2 WRFAMS

“Pergi dihari minggu... Bersama pacar baru...”

“Naik vespa keliling kota... Sampai binariaaaa...”

“Hatiku jadi gembira....”

Dengan nada asal pemuda yang bergerombol duduk di sebuah warung itu bernyanyi salah satu lagu dari Naif diiringi gitar akustik yang dimainkan salah satu dari mereka.

Pulang sekolah begini mungkin untuk pelajar biasa pasti langsung pulang dan menghabiskan waktu untuk belajar juga mengerjakan PR, ditambah bersih-bersih rumah kemudian istirahat untuk mengumpulkan tenaga untuk beraktivitas di hari esok. Namun bagi WRfams itu tidaklah penting. Pulang sekolah enaknya nongkrong sambil nyanyi-nyanyi gak jelas. Anggap saja ini seperti refreshing otak karena pusing dengan soal dan tugas yang membuat otak mereka ngebul. Meskipun suguhan mereka hanyalah kopi dan gorengan, asalkan lengkap berkumpul itu sudah lebih dari cukup. Gak ada gengsi untuk mereka menentukan tempat nongkrong, asal bisa merokok sebebasnya itu sudah cukup.

Pemuda-pemuda yang nongkrong itu tidak cukup banyak, mereka menamai perkumpulannya dengan nama WRfams. Berbasis dari lima orang siswa dari kelas paling pojok itu. Ada Aldi, Alex, Andri, Angga dan yang terakhir Denis. Yang lain adalah murid dari kelas lain yang kadang suka ikut nongkrong.

“Eh, eh sekolahan musuh bakal ulang tahun nih. Beraksi gak nih kita?” kata salah satu dari mereka.

Denis, ketua dari WRfams mengambil pisang goreng di depannya sembari berkata, “Ya bertarung kita.” Kemudian pemuda itu melahap pisang goreng tersebut sampai habis. “Ini kan emang jadi ritual tiap tahun.” Nada bicaranya tidak jelas karena sambil mengunyah.

“Bukan begitu, maksudnya kita kudu bikin rencana yang bagaimana biar gak kalah?” sambung temannya.

“Tenang aja, ntar kita rundingin sama anak kelas duabelas.”

“Ngomong-ngomong, tugas kelompok kita apaan sih Bam? Lo nyatet gak tadi?” tanya Alex pada Angga yang biasa dipanggil Ambam.

“Mana gue tahu, orang kita aja duduk di pojok belakang,” jawab Angga.

“Lo denger gak lot?” kini Alex bertanya pada Denis.

“Lo lagi nanya ke dia. Udah tahu dia bolot,” komentar Andri.

“Bener tuh kata si Lepay,” sambung Aldi. “Orang semuanya aja duduk di belakang. Mana ada yang kedengeran. Lagian nurus-ngurus amat sama tugas. Urusan sekolah jangan dibawa pas lagi maen. Sejak bel pulang sekolah bunyi, tanggung jawab kita udah gak disekolah lagi men. ”

“Gue setuju tuh sama yang dibilang si Coy.”

“Ya kan takutnya kita dihukum kalo kagak ngerjain. Lo gak tahu gimana sensitifnya tuh guru Biologi?”

“Cowok sih takut hukuman. Yaaaa, cemen lo.”

“Mending kalo hukumannya keluar kelas dan gak boleh ikut pelajaran dia, enak kita. Kalo dikeluarin dari sekolah? Kita kan sering banget kagak ngerjain PR. Hampir setiap hari malah.”

“Kalo dikeluarin ya tinggal nyari sekolah baru, susah amat.”

“Udah kalian tenang, kalo soal itu mah gampang. Nanti gue minta tolong si Nia aja buat ngerjain. Kita kasih duit buat buat internet sama beli CD kosongnya. Beres kan?” kata Denis menenangkan sahabat-sahabatnya. “Kita boleh bandel, tapi jangan sampai orang tua kita rugi. Kenakalan yang kita perbuat biar kita aja yang nanggung.”

“Gue suka gaya lo Lot.” Angga dan Denis bertos Ria.

