6

Bagian Enam

Jalan-jalan

Apartment Leon di Paris AT 09:55 AM

Leon melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Hampir jam 10 pagi namun Shevana masih belum terlihat menunjukkan dirinya. Untung saja hari ini adalah hari terakhir mereka berada di paris.

Melihat perubahan mood Shevana yang kerap kali membuat Leon kewalahan, kini Leon berencana mengajak Shevana untuk berjalan-jalan.

Perlahan jemarinya mengetuk pelan pintu kamar Shevana.

Lima detik.

Sepuluh detik.

"Ana.." panggi Leon sembari kembali mengetuk pintu.

Tiga puluh detik.

Leon masih menunggu, Karena tidak kunjung mendapat sahutan akhirnya Leon memutuskan untuk membuka pintunya sendiri.

Dari tempatnya berdiri, Leon dengan jelas dapat melihat seorang yang masih bergelumung nyaman dengan selimutnya - seolah mencari kehanggatan di tengah suhu kota paris yang sedang mendingin.

Tepatnya musim salju sudah tiba.

Dengan langkah pelan Leon mulai berjalan mendekat, kemudian duduk ditepi ranjang. Leon terdiam cukup lama dengan manik matanya yang tidak terlepas dari wajah polos wanita di depannya.

Leon mengulurkan tangan membelai wajah Shevana yang nampak tenang.

Lagi.. Perasaan asing yang membuat Leon tidak nyaman kini kian dia rasakan kembali. Rasa asing itu kembali muncul setiap kali melihat Shevana berada di dekatnya. Tanpa sadar Leon mendekatkan wajahnya, mengecup sekilas bibir merah ranum wanitanya.

Apa katanya?

Wanitanya, huh?

Yang benar saja!

Shevana mengeliat ketika merasakan sesuatu yang kenyal mendarat dibibirnya. Membuka matanya, Shevana terkejut mendapati Leon tengah menyinggungkan senyum manis beberapa jengkal dari wajahnya.

"Bonjour, Ana .. Kau tambah terlihat jelek saat matamu terjaga." sapa Leon dengan suara lembut.

Shevana menguap malas sembari melemparkan tatapan tidak minat. "Aku memang tidak pernah merasa cantik."

"Bagus kau menyadarinya."

"Ya, terserah kau saja. Pergi sana."

"Ana.."

Shevana melirik Leon enggan, "Apalagi?!"

"Kau ini galak sekali. Aku hanya ingin memberitahumu sesuatu.."

Shevana menaikkan satu alisnya.

"Kau terlihat tiga kali lipat lebih jelek dengan jejak air liur yang mengalir dipipimu."

Seketika Shevana melotot sembari mengusap kedua pipinya. Detik berikutnya tawa Leon pecah. Manik hijau yang selalu menatapnya garang bisa dengan cepat berubah panik hanya karena hal sepele semacam ini.

Sungguh, tidak ada hal yang lebih menyenangkan selain menggoda sekretaris galaknya ini.

Aneh. Shevana tidak merasakan sesuatu yang mengering di pipinya. Seolah menyadari sesuatu, Shevana kembali menatap Leon dengan tatapan bengis.

"Stevano! Jangan mengajakku kelahi pagi-pagi, Devil!" teriak Shevana menggema di seluruh ruangan.

Leon terkekeh mendengar kekesalan Shevana. Wanitanya sangat mudah marah, untuk itu Leon gemar menggodanya. Ugh.. Leon memang tidak akan pernah merasa bosan dengan wanita galak ini.

"Tidak perlu berteriak. Seorang pemarah lebih cepat mati, Ana."

"Apa katamu?!"

Kali ini Leon hanya mengulas senyum sembari menepuki puncak kepala Shevana pelan. "Sudahlah. Cepat mandi dan segeralah turun."

Shevana menyilangkan kedua tangan kedepan dada. "Aku tidak menerima perintah."

"Okay, aku akan menunggu di bawah."

Shevana berdecak, "Apa kau tuli?"

"Apa? 15 menit? Okay, jangan membuatku menjemputmu jika lebih dari 15 menit, Sweety." ucap Leon sembari melangkah keluar kamar meninggalkan Shevana yang masih terpengarah. Sebelum benar-benar menutup pintu, Leon melirik Shevana dengan tatapan menggoda. "Kau tahu aku bukan seorang yang mudah memberi toleransi, Sweety." ucapnya hilang di balik pintu.

Shevana menahan napas.

Pria itu benar-benar, ya..

Dua puluh menit berlalu. Shevana menatap pantulan dirinya di cermin sembari menatap lekat wajahnya sendiri. Tidak ada yang berubah. Garis wajahnya bahkan masih sama persis dengan lima tahun lalu.

