1 Duo Ap

"Bolooot, balikin tas gue!" seru Lia yang berusaha mengambil tas dari orang yang dipanggil bolot itu.

Denis, nama dari orang yang dipanggil bolot itu itu menaikkan tasnya semakin tinggi agar tidak bisa di gapai oleh Lia. Jadi, gadis itu melompat-lompat untuk meraihnya. Dan hasilnya nihil, walau melompat pun ia tidak sampai.

Kelas AP adalah singkatan dari Agribisnis Perikanan. Kelas ini memiliki siswa berjumlah 37 ditahun pertama.

Entah apa yang terjadi kedepan, mereka selalu. Berharap kelas itu akan lulus dalam formasi awal. Ya, masuk bersama-sama, keluar pun bersama-sama, serta berjuang bersama-sama. Tanpa ada yang keluar atau di keluarkan. Karena kelas itu ibarat rumah dan siswa yang menempati kelas tersebut adalah keluarga. Kalian tidak mau kan salah satu anggota keluarga kalian pergi begitu saja?

Kelas di sekolah kejuruan ini sedikit unik. Sama seperti sekolah kejuruan yang lainnya. Jumlah siswa laki-laki dan perempuan berbanding berbalik. Kadang isinya laki-laki semua, kadang isinya perempuan semua, kadang kebanyakan laki-laki kadang juga kebanyakan perempuan. Berbeda dengan sekolah menengah atas yang rata-rata perbandingan siswa dan siswinya sama.

Dan di kelas AP ini dari tiga puluh tujuh siswa siswinya hanya ada dua.

Iya, saat pertama masuk ada satu guru yang berpesan anak laki-laki dikelas itu harus melindungi dua gadis itu. Ada juga guru yang menasehati dua gadis itu untuk berhati-heti dengan mereka. Sifat orang berbeda-beda, kalo sama berarti hasil fotocopyan dong.

Tapi, dilihat dari kelas itu. Mereka bukan melindunginya tapi malah menjahilinya.

"Bolooot, balikin!" rengek Lia.

"Ini, ambil kalo lo bisa," kata Denis menaikkan tas Lia semakin tinggi.

"Iih, bolot balikin ah, gak lucu."

Ditengah-tengah Denis menjahili Lia, Cholil berlari masuk dari luar kelas sambil berseru, "Woi, ada guru woi, ada guru!"

Lantas semua yang bersantai merubah posisi duduknya menjadi tegak. Yang berlalu lalang serta mencorat-coret papan tulis pun segera kembali ke tempat duduknya masing-masing.

"Liaaa, sini duduk. Gabung sama kita," ucap Shinta dari kelas sebelah. Tangannya melambai-lambai menyuruh gadis yang sedang menunggu temannya membeli makanan itu untuk bergabung bersamanya.

Hari ini kantin ramai sekali. Dua jam pelajaran para siswa menahan lapar hingga akhirnya bel berbunyi dua kali tanda waktunya istirahat.

Tak beda dari sekolah lain, makanan yang dijual dikantin tidak lain tidak bukan adalah Bakso, Mie ayam, nasi uduk, nasi kuning, siomay, gorengan, pempek hingga berbagai macam es. Masing-masing penjual sibuk melayani pembelinya, bangku yang disediakan juga hampir penuh.

Dipojok kantin, ada pentolan anak kelas duabelas dan pasukannya sedang nongkrong. Ada yang makan, ada yang terbahak serta ada yang membawa gitar dan bernyanyi sesukanya.

Dunia seperti milik mereka saja.

"Lia? Gue Nia," kata Nia mengoreksi ucapan Shinta.

"Eh, iya Nia. Sory, ketuker gue," ralat Shinta.

"Habis kalian mirip sih, mana dikelas cuma berdua doang," kata Sri.

"Sama-sama pendek, sama-sama kecil, dikelas cuma berdua doang lagi, gimana gak dibilang kembar," timpal Misa. Nia hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya melihat kelakuan kelas tetangganya ini.

