup kembali layaknya tidak terjadi apa-apa. Hal itu membuat Ariesta tercengang, bukan karena sihirnya yang hebat, tapi karena sihirnya yang bisa dilakukan tanpa perlu perantara tongkat sihir.

“Kau memakai sihir tanpa menggunakan tongkat? Lalu, bagaimana caramu mengontrol mana yang ada di dalam tubuh agar bisa digunakan dengan baik? Bukankah, semua penyihir memerlukan tongkat untuk menggunakan sihir?” tanya Ariesta dengan herannya.

“Tidak juga. Dalam berbagai buku kuno, ada kondisi di mana penyihir bisa menggunakan sihir tanpa memerlukan tongkat.” jawab Orph yang baru saja bangkit dari baringannya sambil memegang kepalanya.

“Kau sudah bangun? Syukurlah kau tidak apa-apa,” ucap Ariesta dengan tersenyum.

“Iya, aku baik-baik saja. Tapi, siapa orang ini?” tanya Orph sambil menunjuk Elf yang ada di sampingnya dengan ibu jari.

Elf itu pun berdiri, lalu mengepalkan tangan kanannya dan menyilangkannya di dada kiri. Kemudian, membungkukkan badannya sejenak dan berdiri tegak kembali. “Namaku, Favernica Hoctum Maxima. Kepala suku dari desa klan Elf Maxima,” jawabnya datar.

“Klan Elf Maxima? Itu artinya, kau adalah anggota klan terakhir yang masih hidup.” ucap Orph dengan tatapan tajamnya menatap Hoctum.

“Heh? Kau tahu dari mana? Aku saja tidak tahu kalau ada klan Elf Maxima. Baru kali ini aku mendengarnya,” ucap Ariesta dengan herannya.

Hoctum menyilangkan kedua tangannya di dada dan menatap tajam Orph. “Dari mana kau mengetahuinya? Melalui cerita yang beredar atau melalui makhluk yang ada di dalam dirimu?” tanyanya ketus.

“Dari makhluk yang ada di dalam diriku. Sebagai penyihir yang telah bersatu dengan makhluk yang menjadi budaknya, aku bisa tahu apa saja yang pernah dilalui ataupun dilakukan oleh makhluk yang telah menjadi budakku. Istilahnya, penderitaan yang menjadi konsekuensi dari kekuatan.” jawab Orph datar.

“Apa maksud dari perkataanmu itu?” tanya Hoctum heran.

Orph berdiri, kemudian mengambil tongkat sihir miliknya dan berjalan menjauhi Hoctum dan Ariesta. “Aku memang mendapatkan makhluk sekuat Bahamuth sebagai makhluk yang bisa aku panggil, tapi sebagai gantinya, aku melihat semua kekejaman dari apa yang sudah dilakukannya di masa lalu. Termasuk saat seorang Elf muda melukai mata kirinya.”

Mendengar hal itu, adrenalin Hoctum tersentak. Dia menurunkan kedua tangannya, lalu mengepalnya dengan kuat dan menggertakkan giginya. Perkataan Orph membuatnya mengingat kembali hal yang sudah lama dia lupakan.

***

Berpuluh-puluh tahun yang lalu, hidup sebuah naga hitam yang dikenal sebagai naga terkuat. Tak ada satu pun tempat yang didatanginya, masih dalam keadaan utuh. Beberapa cerita yang bergema di Aculla tentang dirinya, sebagian besar berasal hanya dari saksi mata yang melihat pertama kali sebuah tempat yang luluh lantak. Bukan sebagai korban dari kebengisannya secara langsung.

Jauh dari cerita tentang menyeramkannya naga itu, terdapat sebuah hutan besar yang terletak di tenggara Aculla, di mana sebuah desa Elf yang makmur berada. Desa itu bernama ‘Maxima’. Berawal dari sebuah keluarga Elf, sampai berkembang menjadi sebuah desa yang dihidupi hingga ratusan Elf. Perkembangan desa ini, tercium oleh pihak kerajaan. Sebuah gulungan perkamen berisi titah raja pun sampai di desa ini. Titah itu berisikan perintah raja untuk kepala suku dari desa Maxima menghadap ke kerajaan.

Kepala suku yang masih muda dan baru diangkat menggantikan ayahnya, setuju untuk ikut bersama pasukan kerajaan menghadap raja sesuai dengan titah yang diberikan. Berangkatlah dia bersama dengan pasukan kerajaan.

Perjalanan yang membutuhkan waktu hampir sebulan, pertemuan dengan raja yang membutuhkan waktu seminggu dan perjalanan pulang yang tidak berbeda dengan perjalanan datang, membuat Kepala Suku harus menunggu waktu dua bulan lamanya untuk kembali pada rakyatnya dan tempat tinggalnya yang tercinta.

Namun, semua kesenangan bisa kembali pulang itu sirna seketika. Desa Maxima yang makmur dan tentram, kini terlalap oleh api yang menyelimuti. Tanpa ragu sedikitpun, Kepala Suku itu bersiap melesatkan panahnya.

“Aku Hoctum, dengan panah ini aku butuh kekuatan wahai Dewa Jardzach. Panah Angin Pembelah Badai!”

Panahnya berhasil membuat api menyingkir dan membuatkannya celah untuk masuk ke dalam desa. Meskipun sudah diperingatkan oleh prajurit kerajaan, Kepala Suku itu sama sekali tidak memperdulikan perkataan mereka dan tetap masuk ke dalam desa bersama dengan kudanya.

