10

Ikatan

Ikatan itu seperti tali, terlalu banyak variasi, rumit.

Terlalu sederhana juga mudah terlepas.

Aksa menyetir dengan fokus, sedangkan Radin hanya diam sambil mengusap-usap punggung Tirta yang tertidur dipangkuannya.

Saat ini mereka sudah dalam perjalanan pulang, waktu juga sudah menunjukan pukul lima sore jadi mereka memutuskan untuk pulang. Aksa harus berangkat jam 9 malam ini menuju Lombok yang baru saja terkena bencana gempa bumi. Dan berpotensi mengalami gempa susulan.

Hal itu sedikit banyak membuat Radin khawatir. Sungguh dia khawatir dengan keselamatan pria itu, bagaimana kalau saat pria itu berdinas disana gempa susulan itu benar-benar terjadi?

Perasaan tak tenang langsung merayapi hatinya. Dia menoleh menatap Aksa yang sedang fokus menyetir, wajah datar yang tampan itu begitu serius menatap jalanan sesekali tangan kirinya menarik persneling. Dibalik wajahnya yang datar, Aksa menyimpan sisi lembut yang sedikit banyak mampu melelehkan tembok yang dibangun Radin. Perhatian, tidak banyak mengumbar janji, suami idaman, dan matanya tidak hobi kemana-mana.

Tadi saat berkeliling di Taman Safari banyak perempuan yang menatap penuh minat pada Aksa yang terlihat keren dengan seragam tentara. Radin yang mengekori Aksa agak jauh dari posisi pria itu langsung ditariknya mendekat. Lalu digenggamnya jemari Radin dengan erat dan lembut, membuat perempuan itu hampir meleleh. Disaat Aksa seharusnya malu jalan dengan perempuan berbadan gemuk seperti dirinya, pria itu malah sebaliknya terlihat sangat bangga menggandeng Radin disebelahnya. Apalagi Tirta dan Cakra tidak mau digendong atau dituntun, jadilah mereka hanya mengawasi dari belakang, sering Aksa dibuat berlari-lari mengejar sikecil nan lincah Tirta yang setelah tertangkap hanya tersenyum polos tak berdosa.

Akhirnya Aksa menyuruh Cakra bergandengan tangan dengan Tirta yang disanggupi oleh anak lelaki itu. Jadilah, Aksa bisa berjalan berdua bersama Radin yang pipinya selalu merona, apalagi beberapa kali pria itu merangkulnya terang-terangan.

Tadi saat mereka berada didepan kandang rusa ada seorang ibu-ibu yang memuji Cakra dan Tirta begini katanya;

“Wah Mas, Mbak anaknya sepasang ya, ganteng sama cantik lagi. Pasti seneng ya udah sepasang, gemesin pula yang perempuan.” ucap seorang ibu-ibu berjilbab maroon.

“Alhamdulillah bu, rejeki dari Allah.” jawab Aksa dengan senyum ramah, “Ini juga istri saya lagi isi anak ketiga, baru jalan tiga bulan.” Radin melotot nendengar ucapan Aksa, dicubitnya pinggang pria itu namun sayang dimalah mencubit kemeja Aksa.

“Mas! Jangan ngomong gitu.”

“Mbak, gak papa gak usah malu. Banyak anak banyak rejeki lho, anak ibu aja lima kok.”

Aksa tersenyum geli mendengar ucapan si ibu tadi dan melihat wajah Radin yang masam.

Sebelum Radin makin cemberut Aksa mengajak kedua anaknya berjalan lagi menuju ke kandang hewan lain masih dengan Radin yang enggan menatapnya.

“Kamu kalau ngantuk tidur aja. Nanti aku bangunin kalau udah sampai rumah.” ucap Aksa sambil menoleh kearah Radin yang sedang menatapnya dalam. “Kenapa?”

“Kamu harus banget pergi dinas? Gak bisa diganti sama yang lain?” Radin memutuskan untuk meruntuhkan tembok miliknya dan memberi Aksa kesempatan setelah hari ini dia melihat bagaimana sikap dan perjuangan Aksa untuk bisa dekat dengannya.

Dan sekarang dia enggan memikirkan apa kata teman-temannya, toh yang akan menjalani dia. Tapi tetap Radin akan minta pendapat dari sahabat-sahabatnya.

“Gak bisa Radin, justru karena aku ketua tim jadi aku yang wajib pergi. Kenapa? Kamu khawatir?”