“Widih, enak juga kelas lo ya, ada yang bisa dandelin. Lah kelas gue mah batangan semua. Pada males,” komentar seorang yang dari jurusan TKR.

“ALDI SAPUTRA, ANDRIYANSYAH, ALEX BUDI SETIAWAN, ANGGA IRWANSYAH, MUHAMMAD DENIS ANWAR, KALIAN SEMUA MAJU KEDEPAN!!!” Teriak Guru Matematika itu dengan sangat lantang. Dibanding kericuhan kelas paling pojok itu, suara Bu Endah adalah yang paling nyaring. Bahkan tanpa speaker sekolah pun suaranya bisa menggema ke seluruh penjuru kelas.

Sambil menghela nafas panjang, Denis dan kawan-kawannya maju ke depan kelas. Mereka sudah membayangkan hal ini akan terjadi. Karena kebiasaan mereka nongkrong di warung belakang sekolah, saat sampai kelas jam pelajaran pertama sudah dimulai lima menit yang lalu. Sialnya mereka tidak inget kalo ada PR dan itu adalah Matematika. Pelajaran yang selalu didominasi dengan guru killer. Karena telat, kelimanya tidak bisa mengerjakan PR terlebih dahulu. Alhasil, hukuman sudah menantinya.

“Masukin bajunya!” perintah Bu Endah ketika melihat penampilan WRfams yang sangat berantakan. Sebenarnya sedikit heran sih, kenapa anak cowok seragamnya selalu saja dikeluarkan. Ada yang tahu?

Seketika semua merapihkan pakaian mereka terlebih dahulu sebelum akhirnya berbaris di depan kelas.

“Sekarang kalian mau apa?” tanya Bu Endah.

Denis CS justru bingung. Mereka yang disuruh maju di depan kelas, mereka juga yang ditanya mau apa?

Kadang guru itu pikirannya lebih sulit ditebak daripada pacar yang posesif. Apalagi kalau kita sudah ditandai oleh guru tersebut sebagai murid yang tidak disukainya. Nilai yang akan menjadi taruhannya.

“Ayo jawab! Mau apa kalian?” tegas Bu Endah lagi.

“Kan, kita tadi disuruh kedepan Bu,” kata Denis dengan suara yang pelan. Disetujui oleh teman-temannya.

“Apa?” seru guru itu seolah-olah tidak mendengar apa yang dikatakan Denis.

“T—tadi kan, Ibu yang suruh kita maju ke depan,” ulang Denis dengan suara agak kencang.

“Saya? Saya yang suruh kalian ke depan?” Bu Endah mengulang apa yang dikatakan Denis, lima laki-laki yang berdiri didepan itu pun mengangguk. “Jadi saya yang suruh kalian maju kedepan gitu? Iya? Terus kalian mau diapakan itu juga terserah saya gitu?” Wajah seram Bu Endah menjadi langganan kelas paling pojok ini. Setiap beliau masuk kelas pasti ada saja ulah yang membuatnya marah.

“Dateng telat, baju berantakan, gak ngerjain PR, kalian datang kesekolah itu sebenarnya mau ngapain?” omel wanita itu dengan lantang.

“Ya mau sekolah Bu,” celetuk Aldi.

“Mau sekolah tapi gak menerapkan peraturan di sekolah ini gimana bisa kalian disebut sekolah?”

Denis menyenggol lengan sahabatnya dan berbisik, “elu sih pake nyeletuk segala. Jadi nyerocos kan Bu Endah.” Sementara guru Matematika itu ngoceh panjang lebar yang bisa kelimanya lakukan hanyalah menunduk, menikmati hujatan-hujatan yang ditembakkan kearah mereka dengan pasrah. Hal ini dilakukan agar siswa bandel itu jera, tapi Bukan WRfams namanya kalau kena sejali omelan langsung tobat.

Kadang ada untungnya juga hal ini terjadi. Membuat kegiatan belajar mengajar jadi tertunda.

Puas mengomeli lima siswa itu akhirnya Bu Endah mengambil buku materinya.