Tetapi tidak. Wajah Shevana memang tidak menampakkan banyak perubahan selama hampir lima tahun ini. Namun, mengenai siapa dirinya Shevana berani mengatakan kalau dirinya jauh lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya.

Kumohon jangan ingat lagi. Gumam Shevana dalam hati.

Shevana kembali melihat ke cermin lalu mengambil lipstick longlastic berwarna nude kemudian mengoleskannya perlahan pada bibirnya kemudian mengecapnya sebentar untuk meratakan warna kemudian mengambil clutch kecil di atas meja sebelum bergegas turun.

''Bukankah tidak ada agenda untuk hari ini?" tanya Shevana ketika sampai di meja makan lalu mengambil duduk tepat di depan Leon.

Leon menoleh, memerhatikan penampilan Shevana sebentar sebelum akhirnya mejawab. "Memang tidak."

"Lalu?"

"Untuk apa kau menyuruhku mandi pagi?"

"Siang, Ana. Ini sudah bukan pagi lagi." Ralat Leon membuat Shevana berdecak kesal.

"Kau mengganggu waktu tidurku." dengusnya.

"Apa kau lupa dimana kakimu berpijak? Kita berada di paris. Lalu mengapa tidak menyempatkan diri untuk liburan sebelum kembali ke New York."

"Tapi kau 'kan bisa membicarakan ini lebih dulu denganku."

Leon mengendik, "Kalau aku mau. Suka tidak suka kau tidak diizinkan untuk memilih, Nona Maurer."

Shevana mendesah lelah, ''Selalu semaunya sendiri. Dasar arogan." gumam Shevana kesal.

Leon yang mendengar berpura bertanya, "Kau mengatakan sesuatu?"

Shevana menggeleng sebagai jawaban. Lebih tepatnya Shevana malas ribut dengan pria yang suka melakukan semaunya sendiri itu.

Seusai sarapan, Leon menggiring Shevana masuk ke mobil pria itu ketika Jordan membuka pintu samping kemudi. Shevana mengernyitkan kening.

"Kau mengendarainya sendiri?" tanya Shevana ketika Leon duduk di kursi kemudi.

"Seperti yang kau lihat." Jawab Leon sekenanya.

"Kenapa tidak mengajak Jordan? Dia juga membutuhkan waktu liburan."

Leon menghidupkan mesin dan mulai meninggalkan pelataran apartemen. "Percayalah dia akan lebih memilih pekerjaannya dari hanya menghabiskan waktu dengan hal tidak berguna."

Tidak berguna katanya?

"Oh, lalu kau?"

Leon terdiam sebentar, "Aku? Tentu saja aku membutuhkan liburan. Lagipula disini aku bossnya. Aku tidak perlu izin siapapun untuk pergi berlibur sesuai keinginanku."

"Aku lupa tidak akan ada jawaban waras jika kau yang mengatakannya."

Leon memfokuskan pandangan kedepan "Kau hanya belum megenalku saja."

"Oh, ya?"

"Sudahlah. Intinya hari ini aku hanya ingin berdua denganmu saja." balas Leon santai tanpa memikirkan jantung Shevana yang bergerak lebih cepat dari biasanya.

Mencoba tidak ke ge-eran, Shevana menoleh. "Bukankah dalam dua hari ini kau memang hanya dengan bersamaku saja?"

"Itu berbeda."

"Apa bedanya? "

"Kemarin, ya, kemarin. Hari ini, ya, hari ini." Leon memberi jeda, "Lagipula, kemarin kita hanya berlaku profesional, beda dengan saat ini. Kali ini, khusus untuk mengajakmu jalan-jalan."

Stevano sialan!

Shevana tidak bisa lagi mengontrol detak jantungnya yang semakin ingin meledak. Meski menyebalkan, Leon merupakan sosok romantis. Shevana mengakui ini. Karena dari hampir setiap kali Leon menggodanya, ucapan Leon terdengar sangat manis. Tidak heran jika diluar sana banyak wanita yang bersedia mengantri untuk menjadi kekasihnya.

Shevana memalingkan wajah. Berharap Leon tidak menyadari perubahan dirinya. Shevana kemudian menepuki pipinya beberapa kali guna menyamakan semburat merah di pipinya.

Leon yang diam-diam memerhatikannya tersenyum menggoda. "Ada apa? Mengapa menepuk pipimu berulang kali?" Leon mengulum bibir, ''Wajahmu merah, apa kau sakit?" tanya Leon berpura tidak mengerti.

Shevana gelagapan, "Tidak, Tidak. Aku baik-baik saja. Sudah, perhatikan jalanmu saja sana. Tidak perlu mempedulikanku." jawab Shevana mengibaskan tangan.