“Aku gak mau ngerasain khawatir, cemas dan takut sama seseorang, apalagi kamu.”ucap Radin menatap kedepan lalu menoleh lagi pada Aksa, “Tapi sepertinya aku memang akan selalu khawatir dan cemas tentang kamu mulai sekarang.”

Aksa menatap Radin sambil menunggu lampu lalu lintas berubah hijau. “Apa ini kata lain dari iya? Kamu mau memulai dengan saya?”

“Gitu deh.” jawab Radin sambil menolehkan kepalanya menghindari tatapan Aksa. “Tapi kamu gak boleh bikin aku khawatir apalagi cemas ya Mas?”

“Iya, aku janji.” senyum Aksa mengembang lebar penuh kebahagiaan. Di ambilnya jemari Radin yang ada dipangkuan perempuan itu lalu dibawanya kedalam genggamannya.

“Kamu nyetir Mas, ngapain genggam tangan aku?” ucap Radin agak panik, panik karena sentuhan Aksa bisa membuat jantungnya berloncat-loncatan.

“Tenang aja.”

“Kamu berangkat jam sembilan dari Halim atau Soetta?”

“Halim. Kamu mau nganter?”

“Emang boleh?”

“Boleh banget!” jawab Aksa senang. Tapi dia ingat kalau mereka tidak hanya berdua, ada Cakra dan Tirta.

“Tapi kita bawa anak-anak, lain kali aja.” ucap Aksa dengan bijak.

“Gak papa kok kita bisa anter mereka kerumah orang tuaku dulu.” ucap Radin lagi, entah kenapa dia ingin melihat Aksa lebih lama lagi.

“Yasudah, tapi kamu gak capek?”

“Gak kok.”

Isya baru saja berlalu saat Aksa memakirkan mobil digarasi rumah dinasnya sendiri dan tidak berjarak jauh dengan rumah orang tuanya yang masih satu kompleks dengannya.

“Aku ambil minum dulu ya, kamu duduk yang nyaman.” Radin mengangguk lalu matanya menatap ruang tamu rumah dinas Aksa yang dibuat sederhana dan minimalis.

Ada banyak sertifikat yang digantung dalam bingkai yang terpajang didinding, ada juga beberapa piala dan medali serta foto-foto Aksa dari masih menjadi AAU.

Tidak lama Aksa kembali dengan sebotol kecil air mineral dan setoples kastangel, “Maaf, cuma ada air mineral dan kastangel.”

“Gak papa, aku omnivora kok.” Radin menunjukan cengirannya yang paling menggemaskan, Aksa yang melihat itu mendesis kesal.

“Jangan nyengir begitu, kamu terlihat menggemaskan sekali, tau?”

Radin terkekeh mendengar ucapan Aksa. “Aku emang menggemaskan sih.”

Radin membuka toples kastangel lalu mengambilnya satu dan memakannya, “Kastangelnya enak, beli dimana?”

“Buatan ibu saya. Saya kan suka kue-kue kering gurih jadi ibu saya buatin lah.” ujar Aksa.

“Oh gitu, nanti aku bawain kue buatan aku deh.”

Aksa menatap Radin dengan alis terangkat satu, “Kamu bisa bikin kue?”

“Menurut ngana?” tanya Radin. Aksa menggedikkan bahunya.

“Saya tunggu kue buatan kamu.”

Radin mengacungkan jempolnya lalu Aksa pamit lagi ke kamarnya untuk packing.

Sekitar sepuluh menit Aksa sudah memakai seragam dinas lapangannya beserta ranselnya.

“Udah masuk semua kan?” tanya Radin berdiri begitu Aksa didepannya.

“Udah.”

“Kamu ada sakit gak? Kalo ada jangan lupa obat-obatan.”

“Saya sehat walafiat Radin.”

“Alhamdulilah, bagus. Makanan ringan bawa? Snack? Minuman? Em... Apalagi ya? Abon sapi suka? Kamu kayaknya harus bawa deh Mas takut disana kehabisan bahan makanan.” ucap Radin bagai kereta, membuat Aksa tertawa geli dengan perasaan yang menghangat.

“Kamu cerewet, ibu saya aja gak secerewet kamu lho.” Radin langsung menutup mulutnya rapat.

Kan, suka kelepasan cerewet gini tuh! Mamah sih nurunin sifat kok cerewet gini? Kan maluuuu...

