WebNovelOrphex25.00%

Chapter 9: Percakapan, Pouvh, dan Jati Diri

Dalam perjalanan kembali ke Kota Julla, tak ada interaksi berlebihan di antara Orph, Hoctum, dan Ariesta. Ketiganya hanya bicara saat diperlukan saja, lalu diam selama perjalanan berlangsung. Saat makan dan sedang beristirahat pun juga tak ada pembicaraan penting di antara ketiganya. Hal itu terjadi sampai mereka hanya butuh waktu satu hari lagi untuk sampai, saat Orph mulai kehabisan kesabaran dengan kedua rekan perjalanannya yang terlalu hening.

“Aku tahu perjalanan yang tentram itu memang bagus, tapi bukan berarti terlalu tenang seperti ini.” ucap Orph agak kesal.

Ariesta dan Hoctum yang berjalan di belakangnya sama-sama saling menatap satu sama lain, karena tidak mengerti dengan apa yang dimaksudkan oleh Orph dan mencoba menanyakan satu sama lain lewat gestur tubuh mereka.

Orph yang sedang melirik ke belakang, dapat melihat jelas keduanya yang sedang saling memberikan bahasa isyarat. Hal itu jelas membuatnya semakin kesal dan jengkel.

Orph menghentikan langkahnya dan menghela napas lesu. “Hah … baiklah, baiklah, sebaiknya kita istirahat saja di sini.”

Lagi-lagi, Ariesta dan Hoctum sama-sama saling menatap karena tidak mengerti kenapa Orph tiba-tiba mengajak mereka untuk berhenti di sini. Mereka pun menurunkan barang bawaan masing-masing dan meletakkannya di satu tempat.

“Kau jaga barang bawaannya saja. Kau tidak bisa berburu, jadi percuma saja. Aku tahu kau sangat ingin makan daging,” ucap Orph, menatap Ariesta dengan datar.

Ariesta pun menatap balik Orph dengan tersenyum dan kedua matanya yang berbinar-binar, seakan mengucapkan terima kasih kepada Orph saja tidak akan cukup baginya. Orph sama sekali tidak tersipu dengan hal itu dan malah menggaruk-garukkan keningnya dengan jari saking sudah memahami sekali apa yang Ariesta inginkan.

“Kau carilah tanaman dan buah yang bisa dimakan. Apa saja boleh,” ucap Orph sambil menunjuk ke arah Hoctum yang berdiri di sebelahnya.

“Baiklah. Kalau ingin gunakan panahku, pakai saja.” ucap Hoctum sambil menunjuk busur panah yang tersemat pada tas anak panahnya.

Mendapatkan tawaran yang sangat langka seperti itu, jelas tidak disia-siakan oleh Orph. Dengan percaya dirinya, dia bawa peralatan memanah milik Hoctum untuk digunakannya berburu. Setelah berjalan mencari hewan yang bisa diburu, dirinya pun melihat sebuah Pouvh (Babi Hutan berukuran besar) sedang memakan daun pada semak-semak.

Tak mau kehilangan kesempatan, dia pun langsung menyiapkan anak panahnya dan duduk bersimpuh membidik Pouvh yang berjarak cukup jauh darinya itu. Karena masih siang, sama sekali tak ada gangguan pada pandangannya.

“Aku Orph, meminta bantuan pada kau wahai Dewa Jardzach. Baluti anak panah ini dengan angin yang berhembus di sekitarku, Panah Pemecah Badai.”

Orph menghempaskan anak panah dari busurnya menggunakan sihir yang sama seperti yang digunakan oleh Hoctum. Namun, kekuatan sihirnya sedikit lebih kuat dari pada sihir Hoctum saat belum menggunakan kekuatan penuhnya. Panah sihirnya itupun tidak hanya mengenai dan menancap saja, bahkan sampai menembus badan Pouvh hingga membuatnya langsung jatuh terkapar.

“Hah … sepertinya aku terlalu berlebihan ….” gumam Orph sambil memegang kepala dan menggeleng-gelengkannya.

Orph pun menghampiri tubuh Pouvh yang sudah terkapar itu dan mulai membelah-belahnya menjadi bagian yang lebih kecil agar bisa dibawa olehnya.

“Butuh bantuan?” tanya Hoctum yang baru saja selesai melakukan tugasnya.

Orph menoleh ke belakang dan hanya tersenyum menanggapi pertanyaan Hoctum. Meskipun tak ada jawaban jelas, Hoctum tetap membantu Orph mengerjakannya.

