Bagian Tujuh
Ajakan Makan malam
Setibanya di apartemen. Shevana kini berbaring bebas di kamarnya sendiri.
Setelah perjalanan yang mambuatnya merasa lelah itu Shevana tetap mempertahankan senyumnya. Senyumnya masih terjaga apik meski waktu sudah berlalu.
Kilasan balik ketika Shevana menghabiskan waktu seharian bersama Leon benar-benar membekas di ingatan. Awalnya Shevana sempat dibuat heran ketika Leon senantiasa dengan mudah menuruti keinginannya. Bahkan, Leon Benar-benar membuang jauh sikap bossy dan dominantnya. Dia berlaku seolah-olah mereka benar seorang yag tengah berlibur. Tanpa perdebatan.
Ah.. Ada apa dengan Shevana?
Shevana mengulingkan tubuhnya kesamping sembari memeluk erat guling kesayanganya.
"Mengapa kesan itu selalu terlintas di pikiranku saat aku mengenenang kota paris?" Shevana menutup wajah, "Ku rasa aku sudah mulai gila." gumam Shevana mengingat bayangan manis Leon yang senantiasa menemaninya di sana. Memaksa pria itu memakan gula kapas. Menaiki ayunan di pinggir danau dan..
'Ah, bodoh! Apa yang kau pikirkan, Shevana? Jangan sampai kau terjerumus muslihat pria arogan itu.'
Bos singa is calling..
Shevana meraih ponselnya kemudian mengernyit ketika melihat si penelfon.
"Ada apa?" jawab Shevana ketika sambungan terhubung.
Leon berdecak kesal, "Apa begini caramu menyapa, nona Maurer?"
Shevana memutar bola matanya malas. "Jika tidak ada yang penting, aku akan menutupnya."
"Ck! Kau ini, selalu saja sesuka mu."
Shevana mendelik sebal. "Apa kau tidak punya kaca, Tuan? Sikap aroganmu jauh lebih menyebalkan di banding aku."
"Ya, terserah, anggap semaumu saja." jedanya, "Jika kau tidak keberatan..Temani aku makan malam nanti." ucapnya.
Shevana mengernyitkan dahi, "Apa kau sedang mengajakku kencan?"
Seketika Leon terkekeh, "Jika itu mau mu, lain hari, okay? Aku akan mengajakmu kencan. Tapi tidak malam ini."
Shevana melotot mendengar itu. "Bukan begitu. Lalu, apa maksudku, Brengsek?! Bicara yang benar!" dengusnya sebal.
Leon semakin terkekeh mendengar nada kesal wanita itu.
"Maksudku, temani aku hadir makan malam nanti."
See.. Nada arogannya selalu saja tidak mau di bantah.
"Untuk apa kau bertanya, jika kau saja tidak memberi ku kesempatan untuk menolak?!"
"Kau memang berbeda. Tanpa harus ku jelaskan, kau sudah mengerti rupanya." ucap Leon terkekeh geli.
Shevana mendengkus. " Bagaimana jika aku menolak? "
Leon menarik senyum. "Bukan masalah. Padahal tadinya aku akan memberimu bonus besar, jika mau. Tapi, ya, sudahlah jika kau menolak. Aku_ "
"Tunggu.. Kau akan memberiku Bonus besar? Baiklah, jika begitu aku akan menemanimu malam ini." jawabnya cepat dengan bibir tersenyum memikirkan bonus besar yang di janjikan Leon.
Leon menyeringai, namun berusaha menutupinya. "Bukankah kau bilang tidak mau? Mengapa cepat sekali berubah pikiran?"
Shevana menggelengkan kepala, seolah Leon dapat melihatnya. "Kapan? Tadikan aku hanya bertanya, bagaimana jika aku menolak, bukan berkata tidak mau." sambarnya menggelak.
Leon tidak lagi dapat menahan senyumnya. "Ya-ya .. Baiklah, jika kau mau. Aku akan menjemputmu jam tujuh malam nanti. Beriaslah, jangan mempermalukanku."
Shevana berdecih, "Jangan meragukan kemampuanku, Tuan. Aku bisa saja membuat kau tidak berkedip melihatku nanti." jawabnya pongah.
Leon terkekeh pelan, "Aku sangat menantikanya, Ana. Baiklah sampai jumpa nanti malam." ucapnya sebelum mengakhiri panggilan.
Shevana kemudian melemparkan ponselnya ke atas ranjang. Berjalan menuju lemari pakaiannya dan kembali berdecak ketika melihat isi lemarinya yang terlihat itu-itu saja. Memang Shevana bukanlah seorang yang fashionista, namun, dia tetaplah seorang wanita. Pakaian serta apapun sebagai simbol penampilan selalu dia perhatikan.