“Saya gak mau tahu, Pokoknya Istirahat nanti kalian harus sudah mengumpulkan PR. Terserah kalian mau ngerjainnya kapan. Cepat duduk, waktu lima belas menit saya sudah kebuang sia-sia karena ngomelin kalian. Gak kasihan apa sama yang niat mau belajar?”

Denis dan yang lainnya pun duduk ke tempat duduknya masing-masing.

Tak lama belum Bu Endah memulai materi, Reza maju kedepan menghadap Bu Endang. Baru saja genk biang rusuh itu membuatnya naik darah, sudah ada satu siswa yang membuatnya bertambah emosi.

“Kenapa lagi kamu?” sewot guru itu.

“Saya mau ke kamar mandi Bu,” ijin Reza.

“Yaudah sana.”

Wanita itu memijit-mijit pelipisnya. Apa salah dan dosanya hingga mempunyai murid seperti ini? Yang bisa dilakukan hanya berdoa kepada tuhan meminta kesabaran yang tinggi untuk menghadapi kelakuan murid di kelas paling pojok ini.

Lima menit lagi Bel pergantian pelajaran berbunyi, namun Reza belum kembali dari toilet. Anak-anak sudah tahu itu, kutu kupret itu pasti kabur ke kantin. Bu Endah merapihkan peralatan mengajarnya dan meminta tolong Sandy untuk membawakan tumpukan buku PR yang dikumpulkan itu. Sebelum keluar kelas Bu Endah memberi peringatan pada lima anak yang dihukumnya tadi pagi, “Denis, Aldi, Angga, Andriyansyah, Alex, ingat ya sampai istirahat kalian belun mengumpulkan PR. Jangan pernah ikut kelas saya se-la-ma-nya!.”

Untuk anak yang duduk di bangku tingkat SMP mungkin jika diberi ancaman seperti itu akan menangis menjerit-jerit. Namun bagi remaja badung seperti mereka, justru itu adalah berkah. Tipsnya begini, kalau kita tidak suka dengan seseorang, kita jangan mengakhirinya tapi buatlah orang itu jera dengan kita dan biarkan dia yang mengakhiri semua.

Tapi,daripada guru tersebut mencemarkan namanya ke seluruh guru disekolah lebih baik mereka menurut saja.

Bagai napi yang baru keluar dari penjara. Kondisi tidak ada guru membuat beberapa siswa bangkit dari tempat duduknya. Suasana pun ricuh seperti biasan. Bedanya WRfams tidak serame biasanya. Kelimanya berkumpul untuk memecahkan lima soal Matematika yang seharusnya mereka kerjakan empat hari lalu.

“Sumpah gue kagak ngerti sama sekali,” kata Aldi memukul-mukul kepalanya pelan menggunakan pulpen, otaknya sudah ngebul hanya karena melihat soal saja. . “Lo ngerti dut?”

Yang dimaksud ‘Dut’ adalah Alex. Namanya Alex Budi, dan mereka melencengkan namanya menjadi Alex Budut.

“Oh yang ini,” kata Alex menunjuk Soal pertama.

“Iya, lo ngerti?”

“Kagak.”

Dari arah jam 7 ada Fajar yang tertawa melihat WRfams pusing karena soal. Laki-laki itu terbahak sambil berkata, “makanya dateng pagi.” Ya, kalau saja kelimanya datang lebih pagi. Mungkin gal ini tidak akan terjadi.

“Oh, gue punya ide.” Denis bangkit dari tempat duduknya. Laki-laki itu berjalan menuju meja dua perempuan yang sedang mengobrol.

Kalau tidak ada guru, yang dilakukan Nia dan Lia tidak lain tidak bukan adalah ngobrol. Berduaaaa... terus. Ya mau gimana lagi? Dikelas Cuma ada mereka berdua. Kalau salah satu dari mereka tidak masuk, itu adalah hari paling bete. Mau ngobrol sama siapa coba? Mau gabung sama cowok, biasanya hal yang dibicarakan itu kalo gak bola ya yang berbau mesum.

Topik pembicaraan keduanya hari ini tidak lain tidak bukan adala cowok.