Dia terus memacu kudanya semakin cepat menuju ke sebuah rumah yang terletak di pusat desa. Setiap kali ada reruntuhan yang menghalanginya, tanpa ragu dia melompatinya. Hingga sebuah pemandangan yang membuat emosinya semakin meluap, terpampang tepat di depan matanya. Naga Bahamuth bersiap menyemburkan api hitamnya ke arah kedua orang tuanya yang sudah tersungkur di tanah tak berdaya.

“Jangan!”

Teriakannya sama sekali tidak menghasilkan apa-apa. Kedua orang tuanya, tewas di hadapannya karena semburan api dari Bahamuth.

“Argh!”

Teriakan penuh amarahnya, diiringi dengan panah yang selalu dilesatkannya tanpa ragu ke arah Bahamuth yang telah membunuh kedua orang tuanya itu. Namun, tak ada satupun serangannya yang berhasil melukai Bahamuth. Hingga akhirnya, Bahamuth pun menoleh ke arah Kepala Suku yang sudah putus asa itu.

Perlahan, Bahamuth terbang ke arah Kepala Suku yang sedang tertunduk layaknya seorang yang sudah putus asa. Bahamuth itu membuka mulut, bersiap menyemburkan apinya. Dengan cepat, Kepala Suku itu mendongakkan kepalanya dan melesatkan panah terakhir yang dimilikinya. Serangan kali ini, berhasil mengenai mata kiri Bahamuth yang membuat penglihatannya terganggu.

Kepala Suku itu tersenyum bahagia, seakan sudah berhasil membalaskan dendamnya. Namun, dia salah. Bahamuth membuka mulutnya kembali dan menyemburkan api hitamnya tepat ke arah Kepala Suku itu. Dengan cepat, dia berbalik badan untuk menghindari serangan Bahamuth, hingga membuat punggungnya terbakar akibat serangan Bahamuth.

Kuda yang ditungganginya pun pergi, meninggalkannya terkapar sendirian dengan luka bakar di punggung yang membuatnya kesulitan untuk berdiri. Saat Bahamuth ingin melakukan serangan kedua, bantuan dari prajurit kerajaan datang. Membuat Bahamuth berhasil dibekuk mundur untuk sementara. Dengan bantuan para prajurit kerajaan, Kepala Suku itu disembuhkan dari luka bakar yang melukai punggungnya. Tapi, tak ada satupun dari prajurit kerajaan yang bisa menyembuhkan luka yang ada di dalam hati Kepala Suku itu saat ini.

***

“Aku tahu apa tujuanmu mendatangiku. Aku juga tahu kalau kau ada di sekitar pertarungan antara aku dan Komandan Lowasz. Insting Bahamuth membuatku bisa ikut menyadari keberadaanmu. Kemampuan yang memang bisa dimiliki penyihir saat makhluk yang menjadi budaknya sedang dipanggil.

“Menyadari keberadaan musuh adalah salah satu kemampuan yang dimiliki Bahamuth. Jadi, jangan berpikir untuk membunuhnya jika tidak ingin dia mengetahui keberadaanmu. Satu lagi, matanya juga sudah sembuh, jelas kau tidak bisa memanfaatkannya lagi sebagai kelemahan dari Bahamuth. Itu saja saran yang bisa aku berikan. Siap membalaskan dendam?” tanya Orph dengan tersenyum.

Mendengarkan perkataan Orph, membuat semangat balas dendam Hoctum berapi-api. Dia membuka jubahnya, sehingga Orph dan Ariesta bisa melihat dengan jelas simbol sihir yang ada di tangan kanannya.

“Tangan kanannya adalah tongkat sihir. Itu sebabnya dia bisa menggunakan sihir tanpa tongkat. Guratan sihir di tangan kanannya adalah sebuah tingkatan. Yang ada di telapak tangannya adalah tingkat awal, dan yang berada di pundaknya adalah tingkat akhir. Pertanyaannya, sampai di tingkat berapa tubuhnya bisa menahan rasa sakit yang bergejolak saat sihir sedang digunakan?” ucap Orph, menatap tajam simbol sihir yang ada di tangan kanan Hoctum.

“Apa dia menanamkan tongkat sihir di tangan kanannya?” tanya Ariesta penasaran.

“Jelas tidak bisa. Keadaannya itu sudah ada sejak lahir. Kelainan sihir yang terjadi ada sebagian kecil anak yang baru lahir,” ucap Orph datar, lalu mengarahkan tongkatnya ke depan.

“Aku Orph, memanggil atas nama diriku sebagai pertaruhannya. Dia naga terkutuk yang memiliki serangan terkuat, dia naga malapetaka yang dapat menghadirkan bencana seketika, dan dia juga naga yang sudah resmi menjadi bagian dari salah satu makhluk panggilanku. Keluarlah kau wahai naga hitam terkutuk, Bahamuth!”

Sama seperti sebelumnya, lingkaran sihir besar keluar di depan Orph. Bahamuth bangkit dari lingkaran sihir yang berukuran besar itu, mengeluarkan suaranya yang kencang, membuat daerah di sekitarnya bergetar.

Hoctum memegang erat busur panah miliknya, dan mengatur napasnya untuk menenangkan pikirannya. “Tunggu aku, aku pasti akan membalaskan dendam kalian.”

Bersambung.