“Berapa banyak yang kau dapatkan?” tanya Orph.

Hoctum membuka tas yang dibawanya, di mana di dalam tas itu berisi berbagai macam tanaman. “Lumayan,” ucapnya dengan tersenyum.

Hoctum pun ikut duduk di sebelah Orph, dan mulai membantunya.

“Lucu sekali. Kita berdua melakukan hal serumit ini, tapi sama sekali tidak memakannya nanti.” ucap Hoctum dengan sedikit tertawa.

“Benar juga apa katamu,” ucap Orph yang juga ikut tertawa.

Karena Orph adalah seorang vegetarian dan Hoctum adalah bangsa Elf. Keduanya pun sama-sama tidak makan daging, namun dengan alasan yang berbeda. Bangsa Elf tidak memakan daging hewan karena bagi mereka hewan adalah makhluk hidup yang memiliki tatanan, sama seperti halnya manusia. Jelas memakan daging mereka, bukanlah hal yang bijak dan tentu menjadi hal yang dilarang bagi bangsa Elf. Tapi, ketentuan semacam itu tidak berlaku pada bangsa Dark Elf.

Dengan begitu, sudah jelas bukan? Betapa baik hatinya dua laki-laki ini menyiapkan makanan untuk seorang perempuan yang baru mereka kenal.

“Kalau dagingnya sebanyak ini, kira-kira butuh berapa kali makan agar Ariesta bisa menghabiskannya?” tanya Hoctum dengan sedikit tertawa.

“Percayalah. Kalau dia mau, sekali makan pun bisa saja dia lakukan. Tapi, karena dia harus makan di hadapan laki-laki seperti kita, sepertinya dia masih menahan diri atas napsu makannya sendiri.” ucap Orph dengan tersenyum juga.

Hoctum melihat dengan saksama betapa besarnya daging Pouvh yang sedang mereka pilah-pilah ini. “Sisanya akan kau apakan? Tinggalkan saja di sini?” tanyanya yang merasa sayang jika hanya membiarkan dagingnya membusuk di sini.

“Sisanya, biar menjadi santapan hewan lain. Lalu, kita bawa yang kita perlukan di dalam kain ini.”—Orph langsung mengeluarkan sebuah kain dari balik jubahnya—“Kain ini sudah aku berikan sihir elemen es yang bisa kapan saja aku aktifkan. Jadi, kalau dikumpulkan di dalamnya, kemudian diikat. Daging ini bisa betahan selama berbulan-bulan asalkan dijaga dengan baik,” ucapnya dengan penuh bangga seakan penemuannya ini sangat berguna, padahal dia tidak makan daging dan hanya menjualnya saja.

“Hmm … praktis sekali,” ucap Hoctum dengan tersenyum memegangi dagunya.

Daging yang diperlukan pun sudah mereka ikat pada kain khusus milik Orph. Kini, waktunya keduanya kembali ke Ariesta yang mungkin sudah sangat kelaparan.

“Sihir pemanggil, penyembuh, dan sekarang elemen. Sebenarnya, ada berapa jenis sihir yang bisa kau gunakan?” tanya Hoctum penasaran.

“Semuanya,” jawab Orph datar.

Adrenalin Hoctum tersentak. Demi menahan gejolak kejut yang dirasakannya, dia memegang erat kain berisi daging yang dipikulnya di pundak.

Orph pun menolah ke arah Hoctum, kemudian menatapnya dengan serius. “Karena kau sudah menjadi pengikutku, aku akan menceritakannya padamu setelah makan.” ucapnya dengan tersenyum.

Hoctum menganggukkan kepalanya dan kembali menatap ke depan. “Semuanya? Aku memang tidak heran dengan hal itu, karena dia sudah berhasil membuat Bahamuth, naga terkuat yang pernah ada, menjadi budaknya. Tapi, aku tidak menyangka kalau akan tetap terkejut seperti ini saat mendengarnya langsung.” gumamnya.

Setelah keduanya tiba, Ariesta sudah menyiapkan segala peralatan yang diperlukan untuk memasak dan menyajikan makanannya. Membuat Orph dan Hoctum terkesima, karena akhirnya Ariesta punya kontribusi juga dalam membuat makanan. Meskipun, cuma hal kecil.