"Heeeh, kayak lo gak kecil aja," ledek Lia tak terima disamakan dengan teman sekelasnnya. Begitulah nasib Nia dan Lia, selalu disamakan. Mentang-mentang namanya mirip, tingginya sama, kecilnya sama. Tapi perlu diketahui, perempuan tidak suka disamakan dengan perempuan lain. Semirip apa pun itu.

"Ntar dulu Li, gue beli es dulu," kata Nia.

"Dih, lo mah bukanya daritadi," kesal Lia.

"Bentar doang ish. Gue lupa gak bawa air minum."

"Yaudah cepetan sono."

Nia pun berjalan menuju tempat jualan es sementara Lia menunggunya dengan bergabung sebentar dengan Shinta dan kawan-kawan.

"Bang, es tehnya satu ya," kata Nia memesan.

"Oke Neng,"

Sambil menunggu pesananan, Nia mengecek ponselnya. Melihat apakah ada chat yang masuk atau tidak.

Nia ini anaknya pendiam. Diam-diam bisa mengerjakan soal, diam-diam dapet ulangan bagus, diam-diam suka sama kamu, eh.

Anak pendiam itu biasanya penuh dengan kejutan. Entah apa kejutan itu, biasanya itu adalah bakat, orang pendiam biasanya mempunyai bakat yang malas untuk dia tunjukan ke banyak orang. Tahu-tahu dia mendapat peeingkat satu di sekolahnya atau tiba-tiba dia memenangkan perlombaan dan sebagainya.

"Nih Neng," kata tukang Es itu mengulurkan satu cup es teh manis.

Nia menerima cup tersebut sambil berterima kasih dan menyerahkan selembar uang dua ribuan.

"Neng, gak sama saudaranya?" kata tukang Ea itu basa basi.

"Saudara? Siapa?" heran Nia.

"Itu yang sering berduaan mulu sama neng."

Nia memutar bola matanya, berpikir siapa yang dimaksud abang tukang Es itu. Sampai akhirnya gadis itu mengetahuinya.

"Oooh, itu mah bukan saudara Mang. Tapi temen sekelas saya," kata Nia.

"Eh, masa?"

"Eee, gak percaya si Abang mah."

"Tapi kok mirip ya?"

Nia tidak tahu lagi harus merespon seperti apa. Pasalnya hampir seluruh warga sekolah beranggapan bahwa mereka adalah saudara. Apalagi kembar.

Tapi yang pasti harus mereka tahu, dua gadis itu tidak keduanya tidak suda dikira kembar. Seperti kalian, pasti ada rasa tidak senang kan kalau disamain sama orang yang bahkan mirip pun tidak? Tapi, itu balik lagi ke pendapat masing-masing. Kalau masih bernilai positif sih ya biarkan saja.

Keduanya berjalan menuju kelas. Gak enaknya gini sih sebenarnya, kemana-mana selalu berdua. Kalau anak cowok lebih memilih di kelas karena jarak dari sekolah ke kantin cukup jauh.

For your information sih, luas sekolah pertanian ini perlu diacungi jempol. Ada artikel yang mengatakan sekolah ini memiliki luas 2 hektar. Bayangin aja, banyak siswa yang telat karena membuang waktunya hanya untuk berjalan dari gerbang menuju kelasnya. Iya yang kelasnya paling ujung sekolah. Banyak yang berpikiran enakan motor diparkir di depan kelas. Supaya kalau istirahat gak cape jalannya.

"Li, lo tahu gak? Masa gue ngeliat cowok lo sama cewek lain," kata Nia.

Bukannya merespon, Lia malah fokus ke ponselnya.

"Li! Eh, gue dicuekin."

"Iya kenapa?" kata Lia sebelum ia fokus kembali pada ponselnya. "Gue udah putus sama dia. Biarin aja dia mau sama siapa juga gue udah gak peduli. Brengsek tuh orang."

"Hah? Serius lo, yang bener?"

"Iyaaa, bener."

"Tapi kan kalian baru aja jadian. Masa sih segampang itu putus. Lagian lo kan bilang kalo tuh cowok adalah cowok yang tepat buat lo. Kenapa sekarang malah lo malah jilat ludah sendiri," komentar Nia. "Lagian, keliatannya dia baik kok."