“Maaf suka gak sadar akutuh.” Aksa mengacak rambut sepunggung Radin gemas.

“Gak papa, saya seneng kok! Sekarang saya mau pamit sama ibu, yuk!” Aksa berjalan keluar rumah lalu mengunci pintu.

Mereka menuju mobil yang terpakir, “Kita kerumah orang tua kamu Mas?” tanya Radin.

“Iya.”

“Lah, terus aku piye Mas? Aku nunggu ning mobil wae lah.” ucap Radin dengan sok dialek jawa. Aksa kembali dibuat tertawa oleh perempuan itu.

“Ya kamu ikut dong, masa nunggu dimobil? Ibu saya mau ketemu kamu, beliau penasaran perempuan mana yang berhasil bikin anaknya mabuk kepayang.”

“Eleh, ngapusi wae!” Aksa tertawa lebih keras kali ini.

“Ya ampun, kamu emang ya bisa banget bikin saya ketawa.”

“Kali aja nanti disana susah ketawa.” ujar Radin.

Aksa mulai mengendarai mobilnya menuju beberapa blok dari rumah dinasnya. Tidak sampai lima menit mereka sampai didepan sebuah rumah dinas yang ukurannya lebih besar dari milik Aksa.

“Yuk turun.” ajak Aksa pada Radin yang malah memegang erat sabuk pengaman.

“Aku jaga mobil aja deh, gak papa deh gak dibayar. Ikhlas!” masalahnya Radin takut bertemu keluarga Aksa, dia merasa tidak pantas.

“Ngapain jagain mobil? Aman kok. Udah yuk turun.”

“Aku takut Mas.”

“Takut apa sih? Orang tua aku gak gigit kali.”

“Bapakmu tentara Mas, aku takut.”

Aksara mendengus mendengar ucapan Radin, “Apa kabarnya bapak kamu yang Kopassus dan kakek kamu Panglima, sayang?”

Pipi Radin langsung memerah saat Aksa memanggilnya sayang. “Apasih, itu mah beda kali. Lagian kamu kan pria ya harus gentle lah ketemu orang tua perempuan.”

“Sudah zamannya emansipasi kali, masa cuma pria aja yang gentle, perempuan gak?”

“Ih!!!” jerit Radin, “Takut ah, tunggu di mobil aja.” rengek Radin.

Belum sempat Aksa membalas ucapan Radin jendela disebelah Radin diketuk. Seorang wanita paruh baya dengan hijab berdiri disamping pintu mobil.

Aksa langsung menurunkan jendela mobil disebelah Radin, membuat perempuan itu menatapnya horor.

“Mas, Mas, astagfirullah!” desahnya frustasi.

Aksa malah tersenyum menyeringai pada Radin, membuat perempuan itu ingin pura-pura pingsan.

Halah, lebay aja lo Din. Mau ketemu camer aja takut, malu ama badan! Ujar hatinya mengejek.

Ibu Aksa tersenyum lebar begitu kaca terbuka sempurna. “Eh, ada orang lain. Kirain ibu kamu sendiri makanya ibu ketuk jendela, habis kamu parkir doang gak masuk-masuk.”

Mau tidak mau Radin tersenyum sopan, lalu turun dari mobil. Ibu Aksa mundur beberapa langkah, begitu Radin sudah turun dari mobil perempuan itu langsung meminta tangan ibu Aksa untuk disalimi.

“Siapa ini?” tanya ibu Aksa ramah.

“Calon Aksa bu.” jawab Aksa dari belakang Radin lalu mengecup pipi ibunya sebentar. Radin yang tangannya masih digenggam ibu Aksa sampai tegang mendengar ucapan pria itu.

Bisa-bisanya pria itu ...

“Waduh, alhamdulilah akhirnya kamu bawa calon juga Mas, cantik lagi. Siapa namanya?” mereka bebicara sambil jalan menuju kedalam rumah.

“Radin, Bu.” jawab Radin pelan.

“Bagus namanya. Ini yang kamu ceritain itu ya Mas?” tanya ibunya pada Aksa.

“Iya.”

“Kamu kata Aksa pengusaha, punya usaha apa?” tanya ibu Aksa penasaran dan mata yang berbinar.

“Usaha kuliner, sama Wedding Planer Bu.” jawab Radin lagi, dia menunggu reaksi ibu Aksa mengenai pekerjaannya.