Setelah masakannya matang, ketiganya pun mulai melahapnya. Orph dan Hoctum hanya memakan sup sayuran, sementara Ariesta dengan lahapnya memakan daging Pouvh bakar sampai satu ikat kain berisi daging yang dibawa Orph, habis tak tersisa. Hal itu pun menjadi bahan tertawaan Orph dan Hoctum yang baru kali ini bertemu dengan perempuan yang sangat rakus.

Saat Ariesta ingin mengambil satu ikat kain daging yang tersisa, Orph dengan cepat mencegahnya dan menatapnya dengan tajam, seperti ingin membunuhnya. Ariesta pun langsung patuh dan urung melakukan niatnya untuk memakan daging yang tersisa.

Ketiganya pun mengistirahatkan badan, menunggu makanan yang mereka makan tercerna dengan baik sambil duduk mengitari api unggun. Tiba-tiba saja, Orph berdiri dan membuka baju yang dikenakannya. Sontak, Ariesta langsung menutupi matanya dengan kedua tangan.

“Apa yang ingin kau lakukan? Pakai lagi bajumu!” teriak Ariesta sambil menunjuk baju Orph yang diletakkannya di atas tas miliknya sendiri.

“Jangan langsung berkata seperti itu. Aku hanya ingin menunjukkan ini kepada kalian,” ucap Orph datar, kemudian berbalik badan, sehingga punggungnya dapat dilihat jelas oleh Hoctum dan Ariesta.

Adrenalin Hoctum dan Ariesta tersentak di saat yang bersamaan, begitu mereka melihat lambang sihir yang tertera pada punggung Orph.

“Tidak mungkin …,” ucap Ariesta dengan suaranya yang bergetar.

“Memiliki satu roda gigi sihir saja sudah langka. Tapi, kau memiliki tiga roda gigi sihir sekaligus. Bukankah itu artinya, di dalam tubuhmu bisa menyimpan mana tiga kali lebih banyak dari yang kita berdua bisa simpan?” tanya Hoctum, mencoba untuk tetap tenang setelah melihat hal mengerikan yang ada di hadapannya.

“Sebenarnya bukan hanya itu saja. Berkat lambang sihir ini, aku bisa menggunakan segala jenis sihir. Hanya saja, aku tidak bisa menggunakan sihir penyembuhan dengan baik, karena tidak pernah melatihnya dengan benar. Selebihnya ada banyak hal lagi yang aku dapatkan, tapi untuk sekarang, sebaiknya itu saja yang perlu kalian tahu.”

Orph pun memakai bajunya dan duduk kembali. “Rahasiakan hal ini pada siapapun. Aku sudah gegabah karena telah menggunakan Bahamuth. Buktinya, kau sampai mengejarku untuk menuntut pembalasan dendam. Aku yakin, Komandan Lowasz tidak akan membicarakan apa yang dialaminya saat melawanku pada siapapun. Tapi … aku ragu pada anak buahnya.”

“Tenang saja. Setahuku, anak buah Komandan Lowasz punya ego yang sangat tinggi. Jelas, mereka tidak akan membicarakan kekalahan mereka.” ucap Ariesta.

“Apa alasannya kau menyembunyikan kekuatanmu ini? Padahal, dengan kekuatanmu itu kau bisa menjadi penyihir terkuat di Aculla dan mendapatkan tempat tinggal yang nyaman serta diagung-agungkan orang.” ucap Hoctum datar.

Orph sedikit tertawa karena ucapan Hoctum. “Hidup bebas dan pergi ke mana pun yang aku suka, tanpa adanya gangguan yang dinamakan ketenaran. Itulah yang aku inginkan,” ucapnya dengan tersenyum.

“Kalau begitu, setelah pedangmu di asah dengan batu itu, kau akan kembali menggunakan pedang dan menyimpan tongkat sihirmu?” tanya Ariesta penasaran.

“Tepat sekali. Ariesta. Tidak kusangka, kau cerdas juga.” ledek Orph dengan tersenyum lebar.

“Memang aku ini cerdas!” ucap Ariesta, memalingkan pandangan dan juga tubuhnya dari Orph.

“Tunggu, aku sendiri ingin bertanya sejak kemarin. Memangnya, kau ini benar-benar ahli bela diri dan menggunakan pedang?” tanya Hoctum heran.

Orph berdiri, menyilangkan kedua tangannya di dada dan mengeluarkan senyuman penuh kebanggaannya. “Aku ini keturunan Thalsora dari fraksi Wardfang. Tentu saja aku memiliki kekuatan fisik yang kuat dan ahli dalam berpedang,” ucapnya dengan tatapan penuh keyakinan menatap Hoctum.