"Ni, orang yang keliatannya baik belum tentu baik. Lagian dia baik diawal doang makin kesini makin abstrud hubungan gue sama dia. Gak ada kejelasan. Jelas-jelas cewek itu butuh kejelasan."

Tak mau memperpanjang Nia hanya merespon ucapan lia dengan Anggukan.

"Makannya Ni, lo bergaul, coba cari cowok. Supaya lo tahu gimana busuknya cowok."

"Ih, ngeri amat omongan lo. Dengan lo ngomong begitu juga gue jadi nambah gak mau pacaran."

Nia itu hatinya gampang tapi sebenarnya takut pacaran. Cewek ini lebih minder sama teman sebangkunya ini kalau urusan cowok. Jelas, Lia itu banyak peminatnya, sedangkan dirinya? Tak ada satu cowok yang ia kenal di sekolah kecuali teman-teman sekelasnya sementara Lia hampir tahu seluruh siswa di kelas TKR.

Baru saja Nia membuka pintu kelas, Denis keluar dengan berlari disusul Angga yang mengejarnya. Hampir saja Lia tertabrak, untungnya dengan sigap gadis itu menghindar. Seperti inilah suasana kelas mereka, seperti kapal pecah, ribut sana sini, lelarian kesana kemari, kadang Nia jengkel kalau spidol kelas dibuat corat-coret papan tulis hingga habis karena jarak dari ruang kelas ke ruang kesiswaan cukup jauh. Bahkan Sandy sang ketua kelas pun angkat tangan menghadapi kelas ini.

Meskipun begitu, moment inilah yang akan dirindukan ketika lulus nanti.

*****

"Ini semua sudah?" tanya Bu Sri (Guru Biologi) sembari mengangkat beberapa kertas yang dikumpulkan muridnya per kelompok.

"Oke, jadi tugas kalian adalah membuat penjelasan tentang materi BAB 3 ini dengan power point. Nanti kalian save di flashdisk atau CD kosong Bisa ya. Nah, sekarang saya akan memberikan tugas untuk masing-masing kelompok." sekarang tangan Bu Sri sedang menggerak-gerakkan mouse untuk menggerakan anak panah di laptopnya sehingga tampak lah tugas tersebut di layar infocus. "Ibu akan mengatakannya sekali jadi kalian harus benar-benar mendengarkannya dengan baik. Oke?"

"Oke Buuu...."

"Kelompok pertama. Kalian harus menjelaskan tentang Amphibi. Kemudian kelompok dua... "

Kelompok pertama yang di ketuai oleh Sandy mencatat apa saja materi yang harus mereka kerjakan. Setiap kelompok terdiri dari enam orang, anggota di kelompok mereka adalah Aidil, Sandy, Fuad, Haris dan Deni Irawan.

Materi kali ini adalah Klasifikasi Hewan Vebrata. Jadi setiap kelompok harus menjelaskan bagaimana ciri-ciri, contoh, hingga bagaimana cara hewan itu berkembang biak. Waktu untuk mengumpulkan materi serta membuat power point adalah satu minggu. Jadi minggu depan semua harus sudah menyelesaikannya dan mengumpulkan hasil kerja kelompok mereka. Kemudian minggu depannya lagi siap tidak siap kelompok tersebut harus maju dan menjelaskannya.

Tiap kelompok pun sudah kebagian tugasnya. Sekarang anak kelas AP itu membentuk formasi bagaimana 6 orang itu bisa berkumpul berada dalam satu meja. Kelas terlihat semakin berantakan, meja dan kursi yang sudah tertata rapih menghadap papan tulis kini digeser sesuai kenyamanan duduk mereka.