Lagipula.. Selama hidupnya, Shevana tidak pernah berpikir jika suatu saat dia akan membutuhkan pakaian bagus. Sebagai wanita sederhana Shevana jarang sekali membeli gaun-gaun indah juga high-heels dan sejenis peralatan lainnya.
Bagaimana ini? Shevana tidak memiliki gaun bagus, lalu, apa yang akan di kenakannya nanti malam?
Shevana menghela napas panjang kemudian mengambil duduk di pinggiran kasur sementara kedua manik hijaunya masih meneliti pakaian yang berjejer rapi di dalam lemari - Mencoba mencari fashion yang cocok untuknya nanti.
Tapi bagaimana jika gaun saja Shevana tidak punya?
Seketika, lamunan Shevana pecah ketika mendengar bunyi bel apartemennya. Membuka pintu, Shevana di kejutkan dengan kehadiran Jordan di depan pintu dengan membawa dua shopping bag berukuran besar di kedua tanggannya.
Shevana mengernyit, "Jordan? Apa yang kau lakukan disini?"
"Apa saya tidak di izinkan untuk masuk terlebih dahulu, Nona?"
Shevana kemudian sedikit menyingkir memberi ruang Jordan untuk masuk. "Silahkan masuk."
Jordan meletakkan kedua shopping bagnya keatas meja kemudian menoleh kearah Shevana yang hanya menaikkan satu alisnya.
"Pekerjaan saya selesai." Jordan kemudian menundukkan kepala - hendak pamit sebelum suara Shevana terdengar.
"Apa yang kau bawa itu?"
"Anda bisa melihatnya sendiri, Nona."
Shevana berdecak, "Maksudku untuk apa kau memberiku itu?" tanya Shevana menunjuk kedua bawaan Jordan menggunakan dagunya.
"Saya hanya menjalankan perintah, Nona."
Shevana lalu bergegas membuka shopping bag itu dan melihat sebuah gaun cantik beserta saudara-saudaranya yang lain di dalamnya. Shevana melirik Jordan yang hanya diam memerhatikannya. "Untukku? Maksudku, untuk apa kau memberiku ini?"
Jordan menarik senyum tipis, "Ini bukan wewenang saya untuk menjawab, Nona. Anda bisa menanyakan langsung pada Tuan muda." jawab Jordan sopan.
"Maksudmu ini dari Leon?"
Jordan mengangguk. Setelah dirasa selesai kemudian Jordan berpamitan untuk segera kembali, "Jika begitu, saya pamit undur diri, Nona. Masih banyak pekerjaan yang harus saya selesaikan." ucapnya tersenyum sopan.
Shevana balas menyingungkan senyum kecil, "Ah, iya, terimakasih telah mangantarkan ini."
Jordan kembali mengangguk sebelum benar-benar pergi.
**
Shevana sedang berias, ia memandang takjub pada gaun yang di kenakannya saat ini. Bahan nya yang halus di kulit, dengan panjang gaun yang menjuntai menyapu lantai serta keanggunan dari gaun itu sendiri membuatnya nyaman untuk di pakai.
'Ah.. Gaun ini pasti sangat mahal.' Pikirnya.
Bunyi ketukan menyadarkan Shevana dari kekagumannya dengan gaun ini. Kemudian Shevana kembali menatap cermin dan saat di rasa siap, ia berjalan keluar kamar - melewati ruang tamu untuk membuka pintu.
"Kau sudah sampai ternyata." sapa Shevana tanpa menyadari keterdiaman
Leon yang bergeming di tempatnya. Riasan natural, dengan aura ke anggunan gaun merah maroon itu membuat iris manik hijau Shevana terlihat sangat mendominasi, sangat mempesona.
Satu kata untuknya 'Cantik'.
Shevana tersenyum pongah, "See.. Aku benar-benar membuktikan ucapanku, bukan?" ucapan Shevana Sontak menyadarkan Leon dari lamunanya, mungkin lebih tepatnya menangkap basah keterkaguman Leon hingga membuatnya tidak bisa lagi mengelak.
"Yeah.. Setidaknya gaun pilihanku bisa membuat auramu keluar." kekeh Leon dengan seringaian menyebalkannya.
Shevana berdecih, "Ku anggap itu pujian."
Leon mengangkat satu alis, "Aku tidak mengatakan kau cantik."
"Kau baru saja mengatakannya, Sir." ejek Shevana sembari menyinggungkan senyum kemenangan.
"Well, Anggap saja iya jika itu membuatmu senang.''
Shevana memutar bola mata malas, "Kau ini benar-benar gengsian. Dasar tuan arogan"