“Wah, keren dong ya. Berarti bisa masak?” tanya ibu Aksa lagi, kini mereka sudah masuk keruang tamu rumah Aksa.

“Alhamdulilah bisa Bu.”

“Bisa bikin kue juga lho Bu.” cetus Aksa.

Wajah ibu Aksa makin berbinar, “Serius? Asik dong kita bisa bikin kue bareng.”

“Boleh bu.” jawab Radin dengan senyum lebar. Dia mulai nyaman dengan ibu Aksa

Saat mereka asyik mengobrol seorang pria paruh baya memasuki ruang tamu. “Ada tamu?”

Radin langsung berdiri dan tersenyum sopan pada pria paruh baya itu lalu menyaliminya. “Radin, Pak.”

“Brahmana, Ayahnya Aksa. Duduk, nak duduk.” Bram duduk di single sofa berhadapan dengan Aksa, sedangkan Radin dan Ibu Aksa duduk di sofa panjang.

Bram menyeruput teh yang berada didepannya yang memang sengaja disuguhkan empat cangkir.

“Rumahnya dimana, nak Radin?” tanya Bram setelah meminum tehnya.

“Saya tinggal di Apartemen Pak.” Bram dan Belinda mengangguk saja.

“Mandiri ya, daerah mana?”

“SCBD Pak.” jawab Radin pelan.

Ketiga orang disana langsung menatap Radin, “Seperti itu. Orang tua masih lengkap? Tinggal dimana?”

Radin mulai gugup, “Masih alhamdulillah. Tinggal di daerah Jakarta timur Pak.”

“Timur banyak Din.” ucap Ibu Aksa sambil menoelnya.

“Daerah Cijantung.” jawab Radin lagi tak yakin, dia melirik Aksa yang malah tidak menatapnya balik dan lebih memilih memainkan ponsel.

“Orang tua kamu tentara?” tanya Bram.

“Iya Pak.”

“Tanggung jawabnya sudah sampai mana?”

“Yah!” Aksa memeperingatu sang Ayah, padahal Bram murni bertanya karena ingin tau.

“Prajurit biasa Pak.” jawab Radin merendah.

“Bohong!” ujar Aksa “Bapaknya wakil Jendral Kopassus pangkatnya bintang satu.”

Bram kaget. “Luar biasa.” setelah itu sesi tanya jawab introgasi diselingi guyon Belinda.

Setengah sembilan Aksa dan kedua orang tuanya serta Radin sudah ada di lapangan lepas landas TNI AU, setelah berpamitan dengan orang tuanya Aksa berdiri didepan Radin.

“Saya akan berusaha untuk terus ngabarin kamu. Jangan berpikiran negatif selama saya dinas.”

“Ingat aja kalau saya akan pulang ke kamu. Rumah tempat saya pulang yang masih diusahakan.”

Radin hanya diam menatap Aksa yang menatapnya lembut dan dalam.

“Jangan lupa Ibadah dan jangan lupa sebut nama saya disetiap doa kamu, karena sayapun selalu menyebut nama kamu disetiap doa saya.”

“Iya.” jawab Radin parau.

“Saya pasti pulang, ada sebuah ikatan yang mengikat saya dengan kamu. Jadi kamu jangan khawatir.”

“Iya.”

Aksa tersenyum simpul, “Saya peluk kamu sebentar boleh?”

Bagai terhipnotis Radin mengangguk. Aksa langsung menarik tubuh Radin kedalam pelukannya. Diusapnya rambut hitam sepunggung Radin.

Bram berdeham, lalu Radin langsung melepaskan diri dari Aksa dengan wajah semerah tomat.

“Belum mukhrim.”

Mereka tertawa, walau tawa Radin terdengar sumbang tapi dia berusaha biasa saja.

“Doaian biar cepet direstuin dong Yah.”

Salah satu anak buah Aksa memanggilnya untuk naik ke helikopter.

“Jaga diri ya, saya berangkat.” tidak peduli tatapan orang atau deheman Bram, Aksa menangkup wajah Radin lalu mengecup keningnya.

“Assalamualaikum.” Aksa langsung berbalik meninggalkan orang tuanya dan Radin tanpa menoleh.

Meninggalkan Radin bersama perasaan yang teraduk-aduk tidak karuan.

Sedih, senang, tidak percaya, tidak rela, dan belum apa-apa Radin sudah rindu.

Nelangsanya aku, baru punya pacar udah ditinggal zhay!

Btw, gue ama dia in relation kan?