Masih ada setengah jam lagi sebelum pelajaran habis. Sisa waktu tersebut digunakan untuk masing-masing kelompok mengatur strategi kerjanya masing-masing sementara sang guru keluar kelas dengan alasan ada urusan sebentar, tapi entah pergi kemana. Mungkin saat-saat seperti ini adalah yang paling ditunggu. Mereka diijinkan menggunakan ponsel untuk searching materi, yang padahal bukannya membuka aplikasi google tapi malah chatingan sama doi. Ada yang asyik berselfie ria. Ada yang tidur dan tidak peduli dengan tugas. Ada yang lelarian karena guru tidak ada. Pokoknya kelas semakin kacau. Padahal belum ada satu menit guru Biologi tersebut keluar kelas.

"Eh, Ni selfie yuk," ajak Lia.

"Apaan sih orang lagi ngerjain tugas juga," tolak Nia.

"Yaelah masih seminggu ini. Lagian mumpung gak ada guru, kapan lagi lo bebas kayak gini?"

"Li, seminggu itu kalo dibawa santai waktu bakalan gak kerasa. Nanti kalo tiba-tiba udah hari sabtu aja gimana? Linglung kan gimana ngerjain tugasnya? Kalo ada tugas mending kerjain sekarang biar adem kalo udah selesai."

"Ah gak seru lo."

Alhasil, Lia berselfie ria sendirian.

Meskipun terlihat sama, Lia dan Nia ini bertolak belaka. Kalau bahasa halusnya, Lia lebih menonjol di penampilannya. Bukan banyak yang suka lagi dengan gadis itu karena kecantikannya. Setiap keduanya berjalan ke kantin pasti ada aja tatapan suka yang ditunjukan oleh gadis itu. Apalagi godaan-godaan dari cowok-cowok genit. Tapi Lia tidak terlalu memperdulikannya. Karena kalo di goda cowok gak dikenal kitanya merespon, kita akan terlihat seperti cewek murahan. Jadi, cuekin aja. 1

Beda dengan Nia. Dirinya lebih fokus ke pelajaran. Gadis ini yang paling ditunggu ketika ada PR di jam pelajaran pertama. Belum saja ia meletakkan pantatnya di tempat duduk, seseorang menghampirinya untuk meminjam buku PR gadis itu. Bukan hanya saat ada PR, namun saat ulangan juga gadis itu salah satu yang diandalkan. Bahkan yang satu kelompok sama dia bisa tenang karena Nia lah yang mengerjakannya. Yang lain paling cuma ikut patungan biaya pengeluaran mereka untuk membuat tugasnya.

Dua gadis ini memang berguna ya di kelas AP.

"Eh Li. Ikut selfie dong," Kata Ridoh yang ikut bergaya di depan kamera ponsel Lia. Dan cklik... Gambar keduanya pun tersimpan di ponsel tersebut.

"Kirimin ke Grup Li," perintah Ridoh.

"Yaelah poto bedua doang dikirimin ke grup," komentar Lia.

"Gak apa-apa biar yang lain nyimpen poto kita."

Lia tidak meresponnya lagi, Ridoh ini memang salah satu anak yang narsis. Begitu deh... Terlalu sulit untuk di deskripsikannya. Sekarang laki-laki itu bergabung dengan yang lain untuk merusuh.

"Minjem bentar," kata Aldi yang langsung mengambil spidol di sebelah Nia tanpa persetujuan. Gadis yang sedang menyalin materi dari ponsel salah satu teman kelompoknya itu terhentak karena kalau spidol tersebut sudah berada di tangan anak-anak rusuh itu pasti isi benda tersebut tidak akan bertahan lama. Otomatis ia harus mengisinya kembali.

Nia ingin marah, namun tidak berani. Alhasil, gadis itu hanya pasrah melihat Aldi mencoret-coret papan tulis dengan spidolnya.

White board yang semula berisi materi yang ditulis Bu Lastri sekarang malah menjadi bacaan-bacaan tidak jelas yang ditulis oleh Aldi dengan tulisan WRFAMS yang menjadi judulnya. Segala macam tulisan memenuhi papan tulis seperti kalimat 'Kami tidak takut mati karena kami punya harga diri.' Atau 'Kalian sopan kami segan.' Juga beberapa kalimat aneh lainnya. Kemudian spidol tersebut direbut oleh Alex dan menulis 'Single woles' di sudut kiri papan tulis. Lalu spidol tersebut direbut lagi oleh Robby dan menggambarkan alat vital pria di sana, membuat kelas semakin ricuh.