“Ni, lo tahu gak anak TKR yang waktu itu minta nomer gue?” tanya Lia.

“kenapa emangnya?” kata Nia dengan wajah penasaran.

“Yang sms gue gak cuma satu tahu. Ada satu cowok lagi yang sms, itu dia yang waktu itu duduk di tembok WC. Orangnya lumayan ganteng sih, lo mau liat gak potonya? Nih gue ada facebooknya.”

“Coba mana sini gue mau lihat.”

Ditengah asyiknya mereka ngobrol, kehadiran Denis membuat kedua gadis itu menatapnya. Tatapan Nia seolah bertanya, ada apa?

“Ng... Ini, gue boleh liat PR MTK gak Ni?” tanya Denis sembari menunjukkan Prnya.

“Oh, bukunya kan dikumpulin.”

“Kalo gitu ajarin gue ngisinya dong.”

“Oh, ini mah gampang. Mana sini pulpennya,” kata Nia sambil mengambil pulpen yang dipegang Denis kemudian mengerjakan soal pertama di buku laki-laki itu. “Caranya begini, gampang kok. Bentar... Bentar... Nah selesai deh.”

“Oh, gitu ya Ni. Kalo nomor dua?”

Nia melihat soal nomor dua. Soalnya sedikit berbeda dari nomor satu. Kemudian tanpa rasa curiga gadis itu mengerjakan soal tersebut membuat Denis menaikkan sudut bibirnya. Kemudian, laki-laki itu mengarahkan pandangan ke temen-temennya sambil mengacungkan jempot tanda semua akan baik-baik saja.

“Selesai deh nomor dua,” kata Nia.

“Oh iya, hebat. Kalo soal yang nomor tiga gimana Ni?” kata Denis lagi.

Baru saja Nia ingin mengerjakan soal itu. Namun tatapan tajam gadis itu lempar pada Denis. Dengan nada curiga gadis itu berkata, “lo gak lagi manfaatin gue kan?”

“Eeeh, Ng—nggak kok Nia. Ayolah bantuin kita, masa lo tega sih sama temen sendiri.”

Nia menghela nafas panjang. “Yaudah, tapi lain kali kerjain PR lo.”

“Kalo mau nyalin dateng pagi.”

“Siap Boss!!!”

Nia tahu, WRfams ngerjain PR adalah hal yang mustahil. Tapi, sebandel-bandelnya siswa harus menaati peraturan sekolah. Ada yang bilang peraturan diciptakan untuk dilanggar, tapi kalau Indonesia tidak ada aturan bisa hancur negara ini.

“Woy, Babeh woy Babeh.”

Sandy baru kembali setelah membantu Bu Endang membawakan buku disusul Reza yang baru kembali setelah ijin dari toilet. Dibelakang mereka Pak Arjat masuk dengan peralatan mengajarnya.

Pak Arjat adalah wali kelas X.Ap, jadi apa yang terjadi pada kelas ini beliau lah yang bertanggung jawab.

“Tadi dari lab pas saya jalan mau kesini, saya menenemukan alien yang diasingkan dari bumi,” kata Pria itu sebelum duduk di kurainya. Omongannya yang sedikit lawak membuat kelas tidak terasa tegang.

“Siapa itu? Reza ya?” semua pun sekilas menatap Reza. “Dia kayak makhluk yang diasingkan. Yang lain pada dikelas dia sendiri dikantin makan gorengan. Iya gak Ja?”

Reza hanya cengengesan mendengar itu.

“Jangan gitu lah ya, kalau waktunya belajar kita belajar. Kalau waktunya bercanda kita bercanda. Boleh bercanda sambil belajar tapi jangan belajar sambil bercanda. Gak semua guru suka begitu. Ada guru yang senang bercanda ada juga guru yang kelewat serius. Dan jangan sampai kalian salah menempatkan diri di area seseorang.”

“Ya Ja ya,” ucap Pak Arjat pada Reza.

“Siap Pak,” balas Reza.

“Jangan ke kantin sendirian pas jam belajar. Ajak lah temen-temennya, kasian mereka juga mau. Masa mereka sibuk belajar kamunya malah enak-enakan makan dikantin.”