Leon terkekeh pelan. Wanita ini memang benar-benar berbeda. Dan Leon baru menyadari kalau Shevana mudah sekali merona hanya dengan ucapan saja.

Benar-benar mengemaskan.

***

Menara eiffel. AT 11:40 AM

Manik hijaunya berbinar bersamaan dengan wajah polos itu mengukir senyumannya ketika melihat pemandangan di hadapanya sekarang.

Jika kemarin-kemarin dia hanya bisa melihatnya melalui balkon kamarnya. Sekarang ini, dia benar-benar melihatnya langsung.

Keindahan manara Eiffel membuat senyumnya mengembang, kemudian dia mengoyangkan tangan Leon di sampingnya yang di balas tatapan tidak mengerti Leon.

"Aku mau naik. Ayo kesana, Leon." ajak Shevana berbinar menatap Leon yang melihatnya enggan.

''Kau sendiri saja. Aku malas jika harus berdesakan disana."

Shevana memberengut. "Aku tidak mengerti bahasa Perancis. Jika aku tersesat bagaimana?"

"Aku bisa menjemputmu lewat GPS di ponselmu."

Shevana semakin jengkel.

Tahu begini mending tidak usah di ajak kemari.

"Ya sudah jika tidak mau. Ayo pulang."

Leon meraih lengan Shevana ketika wanita itu hendak berbalik pergi. "Bukankah kau menyukainya?"

Shevana melirik Leon enggan. "Tidur lebih bermakna dari pada harus berdiri tak berguna disini." ucap Shevana kesal.

Leon membuang napas, gadis galak nan keras kepala itu selalu rewel jika tidak di turuti. Padahal.. Leon bukan seorang yang suka direpotkan. Terlebih, mengenai wanita.

Tetapi .. Mengapa sekarang Leon malah tidak bisa jika menolak keinginan wanita yang sedang merajuk padanya ini?

Dan sadar atau tidak. Dia mulai tidak keberatan jika melakukan hal merepotkan untuk wanita itu. Entah apa yang terjadi sebenarnya. Leon juga tidak mengerti dengan jelas.

"Baiklah .. Kita kesana." ucap Leon mengakhiri perdebatan mereka.

Shevana kembali berbinar. "Kau serius?"

Leon hanya mengangguk mengiyakan. Kemudian dengan wajah berseri Shevana menarik lengan Leon menuju elevator yang akan membawa mereka naik.

Melihat perubahan wajah Shevana Leon hanya menggelengkan kepala tidak habis pikir. Wanita itu sangat mudah merajuk dan kemudian berubah senang di detik berikutnya. Perubahan Mood wanita itu benar-benar membuat Leon heran.

Sesampainya di puncak menara Eiffel, Shevana berlalu meninggalkan Leon dan kemudian mendekat pada pinggiran besi. Shevana menyukai pemandangan yang tersaji di depan matanya. Pemandangan kota serta hamparan rumput indah yang mulai tertutupi salju yang mulai berjatuhan itu sangatlah cantik. Apalagi dilihat dari tempatnya berdiri saat ini, sungguh.. Shevana jatuh cinta dengan kota Paris.

Shevana melirik Leon yang berjalan mendekat kearahnya.

"Sudah senang sekarang?" tanya Leon ketika sudah berdiri di samping Shevana.

Shevana mengangguk senang. "Sangat .. Terimakasih, Leon." ucap Shevana tulus.

Leon melirik Shevana malas. "Kau seperti tidak pernah liburan saja." cibir Leon tanpa menyadari perubahan wajah Shevana.

Shevana menarik senyum kecil - kembali mengalihkan pandangan kedepan. Manik hijaunya mulai meredup ketika kepingan-kepingan masa lalunya terlintas di benaknya. "Ini memang liburanku yang pertama." gumam Shevana pelan.

Kemudian Shevana menoleh kesamping. "Maka dari itu aku sangat berterima kasih padamu untuk hari ini." ucapnya memaksakan senyum.

Untuk sesaat Leon sempat terdiam. Ada yang salah. Ah, Ralat .. Ada yang berbeda. Bibir itu memang memperlihatkan senyumanya. Namun, tidak dengan sinar matanya yang kian meredup.

Leon tidak akan bertanya kenapa. Dia akan menunggu Shevana untuk menceritakannya sendiri. Setidaknya, Leon memberi Shevana ruang. Memaksa bukanlah sifat Leon. Searoganya dia .. Leon tetap menghargai privasi orang lain. Meski pada akhirnya dia harus mencari tahunya sendiri.

Yang jelas Leon tidak memaksa, bukan?