Sementara kelompok Fajar dan kawanannya adem anyem berdiskusi tentang tugas mereka. Mungkin, kelompok tersebut terdiri dari orang-orang yang rajin. Kalian bisa lihat hanya kelompok mereka yang tidak membuat banyak masalah meskipun sesekali mereka tertawa ketika Denis CS melakukan hal konyol yang mengundang tawa.

Jam pergantian pelajaran ditandai dengan bunyi bel satu kali. Meskipun tiap kelas memiliki speaker yang terhubung di ruang BK. Namun ricuhnya mereka membuat bunyi bel tersebut tidak sampai ke telinga. Hingga datanglah guru Kewarganegaraan itu membuka pintu kelas dan melihat kerusuhan terjadi disana.

Bu Puji berdiri di mulut pintu sambil membawa beberapa buku di tangannya. Seperti melihat hantu, anak-anak kelas AP itu segera berlari ke tempat duduknya masing-masing dan membuat kelas serapih mungkin maskipun kelas tersebut sangat jauh dari kata rapih. Wanita itu pun berjalan masuk kedalam kelas. Setiap beliau datang wajahnya memang selalu ditekuk sebagai bentuk ekspresi tidak suka dengan kelas paling pojok ini. Namun, ia harus beraikap profesional dan berusaha untuk menyamaratakan kelas ini dengan kelas yang lain.

Bu Puji duduk di kursinya. Ia terdiam sambil menyapu pandangan ke. Semua murid di depannya.

"Sudah ributnya?" kata Bu Puji.

Tidak ada yang menjawab. Semua diam.

"Kalian ini ya, ribuuut terus. Kalian gak tahu suara kalian itu sampai terdengar ke kantor." Informasi itu sudah tidak asing lagi karena wali kelas mereka sudah memberitahukannya. Namun tidak ada jera untuk kelas paling pojok ini berbuat onar. "Kalian gak tobat apa begini terus? Kelas sebelah itu lagi belajar. Kasihan kalo keganggu sama kelas kalian."

Yaelah Bu, setiap kelas juga pasti bakalan rusuh kali kalo gak ada guru.

Tiba-tiba terdengar desas-desis. Awalnya terdengar samar namun menjadi jelas. Mereka membicarakan papan tulis yang penuh dengan coretan itu. Dan yang paling menarik perhatian adalah gambar alat vital di pojok kanan papan tulis. Untunglah gambar tersebut kecil, jadi Bu Puji tidak terlalu memperhatikannya ketika berjalan ke arah mejanya. Namun, bagaimana kalau guru itu lihat? Habis sudah kelas ini.

"Hey! Hey! Berisik lagi. Kalian ini gak ada kapok-kapoknya ya!" omel Bu Puji semakin kesal. Membuat desas desis itu menghilang.

"Kalian gak mau sama diri kalian sendiri? Setiap hari kerjaannya ribuuut terus. Malu, mau jadi apa kalian?"

Tidak ada yang menjawab.

"Kasihan wali kelas kalian. Jadi pembicaraan guru-guru lain karena kalian ribut terus."

Masih tidak ada yang bersuara.

Bagai penyelamat suasana yang mencengkam, tiba-tiba ponsel guru tersebut berbunyi. Bagai menerima telpon dari orang penting, beliau ijin keluar untuk mengangkat panggilan itu sebentar. Dan saat itulah salah satu dari kelas itu maju kedepan untuk menghapus semua coretan di papan tulis serta gambar tidak senonoh itu.

Tepat dengan selesainya Latief menghapus coretan di papan tulis, Bu Puji masuk kembali ke dalam kelas. Entah apa yang terjadi sekembalinya dari luar emosinya sudah menurun dan beliau mulai mengajar. Seluruh siswa kelas AP menghela nafas panjang karena coretan di papan tulis itu telah dihapus sebelum guru tersebut melihatnya.

Kali ini, Kelas mereka pun aman.