“Semuanya ngerti?”

“Ngerti Paaak.”

“Jangan ke kantin sendiri kalau....”

“Sedang jam pelajaran.”

“Salah, kalau gak ngajak-ngajak yang bener.”

Hahahaha.....

Mungkin diantara semua guru, Pria yang disebut Babeh oleh anak muridnya ini adalah yang paling sabar. Bayangkan, guru mata pelajaran yang hanya memberikan materi saja stress dengan kelas ini. Apalagi yang menjadi wali kelasnya? Tapi ajaibnya, kelas langsung tenang jika diajari olehnya. Mungkin ada beberapa pelanggaran yang dilakukan kelas tersebut, hukuman tetap diberikan namun suasana kelas tidak mencengkam. Bandingkan dengan pelajaran sebelumnya, semua lebih realeks di jam pelajaran kedua ini.

“Tadi saya dapat laporan katanya Denis de ka ka berulah lagi ya?”

Anak-anak tertawa ketika wali kelasnya menyebut WRfams dengan Denis de ka ka yang artinya Denis dan kawan-kawan.

“Iya Pak,” kata Denis sebagai perwakilan.

“Kenapa lagi kalian?”

“Ini Pak, gak ngerjain PR,” jawab Denis.

“Gak ngerjain PR? Terus?”

“Disuruh ngerjain ntar pas istirahat disuruh dikumpulin.”

“Gak usah nangis gitu Lot,” ledek Fajar dan satu kelas pun tertawa. Termasuk Pak Arjat. Entah karena grogi atau semacamnya Denis berbicara dengan notasi yang tidak. Jelas sehingga yang mendengarnya berpikir kalau ia sedang bersedih.

“Udah udah, tadi apa? Disuruh kerjain PR terus istirahat kumpulin?” Denis mengangguk mengiyakan ucapan Pak Arjat. “terus udah dikerjain?”

“Sudah Pak.”kali ini yang menjawab kelimanya.

“Yasudah bagus. Lain kali kalo ada PR dikerjain ya, Denis, Angga, Alek, Andriyansyah, Aldi. Jangan meremehkan PR. Karena PR itu salah satu bentuk kepercayaan guru pada kalian kalau kalau kalian bisa mengerjakan soal itu tanpa beliau. Jelas Denis de ka ka? ”

“Iya Paaaak....”

“Yasudah kalau gitu buka modul satu halaman 785.”

Anak-anak pun menurut, mereka mengeluarkan modul paling tebal itu ke atas meja. Selain membimbing, menjadi wali kelas haruslah bersikap seperti kita orang tua mereka. Kalau sekolah adalah rumah kedua mereka, wali kelas adalah orang tua keduanya. Sikap ke profesional terhadap murid jauh lebih sulit daripada sikap keprofesionalan terhadap sesama guru. Jadi, mereka yang mempunyai sifat kebapakan atau keibuan serta mampu mengontrol emosi yang membuat anak murid betah olehnya. Itulah sebab kenapa mereka lebih nyaman bercerita pada Pak Arjat sama seperti mereka bercerita dengan orang tua sendiri.

Bel istirahat sudah berbunyi, seperti yang dijanjikan Denis dan kawan-kawan membawa buku PRnya untuk segera dikumpulkan. Namun, di pertigaan jalan, bukannya ke kantor Aldi malah berbelok ke kantin.

“Eeeh, coy mau kemana lo?” seru Denis.

“Ke kantin lah lapeeer,” jawab Aldi.

“Terus ini tugas gimana?” tanya Alex.

“Ah elah, tugas-tugas amat. Ngumpulin tugas itu juga butuh tenaga, tenaga kita asalnya darimana? Ya dari makan. Udah makan dulu baru ngumpulin.” Dan akhirnya bereka memutuskan untuk belok ke kantin. Padahal dengan Pak Arjat maupun Bu Endang pun mereka berjanji akan mengumpulkan PR-nya saat Bel istirahat berbunyi.

Dasar WRfams. Tidak pernah mau tobat.