Hoctum sedikit tersenyum, meskipun di dalam hatinya dia sangat merasa risih dengan sikap penuh kebanggaan yang dilakukan oleh Orph itu. Sementara Ariesta terlihat bingung karena tidak mengerti apa hubungannya kemampuan berpedang dengan keluarga Thalsora dari fraksi Wardfang.

“Seingatku, karena suatu hal, keluarga Thalsora hampir saja punah. Yang tersisa dari mereka hanyalah keturunan tak langsung dari keluarga Thalsora, mereka-mereka yang menikah di luar keluarga Thalsora. Apa kau keturunannya?” tanya Hoctum.

Orph yang semula terlihat penuh kebanggaan, kembali ke dirinya yang semula dan kembali duduk. Dia terlihat diam saat Hoctum menanyakan tentang keluarga Thalsora kepadanya.

“Iya, kau benar.” jawab Orph datar, dengan sedikit senyumannya menatap Hoctum.

“Apa yang sebenarnya kalian bicarakan? Aku sama sekali tidak mengerti,” ucap Ariesta dengan penuh kebingungan.

“Keluarga Thalsora adalah keluarga yang selalu melahirkan penyihir-penyihir yang tangguh dan juga kesatria yang kuat. Mereka membagi diri mereka menjadi empat fraksi, yakni Virntail, Wardfang, Fordclaw, dan Jarzskin.

“Virntail berisi penyihir yang bisa menggunakan sihir elemen. Fordclaw berisi penyihir yang bisa menggunakan sihir pemanggil hewan. Jarzskin berisi kesatria yang bisa menggunakan sihir penguat tubuh dan memiliki daya pertahanan tubuh yang sangat kuat. Sementara Wardfang berisi kesatria yang bisa menggunakan sihir berbasis penyerangan, seperti elemen dan penguat diri.

“Namun, karena suatu hal, keluarga Thalsora hampir saja punah karena sebuah bencana. Itu saja yang aku tahu.”

Setelah mengucapkannya, Orph terlihat murung. Dia mengepal kuat kedua tangannya, menundukkan kepalanya dan menggertakkan giginya.

“Maaf, kalau telah membuatmu mengingat kembali kejadian itu.” ucap Hoctum.

“Tidak apa-apa. Lagi pula, kejadian itu sudah sangat lama berlalu.” ucap Orph dengan tersenyum menatap Hoctum.

Orph pun kembali berdiri, menyilangkan tangan kanannya di dada kirinya dan menatap ke depan dengan tajam. “Aku akan melakukan perkenalan ulang. Namaku, Wardfang Orpheuz Thalsora. Aku adalah seorang pendekar pedang yang juga bisa menggunakan segala macam sihi. Namun, setelah pedangku selesai diasah, aku akan jarang menggunakan kekuatan sihirku.”

Tindakan Orph itu pun langsung diikuti oleh Ariesta yang juga ikut berdiri menyilangkan tangan kanan di dada kirinya. “Aku, Coldline Ariesta Polark. Aku keturunan bangsawan yang sudah muak dengan cara hidup para bangsawan. Sekarang, aku dalam pelarian dan dalam perlindungan Orph. Aku adalah penyihir yang hanya bisa menggunakan sihir pemanggil, elemen, dan sedikit sihir penyembuhan.”

Orph dan Ariesta saling bertatapan dan menganggukkan kepala mereka dengan tersenyum. Kemudian, keduanya menatap tajam Hoctum, seakan menyuruhnya melakukan hal yang sama.

“Baiklah, aku juga.”—Hoctum pun berdiri dan menyilangkan tangan kanannya juga—“Namaku, Favernica Hoctum Maxima. Saat ini, aku masih belum bisa membalaskan dendam penduduk desa Maxima karena aku masih lemah. Untuk itu, aku memutuskan untuk menjadi pengikut Orph, si pemilik makhluk legendaris yang menjadi sasaran balas dendamku. Aku adalah seorang pemanah sekaligus pemain musik. Selain sihir elemen dan penguat diri, aku bisa membuat musik yang kumainkan memiliki pengaruh tertentu.”

“Eh?” ucap Orph dan Ariesta bersamaan karena terkejut begitu mendengar Hoctum yang terlihat sangar, bisa memainkan musik.

Bersambung.